Sang Nestapa Mengeja Senja - Erwin Basrin

Breaking

Recent Posts

 photo Untitled-1_1.jpg

Sabtu, 14 Juli 2018

Sang Nestapa Mengeja Senja





Lamun hari tukinang hari, Hari tukinang sedang hari tinggi, siamang tu sedang redawe, Kelik sedang pekik rami. Angin sedang gugur daun, Gururlah daun remacang mudo, Gugur daun repinang mudo, Lubuk sedang begenjo ijo. Ratu sedang bebayang kuning, Becalang mudik milir, Bibik sedang laburan jemur, Bujang juare sedang mericik tue ayam, Bujang gadis rau ketenun, Ilanglah lading pertas tenun, Ilang penyukit duri landak…..(Sair: Siyen Kutai..)

Senja yang mulai saga, menjelang malam menyelimuti pematang-pematan dan puncak bukit yang merengas. Senja kedua bulan Juli kali ini, tidak ada yang memintanya untuk berkisah. Menjelang senja meyilam semuanya ingin ia ungkap, kalau ada irama untuk mengiringi dia bernyanyi lantunan kepedihan dari jiwanya, senandung rintihan suluk pekik Siamang ketika gugur daun. Pada remang saga yang mulai berkerumun, dia rawikan kisah kesepian sekali lalu tangisan kepiluan, laksana ratapan gadis penenun kehilangan lading dan putus benang.

Menjelang senja meyilam alunanpun bersilih menjadi melodi-melodi yang menyanyat hati dari sang nestapa seraya berisyarat pada rembulan yang penuh, walau tidak mencapai purnama. Dia berbicara disetiap menjelang malam selintas senja meyila. Ketika setiap orang berderap masuk pintu-pintu rumah dia berbicara pada wujud purnama yang diselimuti tamaran saga. Senja dan Bulan yang sejak kejatuhannya telah menjadi pautan dan labuhan untuk jiwanya yang mati dalam kehampaan.

Malam menjauh dalu, senja menghilang pada kegelapan malam di antara samar purnama tak penuh. Semula senja menolak untuk tertawa. Ada sayatan pada garis dimana jingga yang tadinya merona tertutup pekat. Senja nyatanya tidak semata-mata menghadirkan ketenangan. Senja meyelip kegelisahan setiap kali ronanya pudar. Sekilas bias makna tersimbah. Satu demi satu serenai rindu sendu berpadu.

Lelah sang Nestapa terbingkai pada guratan senja. Luka pada senja adalah luka bagi nestapa. Tamaran ronanya bak ornament warna yang tak sama, tak lagi punya nada. Suara-suara kepekatan berdesir seiring ruh sang bulan yang melayang.

Nestapa itu terhenyak, percakapan malam terus meremah, ia menatap bulan namun desiran tak ia temukan. Berjuta jejak kisah bermuara pada lembar-lembar naskah yang kian menguning, menghuni kitab kenangan yang di asingkan dari negeri harap. Yang tersisa pada akhirnya hanyalah repihan-repihan kertas termakan rayap, menghiasi rak dahaga di sudut benak lalu hilang di telan buih-buih zaman yang kian kalap, atau barangkali mengendap di pelukan musim yang tak lelah meyenandungkan ratap. Tapi ada bagian yang takkan lepas dari genggan ingatan yang kian tiarap. Sekerat kenang dari jari lentik sang senja yang hadirkan selaksa rasa ketika sepasang kalbu mengukit Bahasa rindu, laksana perembukan gulana di semenanjung tatap dalam bayangan senja yang bergenap.

Inilah Nestapa, yang dengan hati berkeping memaksa dada melapangkan ruang agar tak lagi sakit tercipta manakala realita di ambang mata jauh berbeda dengan gelembung indah di jazirah mimpi.

Inilah nestapa, yang terbata membaca isyarat tersamar dari baris larik indah seraya menekan perih kesekian yang tertindih tak terperih.

Inilah nestapa, yang masih selalu menggeragap pilu ketika hujan menitik rona senja meyapa beranda dan menggoyangkan pucuk-pucuk buluk, tergolek tak berdaya seolah sembilu menusuk belikat hati yang tak kuasa mengubur benci. Tak pula mampu melawan percikan luka menukik di kepakan sanubari.

Pada penghujung senja yang meyilam. Sang Nestapa sendirian mengais-ngais sisa angan yang seharusnya dia gapai. Namun malang baginya, hatinya sudah tak lagi membuka jalan untuk di tempuh karena ketakutan akan kemalangan yang lebih jauh telah menutupi seluruh keinginan jiwanya. Dia beteduh saat hujan, berdarah ketika luka, berair mata kala dirundung duka. Tapi sesekali dia menari di bawah rinai, menikmati perih yang dipicu oleh rindu, dan menertawakan kepedihan-kepedihan hidup. Kadang dia kalah, kadang mengalah.


Dia adalah kerapuhan yang pura-pura tegar, tawa yang penuh sandiwara, keyakinan yang sarat prasangka. Dia adalah ketidaksempurnaan sempurna. Bersulang dengan waktu perlahan senja memangut mendung di jingga langit, bersama percakapan malam dia memegang keyakinan berbentuk batu bersama cemas yang melekat seperti karat perihal mata belati serta hati panorama sendu. Biarlah kini asa itu dia titipkan pada raja yang menguasai kepunyaannya tanpa batas hingga diambang batas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar