Tulisan
ini mencoba merekam alur jejak dan perdebatan dalam memperjuangkan hak Rakyat,
apa yag disebut dengan ruang kelola rakyat. Mari kita mulai diskusi ini dengan
landasan hak. Hobbes barangkali paling di kenal sebagai orang yang memperkenalkan
ke dalam teori politik Inggris, pandangan bahwa hukum berlandaskan pada
kesepakatan yang berlaku umum di antara individu-individu yang sederajat, dan
keduanya membentuk masyarakat sipil yang memberikan legitimasi bagi tindakan
negara.
Sehingga semua hak positif berakar dalam teori hukum yang didasarkan
kekuasaan, dan legitimasi dari kekuasaan ini bersumber pada kesepakatan
tersebut. Tujuan kesepakatan adalah menjamin hak alami manusia untuk hidup,
yang selalu terancam bila tidak ada kesepakatan. Jadi, bagi Hobbes, hak manusia
dalam kondisi alamiah sepintas lalu bersifat deskriptif murni.
Dan,
John Locke yang lebih dari Hobbes, dianggap sebagai pendiri pandangan liberal
modern mengenai hak inidividu manusia. Ia memberi pandangan tentang hak alamiah
di mana setiap orang. Karena hukum alam, berhak atas kehidupan, kebebebasan dan
harta milik agar dapat bertahan hidup dan berkembang biak. Jadi semua pemilik
tanah, sebagai ruang kelola berhak mendapat perlindungan bagi hak milik mereka
masing-masing karena mereka sepakat mematuhi hukum.
Pertanyaannya
adalah, jika hukum yang harus di taati karena berasal dari consensus umum tidak
memenuhi rasa keadilan pada subjek hak. Ketika penyalahgunaan dilakukan secara
kolektif dengan dalih hukum, tejadilah ‘perampasan sah’ (legal plunder). Hukum pun menjadi senjata bagi ketamakan. Selama
ketamakan dan filantropi palsu tidak dapat dibuat disinsentif-nya, maka
penyelewengan hukum niscaya terus terjadi. Dan negara menjadi sarana perampasan
dalam kontek ini.
Mengacu
pada Frederic Bastiat, bahwa hukum sebagai alat mengorganisasikan yang
bertujuan untuk keadilan dan jika hukum lari dari tujuan maka dia tidak bias di
sebut sebagai hukum. Perampasan legal atau terkesan legal atau sah sesungguhnya
melanggar kaidah hokum. Karena itu, soal keadilanlah yang pertama-tama harus
menyepakati terlebih dahulu oleh individu-individu dalam keadaan awal. Sekarang
bagaimana dengan ruang kelola sebagai media untuk bertahan hidup dan berkembang
biak? Reforma agraria sejak zamannya Solon sampai land reform-nya Lenin dan
issue muktakhir tentang Perhutanan Sosial yang merelasikan ruang kelola dengan
kawan hutan yang tentu saja menyangkut issue tata kelola ekologi yang
berkelanjutan. Sebagai jalan menuju apa yang di sebut dengan keadilan hak? Dalam
perjalanan panjangnya, hukum terkait dengan ruang kelola belumse penuhnya
menjawab apa yang disebut oleh Rawls dengan istilah hak (right) dan adil (just).
Tidak ada keadilan dalam greater walfare yang
diperoleh dengan adanya beberapa situasi individu-individu yang tidak
beruntung. Untuk menciptakan kehidupan yang memuaskan, diperlukan adanya skema
kerja sama dengan pembagian keuntungan di mana kerja sama tersebut melibatkan
semua pihak termasuk mereka yang kurang beruntung. Justice as fairness tersebut didasari pada doktrin
kontrak, yang memandang perjanjian terdiri dari dua bagian. Pertama, sebuah
interpretasi atas keadaan saat ini dan permasalahan yang dipilih. Kedua sebuah
pengaturan prinsip. Dalam hal ini para individu yang rasional memilih untuk
mengikatkan diri pada situasi yang menghendaki terwujudnya suatu keadilan (justice as fairness) tersebut dan kemudian menegaskan
dan membenarkan konsep keadilan (justice as fairness)
yang dimaksud.
Hukum
dalam kontek ruang kelola, ruang kelola rakyat. Hukum diselewengkan! meminjam
Bastiat. Dan kekuasaan negara untuk mengatur menyeleweng bersamanya. Hukum,
tidak hanya menyimpang dari tujuannya yang tepat, tapi dipakai untuk mengejar
suatu tujuan yang bertentangan. Hukum bukannya mengurangi kejahatan, hukum
sendiri bersalah atas kejahatan yang seharusnya ia atasinya. Apa kejahatan yang
dilakukan oleh negara sehubungan dengan ruang kelola rakyat? Perampasan legal (legal plunder), dilakukan kepada
individu-individu warga negara. Bahkan dalam kontek Indonesia, perampasan legal
ini dilakukan kepada apa yang disebut dengan pembentuk terbesar negara bangsa,
yaitu masyarakat local atau masyarakat adat atau rakyat umum dengan berbagai
dalil utamanya untuk investasi dan pembangunan sarana publik.
Akhirnya, ketidakpastian dalam tata kelola menimbulkan dampak yang
merusak pada rakyat yang secara turun-temurun bergantung kepada ruang kelola
sebagai sumber penghidupan dan penompang kebudayaan. Ancaman-ancaman terhadap
keamanan, penguasaan dan kepemilikan rakyat hak atas tanah terjadi secara
terus-menerus tetapi, tak satu pun dari pihak yang memiliki kekuasaan dan
kemampuan itu menghormati hak-hak tersebut, tetapi justru menyapu
peluang-peluang terhadap ekonomi, kesejahteraan dan kepastian penguasaan.
Hipotesis Kusnet tentang ini menyatakan bahwa hubungan antara kemiskinan dan
pertumbuhan ekonomi menunjukkan hubungan negatif, sebaliknya hubungan
pertumbuhan ekonomi dan tingkat kesenjangan ekonomi adalah positif. Kusnet
menyimpulkan bahwa pola hubungan yang positif menjadi negatif, menunjukkan
terjadi proses evolusi dari distribusi pendapatan dari masa transisi suatu
ekonomi pedesaan (rural) ke suatu ekonomi perkotaan (urban) atau ekonomi
industri.
Para pendukung hak rakyat bergerak dengan cara dan metode yang
beragam dalam mendorong kesepakatan hak untuk sampai apa yang disebut dengan
hak dan adil. Perjalanan ini belumlah menemukan format yang memungkinkan tujuan
hak dan adil tercapai, akibat berkelindang dengan apa yang saya sebut dengan
berjualan hak di masing-masing pemegang kepentingan. Klaim-klaim hakpun menguat
tanpa landasan ideologi yang memadai, subjek hak menjadi kabur, objek hak
menjadi buram dan landasan hakpun menjadi bias. Eksistensi hak terancam dan
menjadi tidak pasti karena ketercerabutan yang disebabkan oleh negara. Padahal
Pemulihan dan pengembalian hak kepemilikan dan penguasaan secara hukum atas
ruang kelola secara teknis melalui skema-skema untuk rakyat tidaklah harus
berakhir pada kepastian hak atas tanah dan ruang kelola, tetapi memastikan
terjadinya peningkatan kesejahteraan, pengentasan kemiskinan, pengembangan
ekonomi.
Dalam
kontek reposisi hak, hak atas ruang kelola yang terampas bagaimana setiap pihak
yang berusaha mengejar kepentingannya sendiri secara rasional di dalam posisi
asali dan berada dalam keadaan “tanpa-pengetahuan” itu pada akhirnya dapat
memilih prinsip-prinsip berkeadilan yang mampu menjamin kepentingan semua
pihak? Dalam situasi tersebut, maka orang-orang atau para pihak harus dan akan
memastikan bahwa prinsip keadilan yang akan dirumuskan bisa menjamin distribusi
nilai-nilai primer yang fair. Karena, nilai-nilai primer adalah satu-satunya
motivasi yang mendorong dan membimbing semua pihak dalam usahanya memilih
prinsip-prinsip pertama keadilan. Hal ini berarti bahwa kesetaran (equal) atas kebebasan (liberty)
disyaratkan pada prinsip yang pertama tidak dapat dibenarkan dengan atau
dikompensasikan dengan keuntungan sosial dan ekonomi yang lebih besar.
Distribusi pendapatan (income) dan kesejahteraan (wealth) serta
hirarki otoritas harus konsisten dengan kedua kebebasan tersebut yaitu
kesetaraan kewarganegaraan dan kesetaraan kesempatan. Dalam mereposisi hak dan kepastian ruang
kelola kesukarelaan segenap anggota masyarakat untuk menerima dan mematuhi
ketentuan-ketentuan sosial yang ada hanya dimungkinkan jika masyarakatnya
tertata baik di mana keadilan sebagai fariness menjadi dasar bagi
prinsip-prinsip pengaturan institusi-institusi yang ada di dalamnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar