Segenggam Daun Bayam - Erwin Basrin

Breaking

Recent Posts

 photo Untitled-1_1.jpg

Selasa, 14 Mei 2019

Segenggam Daun Bayam


Kakekku. Dulu ketika dia masih hidup, dia pernah muntah-muntah setelah makan siang, ia bertanya-tanya didalam hati, apa gerangan yang salah didalam dirinya sehingga di muntah. Selama bertahun-tahun beliau menempuh hidup secara teratur. Makan dan minumnya dalam jumlah yang diatur sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan biologis, tak ada makan dan minum demi memenuhi tuntutan gengsi maupun selera zaman. 
Ia berpendirian bahwa makan dan minum baginya Cuma sebagai sarana memuji kebesaran Allah. Cuma itu, tak ada fungsi lain. Dan ia selalu sehat. Porsi, jenis-jenis dan fungsi makan yang ia tetapkan sudah benar. Tak ada sesuatu pun yang salah. 

Tapi mengapa beliau sekarang muntah-muntah.? Ia tidak masuk angin, perutnya tidak sedang mulas, pokoknya badannya sehat, maka dipangilnya Saya yang masih duduk di kelas VI SD. Karena sayalah yang memasak sayuran tersebut, ia merasa bahwa dari Saya penjelasan bisa diperoleh.
“Dari mana kau beli sayuran yang dimasak tadi pagi.?” Tanya Kakek, dan kemudian saya menjawab apa adanya, dari tadi saya agak kesiangan ke Pasar Desa yang kami sebut dengan Peken, sehingga sayuran yang dijual di Pasar/Peken sudah habis, maklumlah Peken ini kecil dan baru pedagang pun terbatas, sebagian bahkan sudah pulang.
“Untung di galangan/pematang sawah tetangga kita ada daun bayam, maka saya memetiknya segenggam, dan itulah sayuran yang saya masak tadi pagi”, kata saya polos dan Kakekku pun mengangguk, ia sekarang pun tahu jawabannya, daun bayam itulah penyebabnya beliau muntah-muntah.
Selama ini beliau hanya makan makanan yang halal, apa yang dimakan diperoleh secara halal, tak ada barang gelap yang tak jelas status hukumnya. Ia tahu saya salah, tapi tak disalahkannya, kemudian beliau menasehati secara baik-baik agar perbuatan itu tidak diulangi lagi.
“Mengambil milik orang lain, apapun barangnya dilarang, itu perbuatan haram” katanya, sayapun berjanji didalam hati, tak akan melupakan pesan itu.
***
Orang-orang yang paham psikologi agama sepakat bahwa makanan dan minuman haram menjadi darah kotor, darah dalam tubuh itu mendorong tingkah laku kotor pula. Perbuatannya serba haram karena didorong oleh makanan-makanan yang haram juga.`
Rabiah Al-Adawiyah-sufi wanita yang agung itu dan perbuatannya pasti agung pula, pembawaannya lembut, sehingga itu membuat ia disayangi binatang-binatang di hutan. Mereka seperti bersahabat dengan sang sufi. Tapi ketika Hasan Basri-juga seorang sufi datang binatang-binatang itupun berlari ketakutan.
“Apa yang membuatmu disayangi binatang-binatang dan mengapa mereka memusuhi aku.” Tanya Hasan Basri
“Apa yang baru saja kau makan.?” Tanya Adawiyah
“Kaldu daging” kata Hasan Basri.
“Itulah sumbernya, kau makan daging mereka pembawaanmu menakutkan, kepadamu mereka takut seperti mereka takut kepada singa-singa,” jawab Adawiyah lagi. Dan Hasan Basripun tersipu-sipu
***
Kakek dan sang sufi tentu lain, mereka latihan hidup serba menuju kepada hal-hal yang baik, bersih dan halal, membuat mereka peka, barang-barang haram betapa pun sedikit jumlahnya selalu mengguncangkan. Mungkin perutnya diguncang kan dan isi didalamnya otomatis dimuntahkan. Mungkin pula lingkungan sekitar yang terguncang.
Kita tiba-tiba diingatkan bahwa harmoni dalam diri sendiri, dan segenap ketenangan jiwa kita sebagian ditentukan oleh ukuran halal-haramnya makanan kita, begitu juga harmoni kita dengan teman, tetangga, saudara, orang tua, suami-Isteri maupun dengan anak-anak.
Kita diingatkan bahwa tatanan hidup kita harus didasarkan ukuran halal-haram tadi. Kita selama ini mungkin lupa atau memang tidak peduli dengan ukuran itu. Halal-haram tidak menjadi kredo hidup, halal dimakan dan haram pun dihantam.
Hutan-hutan dibabat, isi perut bumi kita telan habis tanpa sisa, padahal kita tahu hutan dan isi bumi bukan nenek moyang kita sendiri yang punya. Aspal di jalanan yang mengepul kita sikat, sehingga jalanan umum becek dan berlubang-lubang kita biarkan. Semen bangunan gedung kita “telan” seperti menelan pil tablet, gedung bangunan umum roboh tak kita pikirkan, ratusan bahkan miliar-an dana yang kita susun dalam proposal dan kemudian kita klaim untuk pemberdayaan dan pendampingan masyarakat rentan kita sikat habis, masyarakat rentan tetap saya rentan. Urusan umum kita lupakan karena kelewat sibuk memikirkan diri sendiri.
“Mengapa kita tidak muntah.?”
Ini menarik, tapi saya khawatir itu bukan berita baik. Tidak muntah itu bukan tanda berkah. Ia mungkin tanda peringatan lembut agar kita sadar, kalau tidak, suatu saat bisa saja bukan Cuma muntah biasa, melainkan meledak. Kemudian dari perut ter-loncat dan keluar kayu-kayu, semen utuh, aspal yang masih mendidih.
Betapa menakutkan jika ini terjadi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar