Jam menunjukan
21.56, belumlah begitu malam. Hujan sejak sore baru saja berhenti yang membuat
suasana diluar terasa sepi, tidak ada lalu Lalang kendaraan dan lalu Lalang
tetangga yang biasa lewat hanya untuk membeli rokok di warung tetangga. Malam
ini saya duduk sendirian di ruang tamu, membaca dan menikmati setiap hisapan
asap rokok dan kopi yang mulai dingin. Dengan sarung yang di kenakan untuk
sholat magrib masih membungkus kedua paha dan kaki, sesekali ujung kain di kibaskan
untuk mengusir nyamuk yang menari-nari seperti manuver pesawat tempur menembus
tebalnya awan, manuver nyamuk-nyamuk dengan suara mendengung riuh seperti
melakukan gerakan menjepit yang dilakukan Jendral Kartage Hannibal pada
pertempuran Cannae.
Tiba-tiba di teras
terdengar suara orang sedang melepaskan sandalnya, mata saya arahkan keatas
untuk memfokuskan telingga. Tak lama berselang ada ketukan tiga kali di pintu,
ketukannya pelan beritme. Berlahan daun pintu terbuka yang memang tidak terkunci
dan sengaja di buka agar asap rokok bisa keluar ruangan. Begitu pintu terbuka,
tegaklah seorang laki-laki dengan perawakan kecil, tingginya tidak lebih dari
satu setengah meter. Sorot matanya tajam dengan model rambut disisir ke
belakang, dia mengenakan baju berwarna hijau dengan dua kantong di bagian atas
dan dua kantong di bagian bawah dan mengenakan celana warna katun sudah pudar
warna hitamnya. Dalam kesederhananya, sosok ini memancarkan intelegensi yang
mengagumkan.
“Saya boleh
masuk?” tanyanya sopan tapi tegas. Ekspresinya datar ketika melihat saya
terpegun dengan tamu yang baru saja datang. Saya buru-buru berdiri menjulurkan
tangan untuk bersalaman seraya memberi kode mempersilakan duduk. Tiba-tiba
mulut saya tidak bisa mengucapkan satu katapun, saya dikunjungi Sutan Sjahrir. Dia adalah orang yang sedang saya
pikirkan sejak dua hari lalu, sang eksponen utama garis ideologis perpaduan
antara tradisi sosial demokrasi dan liberalisme. Tokoh gerakan buruh yang andal
pada 1930-an, dan menaruh perhatian amat besar terhadap masalah pendidikan
rakyat.
“Sengaja
saya datang malam ini untuk bertemu Erwin,” katanya pelan namun berwibawa, saya
mulai tenang. Saya dengar, lanjutnya. Kamu hampir 15 tahun lebih berkerja dan
berjuang di garis massa dan pernah mencoba berjuang melalui jalan politik.
Politik praktis yang sangat pragmatis? Membangun rumah literasi, sekolah
alternative dan membangun sekolah untuk aktivis tapi tertatih-tatih.
Kata-katanya seperti menjatuhan lawan dalam perundingan. Kata-katanya elegan
sekaligus menusuk tajam, saya seperti di vonisnya bapikia kapalang aka, ba ulemu kepalang paham dalam mengerjan
kerja-kerja politik.
“Iya,”
Dan saya banyak balajar dari pola ini, baik di garis massa maupun di jalan
politik electoral. Jawab saya malu. Dia pelan-pelan mulai mengeserkan posisi
duduknya.
“Sebagai
orang yang telah banyak melakukan pekerjaan aktivis seharusnya kamu tahu bahwa
demokrasi kita akhir-akhir ini sedang terbengkalai, meskipun sesungguhya
memiliki lengkap instalasi politik modern, seperti partai, pemilu, parlemen,
mahkamah konstitusi tetapi sesungguhnya yang mengalir dalam instalasi itu
adalah politik demagogi,” Intonasi dan ritme kata-katanya teratur seperti seorang
guru menjelaskan kepada murid.
Demagogi
politik. Pikiran saya melayang berputar pada Pilkada yang akan diselengarakan
di akhir tahun ini. Dari talk show, poster kandidat, iklan politik, rapat
parlemen, sidang mahkamah kostitusi, rapat partai semuanya membuat ruang
demokrasi terasa sumpek dan berisik. Para demagosis selama 24 jam mengendus dan
mengintai kekuasaan semata-mata demi diri sendiri dan demi kekuasaan itu
sendiri.
“Dalam
pengantar Perdjoeangan Kita, saya menulis,” dia potong lamunan saya, dia seakan
sudah tahu apa yang sedang saya pikirkan. “Soal perjuangan mengenai kehidupan
dan nasib rakyat kita yang bermilyunan tak dapat dan tak boleh diperlakukan
sebagai soal diri sendiri. Soal menunjukan jalan pada rakyat adalah semata-mata
soal perhitungan dan bukan soal kehendak diri kita sendiri,” nada suaranya
meninggi.
Saya
tahu, kamu akan menyebut politik kolektivisme sebagai jalan politik saya,
tetapi kolektivisme itu bukalah komunalisme yang menutup diri dari percakapan
argumentative dan memaksa kehendak dengan mengekploitasi symbol-simbol etnis,
suku, agama dan sentiment kedaerahan. Sorot matanya tajam menusuk seperti
memprovokasi tapi tidak dengan menunjukan jari tanganya. Dan dia melanjutkan
bahwa kaderisasi politik hari-hari tampaknya akan semakin berat, karena Pemilu
dan Pilkada tidak menghasilkan debat ideologis yang bermutu.
“Kalkulasi
dan analisis teoritis yang kuat adalah lebih berguna, ketimbang mobilisasi
tanpa visi!”. Bukankah, Katanya menurunkan suaranya. Intelektualitas, karakter
manusia merdeka, penghormatan kepada perbedaan, keutamaan kemanusiaan,
penyelengaraan keadilan social, semuanya menunjukan propil seorang pemimpin
kebudayaan, seorang pendidik.
“Tetapi,
kenapa di antara kalian membiarkan demokrasi Indonesia yang susah kami
perjuangkan terbengkalai?”
Bukankah
atas hasil perjuangan kami yang muda-muda dulu, instalasi politik menuju
politik modern telah lengkap kalian miliki. Kalian membiarkan mengalir di
dalamnya politik yang di kendalikan atas sirkulasi uang, keyakinan religus yang
cenderung absolut, dan praktik politik komunal yang di topang oleh alat-alat
pemaksa kebenaran bernama kekerasan.
Saya
bungkam seribu kata, dada terasa sesak seperti di hantam tinju Ip Man. Saya
lihat beberapa butir keringat di kening
sang peletak landasan politik luar negeri yang rasional bagi bangsa Indonesia,
keringatnya keluar berlahan-lahan lewat pori-pori, pantulan sinar kening yang
berkeringat memancarkan kebesaran jiwanya.
“Saya
mensyaratkan bahwa politik itu sebagai kegiatan kolektif, bukan komunal.
Kolektivitas mengajarkan orang berpikir, bekerja dan berpolitik dengan akal
sehat!” dia manatap saya dengan tatapan matanya yang tajam tetapi menenangkan. “Sehingga,
di dalamnya orang bekerja untuk membangun semacam argmentatieve samenleving,” Di
berhenti karena dia baru sadar saya pasti tidak bisa berbahasa Belanda.
“Argumentative society yang mungkin
dilakukan oleh orang-orang berjiwa merdeka. Itulah pentingya politik pedagogi,
suatu Pendidikan politik yang membuat orang akan matang berpolitik agar mampu
merawat demokrasi.”
“Saya
mendegar sekarang ada Gubernur yang dulunya pendidik, dan pintar berbicara
sambil lidah di julurkan membersihkan bibirnya, tapi melakukan praktek demagogi
bukan pedagogi, ada juga Gubernur yang berderet gelar akademik. Merekapun
serupa. Bahkan mantan koruptorpun tidak malu-malu menjadi kontestan untuk
mengigit kembali setiap jengkal kekayaan negeri ini”
“Dulu,
saya pernah berkata di Lake Success,” Dalam proses itu bangsa saya kehilangan
kemerdekaan, dan jatuh dari tempatnya yang megah. “Pun, sekarang saya lihat
tidak ubahnya, tidak banyak yang berubah. Rakyat tetap menderita dan tidak
dapat manfaat sebagaimana yang kami susun dahulu.” Kata sang prokrol bambu, sang
penasehat hukum bagi rakyat kecil.
Lama
dia terdiam, dan saya tidak berani menimpal setiap ucapannya, aura sang arsitek
di balik layar kemerdekaan ini begitu kuat. Tak lama berselang Bung kecil tamu
saya pun meyandarkan kepalanya ke kursi menatap langit-langit ruang tamu. Jari-jari
tangannya di gerak-gerakan memukul kursi. Dia seperti berpikir keras. Berlahan
dia tegakkan leher sambil menghembus napasnya lewat mulut.
“Dulu,”
dia mulai lagi dengan nada bercerita. Ketika umur belasan tahun bersama
teman-teman di sekolah AMS, kami berhimpun dalam suatu study club, Namanya Partriae Scientiae Que atau PSQ, artinya
untuk tanah air dan ilmu pengatahuan. Kami belajar dan berdiskusi bersama menghubungkan
ilmu pengetahuan dengan perkembangan masyarakat. Dari aktivitas ini kami
belajar merasakan kegiatan kerakyatan, kejelataan, dan kebangsaan sebagai suatu
persoalan yang harus dipertentangkan dengan ilmu pengetahuan. Kecerdasan dan
ketajaman pikiran membuat kami mengerti dan memiliki pengertian tentang
keadilan, kebenaran dan kejujuran.
“Kami
mulai dengan pemberantasan buta huruf,” lanjutnya. Dan, ketika saya meneruskan
pelajaran di Universitas Amsterdam. Hal pertama yang saya lakukan disana adalah
menghubungi pengurus Amsterdamche Sociaal
Democratische Studenten Club. “Sayalah orang Indonesia pertama yang mencari
dan menjalin hubungan dengan perkumpulan tersebut,”
“Dari
sinilah saya mempelajari teori sosialisme, saya melahap habis buku-buku
Hilferding dan Rosa Luxemburg tentang imprealisme. Juga saya tengelamkan diri
dalam polemik-polemik tentang teori sosialismenya Karl Kautsky, Otto Bauer,
Hendrik de Man dan lain-lain.”
“Di
Perhimpunan Indonesialah saya mulai meletakkan pondasi politik pedagogi,
pedagogi kemanusiaan universal yaitu Pendidikan kewarganegaraan untuk membantu
rakyat keluar dari kolonialisme, fasisme dan feodalisme”
Dalam sebuah esai saya
mengajurkan penting menuntut agar demi perjuangan, seseorang harus bebas dari
perasaan-perasaan yang menghalangi orang berpikir jujur sesuai dengan kebutuhan
perjuangan. Pikiran dan tindakan hendaknya “tidak dikuasai oleh unsur
psikologis, melainkan oleh hukum akal budi dan otak yang sanggup berpikir dan
bertindak menurut keadaan dan perubahan, itulah yang saya sebut sebagai politik
pedagogi”.
“Harus ada dialektik
yang memperhatikan perasaan, rasio perlu menimbang psikologi, dan logika
bertugas menerangi yang irasional. Kalau tidak, dialektik itu akan menelan
korban, dan, tragisnya, korban itu tak lain dari diri sendiri, dengan
meninggalkan sosial-demokrasi bagaikan yatim piatu”
Saya merasakan
semangat dan ketulusan yang luar biasa besar yang di pancarkan perunding ulung
ini, saya sedikit tahu dari buku-buku sejarah yang say abaca, setelah Sutan
Syahrir terpilih menjadi Ketua Umum Pendidikan Nasional Indonesia
(PNI), Ia lantas melakukan konsolidasi. Dengan metode pendidikan yang
mengarah pada kematangan politik dan jiwa kritis. Cabang-cabang PNI kemudian
banyak berdiri di berbagai pelosok tanah air dengan ribuan anggota. Ketika
Hatta pulang ke Indonesia pada awal 1933, Syahrir tulus menyerahkan jabatan
ketua umum PNI kepada tokoh seperjuangannya itu.
Bergabungnya
kembali Bung Hatta dan Syahrir di PNI mengawali era baru pemantapan perjuangan
ke arah Indonesia merdeka. Hatta, dengan dukungan politik Sutan Syahrir,
kemudian menyusun buku kecil yang diberi judul "Ke Arah Indonesia
Merdeka (KIM)". Buku kecil ini disebar ke semua anggota KIM. Untuk
mendalaminya, atas usulan Syahrir disusunlah 150 pertanyaan tertulis tentang
KIM. Tiap pengurus cabang diwajibkan mengajukan pertanyaan-pertanyaan itu
kepada para anggota dalam tiap kursus, dan harus dijawab dengan benar.
Pada 25 Februari
1934, Belanda menangkapi para pimpinan PNI di Bandung dan Jakarta. Termasuk Syahrir. Syahrir
dimasukkan penjara Cipinang. Pada 16 November 1934, Syahrir dijatuhi hukuman
buangan ke Boven Digoel Bersama Hatta.
Pada 1936, dia dipndahkan ke Banda Neira. Persekongkolan yang
dikonsolidasinya untuk memajukan politik dan pendidikan mendapat ganjaran
"terindah" dari penguasa colonial ketika itu. Manusia keranjingan
buku dan rajin menulis ini mulai menjalani hari-hari di Banda Neira, jauh dari
Jawa sebagai pusat pergerakan politik. dia sempat mengeluh dalam catatan
bertanggal 26 Februari 1936: "Sudah dua minggu aku di Banda Neira, tapi
rasanya aku sudah berabad-abad di sini. Rasanya waktu di sini tidak
berlalu."
Sang
pendobrak berada di "kubu sepi". Revolusi cepat "meriah",
tapi ia tetap bergumul dengan pemikiran-pemikiran tanpa pamer pekik dan
mengucap hal-hal dramatik. Di tulisan-tulisan, ia bertaruh atas nasib
Indonesia. Orang-orang mengingat pemikiran itu mewujud di dalam buku Perdjoeangan Kita. Dalam pergaulan kaum
pergerakan politik kebangsaan, ia merasa terasing gara-gara jarang mau pada
seruan politik massa. Ajakan untuk berpolitik dengan keilmuan dan percakapan
dianggap bertele-tele. Sekali lagi dia pun mengerti. Sampai-sampai Soedjatmoko
menjulukinya sebagai sosok dengan ideologi konfrontasi meski teralienasi.
Pada Maret 1942
Syahrir dibebaskan oleh Jepang. Ini tidak membuat semangatnya untuk merdeka
surut. Dia kemudian memutuskan untuk menyusun gerakan rakyat bawah tanah
melawan fasisme Jepang. Melalui radio gelap dia terus memberikan informasi
kepada Hatta dan jaringan-jaringan pejuang tentang perkembangan politik dunia.
Dengan cara ini dia ikut mengantarkan sekaligus meyakinkan para tokoh pejuang
lain. Untuk memproklamasikan kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945.
Usai proklamasi,
Sutan Syahrir memasuki kembali era perjuangan politik secara terbuka. Dalam
sidang pleno Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), Syahrir
terpilih sebagai ketua, yang hanya terlibat dalam penyelenggaraan negara
sebatas bidang legislatif. Sebagai ketua, dia ikut menetapkan garis-garis besar
haluan negara dalam Manifes Politik. Untuk melengkapinya, ia juga menyusun buku
kecil "Perdjoeangan Kita". Ketika di bentuk pemerintahan
kabinet parlementer yang dipimpin oleh seorang Perdana Menteri. Syahrir di
angkat sebagai Perdana Menteri.
“Pada
bagian pertama Perdjoeangan Kita” Dengan jernih saya menunjukkan bahwa
kerusuhan, pemecahan masyarakat ke dalam kelompok-kelompok, serta
agitasi kebencian kepada ras bangsa Jepang akan menimbulkan sebuah kekuatan
fasis baru dari dalam negeri sendiri.”
“Nah,
sekarang pemecahan itulah yang dilakukan, agitasi kebencian kepada suku, agama
dilakukan secara massif oleh demagosi.”
“Tetaplah
berjuang kawan!”
“Karena
hidup yang tidak dipertaruhkan tidak akan pernah dimenangkan.” Diapun berdiri
menjulurkan tangannya. Itulah kata terakhir yang diucapkannya. Saya berdiri
depan pintu dengan dada berdetak dan air mata yang berlinang. Bung kecil dengan
langkah lincah kakinya berlahan lenyap di tamaran cahaya lampu jalan yang
redup. Sang sosialis demokrat seperti tertelan oleh kegelapan malam, oleh kegelapan
masa depan politik demagogi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar