Lamun hari tukinang hari, Hari
tukinang sedang hari tinggi, siamang tu sedang redawe, Kelik sedang pekik rami.
Angin sedang gugur daun, Gururlah daun remacang mudo, Gugur daun repinang mudo,
Lubuk sedang begenjo ijo. Ratu sedang bebayang kuning, Becalang mudik milir, Bibik
sedang laburan jemur, Bujang juare sedang mericik tue ayam, Bujang gadis rau
ketenun, Ilanglah lading
pertas tenun, Ilang penyukit duri landak…..(Sair: Siyen Kutai..)
Senja
yang mulai saga, menjelang malam menyelimuti pematang-pematan dan puncak bukit
yang merengas. Senja kedua bulan Juli kali ini, tidak ada yang memintanya untuk
berkisah. Menjelang senja meyilam semuanya ingin ia ungkap, kalau ada irama
untuk mengiringi dia bernyanyi lantunan kepedihan dari jiwanya, senandung rintihan
suluk pekik Siamang ketika gugur daun. Pada remang saga yang mulai berkerumun,
dia rawikan kisah kesepian sekali lalu tangisan kepiluan, laksana ratapan gadis
penenun kehilangan lading dan putus benang.
Menjelang senja meyilam alunanpun
bersilih menjadi melodi-melodi yang menyanyat hati dari sang nestapa seraya
berisyarat pada rembulan yang penuh, walau tidak mencapai purnama. Dia
berbicara disetiap menjelang malam selintas senja meyila. Ketika setiap orang berderap
masuk pintu-pintu rumah dia berbicara pada wujud purnama
yang diselimuti tamaran saga. Senja dan Bulan yang sejak kejatuhannya telah menjadi
pautan dan labuhan untuk jiwanya yang mati dalam kehampaan.
Malam menjauh dalu,
senja menghilang pada kegelapan malam di antara samar purnama tak penuh. Semula
senja menolak untuk tertawa. Ada sayatan pada garis dimana jingga yang tadinya merona tertutup pekat. Senja nyatanya tidak semata-mata menghadirkan ketenangan.
Senja meyelip kegelisahan setiap kali ronanya pudar. Sekilas bias makna
tersimbah. Satu demi satu serenai rindu sendu berpadu.
Lelah sang Nestapa
terbingkai pada guratan senja. Luka pada senja adalah luka bagi nestapa. Tamaran
ronanya bak ornament warna yang tak sama, tak lagi punya nada. Suara-suara
kepekatan berdesir seiring ruh sang bulan yang melayang.
Nestapa itu terhenyak, percakapan malam terus
meremah, ia menatap bulan namun desiran tak ia temukan. Berjuta jejak kisah
bermuara pada lembar-lembar naskah yang kian menguning, menghuni kitab kenangan
yang di asingkan dari negeri harap. Yang tersisa pada akhirnya hanyalah repihan-repihan
kertas termakan rayap, menghiasi rak dahaga di sudut benak lalu hilang di telan
buih-buih zaman yang kian kalap, atau barangkali mengendap di pelukan musim yang
tak lelah meyenandungkan ratap. Tapi ada bagian yang takkan lepas dari genggan
ingatan yang kian tiarap. Sekerat kenang dari jari lentik sang senja yang
hadirkan selaksa rasa ketika sepasang kalbu mengukit Bahasa rindu, laksana perembukan
gulana di semenanjung tatap dalam bayangan senja yang bergenap.
Inilah Nestapa, yang dengan hati berkeping
memaksa dada melapangkan ruang agar tak lagi sakit tercipta manakala realita di
ambang mata jauh berbeda dengan gelembung indah di jazirah mimpi.
Inilah nestapa, yang terbata membaca isyarat
tersamar dari baris larik indah seraya menekan perih kesekian yang tertindih
tak terperih.
Inilah nestapa, yang masih selalu menggeragap
pilu ketika hujan menitik rona senja meyapa beranda dan menggoyangkan
pucuk-pucuk buluk, tergolek tak berdaya seolah sembilu menusuk belikat hati
yang tak kuasa mengubur benci. Tak pula mampu melawan percikan luka menukik di
kepakan sanubari.
Pada penghujung senja
yang meyilam. Sang Nestapa sendirian mengais-ngais sisa angan yang seharusnya
dia gapai. Namun malang baginya, hatinya sudah tak lagi membuka jalan untuk di
tempuh karena ketakutan akan kemalangan yang lebih jauh telah menutupi seluruh
keinginan jiwanya. Dia beteduh saat hujan, berdarah ketika luka, berair mata kala
dirundung duka. Tapi sesekali dia menari di bawah rinai, menikmati perih yang
dipicu oleh rindu, dan menertawakan kepedihan-kepedihan hidup. Kadang dia
kalah, kadang mengalah.
Dia adalah kerapuhan
yang pura-pura tegar, tawa yang penuh sandiwara, keyakinan yang sarat
prasangka. Dia adalah ketidaksempurnaan sempurna. Bersulang dengan waktu perlahan
senja memangut mendung di jingga langit, bersama percakapan malam dia memegang
keyakinan berbentuk batu bersama cemas yang melekat seperti karat perihal
mata belati serta hati panorama sendu. Biarlah kini asa itu dia titipkan pada raja
yang menguasai kepunyaannya tanpa batas hingga diambang batas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar