Satu perkembangan monumental yang
terjadi pada akhir abad ke-20 adalah kemampuan teknologi dalam menciptakan
realitas virtual dan cyberspace,
sehingga merubah perkembangan wajah dunia dan kebudayaan kontemporer yang
dibentuk oleh riuh rendah citraan elektronik (televisi, video clip, game,
internet) serta sorak-sorai idiom-idiom pos-modernisme (pastiche, kitsch, parodi,
camp, skizofrenia).
Citraan-citraan ini membentuk realitas baru dunia, yang kita merupakan
bagiannya.
Dan, kita
menjadi model kehidupan nyata. Kecenderungan realitas citraan ini tampaknya
akan terus berlanjut, namun tentunya dengan dimensi yang berbeda. Perkembangan
teknologi pada abad ke-20 telah mencapai suatu masa di mana realitas semu yang
diwujudkan melalui pencitraan digital menjadi bagian dalam kehidupan
sehari-hari. Hiper-realitas
visual, merupakan
ungkapan di mana realitas visual telah dilampaui dengan manipulasi dari
pencitraan visual, sehingga seolah manusia melangkah dari dunia nyata menuju
dunia fantasi, dunia maya yang tampak nyata.
Kebudayaan
kontemporer memasuki kondisi di mana di dalamnya, tabir antara realitas dan
fantasi semakin tipis. Banyak hal yang sebelumnya dianggap fantasi kini menjadi
realitas, dan ini akan berpengaruh terhadap kebudayaan dan kehidupan manusia.
Sebuah objek
dapat mewakili realitas melalui penandanya (signifier),
yang mempunyai makna atau petanda (signified) tertentu. Dalam hal ini, realitas
adalah referensi dari penanda. Namun, bisa juga terjadi bahwa sebuah objek sama
sekali tidak mengacu pada satu referensi atau realitas tertentu, karena ia
sendiri adalah fantasi atau halusinasi yang telah menjadi realitas. Ini yang
dalam bahasa Baudrillard dikatakan hiper-realitas.
Menurut
Baudrillard era ‘hiper-realitas’
ditandai dengan
lenyapnya petanda, dan metafisika representasi; runtuhnya ideologi, dan
bangkrutnya realitas itu sendiri yang diambil alih oleh duplikasi dari dunia
nostalgia dan fantasi atau menjadi realitas pengganti realitas, pemujaan (fetish) obyek yang hilang bukan lagi obyek
representasi, tetapi ekstasi penyangkalan dan pemusnahan ritualnya sendiri.
Dunia
hiper-realias adalah dunia yang disarati oleh silih bergantinya reproduksi
obyek-obyek yang simulacrum, obyek-obyek yang murni
‘penampakan’, yang tercabut dari realitas sosial masa lalunya, atau sama sekali
tak mempunyai realitas sosial sebagai referensinya.
Di dalam
dunia seperti ini subyek sebagai konsumer digiring ke dalam ‘pengalaman ruang’
hiper realitas pengalaman silih bergantinya ‘penampakan’ di dalam ruang,
berbaur dan meleburnya realitas dengan fantasi, fiksi, halusinasi dan
nostalgia, sehingga perbedaan antara satu sama lainnya sulit ditemukan, dalam
hal ini hiper-realitas
dalam pandangan
Baudrillard lebih menekankan baik nostalgia maupun fiksi ilmiah (science fiction).
Orang yang
berada dalam era ini terjebak dalam kondisi schizofrenia,
mengingat mereka tidak perlu merefleksikan tanda, pesan, makna atau
norma-norma. Massa pun disuguhi reproduksi nilai-nilai penampakan akan tetapi
bukan reproduksi nilai-nilai ideologi atau mitologis. Massa adalah konsumer
yang menyerap nilai-nilai materil, nilai pencitraan/penampakan.
Kondisi
tersebut bisa dijumpai tatkala seorang berada di depan televisi, film tiga
dimensi, video, video game, virtual
reality lewat komputer.
Totalitas hidup seseorang (kegembiraan, kesedihan, keberanian, dsb.), secara
tak sadar, mereka telah terperangkap di dalam dunia hiper-realitas visual (media) dengan kesadaran, maka ia
akan menyadari bahwa apa yang ia saksikan tak lebih dari sebuah fantasi, fiksi
atau fatamorgana.
Menurut
Baudrillard dunia realitas dan dunia hiper-realitas
media/televisi/internet
sudah sulit dibedakan, kedua-duanya sama-sama nyata. Pendapat senada
dikemukakan oleh Arthur K & David Cook yang menyatakan bahwa televisi telah
berkembang menjadi realitas kedua.
Televisi,
bahkan lebih nyata dari dunia realitas sendiri, sebab tidak saja realitas yang
telah terserap total dalam citraaan televisi, tetapi juga karena televisi mampu
membuat pemirsanya tenggelam dalam citra simulacrum-nya. Di dalam televisi, realitas,
fantasi, halusinasi, illusi telah berbaur menjadi satu. Dengan demikian
pertanyaan yang menarik diajukan adalah masih adakah perbedaan antara realitas
dan dunia nyata televisi, bila penonton bisa tersedu-sedu di depan televisi,
sebagaimana ia dapat menitikkan air mata di dunia realitas?.
Yang perlu
dilakukan sekarang adalah penyadaran akan dunia hiper-realitas yang sedang kita jalani bersama ini. Kita tanpa sadar
tertarik pada pengaruh meleburnya realitas dengan fantasi, saat kita asyik
tenggelam dalam tontonan TV atau film bioskop, pada saat kita keluar dari
kondisi tersebut maka kita pun kembali tersadar akan dunia sesungguhnya. Dalam
hal ini, berlaku pula kesadaran akan peleburan realitas-fantasi, yakni saat
kita memposisikan diri untuk melihat dari satu sisi lain, sehingga akan dapat
mencermati dan memahami persoalan termasuk permasalahan ini.
Dalam bukunya
The Post-modern
Scene: Exremental Culture &
Hyper-Aesthetics, secara
lebih khusus Arthur K & David Cook menjelaskan bahwa TV telah menjadi dunia
nyata kebudayaan, yang menjadikan hiburan sebagai ideologinya, tontonan sebagai
tanda dan perlambang bentuk komoditi, lifestyle
advertising sebagai
psikologi populernya, serialitas murni dan kosong sebagai perekat menyatukan simulacrum para pemirsa, citra-citra elektronic
sebagai bentuk ikatan sosial, politik media elit sebagai formula ideologis,
jual beli tontonan yang diabstraksikan sebagai medan rasionalisasi pasar,
sinisme sebagai tanda kebudayaan yang utama dan penyebaran jaringan relasi
kekuasaan sebagai produk nyatanya.
Di era
digital, obyek tidak lagi sekadar perpanjangan tangan manusia seperti dikatakan
Mc. Luhan, tetapi kini merupakan ekspresi langsung dari diri manusia sendiri,
menjadi diri manusia-semacam cyborg.
Abad digital
ini tidak saja mengubah cara kita melihat realitas, tetapi juga menimbulkan
kesadaran baru tentang kemungkinan hidup di dalam perbauran antara masa lalu,
masa kini dan masa depan, antara subyek manusia dengan obyek, antara yang natural
dan yang artificial, di dalam simulasi elektronik, di
dalam halusinasi ruang.
Era digital
memungkinkan pencitraan dengan resolusi tinggi dari mulai still image sampai dengan gambar bergerak
(sinema) bahkan pencitraan tiga dimensi (3D). Banyak hal yang dahulu dianggap
tidak mungkin kini menjadi mungkin. Sekarang ini orang dengan mudah mengakses
internet untuk melihat gambar foto bintang film Brooke Shields telanjang tanpa
busana. Gambar begitu tajam dan sempurna, sehingga tidak perlu lagi rasanya untuk
membeli majalah Playboy atau majalah dewasa lainnya.
Ditengah
hiruk-pikuknya perkembangan teknologi digital tersebut, terdapat lima
perkembangan penting citraan elektronik yaitu, foto digital, spesial efek
gambar bergerak (animasi), game, virtual
reality, dan internet,
yang mana realitas visual telah dilampaui dengan manipulasi dari pencitraan
visual, sehingga seolah manusia melangkah dari dunia nyata menuju dunia
fantasi, dunia maya yang tampak nyata.
Hiper-realitas
merupakan kondisi di
mana keadaan seakan telah melampaui realitas, suatu keadaan dimana
fantasi/mimpi-mimpi berusaha untuk diwujudkan/ direpresentasikan sehingga batas
antara keduanya nyaris tiada.
Dalam hal ini
pencitraan yang direalisasikan melalui berbagai media semakin mantap medukung
eksistensi dunia maya. Teknologi digital terus berkembang sampai pada tingkat
kesempurnaan, sehingga pada akhirnya virtual
reality dapat terwujud,
membawa fantasi manusia menembus batas, menciptakan ruang-ruang 3D berikut
obyek- obyek yang terkait didalamnya.
Permasalahannya
tidak menjadi rumit apabila hanya sekedar perkembangan teknologi, tapi pada
kenyataannya, kita dihadapkan pada realita bahwa perkembangan teknologi ini
membawa dampak negatif pula. Pada saat teknologi memuaskan hasrat/nafsu
manusia, memberikan pesona ekstasi, maka nilai-nilai moral seakan rontok satu
per satu. Kejahatan, Kriminal, Pornografi, muncul dengan bebas dan dengan
format baru.
Pola sosial
dan individu ini kemudian menjadi bahan pemikiran dalam konteks perilaku
lingkungan. Seberapa besar kesadaran orang akan permasalahan dan keadaan
sekarang? Apakah memang ternyata manusia semakin larut dalam ekstasi hidup dan
siap-siap menghadapi kehancuran moral. Setidaknya manusia mempunyai kesadaran
dalam hal ini, dan dapat memandang dari sisi luar, sehingga dapat berjalan pada
jalan yang jelas, bukan jalan gamang dan tak menentu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar