ADA yang tak biasa di antara ratusan
stan pameran terbesar di kota ini. Ketika banyak stan menjajakan dagangan
berupa pakaian, kosmetik, dan lainnya, ada seorang perempuan menjual luka.
Penampilannya tak jauh beda
dengan penjaga stan lainnya. Seperti sales
promotion girl lainnya, dia terlihat seksi. Pakaiannya
keluaran kekinian. Umurnya masih dua puluh lima tahunan. Dengan senyum yang
selalu mengembang di bibir, pengunjung seakan tak melihat hal aneh padanya.
Namun stan yang dijaganya tak menawarkan apa
pun. Etalase dibiarkan kosong. Dekorasi juga tak terlalu menarik karena
didominasi warna hitam.
"Saya hanya menjual luka.
Luka yang tak pernah habis dimakan usia. Ribuan tahun yang akan datang, luka
itu tetap ada. Luka yang abadi."
Dia memberi penjelasan kepada
seorang pemuda. Mungkin mahasiswa. Pemuda itu tersenyum dan kemudian pergi
dengan perasaan aneh.
"Saya hanya menjual luka.
Luka yang tak pernah dimiliki orang lain. Siapa pun tak pernah merasakan,
termasuk Anda."
Kalimat itu dia tujukan kepada
lelaki tua dengan tongkat di tangan kanannya. Jalannya sudah tak segesit saat
masih muda. Bahkan tanda-tanda keperkasaan sama sekali tak
tampak. Laki-laki itu ditemani cucunya yang masih berumur sepuluh tahun. Hanya
melempar senyum kecut, kemudian berlalu. Menerobos lalu lalang pengunjung yang
riuh.
***
DAN, pernahkan kamu memahami yang aku
rasakan? Sejak kepergianmu menjelang senja, aku selalu menunggu. Kamu memang
tak meninggalkan janji, tapi aku yakin perjalanan bisa kita lanjutkan bersama.
Bukankah kita belum sampai ujung?
Sejak kepergianmu, aku tak
lagi naik gunung dengan alasan mencari jati diri. Aku hanya ingin kamu kembali
dan aku selalu menjual luka. Luka yang tiba-tiba datang menjelang senja,
menjelang malam, menjelang pagi, menjelang siang. Luka yang selalu datang kapan
saja karena kau tak meninggalkan penawar.
Aku selalu berpindah dari
satu kota ke kota lain dengan harapan kita bertemu. Aku ingin bercerita
kepadamu tentang apa-apa yang aku alami dan tak mungkin aku tulis di sini.
Terlalu banyak cerita yang tak bisa diketahui banyak orang yang harus kamu
ketahui. Ya, hanya kamu.
***
"BOLEHKAH saya membeli secuil
lukamu. Mungkin bisa membuat lega meski tak akan menyembuhkan. Kamu mau menjual
dengan harga berapa? Hanya secuil. Tidak banyak karena saya juga sedang
terluka."
Perempuan itu mendongak.
Mencari arah datangnya suara. Di hadapannya telah berdiri seorang pria. Tapi bukan kamu, Dan. Dia memakai
kacamata tipis dengan rambut dibiarkan memanjang tergerai. Kaus oblongnya agak
kumal. Aku suka dandanannya karena
mengingatkan tentang kamu, Dan. Tapi kamu tanpa kacamata.
"Kenapa kamu ingin membeli
luka saya sedangkan kamu sedang terluka?"
"Hanya secuil."
"Ini bukan masalah ukuran.
Ini tentang luka. Meski secuil tetap menyakitkan."
"Mungkin kita punya
kepekaan yang berbeda. Mungkin secuil tak akan menyakitkan bagi saya.
Bolehkah?"
Pria itu menatap penuh harap.
Perempuan itu, sang penjual luka, mencoba menahan diri. Dia tak ingin merasakan
seperti yang dia rasakan saat dengan Dan. Dia tak mau jatuh cinta lagi yang
bisa saja justru menambah luka, bukan menghilangkannya.
Cinta memang selalu memabukkan.
Cinta selalu memberi harapan. Dia merasakannya bersama Dan. Merasakan cinta
yang memabukkan. Cinta yang selalu bergelora dari detik ke detik, menit ke
menit. Tapi cinta pula yang kemudian menjadi prahara yang tak berkesudahan
sejak Dan pergi menjelang sore. Menjelang masa yang selalu memberi harapan.
"Bolehkah saya membeli
secuil?"
Perempuan itu tergagap. Dia
baru menyadari di depannya masih ada pria itu. Pria dengan dandanan biasa tapi
unik. Dan, aku tak mau jatuh cinta
kepadanya.
"Kenapa Anda tertarik
dengan luka saya?"
"Karena Anda menjualnya.
Saya belum pernah bertemu perempuan seperti Anda, yang menjual luka meski
mungkin tanpa pembeli bahkan dikatakan aneh. Apalagi di tempat seperti ini.
Anda tentu punya alasan mengapa menjual luka. Mungkin bukan luka biasa yang
dimiliki orang-orang di luaran sana. Tak mungkin Anda menjualnya kalau semua
orang pernah merasakan atau memiliki luka yang sama. Semoga analisis saya
salah."
Dan, aku tak ingin
menceritakan kepadanya.
"Anda mungkin akan menjadi
pembeli pertama luka saya."
"Berarti saya akan
mendapat bonus?"
Perempuan penjual luka
tersenyum. Pria calon pembeli luka tersenyum.
Dan, aku akhirnya bisa
menjual secuil luka itu. Kepada seorang pria yang entah datang dari mana,
kemudian menawar luka yang selalu tersimpan rapi meski selalu bergejolak dan
meronta. Dia seakan memaksa.
Setelah ini aku tak akan
pergi ke mana-mana. Aku ingin menetap di kota ini. Aku tak ingin lagi
menjajakan luka seperti yang sudah aku lakukan di beberapa kota. Aku tak mau
luka ini habis dan menggerus kenangan bersamamu. Biarkan hanya secuil yang
terjual dan bagian lain tetap tersimpan seperti sediakala.
***
SENJA hampir habis. Perempuan itu masih
duduk di kursi di pinggir jalan pusat keramaian. Matanya memandang lurus,
menatap lalu-lalang kendaraan yang tak putus-putus seperti iring-iringan rayap
pindah rumah. Menatap senyum bahagia yang menerobos dari balik semua mobil.
Di kursi lain di sebelah
kanannya ada sepasang muda-mudi sedang kasmaran. Dari tatapan mata mereka
keluar cinta. Dari tangan mereka yang saling bertautan keluar cinta. Dari jarak
duduk mereka yang tak tersekat keluar cinta.
Perempuan itu iri. Dia kemudian
melengos. Berdiri lalu melangkah ke sudut lain. Mencari pemandangan yang lebih
segar di taman yang tiba-tiba muncul seakan disulap sebelum gelaran akbar di
kota ini. Para petinggi beberapa negara datang dan terpuaskan karena mendapat
suguhan sesuai harapan.
Tapi mereka tak pernah tahu,
kota ini penuh luka. Luka yang muncul dari janji-janji manis para penguasa saat
masa kampanye. Bagi mereka, kesejahteraan adalah hal mutlak yang harus dimiliki
setiap orang. Maka, mereka menjaminnya kalau terpilih kelak.
Janji manis memang selalu
memabukkan. Tapi siapa peduli dengan koar-koar mereka? Tak ada mau tahu meski
kemudian mendatangi tempat pemungutan suara dan memilih satu di antara foto
yang ada di kertas suara saat di dalam bilik. Bukan, bukan karena hati nurani.
Tapi karena beberapa saat sebelumnya ada seseorang datang ke rumah dan
memberikan aplop. Entah apa isinya.
Ada luka yang selalu tersimpan
di kiri kanan jalanan yang selalu penuh sesak oleh kendaraan keluaran terbaru.
Ada luka yang terpampang di spanduk taman kota. Ada luka di pohon-pohon
penyejuk yang akarnya keropos.
Perempuan itu masih berjalan.
Menyusuri jalan yang khusus untuk pedestrian di depan gedung-gedung tua
peninggalan masa kolonial di Bengkulen. Pikirannya mengambang. Hendak terbang menembus
ruang-ruang seantero kota.
Langkahnya berbelok ke sebuah
kafe. Masih sepi. Dia duduk di dekat jendela. Memesan minuman dengan kadar
alkohol rendah. Waitress datang
mengantar pesanan. Dibukanya kaleng minuman dan diteguk isinya.
Di luar, berjejer bendera Merah
Putih di tiang depan masing-masing kafe. Berkibar.
Dan, aku kesepian. Bolehkah kujual luka kota ini? Sebab aku sudah janji tak akan kujual lukaku lagi.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar