Pagi
itu, diatas kursi kayu di teras rumah, mereka berdua duduk dengan diam. Apa
yang dipikirkannya adalah rahasia antara mereka dengan sunyi. Masing-masing tak
nampak sedih atau sebaliknya, namun getar yang timbul dan kepulan asap tembakau
adalah proyeksi kepedihan. Setidaknya bagiku, yang duduk menatap mereka dengan
tabah. Berkali-kali coba hadirkan bayang yang mereka sajikan di beranda sana,
tentang eksistensi atau absurditas, tentang cinta sekaigus tradisi, tentang keturunan
“royot” di ujung asap. Sepasang kakek nenek yang duduk menung, dengan pakaian
lusuh tapi bersih. Sepasang seperti seperangkat bakul dan sirih, dan sepasang selpo dengan tembakau dan daun nipah. Mereka
hadir hanya sekali, namun bayangnya acapkali menjadi wadah untuk merenungkan
pekara banyak hal.
Pada pagi itu, ingat betul bagaimana mereka hadir dengan
kebisuannya yang saling terkait. Gulungan tembakau berbalut daun nipah menjuntai
di bibir sang kakek, pun sugih tembakau menyembul di bibir bagian atas sang
nenek. Meskipun kebisuan yang dilumatkan gumpalan asap yang di hembus sang
kakek. Tetapi ada suatu bahasa yang begitu tajam sampai pada sekitarnya.
Terlebih bagi mereka yang lamat-lamat merenungi kesendirian dalam keduaan
mereka. Misalnya tentang waktu atau kesadaran? Kesediaan untuk menerima pedih
atau ketaksanggupan saling meninggalkan? Mereka tak melukiskan dengan
bahasa-bahasa yang lantang, seperti Chairil melukiskan rasa akan menjumpai
kematian pada sajaknya.
Pemandangan pagi itu, adalah suatu harmoni tentang mereka, tentang
tradisi dan cinta. Bagaimana mereka menghadapi hal dengan berdiam dan tak ada
keluhan. Cinta yang mereka hadirkan adalah keniscayaan tentang keabadian. Keabadian
asap dan api, keabadian sirih, pinang dan tembakau. Dan keabadian gulungan daun
nipah dengan tembakau.
Tentang kebersamaan walaupun mengerti, bahwa tak akan lama lagi
ada waktu penghabisan. Pun jua, barangkali keadaan mereka yang hadir dan
termenung adalah juga sebuah bentuk kesadaran akan sesuatu yang terarah kepada
sebuah tindakan, tentang kesadaran akan penjemputan. Kesadaran akan pagi-pagi
yang akan datang dan mungkin tak akan dilalui berdua lagi atau sama sekali.
Datang dan pergi seperti ketika ujung daun nipah pembungkus
tembakau menyala, seperti ujung asap yang silap menembus dinding-dinding kayu. Atau
lenyap seperti aroma rasa tembakau ketika bercampur dengan sirih dan pinang.
Sepasang kakek nenek ini adalah Hadijah dan Syamsudin, mereka ada sebuah wajah samar dari cinta yang tajam. Dengan
diam, mereka melukiskan bagaimana cinta yang telah larut dalam waktu juga tak
akan bisa hilang. Meskipun samar, wajah itu masih hadir. Pagi ini, mereka akan
duduk di tempat yang sama. Masih ada di sana. Tak pernah pergi, tak pernah
bersedih.
Kakek Syamsudin, menerawang matanya jauh seperti
menembus dada Residen Humme sang penarik pajak kepala. Dan Nenek Hadijah pun
bersenandung “kenidai berbunga, tebang hutan dan menebang hutan tua, kenidai masak,
memanggang, kenidai gugur daun, menugal ladang”. Senandung sang Nenek gelagat
lubangan tugal mata gawe akan
bersemai pucuk-pucuk tembakau. Mata lading memancarkan kilau tajam menikam upuk
mata tergantung di tiang pintu bukan perancang penggal Staatsblad.
Lembaran-lembaran pucuk daun yang menua tergulung
susun rapi, bermuram durja menanti diujung hari menanti dirajah agar lekas
lupa. Bidai-bidai kecil tertata rapi hanya mempu mengingat denting hujan deras
meyambar. Lalu, bagaimana bisa lading memotong hari dan menjadikan gulungan
rajah daun-daun pucuk. “Royot di ujung asap” tembakau Topos pun sudah di selpo sang Kakek.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar