Batu Belarik, Bongkah Megalitikum yang mulai Tergerus - Erwin Basrin

Breaking

Recent Posts

 photo Untitled-1_1.jpg

Kamis, 02 Agustus 2018

Batu Belarik, Bongkah Megalitikum yang mulai Tergerus





Perkampungan ini bernama Buteu Belarik di Melayukan menjadi Batu Belarik. Secara administratif letaknya di Kabupaten Kepahiang Propinsi Bengkulu. Secara geneologis kesatuan masyarakatnya terikat pada suatu garis keturunan yang sama dari suatu leluhur baik secara langsung karena hubungan darah (keturunan) maupun secara tidak langsung karena pertalian perkawinan atau pertalian adat dalam dan berada di wilayah adat Marga Bermani Ilir. Sebuah Marga pecahan dari Marga Bermani dari Kabupaten Lebong. Bermani berasal dari kata Beram Manis atau Tape Manis,
presentasi dari pekerjaan warganya ketika melaksanakan ritual penebangan kayu Benuang Sakti. Sehingga, Bermani dilembagakan dan menjadi Marga Bermani,  kesatuan kekeluargaan patrilinial keturunan Bikau Bermano. Pemimpin pertama Marga Bermani. Setelah masa kepemimpinan Bikau Bermano, kepemimpinannya digantikan oleh yang bergelar Tahta Tungga Terguling Sakti. Anak tertua Bikau Bermano dan tetap berkedudukan di Kutai Rukem.

Tahta Terguling Sakti mempunyai sembilan orang anak yang semuanyanya laki-laki. Anak yang bernama Gajah Rimbunlah yang pertama kali mendirikan Klan Marga Bermani Ilir, dia memulainya dengan mendirikan perkampungan atau Kutai di Temandei atau Cinta Mandi. Cinta Mandi adalah suatu tempat dalam mitologi dipercayai secara tempat pemandian Putri Gading Cempaka. Dari Desa inilah berkembang menjadi beberapa Kutei, Dusun atau Desa, tiga di antaranya di awali dengan kata Batu, yaitu Batu Bandung, Batu Kalung dan Batu Belarik.

Nama Batu Belarik bermula dari deretan situs batu megalitikum yang terletak di lokasi yang dipercayai sebagai cikal bakal desa. Saat ini di fungsikan sebagai areal persawahan warga desa. Situs tetralit ini membentuk formasi segi empat membunjur dari arah barat ke timur. Jika dilihat dari letak susunannya, batu-batu tersebut berhubungan dengan hal-hal yang berkaitan dengan kegiatan masyarakat sebelum adanya pengaruh Hindu-Buddha dan Islam. Berkaitan dengan kegiatan penguburan, pemujaan, dan kegiatan upacara lainnya juga aktivitas sehari-hari. Bagi masyarakat Bermani Ilir, batu-batu ini dipercayai sebagai jelmaan para wanita yang di kutuk menjadi batu oleh Si Pahit Lidah. Di ceritakan, ketika itu Si Pahit Lidah sedang melewati perkampungan, dia menegur ibu-ibu yang sedang mencari kutu. Karena tidak mendapat jawaban, ibu-ibu ini di kutuk menjadi batu.

Para tetua yang ada di desa yang memanjang dari Utara ke Selatan yang tinggal dan menepati rumah-rumah tinggi berbahan kayu dari kelas terbaik ini mempercayai bahwa desa mereka didirikan oleh Muning Raden, anak keturunan dari Gajah Rimbun. Mereka percaya asal mula mereka berasal dari Lebong keturunan dari Bikau Bermano. Dengan kondisi perkampungan berada di puncak perbukitan yang membentuk system pertahanan membuat warga desanya tetap homogen bersuku dan berbahasa Rejang dengan dialeg Kepahiang dengan pola komunikasi cenderung mendatar dan berterus terang, menghindar pola komunikasi melereng, komunikasi berkias dan bersayap.

Sebagai masyarakat agraris, masyarakatnya adalah petani dengan komoditi utamanya adalah kopi robusta (coffe canephora) dan lada (piper ningrum) yang di tanami di tanah vulkanik yang subur berasal dari endapan dan semburan kawah Bukit Kaba. Kebun-kebun terletak melingkar di luar desa dan dimiliki secara individu oleh warganya yang di dapati dari proses jual beli, sebagian adalah warisan keluarga. Dua tanaman utama inilah yang menjadi penompang hidup warganya. Akibatnya, kondisi ekonomi masyarakat tergantung dengan fluktuasi produksi dan harga dari dua komoditi perkebunan ini. Pisak, adalah istilah untuk menyebutkan kondisi sulit secara psikologis berbaur dengan ekonomi. Dan masyarakatnya cenderung konsumtif ketika harga komoditi di terima secara positif oleh pasar. Pagi menjelang, semua warga sibuk di dan ke kebun masing-masing dan menjelang Magrib mereka baru pulang, untuk musim-musim yang sangat sibuk, banyak dari mereka yang sengaja menginap di kebun. Mereka adalah pekerja tangguh untuk urusan pertanian.  

Desa Batu Belarik adalah desa adminsitratif, berada di wilayah Kecamatan Bermani Ilir Kabupatan Kepahiang, di pimpin oleh kepala Desa yang sekaligus dirangkapkan kewenangannya sebagai Kepala Adat. Cik Nanang adalah salah seorang warga dan di tokoh yang lahir dan besar di Batu Belarik. Imam Masjid desa yang flamboyan ini mengakui sebagai anak keturunan dari Muning Raden, pimpinan dan pendiri desa. Pak Imam yang pengemar Rhoma Irama, penyuka batu akik, suka bernyanyi dan puitis ini menjelaskan bahwa Kepala Desa yang ada di Batu Belarik juga di mandatkan sebagai penjaga dan pemelihara Kutei Nated. Penjaga teroterial wilayah kekuasaanya sekaligus pemelihara sistem, aturan dan kearifan yang di percayai warganya selain mengurusi hal-hal teknis sehubungan dengan tugas adminsitratif. Masyarakatnya adalah penganut agama Islam yang taat, dan ini dibuktikan dengan dua masjid terdapat di tengah-tengah desa, maka ketika waktu sholat ramailah suara azan berkumandang.

Pun, ketika kurban di hari Idul Adha, daging kurban dibagi rata. Banyak sama berbagi, sedikit sama-sama dapat, itulah aturan yang disepakati sejak lama untuk melestarikan pola komunalisme warisan dari sistem adat mereka. Begitu juga ketika ada keluarga yang melakukan hajatan, semua bergotong royong. Memikul beban secara bersama dengan porsi yang berbeda, ibu-ibu biasanya berbagi tanggung jawab dengan bapak-bapak sehubungan dengan urusan logistik dan dapur, berat dan ringan.

Pesta-pesta perkawinan jujur selalu di awali dengan prosesi tertib adat, organ tunggal selalu di awali dengan acara zikir. Zikir dilakukan oleh dua zap yang saling berhadapan. Mereka bernyanyi dengan melafaskan puji-pujian kepada Nabi Muhammad, dan satu zap lainnya menari sambil duduk mirip dengan tari Saman Aceh. Zikir ini seperti Whirling Dervishes, tarian sufi yang titik fokusnya adalah mendengar. Menurut Cik Nanang, tarian ini juga dianggap sebagai bentuk sebuah ekspresi dari rasa cinta, kasih, dan sayang yang maha tinggi dari seorang hamba kepada pencipta, dimulai dengan telingga yang mendengar, mata yang melihat dan gerak tubuh yang luwes dan dilakukan secara bersama-sama. Ini perpaduan antara agama dan sistem komunalisme yang kami miliki, jelas Cik Nanang yang tahan berdikusi dalam waktu yang lama tentang tahapan menuju makrifat mengambarkan nilai-nilai yang terkandung dalam Zikir.

Karena itu, kata Cik Nanang menirukan intonasi Zikir, kami memerlukan tangan Tuhan, yang merupakan Pembuat dan Pencipta setiap kemustahilan. Yang bukan-wujud pun, meski lebih mati dibandingkan yang mati harus mendengarkan ketika Dia menitahkannya mewujud. Bacalah ayat, ”Setiap waktu Dia dalam kesibukan”: janganlah menganggap-Nya menganggur dan lamban. Setidak-tidaknya, kegiatan-Nya tiap hari, mengirimkan tiga pasukan: Sepasukan sulbi para ayah menuju para ibu, supaya benih dapat berkembang di dalam kandungan; Sepasukan dari kandungan menuju Bumi, agar dunia terisi dengan lelaki dan perempuan; Sepasukan dari Bumi menuju kawasan di balik kematian, sehingga setiap orang dapat melihat indahnya segala amal baiknya.

Di antara Azan dan Lafads Zikir, Batu magalitikum tetap berdiri tegak ditengah sawah seakan-akan ingin menampilkan performa identitas dan keangkuhan masa lalu dalam meyaksikan perjalanan masyarakat Batu Belarik. Hari ini, sisa kebudayaan berkaitan dengan kegiatan masyarakat sebelum adanya pengaruh Hindu-Buddha dan Islam sudah tergerus. Masyarakat mengangap batu yang berjejer hanyalah bongkahan batu yang diciptakan oleh penomena alam. Tidak ada kepercayaan dan kekuatan apapun yang menempel di Batu megalitikum ini, meskipun begitu, letak dan posisi batu tidak pernah di pindahkan dan digunakan untuk apapun. Kekuatannya seakan tertanam sebagian menguap bersama asap kendaraan pembawa hasil bumi masyarakat Batu Belarik.

Tahun lalu, produktivitas hasil kebun masyarakatnya meningkat dan pasar mengapresiasi dalam bentuk harga yang mahal. Sebagian dari mereka berlomba untuk berbagi dan membersihkan pendapatan mereka melalui pemotongan hewan kurban, para panitia kurban menerapkan sistem berbagi sama banyak. Aroma masakan daging keluar dari celah-celah dinding papan di bawa oleh asap dari pokok kayu kopi. Sebagian sibuk menghiasi diri dengan atribut duniawi, cenderung konsumtif dan emosional mengunakan hasil penjualan produk perkebunan mereka. Rezeki habis di ujung asap. Mereka membeli semua keinginan yang tersumbat di masa Pisak. Tanpa antisipatif dan mempertimbangkan butuhkan-kebutuhan pokok pasca panen. Masyarakatnya seakan mulai bergeser ke kanan. Bahan bakar dari pokok kopi mulai berganti dengan tabung gas, kebun untuk tanaman kebutuhan sehari-hari berganti dengan kotak-kotak sayur yang di bawa oleh pedagang dari kota. Batu megalitikum mulai tergerus oleh perubahan zaman.

Tahun ini, musim Pisak datang lebih cepat ketika komoditi yang di tanam menurun produksinya dan pasar yang lesu merespon. Pada dunia yang serba sepola, Kata Cik Nanang. Mungkin saja alam adalah cerminan dari kita, manusia. Seperti apa kita berpolah, seperti itu pula alam bersikap. Tapi alam sepertinya tak begitu. Alam seolah tak mengenal baik atau tak baik. Berlaku sebagai cermin hanya dipantulkannya apa yang kita perlakukan padanya. Jika kau menumpukkan sampah dimana-mana maka banjir akan datang. Jika kau tebangi pohon-pohon maka longsor akan tiba. Kita sebenarnya telah tahu. Bahkan sudah sangat tahu. Alam tak pernah merahasiakannya. Tak pernah mempersulit kita untuk tahu. Namun, sepertinya kita yang terlalu sering lupa. Atau mungkin kita yang terlalu egois. Lalu lupa bahwa alam adalah cermin. Bahwa perilaku adalah bumerang. Bahwa dunia memiliki karma.

Alam sepertinya mengajarkan kita tentang hal paling fakta. Seburuk-buruk apa kita bersikap, akan kembali pada kita. Sebaik-baik apa kita bersikap, akan berpulang pada kita. Lalu mengapa sering kita mengiba-iba kala bencana Pisak datang? Mengapa kita mempertanyakan Tuhan? Namun sekian kali terlupa mempertanyakan diri sendiri? Cik Nanang mencoba menjawabnya sendiri.

Dan, pada perjalanan pulang menjelang azan Jum’at kali ini, semua terlihat jelas. Samar namun tegas. Lampu-lampu yang menyala dan lupa di padamkan pada teras rumah takluk dalam temaram seperti seringai yang mengejek dengan lancang. Tentang Batu Belatik, tentang megalitikum yang kalah, terbunuh mati dalam perang yang ciptakan saat hari baru mulai pagi dan matahari baru pertama kali bersinar. Pada selokan yang mengalir di tengah desa ada genangan air mencerminkan langit yang sedikit berbintang. Seolah mengingatkan ada hal-hal indah yang tersisa dan patut diharapkan. Tapi seperti air yang tergenang, tak pernah cukup layak menuaikan dahaga yang menggila. Apalagi matahari esok akan garang marah, lalu menyisakannya sekedar menjadi uap-uap. Seperti kenangan yang kita tangisi saat renta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar