Belajar pada Sutan Syahrir, Bung Kecil yang Tersisihkan - Erwin Basrin

Breaking

Recent Posts

 photo Untitled-1_1.jpg

Sabtu, 11 Januari 2020

Belajar pada Sutan Syahrir, Bung Kecil yang Tersisihkan




Jam menunjukan 21.56, belumlah begitu malam. Hujan sejak sore baru saja berhenti yang membuat suasana diluar terasa sepi, tidak ada lalu Lalang kendaraan dan lalu Lalang tetangga yang biasa lewat hanya untuk membeli rokok di warung tetangga. Malam ini saya duduk sendirian di ruang tamu, membaca dan menikmati setiap hisapan asap rokok dan kopi yang mulai dingin. Dengan sarung yang di kenakan untuk sholat magrib masih membungkus kedua paha dan kaki, sesekali ujung kain di kibaskan untuk mengusir nyamuk yang menari-nari seperti manuver pesawat tempur menembus tebalnya awan, manuver nyamuk-nyamuk dengan suara mendengung riuh seperti melakukan gerakan menjepit yang dilakukan Jendral Kartage Hannibal pada pertempuran Cannae.


Tiba-tiba di teras terdengar suara orang sedang melepaskan sandalnya, mata saya arahkan keatas untuk memfokuskan telingga. Tak lama berselang ada ketukan tiga kali di pintu, ketukannya pelan beritme. Berlahan daun pintu terbuka yang memang tidak terkunci dan sengaja di buka agar asap rokok bisa keluar ruangan. Begitu pintu terbuka, tegaklah seorang laki-laki dengan perawakan kecil, tingginya tidak lebih dari satu setengah meter. Sorot matanya tajam dengan model rambut disisir ke belakang, dia mengenakan baju berwarna hijau dengan dua kantong di bagian atas dan dua kantong di bagian bawah dan mengenakan celana warna katun sudah pudar warna hitamnya. Dalam kesederhananya, sosok ini memancarkan intelegensi yang mengagumkan.

“Saya boleh masuk?” tanyanya sopan tapi tegas. Ekspresinya datar ketika melihat saya terpegun dengan tamu yang baru saja datang. Saya buru-buru berdiri menjulurkan tangan untuk bersalaman seraya memberi kode mempersilakan duduk. Tiba-tiba mulut saya tidak bisa mengucapkan satu katapun, saya dikunjungi Sutan Sjahrir. Dia adalah orang yang sedang saya pikirkan sejak dua hari lalu, sang eksponen utama garis ideologis perpaduan antara tradisi sosial demokrasi dan liberalisme. Tokoh gerakan buruh yang andal pada 1930-an, dan menaruh perhatian amat besar terhadap masalah pendidikan rakyat.

“Sengaja saya datang malam ini untuk bertemu Erwin,” katanya pelan namun berwibawa, saya mulai tenang. Saya dengar, lanjutnya. Kamu hampir 15 tahun lebih berkerja dan berjuang di garis massa dan pernah mencoba berjuang melalui jalan politik. Politik praktis yang sangat pragmatis? Membangun rumah literasi, sekolah alternative dan membangun sekolah untuk aktivis tapi tertatih-tatih. Kata-katanya seperti menjatuhan lawan dalam perundingan. Kata-katanya elegan sekaligus menusuk tajam, saya seperti di vonisnya bapikia kapalang aka, ba ulemu kepalang paham dalam mengerjan kerja-kerja politik.

“Iya,” Dan saya banyak balajar dari pola ini, baik di garis massa maupun di jalan politik electoral. Jawab saya malu. Dia pelan-pelan mulai mengeserkan posisi duduknya.

“Sebagai orang yang telah banyak melakukan pekerjaan aktivis seharusnya kamu tahu bahwa demokrasi kita akhir-akhir ini sedang terbengkalai, meskipun sesungguhya memiliki lengkap instalasi politik modern, seperti partai, pemilu, parlemen, mahkamah konstitusi tetapi sesungguhnya yang mengalir dalam instalasi itu adalah politik demagogi,” Intonasi dan ritme kata-katanya teratur seperti seorang guru menjelaskan kepada murid.

Demagogi politik. Pikiran saya melayang berputar pada Pilkada yang akan diselengarakan di akhir tahun ini. Dari talk show, poster kandidat, iklan politik, rapat parlemen, sidang mahkamah kostitusi, rapat partai semuanya membuat ruang demokrasi terasa sumpek dan berisik. Para demagosis selama 24 jam mengendus dan mengintai kekuasaan semata-mata demi diri sendiri dan demi kekuasaan itu sendiri.

“Dalam pengantar Perdjoeangan Kita, saya menulis,” dia potong lamunan saya, dia seakan sudah tahu apa yang sedang saya pikirkan. “Soal perjuangan mengenai kehidupan dan nasib rakyat kita yang bermilyunan tak dapat dan tak boleh diperlakukan sebagai soal diri sendiri. Soal menunjukan jalan pada rakyat adalah semata-mata soal perhitungan dan bukan soal kehendak diri kita sendiri,” nada suaranya meninggi.

Saya tahu, kamu akan menyebut politik kolektivisme sebagai jalan politik saya, tetapi kolektivisme itu bukalah komunalisme yang menutup diri dari percakapan argumentative dan memaksa kehendak dengan mengekploitasi symbol-simbol etnis, suku, agama dan sentiment kedaerahan. Sorot matanya tajam menusuk seperti memprovokasi tapi tidak dengan menunjukan jari tanganya. Dan dia melanjutkan bahwa kaderisasi politik hari-hari tampaknya akan semakin berat, karena Pemilu dan Pilkada tidak menghasilkan debat ideologis yang bermutu.

“Kalkulasi dan analisis teoritis yang kuat adalah lebih berguna, ketimbang mobilisasi tanpa visi!”. Bukankah, Katanya menurunkan suaranya. Intelektualitas, karakter manusia merdeka, penghormatan kepada perbedaan, keutamaan kemanusiaan, penyelengaraan keadilan social, semuanya menunjukan propil seorang pemimpin kebudayaan, seorang pendidik.

“Tetapi, kenapa di antara kalian membiarkan demokrasi Indonesia yang susah kami perjuangkan terbengkalai?”

Bukankah atas hasil perjuangan kami yang muda-muda dulu, instalasi politik menuju politik modern telah lengkap kalian miliki. Kalian membiarkan mengalir di dalamnya politik yang di kendalikan atas sirkulasi uang, keyakinan religus yang cenderung absolut, dan praktik politik komunal yang di topang oleh alat-alat pemaksa kebenaran bernama kekerasan.

Saya bungkam seribu kata, dada terasa sesak seperti di hantam tinju Ip Man. Saya lihat beberapa butir  keringat di kening sang peletak landasan politik luar negeri yang rasional bagi bangsa Indonesia, keringatnya keluar berlahan-lahan lewat pori-pori, pantulan sinar kening yang berkeringat memancarkan kebesaran jiwanya.

“Saya mensyaratkan bahwa politik itu sebagai kegiatan kolektif, bukan komunal. Kolektivitas mengajarkan orang berpikir, bekerja dan berpolitik dengan akal sehat!” dia manatap saya dengan tatapan matanya yang tajam tetapi menenangkan. “Sehingga, di dalamnya orang bekerja untuk membangun semacam argmentatieve samenleving, Di berhenti karena dia baru sadar saya pasti tidak bisa berbahasa Belanda.

Argumentative society yang mungkin dilakukan oleh orang-orang berjiwa merdeka. Itulah pentingya politik pedagogi, suatu Pendidikan politik yang membuat orang akan matang berpolitik agar mampu merawat demokrasi.”

“Saya mendegar sekarang ada Gubernur yang dulunya pendidik, dan pintar berbicara sambil lidah di julurkan membersihkan bibirnya, tapi melakukan praktek demagogi bukan pedagogi, ada juga Gubernur yang berderet gelar akademik. Merekapun serupa. Bahkan mantan koruptorpun tidak malu-malu menjadi kontestan untuk mengigit kembali setiap jengkal kekayaan negeri ini”

“Dulu, saya pernah berkata di Lake Success,” Dalam proses itu bangsa saya kehilangan kemerdekaan, dan jatuh dari tempatnya yang megah. “Pun, sekarang saya lihat tidak ubahnya, tidak banyak yang berubah. Rakyat tetap menderita dan tidak dapat manfaat sebagaimana yang kami susun dahulu.” Kata sang prokrol bambu, sang penasehat hukum bagi rakyat kecil.

Lama dia terdiam, dan saya tidak berani menimpal setiap ucapannya, aura sang arsitek di balik layar kemerdekaan ini begitu kuat. Tak lama berselang Bung kecil tamu saya pun meyandarkan kepalanya ke kursi menatap langit-langit ruang tamu. Jari-jari tangannya di gerak-gerakan memukul kursi. Dia seperti berpikir keras. Berlahan dia tegakkan leher sambil menghembus napasnya lewat mulut.

“Dulu,” dia mulai lagi dengan nada bercerita. Ketika umur belasan tahun bersama teman-teman di sekolah AMS, kami berhimpun dalam suatu study club, Namanya Partriae Scientiae Que atau PSQ, artinya untuk tanah air dan ilmu pengatahuan. Kami belajar dan berdiskusi bersama menghubungkan ilmu pengetahuan dengan perkembangan masyarakat. Dari aktivitas ini kami belajar merasakan kegiatan kerakyatan, kejelataan, dan kebangsaan sebagai suatu persoalan yang harus dipertentangkan dengan ilmu pengetahuan. Kecerdasan dan ketajaman pikiran membuat kami mengerti dan memiliki pengertian tentang keadilan, kebenaran dan kejujuran.

“Kami mulai dengan pemberantasan buta huruf,” lanjutnya. Dan, ketika saya meneruskan pelajaran di Universitas Amsterdam. Hal pertama yang saya lakukan disana adalah menghubungi pengurus Amsterdamche Sociaal Democratische Studenten Club. “Sayalah orang Indonesia pertama yang mencari dan menjalin hubungan dengan perkumpulan tersebut,”

“Dari sinilah saya mempelajari teori sosialisme, saya melahap habis buku-buku Hilferding dan Rosa Luxemburg tentang imprealisme. Juga saya tengelamkan diri dalam polemik-polemik tentang teori sosialismenya Karl Kautsky, Otto Bauer, Hendrik de Man dan lain-lain.”

“Di Perhimpunan Indonesialah saya mulai meletakkan pondasi politik pedagogi, pedagogi kemanusiaan universal yaitu Pendidikan kewarganegaraan untuk membantu rakyat keluar dari kolonialisme, fasisme dan feodalisme”

Dalam sebuah esai saya mengajurkan penting menuntut agar demi perjuangan, seseorang harus bebas dari perasaan-perasaan yang menghalangi orang berpikir jujur sesuai dengan kebutuhan perjuangan. Pikiran dan tindakan hendaknya “tidak dikuasai oleh unsur psikologis, melainkan oleh hukum akal budi dan otak yang sanggup berpikir dan bertindak menurut keadaan dan perubahan, itulah yang saya sebut sebagai politik pedagogi”.

“Harus ada dialektik yang memperhatikan perasaan, rasio perlu menimbang psikologi, dan logika bertugas menerangi yang irasional. Kalau tidak, dialektik itu akan menelan korban, dan, tragisnya, korban itu tak lain dari diri sendiri, dengan meninggalkan sosial-demokrasi bagaikan yatim piatu”

Saya merasakan semangat dan ketulusan yang luar biasa besar yang di pancarkan perunding ulung ini, saya sedikit tahu dari buku-buku sejarah yang say abaca, setelah Sutan Syahrir terpilih menjadi Ketua Umum Pendidikan Nasional Indonesia (PNI), Ia lantas melakukan konsolidasi. Dengan metode pendidikan yang mengarah pada kematangan politik dan jiwa kritis. Cabang-cabang PNI kemudian banyak berdiri di berbagai pelosok tanah air dengan ribuan anggota. Ketika Hatta pulang ke Indonesia pada awal 1933, Syahrir tulus menyerahkan jabatan ketua umum PNI kepada tokoh seperjuangannya itu.

Bergabungnya kembali Bung Hatta dan Syahrir di PNI mengawali era baru pemantapan perjuangan ke arah Indonesia merdeka. Hatta, dengan dukungan politik Sutan Syahrir, kemudian menyusun buku kecil yang diberi judul "Ke Arah Indonesia Merdeka (KIM)". Buku kecil ini disebar ke semua anggota KIM. Untuk mendalaminya, atas usulan Syahrir disusunlah 150 pertanyaan tertulis tentang KIM. Tiap pengurus cabang diwajibkan mengajukan pertanyaan-pertanyaan itu kepada para anggota dalam tiap kursus, dan harus dijawab dengan benar.

Pada 25 Februari 1934, Belanda menangkapi para pimpinan PNI di Bandung  dan Jakarta. Termasuk Syahrir. Syahrir dimasukkan penjara Cipinang. Pada 16 November 1934, Syahrir dijatuhi hukuman buangan ke Boven Digoel Bersama Hatta.

Pada 1936, dia dipndahkan ke Banda Neira. Persekongkolan yang dikonsolidasinya untuk memajukan politik dan pendidikan mendapat ganjaran "terindah" dari penguasa colonial ketika itu. Manusia keranjingan buku dan rajin menulis ini mulai menjalani hari-hari di Banda Neira, jauh dari Jawa sebagai pusat pergerakan politik. dia sempat mengeluh dalam catatan bertanggal 26 Februari 1936: "Sudah dua minggu aku di Banda Neira, tapi rasanya aku sudah berabad-abad di sini. Rasanya waktu di sini tidak berlalu."

Sang pendobrak berada di "kubu sepi". Revolusi cepat "meriah", tapi ia tetap bergumul dengan pemikiran-pemikiran tanpa pamer pekik dan mengucap hal-hal dramatik. Di tulisan-tulisan, ia bertaruh atas nasib Indonesia. Orang-orang mengingat pemikiran itu mewujud di dalam buku Perdjoeangan Kita. Dalam pergaulan kaum pergerakan politik kebangsaan, ia merasa terasing gara-gara jarang mau pada seruan politik massa. Ajakan untuk berpolitik dengan keilmuan dan percakapan dianggap bertele-tele. Sekali lagi dia pun mengerti. Sampai-sampai Soedjatmoko menjulukinya sebagai sosok dengan ideologi konfrontasi meski teralienasi.

Pada Maret 1942 Syahrir dibebaskan oleh Jepang. Ini tidak membuat semangatnya untuk merdeka surut. Dia kemudian memutuskan untuk menyusun gerakan rakyat bawah tanah melawan fasisme Jepang. Melalui radio gelap dia terus memberikan informasi kepada Hatta dan jaringan-jaringan pejuang tentang perkembangan politik dunia. Dengan cara ini dia ikut mengantarkan sekaligus meyakinkan para tokoh pejuang lain. Untuk memproklamasikan kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945.

Usai proklamasi, Sutan Syahrir memasuki kembali era perjuangan politik secara terbuka. Dalam sidang pleno Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), Syahrir terpilih sebagai ketua, yang hanya terlibat dalam penyelenggaraan negara sebatas bidang legislatif. Sebagai ketua, dia ikut menetapkan garis-garis besar haluan negara dalam Manifes Politik. Untuk melengkapinya, ia juga menyusun buku kecil "Perdjoeangan Kita". Ketika di bentuk pemerintahan kabinet parlementer yang dipimpin oleh seorang Perdana Menteri. Syahrir di angkat sebagai Perdana Menteri.

“Pada bagian pertama Perdjoeangan Kita” Dengan jernih saya menunjukkan bahwa kerusuhan, pemecahan masyarakat ke dalam kelompok-kelompok, serta agitasi kebencian kepada ras bangsa Jepang akan menimbulkan sebuah kekuatan fasis baru dari dalam negeri sendiri.”

“Nah, sekarang pemecahan itulah yang dilakukan, agitasi kebencian kepada suku, agama dilakukan secara massif oleh demagosi.”

“Tetaplah berjuang kawan!”

“Karena hidup yang tidak dipertaruhkan tidak akan pernah dimenangkan.” Diapun berdiri menjulurkan tangannya. Itulah kata terakhir yang diucapkannya. Saya berdiri depan pintu dengan dada berdetak dan air mata yang berlinang. Bung kecil dengan langkah lincah kakinya berlahan lenyap di tamaran cahaya lampu jalan yang redup. Sang sosialis demokrat seperti tertelan oleh kegelapan malam, oleh kegelapan masa depan politik demagogi.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar