Definisi
Pendidikan Kritis
Pendidikan
kritis (critical pedagogy) adalah mazhab
pendidikan yang diyakini di dalamnya terdapat
muatan politik dalam semua aktivitasnya, aktivitas yang
dimasud bisa saja aktvitas pendidikan formal atau pendidikan non formal.
Diskursus pendidikan kritis sering diasosiasikan ‘aliran kiri’ karena substansi
muatannya berorientasi politik yang berlawanan dengan mazhab liberal dan
konservatif dan tidak merepresentasikan satu gagasan yang tunggal dan homogen
namun disatukan dengan tujuan memberdayakan kaum tertindas dan menstransdformasikan
ketidakadilan sosial
yang berbasis pada keadilan dan kesetaraan.
Tentu
saja basis keadilan dan kesetaraan tidaklah boleh ambigu, paradoksal dan tidak konsisten
antara apa yang dikonstruksi secara normatife
dengan kerja-kerja praktek. Metode yang dipakai dalam pendidikan kritis adalah
kodefikasi
dan dekodefikasi. Kodefikasi mengacu pada proses merepresentasikan fakta
yang diambil dari kehidupan peserta dan kemudian mempermasalahkannya (problematizing).
Sedangkan dekodefikasi adalah proses pembacaan atas fakta melalui dua metode
yaitu deskriptif dan analisis. Saat ini
kedua metode ini dianggap mampu mendorong proses di mana
manusia mempunyai critical awareness sehingga mampu melihat secara kritis
kontradiksi-kontradiksi sosial yang ada disekelilingnya
dan mampu mengubahnya ke
arah yang lebih baik. Kondisi inilah dalam bahasa
Paolo Friere sebagai upaya peningkatan kesadaran dari kesadaran magis dan naif
menuju kesadaran kritis. Meminjam
bahasa Habermas, hanya kesadaran kritis inilah kemudian menjadi ujung tombak
untuk menciptakan critical mass dan memperkuat public sphere.
Basis
Utama Teori Pendidikan Kritis
Saat
ini ada tiga rujukan basis teori pendidikan, pertama Mazhab Frankfurt yang sarat dengan pengaruh berbagai bidang
keilmuan seperti filsafat, sosiologi, politik, hukum dan pendidikan, mazhab ini
tidak mempresentasikan gagasan yang tunggal tapi plural yang berasal dari tradisi
Kant, Hegel, Freud dan khususnya Marx yang
perhatian utamanya adalah membangun sebuah teori rasional dan
menghasilkan emansipasi manusia dalam masyarakat industri. Kedua,
teori kritis Antonio Gramsci, konsep hegemoni Gramsci adalah dasar utama
rujukan pendidikan kritis, sehingga dipakai sebagai alat analisis untuk
memahami mengapa kelompok-kelompok subordinat secara sukarela mau berasimilasi
ke dalam pandangan kelompok dominan, yang seterusnya membuat kelompok dominan
dengan mudah melanggengkan dominasi dan kekuasaannnya.
Proses
hegemoni ini melibatkan penetrasi dan sosialisasi secara massif terhadap nilai,
keyakinan, sikap dan moralitas yang dimediasi oleh praktek-praktek sosial,
politik dan ideologi. Ketika prinsip ini diinternalisasikan
oleh masyarakat maka dia akan menjadi common sense, mendegradasi
fakultas kritis masyarakat dan memperkuat status quo. Dan yang ketiga teori pendidikan Paulo Friere
yang berporos pada keberpihakan kepada kaum tertindas (tertindas oleh rezim,
struktur sosial
yang tidak adil dan diskriminatif, gender, ras dan lain-lain).
Falsafah
pendidikan Friere bertumpu pada keyakinan bahwa manusia secara fitrah
mempunyai kapasitas untuk mengubah nasibnya. Hal ini tentu saja berangkat dari
konsep
tentang manusia, di
mana manusia dituntut untuk selalu berusaha menjadi
subyek
yang mampu mengubah realita eksistensinya (ontological vocation).
Sehingga pendidikan kritis menurut Friere adalah kondisi kesadaran manusia yang mampu
berpikir dalam memahami eksistensinya secara komperhensif,
menghindar
pemahaman yang simplisistik akan teks dan realitas dan mampu
memahami struktur terdalam dari realita dimana mereka melakukan dekodefikasi,
problemasisasi dan transformasi.
Pendidikan
sebagai Tindakan Politik
Pendidikan
tidak bisa dipisahkan dari konteks sosial
yang lebih luas di
mana ia berada, bahkan disadari atau tidak, sebenarnya
pendidikan merupakan ajang pertarungan antar berbagai ideologi
yang membentuk realita sosial. Maka setiap
dimensi sekolah dan praktek pendidikan secara politis adalah ruang yang
diperebutkan. Maka pendidikan harus merebut peran dalam memproduksi dan
menciptakan kehidupan publik, bukan malah kemudian
beradaptasi dengan realitas sosial.
Pernyataan
di atas berarti semua aktivitas pendidikan itu pada dasarnya bersifat politis
dan punya konsekuensi
dan kualitas politik. Cara guru mengajar, pilihan pengetahuan yang hendak
diajarkan, dan model relasi yang akan dibangun, semuanya bersipat politis,
karena mereka mempunyai kontribusi terhadap pembebasan atau domestikasi peserta
didik, dengan demikian maka si guru haruslah konsisten dengan
pilihan politiknya. Adalah absurd jika guru yang memproklamirkan dan
mengajarkan demokrasi dan keadilan tapi pada saat yang sama mengebiri suara
peserta didik baik di
dalam kelas maupun di ruang lain. Cukup
sulit diterima akal sehat jika guru/dosen mengumandangkan nilai-nilai
demokrasi, persamaan, egalitarian, tapi pada saat yang
sama mengembangkan sebuah hubungan yang otoriter, sok hebat, feodalisme,
kondisi ini bisa disebut dengan istilah keperibadian terbelah (split personality).
Pendidikan
sebagai tindakan politik juga berarti adalah proses pembelajaran di kelas
tidaklah semata-mata akuisisi dan transmisi pengetahuan, tapi merupakan proses
pengembangan subyek
yang kritis,
di mana
pengetahuan dan kekuasaan yang ada dipertanyakan secara terus menerus. Proses
pembelajaran tidaklah dimaknai sebagai proses memiliki dan mengakumulasi
pengetahuan, tetapi lebih sebagai proses untuk memahami, mengkritisi, memproduksi
dan mengunakan pengetahuan sebagai sebuah alat untuk mengubah realita. Hanya
dalam perspektif inilah proses pembelajaran akan menghasilkan implikasi
politik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar