Perkampungan ini bernama Buteu Belarik di Melayukan menjadi Batu Belarik. Secara administratif letaknya
di Kabupaten Kepahiang Propinsi Bengkulu. Secara geneologis
kesatuan masyarakatnya terikat
pada suatu garis keturunan yang sama dari suatu leluhur baik secara langsung
karena hubungan darah (keturunan) maupun secara tidak langsung karena pertalian
perkawinan atau pertalian adat dalam dan berada di wilayah adat Marga Bermani Ilir. Sebuah
Marga pecahan dari Marga Bermani dari Kabupaten Lebong. Bermani berasal dari
kata Beram Manis atau Tape Manis,
presentasi dari pekerjaan warganya ketika melaksanakan ritual
penebangan kayu Benuang Sakti. Sehingga, Bermani dilembagakan dan
menjadi Marga Bermani, kesatuan
kekeluargaan patrilinial keturunan Bikau Bermano. Pemimpin pertama Marga Bermani.
Setelah masa kepemimpinan Bikau Bermano, kepemimpinannya digantikan oleh yang bergelar Tahta Tungga Terguling Sakti. Anak tertua Bikau Bermano dan tetap berkedudukan di Kutai Rukem.
Tahta Terguling Sakti mempunyai sembilan
orang anak yang semuanyanya laki-laki. Anak yang bernama Gajah Rimbunlah yang pertama kali
mendirikan Klan Marga Bermani Ilir, dia memulainya dengan mendirikan perkampungan
atau Kutai di Temandei atau Cinta Mandi. Cinta Mandi adalah suatu tempat dalam mitologi dipercayai
secara tempat pemandian Putri Gading Cempaka. Dari Desa inilah berkembang menjadi beberapa
Kutei, Dusun atau Desa, tiga di antaranya di
awali dengan kata Batu, yaitu Batu Bandung, Batu Kalung dan Batu Belarik.
Nama Batu Belarik bermula dari deretan situs
batu megalitikum yang terletak di lokasi yang dipercayai sebagai cikal bakal
desa. Saat ini di fungsikan sebagai areal persawahan warga desa. Situs tetralit ini membentuk formasi segi
empat membunjur dari
arah barat ke timur. Jika dilihat dari letak susunannya, batu-batu tersebut berhubungan
dengan hal-hal yang berkaitan dengan kegiatan masyarakat sebelum adanya
pengaruh Hindu-Buddha dan Islam. Berkaitan dengan kegiatan penguburan,
pemujaan, dan kegiatan upacara lainnya juga aktivitas sehari-hari. Bagi
masyarakat Bermani Ilir, batu-batu ini dipercayai sebagai jelmaan para wanita
yang di kutuk menjadi batu oleh Si Pahit Lidah. Di ceritakan, ketika itu Si
Pahit Lidah sedang melewati perkampungan, dia menegur ibu-ibu yang sedang mencari kutu.
Karena tidak mendapat jawaban, ibu-ibu ini di kutuk menjadi batu.
Para tetua yang ada
di desa yang memanjang dari Utara ke Selatan yang tinggal dan menepati rumah-rumah tinggi berbahan kayu
dari kelas
terbaik ini mempercayai bahwa desa mereka didirikan oleh Muning Raden, anak
keturunan dari Gajah Rimbun. Mereka percaya asal mula mereka berasal dari
Lebong keturunan dari Bikau Bermano. Dengan kondisi perkampungan berada di
puncak perbukitan yang membentuk system pertahanan membuat warga desanya tetap homogen bersuku
dan berbahasa Rejang dengan dialeg Kepahiang dengan pola komunikasi cenderung mendatar
dan berterus terang, menghindar pola komunikasi melereng, komunikasi berkias
dan bersayap.
Sebagai masyarakat agraris, masyarakatnya
adalah petani dengan komoditi utamanya adalah kopi robusta (coffe canephora) dan lada (piper
ningrum) yang di tanami di tanah vulkanik yang subur berasal dari endapan
dan semburan kawah Bukit Kaba. Kebun-kebun
terletak melingkar di luar desa dan dimiliki secara individu oleh warganya yang
di dapati dari proses jual beli,
sebagian adalah warisan keluarga. Dua tanaman utama inilah yang
menjadi penompang hidup warganya. Akibatnya, kondisi ekonomi masyarakat
tergantung dengan fluktuasi produksi dan harga dari dua komoditi perkebunan ini.
Pisak, adalah istilah untuk
menyebutkan kondisi sulit secara psikologis berbaur dengan ekonomi. Dan masyarakatnya
cenderung konsumtif
ketika harga komoditi di terima secara positif oleh pasar. Pagi menjelang, semua warga sibuk di dan
ke kebun masing-masing
dan menjelang Magrib mereka baru pulang, untuk musim-musim yang sangat sibuk,
banyak dari mereka yang sengaja menginap di kebun. Mereka adalah pekerja
tangguh untuk urusan pertanian.
Desa Batu Belarik adalah desa adminsitratif, berada
di wilayah Kecamatan Bermani Ilir Kabupatan Kepahiang, di pimpin oleh
kepala Desa yang sekaligus
dirangkapkan kewenangannya sebagai Kepala Adat. Cik Nanang adalah salah
seorang warga dan di tokoh yang lahir dan besar di Batu Belarik. Imam Masjid desa yang flamboyan ini mengakui sebagai
anak keturunan dari Muning
Raden, pimpinan dan pendiri desa. Pak Imam yang pengemar Rhoma Irama, penyuka batu
akik, suka bernyanyi dan
puitis ini menjelaskan bahwa Kepala Desa
yang ada di Batu Belarik juga di mandatkan sebagai penjaga dan pemelihara Kutei
Nated. Penjaga
teroterial wilayah kekuasaanya sekaligus pemelihara sistem, aturan dan kearifan
yang di percayai warganya selain mengurusi hal-hal teknis sehubungan dengan
tugas adminsitratif. Masyarakatnya adalah penganut agama Islam yang taat, dan
ini dibuktikan dengan dua masjid terdapat di tengah-tengah desa, maka ketika
waktu sholat ramailah suara azan berkumandang.
Pun, ketika
kurban di hari Idul Adha, daging kurban dibagi rata. Banyak sama berbagi,
sedikit sama-sama dapat, itulah aturan yang disepakati sejak lama untuk
melestarikan pola komunalisme
warisan dari sistem adat mereka. Begitu juga ketika ada keluarga yang melakukan
hajatan, semua bergotong royong. Memikul beban secara bersama dengan porsi yang
berbeda, ibu-ibu biasanya berbagi tanggung jawab dengan bapak-bapak sehubungan
dengan urusan logistik dan dapur, berat dan ringan.
Pesta-pesta
perkawinan jujur selalu di awali dengan prosesi tertib adat, organ tunggal
selalu di awali dengan acara zikir. Zikir dilakukan oleh dua zap yang saling
berhadapan. Mereka bernyanyi dengan melafaskan puji-pujian kepada Nabi Muhammad,
dan satu
zap lainnya
menari sambil duduk mirip dengan tari Saman Aceh. Zikir ini seperti Whirling Dervishes, tarian sufi yang
titik fokusnya adalah mendengar. Menurut Cik Nanang, tarian ini juga dianggap
sebagai bentuk sebuah ekspresi dari rasa cinta, kasih, dan sayang yang maha
tinggi dari seorang hamba kepada pencipta, dimulai dengan telingga
yang mendengar, mata yang melihat dan gerak tubuh yang luwes dan dilakukan
secara bersama-sama. Ini perpaduan antara agama dan sistem komunalisme yang
kami miliki, jelas Cik Nanang yang tahan berdikusi dalam waktu yang lama tentang
tahapan menuju makrifat mengambarkan nilai-nilai yang terkandung dalam Zikir.
Karena itu, kata Cik Nanang menirukan intonasi Zikir, kami memerlukan
tangan Tuhan, yang merupakan Pembuat dan Pencipta setiap kemustahilan. Yang
bukan-wujud pun, meski lebih mati dibandingkan yang mati harus mendengarkan
ketika Dia menitahkannya mewujud. Bacalah ayat, ”Setiap waktu Dia dalam
kesibukan”: janganlah menganggap-Nya menganggur dan lamban. Setidak-tidaknya,
kegiatan-Nya tiap hari, mengirimkan tiga pasukan: Sepasukan sulbi para ayah
menuju para ibu, supaya benih dapat berkembang di dalam kandungan; Sepasukan
dari kandungan menuju Bumi, agar dunia terisi dengan lelaki dan perempuan; Sepasukan
dari Bumi menuju kawasan di balik kematian, sehingga setiap orang dapat melihat
indahnya segala amal baiknya.
Di antara Azan dan
Lafads
Zikir, Batu magalitikum tetap berdiri tegak ditengah sawah seakan-akan ingin menampilkan
performa
identitas dan keangkuhan masa lalu dalam meyaksikan perjalanan masyarakat Batu
Belarik. Hari ini, sisa kebudayaan berkaitan dengan kegiatan masyarakat sebelum adanya
pengaruh Hindu-Buddha dan Islam sudah tergerus. Masyarakat mengangap batu yang
berjejer hanyalah bongkahan batu yang diciptakan oleh penomena alam. Tidak ada
kepercayaan dan kekuatan apapun yang menempel di Batu megalitikum ini, meskipun
begitu, letak dan posisi batu tidak pernah di pindahkan dan digunakan untuk
apapun. Kekuatannya seakan tertanam sebagian menguap bersama asap
kendaraan pembawa hasil bumi masyarakat Batu Belarik.
Tahun lalu, produktivitas hasil kebun
masyarakatnya meningkat dan pasar mengapresiasi dalam bentuk harga yang mahal.
Sebagian dari mereka berlomba untuk berbagi dan membersihkan pendapatan mereka melalui
pemotongan hewan kurban, para panitia kurban menerapkan sistem berbagi sama
banyak. Aroma masakan daging keluar dari celah-celah dinding papan di bawa oleh
asap dari pokok kayu kopi. Sebagian sibuk menghiasi diri dengan atribut
duniawi, cenderung konsumtif dan emosional mengunakan hasil penjualan produk
perkebunan mereka. Rezeki habis di ujung asap. Mereka membeli semua keinginan
yang tersumbat di masa Pisak. Tanpa
antisipatif dan mempertimbangkan butuhkan-kebutuhan pokok pasca panen. Masyarakatnya
seakan mulai bergeser ke kanan. Bahan bakar dari pokok kopi mulai berganti
dengan tabung gas, kebun untuk tanaman kebutuhan sehari-hari berganti dengan
kotak-kotak sayur yang di bawa oleh pedagang dari kota. Batu megalitikum mulai
tergerus oleh perubahan zaman.
Tahun ini, musim Pisak datang lebih cepat ketika komoditi yang di tanam
menurun produksinya dan pasar yang lesu merespon. Pada dunia yang serba sepola, Kata Cik
Nanang. Mungkin
saja alam adalah cerminan dari kita, manusia. Seperti apa kita berpolah,
seperti itu pula alam bersikap. Tapi alam sepertinya tak begitu. Alam seolah
tak mengenal baik atau tak baik. Berlaku sebagai cermin hanya dipantulkannya
apa yang kita perlakukan padanya. Jika kau menumpukkan sampah dimana-mana maka
banjir akan datang. Jika kau tebangi pohon-pohon maka longsor akan tiba. Kita sebenarnya telah tahu.
Bahkan sudah sangat tahu. Alam tak pernah merahasiakannya. Tak pernah
mempersulit kita untuk tahu. Namun, sepertinya kita yang terlalu sering lupa.
Atau mungkin kita yang terlalu egois. Lalu lupa bahwa alam adalah cermin. Bahwa
perilaku adalah bumerang. Bahwa dunia memiliki karma.
Alam sepertinya
mengajarkan kita tentang hal paling fakta. Seburuk-buruk apa kita bersikap,
akan kembali pada kita. Sebaik-baik apa kita bersikap, akan berpulang pada
kita. Lalu mengapa sering kita mengiba-iba kala bencana Pisak datang? Mengapa
kita mempertanyakan Tuhan? Namun sekian kali terlupa mempertanyakan diri
sendiri? Cik Nanang mencoba menjawabnya sendiri.
Dan, pada perjalanan pulang menjelang azan Jum’at kali ini, semua terlihat jelas. Samar
namun tegas. Lampu-lampu yang menyala dan lupa di padamkan pada teras rumah takluk dalam temaram seperti seringai yang mengejek dengan
lancang. Tentang Batu Belatik, tentang megalitikum yang kalah, terbunuh mati dalam
perang yang ciptakan saat hari baru mulai pagi dan matahari baru pertama kali
bersinar. Pada selokan yang mengalir di tengah desa ada genangan air mencerminkan
langit yang sedikit berbintang. Seolah mengingatkan ada hal-hal indah yang
tersisa dan patut diharapkan. Tapi seperti air yang tergenang, tak pernah cukup layak menuaikan
dahaga yang menggila. Apalagi matahari esok akan garang marah, lalu
menyisakannya sekedar menjadi uap-uap. Seperti kenangan yang kita tangisi saat
renta.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar