Odot “Tembakau” Topos dalam Keniscayaan Royot Ujung Asap - Erwin Basrin

Breaking

Recent Posts

 photo Untitled-1_1.jpg

Kamis, 31 Oktober 2019

Odot “Tembakau” Topos dalam Keniscayaan Royot Ujung Asap




Pagi itu, diatas kursi kayu di teras rumah, mereka berdua duduk dengan diam. Apa yang dipikirkannya adalah rahasia antara mereka dengan sunyi. Masing-masing tak nampak sedih atau sebaliknya, namun getar yang timbul dan kepulan asap tembakau adalah proyeksi kepedihan. Setidaknya bagiku, yang duduk menatap mereka dengan tabah. Berkali-kali coba hadirkan bayang yang mereka sajikan di beranda sana, tentang eksistensi atau absurditas, tentang cinta sekaigus tradisi, tentang keturunan “royot” di ujung asap. Sepasang kakek nenek yang duduk menung, dengan pakaian lusuh tapi bersih. Sepasang seperti seperangkat bakul dan sirih, dan sepasang selpo dengan tembakau dan daun nipah. Mereka hadir hanya sekali, namun bayangnya acapkali menjadi wadah untuk merenungkan pekara banyak hal.

Pada pagi itu, ingat betul bagaimana mereka hadir dengan kebisuannya yang saling terkait. Gulungan tembakau berbalut daun nipah menjuntai di bibir sang kakek, pun sugih tembakau menyembul di bibir bagian atas sang nenek. Meskipun kebisuan yang dilumatkan gumpalan asap yang di hembus sang kakek. Tetapi ada suatu bahasa yang begitu tajam sampai pada sekitarnya. Terlebih bagi mereka yang lamat-lamat merenungi kesendirian dalam keduaan mereka. Misalnya tentang waktu atau kesadaran? Kesediaan untuk menerima pedih atau ketaksanggupan saling meninggalkan? Mereka tak melukiskan dengan bahasa-bahasa yang lantang, seperti Chairil melukiskan rasa akan menjumpai kematian pada sajaknya.
Pemandangan pagi itu, adalah suatu harmoni tentang mereka, tentang tradisi dan cinta. Bagaimana mereka menghadapi hal dengan berdiam dan tak ada keluhan. Cinta yang mereka hadirkan adalah keniscayaan tentang keabadian. Keabadian asap dan api, keabadian sirih, pinang dan tembakau. Dan keabadian gulungan daun nipah dengan tembakau.
Tentang kebersamaan walaupun mengerti, bahwa tak akan lama lagi ada waktu penghabisan. Pun jua, barangkali keadaan mereka yang hadir dan termenung adalah juga sebuah bentuk kesadaran akan sesuatu yang terarah kepada sebuah tindakan, tentang kesadaran akan penjemputan. Kesadaran akan pagi-pagi yang akan datang dan mungkin tak akan dilalui berdua lagi atau sama sekali.
Datang dan pergi seperti ketika ujung daun nipah pembungkus tembakau menyala, seperti ujung asap yang silap menembus dinding-dinding kayu. Atau lenyap seperti aroma rasa tembakau ketika bercampur dengan sirih dan pinang.
Sepasang kakek nenek ini adalah Hadijah dan Syamsudin, mereka ada sebuah wajah samar dari cinta yang tajam. Dengan diam, mereka melukiskan bagaimana cinta yang telah larut dalam waktu juga tak akan bisa hilang. Meskipun samar, wajah itu masih hadir. Pagi ini, mereka akan duduk di tempat yang sama. Masih ada di sana. Tak pernah pergi, tak pernah bersedih.
Kakek Syamsudin, menerawang matanya jauh seperti menembus dada Residen Humme sang penarik pajak kepala. Dan Nenek Hadijah pun bersenandung “kenidai berbunga, tebang hutan dan menebang hutan tua, kenidai masak, memanggang, kenidai gugur daun, menugal ladang”. Senandung sang Nenek gelagat lubangan tugal mata gawe akan bersemai pucuk-pucuk tembakau. Mata lading memancarkan kilau tajam menikam upuk mata tergantung di tiang pintu bukan perancang penggal Staatsblad.
Lembaran-lembaran pucuk daun yang menua tergulung susun rapi, bermuram durja menanti diujung hari menanti dirajah agar lekas lupa. Bidai-bidai kecil tertata rapi hanya mempu mengingat denting hujan deras meyambar. Lalu, bagaimana bisa lading memotong hari dan menjadikan gulungan rajah daun-daun pucuk. “Royot di ujung asap” tembakau Topos pun sudah di selpo sang Kakek.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar