Memahami Pendidikan Kritis - Erwin Basrin

Breaking

Recent Posts

 photo Untitled-1_1.jpg

Sabtu, 25 Agustus 2018

Memahami Pendidikan Kritis




Definisi Pendidikan Kritis

Pendidikan kritis (critical pedagogy) adalah mazhab pendidikan yang diyakini di dalamnya terdapat muatan politik dalam semua aktivitasnya, aktivitas yang dimasud bisa saja aktvitas pendidikan formal atau pendidikan non formal.
Diskursus pendidikan kritis sering diasosiasikan ‘aliran kiri’ karena substansi muatannya berorientasi politik yang berlawanan dengan mazhab liberal dan konservatif dan tidak merepresentasikan satu gagasan yang tunggal dan homogen namun disatukan dengan tujuan memberdayakan kaum tertindas dan menstransdformasikan ketidakadilan sosial yang berbasis pada keadilan dan kesetaraan. 

Tentu saja basis keadilan dan kesetaraan tidaklah boleh ambigu, paradoksal dan tidak konsisten antara apa yang dikonstruksi secara normatife dengan kerja-kerja praktek. Metode yang dipakai dalam pendidikan kritis adalah kodefikasi dan dekodefikasi. Kodefikasi mengacu pada proses merepresentasikan fakta yang diambil dari kehidupan peserta dan kemudian mempermasalahkannya (problematizing). Sedangkan dekodefikasi adalah proses pembacaan atas fakta melalui dua metode yaitu deskriptif dan analisis.  Saat ini kedua metode ini dianggap mampu mendorong proses di mana manusia mempunyai critical awareness sehingga mampu melihat secara kritis kontradiksi-kontradiksi sosial yang ada disekelilingnya dan mampu mengubahnya ke arah yang lebih baik. Kondisi inilah dalam bahasa Paolo Friere sebagai upaya peningkatan kesadaran dari kesadaran magis dan naif menuju kesadaran kritis. Meminjam bahasa Habermas, hanya kesadaran kritis inilah kemudian menjadi ujung tombak untuk menciptakan critical mass dan memperkuat public sphere.

Basis Utama Teori Pendidikan Kritis

Saat ini ada tiga rujukan basis teori pendidikan, pertama Mazhab Frankfurt yang sarat dengan pengaruh berbagai bidang keilmuan seperti filsafat, sosiologi, politik, hukum dan pendidikan, mazhab ini tidak mempresentasikan gagasan yang tunggal tapi plural yang berasal dari tradisi Kant, Hegel, Freud dan khususnya Marx yang perhatian utamanya adalah membangun sebuah teori rasional dan menghasilkan emansipasi manusia dalam masyarakat industri. Kedua, teori kritis Antonio Gramsci, konsep hegemoni Gramsci adalah dasar utama rujukan pendidikan kritis, sehingga dipakai sebagai alat analisis untuk memahami mengapa kelompok-kelompok subordinat secara sukarela mau berasimilasi ke dalam pandangan kelompok dominan, yang seterusnya membuat kelompok dominan dengan mudah melanggengkan dominasi dan kekuasaannnya.

Proses hegemoni ini melibatkan penetrasi dan sosialisasi secara massif terhadap nilai, keyakinan, sikap dan moralitas yang dimediasi oleh praktek-praktek sosial, politik dan ideologi. Ketika prinsip ini diinternalisasikan oleh masyarakat maka dia akan menjadi common sense, mendegradasi fakultas kritis masyarakat dan memperkuat status quo. Dan yang ketiga teori pendidikan Paulo Friere yang berporos pada keberpihakan kepada kaum tertindas (tertindas oleh rezim, struktur sosial yang tidak adil dan diskriminatif, gender, ras dan lain-lain).

Falsafah pendidikan Friere bertumpu pada keyakinan bahwa manusia secara fitrah mempunyai kapasitas untuk mengubah nasibnya. Hal ini tentu saja berangkat dari konsep tentang manusia, di mana manusia dituntut untuk selalu berusaha menjadi subyek yang mampu mengubah realita eksistensinya (ontological vocation). Sehingga pendidikan kritis menurut Friere adalah kondisi kesadaran manusia yang mampu berpikir dalam memahami eksistensinya secara komperhensif, menghindar pemahaman yang simplisistik akan teks dan realitas dan mampu memahami struktur terdalam dari realita dimana mereka melakukan dekodefikasi, problemasisasi dan transformasi.

Pendidikan sebagai Tindakan Politik

Pendidikan tidak bisa dipisahkan dari konteks sosial yang lebih luas di mana ia berada, bahkan disadari atau tidak, sebenarnya pendidikan merupakan ajang pertarungan antar berbagai ideologi yang membentuk realita sosial. Maka setiap dimensi sekolah dan praktek pendidikan secara politis adalah ruang yang diperebutkan. Maka pendidikan harus merebut peran dalam memproduksi dan menciptakan kehidupan publik, bukan malah kemudian beradaptasi dengan realitas sosial.

Pernyataan di atas berarti semua aktivitas pendidikan itu pada dasarnya bersifat politis dan punya konsekuensi dan kualitas politik. Cara guru mengajar, pilihan pengetahuan yang hendak diajarkan, dan model relasi yang akan dibangun, semuanya bersipat politis, karena mereka mempunyai kontribusi terhadap pembebasan atau domestikasi peserta didik, dengan demikian maka si guru haruslah konsisten dengan pilihan politiknya. Adalah absurd jika guru yang memproklamirkan dan mengajarkan demokrasi dan keadilan tapi pada saat yang sama mengebiri suara peserta didik baik di dalam kelas maupun di ruang lain. Cukup sulit diterima akal sehat jika guru/dosen mengumandangkan nilai-nilai demokrasi, persamaan, egalitarian, tapi pada saat yang sama mengembangkan sebuah hubungan yang otoriter, sok hebat, feodalisme, kondisi ini bisa disebut dengan istilah keperibadian terbelah (split personality).

Pendidikan sebagai tindakan politik juga berarti adalah proses pembelajaran di kelas tidaklah semata-mata akuisisi dan transmisi pengetahuan, tapi merupakan proses pengembangan subyek yang kritis, di mana pengetahuan dan kekuasaan yang ada dipertanyakan secara terus menerus. Proses pembelajaran tidaklah dimaknai sebagai proses memiliki dan mengakumulasi pengetahuan, tetapi lebih sebagai proses untuk memahami, mengkritisi, memproduksi dan mengunakan pengetahuan sebagai sebuah alat untuk mengubah realita. Hanya dalam perspektif inilah proses pembelajaran akan menghasilkan implikasi politik.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar