Ruang Kelola Rakyat Yang Berkelindang Dengan Berjualan Hak - Erwin Basrin

Breaking

Recent Posts

 photo Untitled-1_1.jpg

Senin, 17 Juni 2019

Ruang Kelola Rakyat Yang Berkelindang Dengan Berjualan Hak




Tulisan ini mencoba merekam alur jejak dan perdebatan dalam memperjuangkan hak Rakyat, apa yag disebut dengan ruang kelola rakyat. Mari kita mulai diskusi ini dengan landasan hak. Hobbes barangkali paling di kenal sebagai orang yang memperkenalkan ke dalam teori politik Inggris, pandangan bahwa hukum berlandaskan pada kesepakatan yang berlaku umum di antara individu-individu yang sederajat, dan keduanya membentuk masyarakat sipil yang memberikan legitimasi bagi tindakan negara.
Sehingga semua hak positif berakar dalam teori hukum yang didasarkan kekuasaan, dan legitimasi dari kekuasaan ini bersumber pada kesepakatan tersebut. Tujuan kesepakatan adalah menjamin hak alami manusia untuk hidup, yang selalu terancam bila tidak ada kesepakatan. Jadi, bagi Hobbes, hak manusia dalam kondisi alamiah sepintas lalu bersifat deskriptif murni.

Dan, John Locke yang lebih dari Hobbes, dianggap sebagai pendiri pandangan liberal modern mengenai hak inidividu manusia. Ia memberi pandangan tentang hak alamiah di mana setiap orang. Karena hukum alam, berhak atas kehidupan, kebebebasan dan harta milik agar dapat bertahan hidup dan berkembang biak. Jadi semua pemilik tanah, sebagai ruang kelola berhak mendapat perlindungan bagi hak milik mereka masing-masing karena mereka sepakat mematuhi hukum.

Pertanyaannya adalah, jika hukum yang harus di taati karena berasal dari consensus umum tidak memenuhi rasa keadilan pada subjek hak. Ketika penyalahgunaan dilakukan secara kolektif dengan dalih hukum, tejadilah ‘perampasan sah’ (legal plunder). Hukum pun menjadi senjata bagi ketamakan. Selama ketamakan dan filantropi palsu tidak dapat dibuat disinsentif-nya, maka penyelewengan hukum niscaya terus terjadi. Dan negara menjadi sarana perampasan dalam kontek ini.

Mengacu pada Frederic Bastiat, bahwa hukum sebagai alat mengorganisasikan yang bertujuan untuk keadilan dan jika hukum lari dari tujuan maka dia tidak bias di sebut sebagai hukum. Perampasan legal atau terkesan legal atau sah sesungguhnya melanggar kaidah hokum. Karena itu, soal keadilanlah yang pertama-tama harus menyepakati terlebih dahulu oleh individu-individu dalam keadaan awal. Sekarang bagaimana dengan ruang kelola sebagai media untuk bertahan hidup dan berkembang biak? Reforma agraria sejak zamannya Solon sampai land reform-nya Lenin dan issue muktakhir tentang Perhutanan Sosial yang merelasikan ruang kelola dengan kawan hutan yang tentu saja menyangkut issue tata kelola ekologi yang berkelanjutan. Sebagai jalan menuju apa yang di sebut dengan keadilan hak? Dalam perjalanan panjangnya, hukum terkait dengan ruang kelola belumse penuhnya menjawab apa yang disebut oleh Rawls dengan istilah hak (right) dan adil (just).

Tidak ada keadilan dalam greater walfare yang diperoleh dengan adanya beberapa situasi individu-individu yang tidak beruntung. Untuk menciptakan kehidupan yang memuaskan, diperlukan adanya skema kerja sama dengan pembagian keuntungan di mana kerja sama tersebut melibatkan semua pihak termasuk mereka yang kurang beruntung. Justice as fairness tersebut didasari pada doktrin kontrak, yang memandang perjanjian terdiri dari dua bagian. Pertama, sebuah interpretasi atas keadaan saat ini dan permasalahan yang dipilih. Kedua sebuah pengaturan prinsip. Dalam hal ini para individu yang rasional memilih untuk mengikatkan diri pada situasi yang menghendaki terwujudnya suatu keadilan (justice as fairness) tersebut dan kemudian menegaskan dan membenarkan konsep keadilan (justice as fairness) yang dimaksud.

Hukum dalam kontek ruang kelola, ruang kelola rakyat. Hukum diselewengkan! meminjam Bastiat. Dan kekuasaan negara untuk mengatur menyeleweng bersamanya. Hukum, tidak hanya menyimpang dari tujuannya yang tepat, tapi dipakai untuk mengejar suatu tujuan yang bertentangan. Hukum bukannya mengurangi kejahatan, hukum sendiri bersalah atas kejahatan yang seharusnya ia atasinya. Apa kejahatan yang dilakukan oleh negara sehubungan dengan ruang kelola rakyat? Perampasan legal (legal plunder), dilakukan kepada individu-individu warga negara. Bahkan dalam kontek Indonesia, perampasan legal ini dilakukan kepada apa yang disebut dengan pembentuk terbesar negara bangsa, yaitu masyarakat local atau masyarakat adat atau rakyat umum dengan berbagai dalil utamanya untuk investasi dan pembangunan sarana publik.

Akhirnya, ketidakpastian dalam tata kelola menimbulkan dampak yang merusak pada rakyat yang secara turun-temurun bergantung kepada ruang kelola sebagai sumber penghidupan dan penompang kebudayaan. Ancaman-ancaman terhadap keamanan, penguasaan dan kepemilikan rakyat hak atas tanah terjadi secara terus-menerus tetapi, tak satu pun dari pihak yang memiliki kekuasaan dan kemampuan itu menghormati hak-hak tersebut, tetapi justru menyapu peluang-peluang terhadap ekonomi, kesejahteraan dan kepastian penguasaan. Hipotesis Kusnet tentang ini menyatakan bahwa hubungan antara kemiskinan dan pertumbuhan ekonomi menunjukkan hubungan negatif, sebaliknya hubungan pertumbuhan ekonomi dan tingkat kesenjangan ekonomi adalah positif. Kusnet menyimpulkan bahwa pola hubungan yang positif menjadi negatif, menunjukkan terjadi proses evolusi dari distribusi pendapatan dari masa transisi suatu ekonomi pedesaan (rural) ke suatu ekonomi perkotaan (urban) atau ekonomi industri.

Para pendukung hak rakyat bergerak dengan cara dan metode yang beragam dalam mendorong kesepakatan hak untuk sampai apa yang disebut dengan hak dan adil. Perjalanan ini belumlah menemukan format yang memungkinkan tujuan hak dan adil tercapai, akibat berkelindang dengan apa yang saya sebut dengan berjualan hak di masing-masing pemegang kepentingan. Klaim-klaim hakpun menguat tanpa landasan ideologi yang memadai, subjek hak menjadi kabur, objek hak menjadi buram dan landasan hakpun menjadi bias. Eksistensi hak terancam dan menjadi tidak pasti karena ketercerabutan yang disebabkan oleh negara. Padahal Pemulihan dan pengembalian hak kepemilikan dan penguasaan secara hukum atas ruang kelola secara teknis melalui skema-skema untuk rakyat tidaklah harus berakhir pada kepastian hak atas tanah dan ruang kelola, tetapi memastikan terjadinya peningkatan kesejahteraan, pengentasan kemiskinan, pengembangan ekonomi.

Dalam kontek reposisi hak, hak atas ruang kelola yang terampas bagaimana setiap pihak yang berusaha mengejar kepentingannya sendiri secara rasional di dalam posisi asali dan berada dalam keadaan “tanpa-pengetahuan” itu pada akhirnya dapat memilih prinsip-prinsip berkeadilan yang mampu menjamin kepentingan semua pihak? Dalam situasi tersebut, maka orang-orang atau para pihak harus dan akan memastikan bahwa prinsip keadilan yang akan dirumuskan bisa menjamin distribusi nilai-nilai primer yang fair. Karena, nilai-nilai primer adalah satu-satunya motivasi yang mendorong dan membimbing semua pihak dalam usahanya memilih prinsip-prinsip pertama keadilan. Hal ini berarti bahwa kesetaran (equal) atas kebebasan (liberty) disyaratkan pada prinsip yang pertama tidak dapat dibenarkan dengan atau dikompensasikan dengan keuntungan sosial dan ekonomi yang lebih besar. Distribusi pendapatan (income) dan kesejahteraan (wealth) serta hirarki otoritas harus konsisten dengan kedua kebebasan tersebut yaitu kesetaraan kewarganegaraan dan kesetaraan kesempatan. Dalam mereposisi hak dan kepastian ruang kelola kesukarelaan segenap anggota masyarakat untuk menerima dan mematuhi ketentuan-ketentuan sosial yang ada hanya dimungkinkan jika masyarakatnya tertata baik di mana keadilan sebagai fariness menjadi dasar bagi prinsip-prinsip pengaturan institusi-institusi yang ada di dalamnya.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar