Menyingkap Persoalan Agraria Melalui Anotasi Advokasi Kasus Tanah di Bengkulu - Erwin Basrin

Breaking

Recent Posts

 photo Untitled-1_1.jpg

Minggu, 25 Maret 2018

Menyingkap Persoalan Agraria Melalui Anotasi Advokasi Kasus Tanah di Bengkulu




Oleh; Erwin Basrin

Selisik Transformasi Agraria di Bengkulu
Tanah atau agraria berasal dari beberapa bahasa. Istilah agraria berasal dari kata ‘akker’ (Bahasa Belanda), ‘agros’ (Bahasa Yunani) berarti tanah pertanian, ‘agger’ (Bahasa Latin) berarti tanah atau sebidang tanah, ‘agrarian’ (Bahasa Inggris) berarti tanah untuk pertanian (Santoso, Urip. 2009:1). Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mendefinisikan agraria sebagai (1) urusan pertanian atau tanah pertanian, (2) urusan pemilikan tanah.
Urusan-urusan yang menyangkut persoalan tanah yang merupakan bagian terpenting sebagai kekayaan Negara yang secara tegas sebagai mana termaktub di dalam pasal 33 ayat (3) UUD 1945, menyatakan bahwa segala kekayaan yang dimiliki oleh Indonesia, dikuasai, diatur dan dikelola serta didistribusikan oleh negara yang tujuannya untuk semata-mata meningkatkan dan mencapai kesejahteraan masyarakat.

Namun, saat ini tujuan tersebut belum sepenuhnya bisa di capai akibat dari masih ada beberapa kasus berhubungan dengan kinerja pengelolaan aset negara (dalam hal ini tanah) yang berdampak cukup besar bagi kehidupan masyarakat. Sebagai contoh, konflik, sengketa dan perkara tanah adat, kepemilikan hak atas tanah, penetapan fungsi dan status kawasan hutan, kurangnya lahan untuk pembangunan kepentingan umum dan lain sebagainya. Kehadiran perkebunan di Kepahiang dan Rejang Lebong, Pertambangan Mineral Emas pada tahun 1897 di Kabupaten Lebong Propinsi Bengkulu atas fasilitasi dan peranan kolonialisme, yang haus akan extraction of natural resources mengawali hadirnya ketimpangan struktur agraria di Bengkulu.
Di dalam prakteknya kehadiran perkebunan dan industri pertambangan adalah suatu tindakan dalam rangka melakukan penundukan masyarakat satu terhadap masyarakat lainnya, dengan berbagai cara mulai dari penataan wilayah, penciptaan aturan hukum[1], membentuk sistem birokrasi baru hingga misi-misi civilization. Ketimpangan struktur agraria melahirkan dominasi, maka terjadilah ketimpangan social, ujungnya adalah konfik sosial, selalu merusak norma-norma budaya yang telah ada sebelumnya dan menetapkan ketentuan-ketentuannya sendiri. Kehadiranya kadang-kadang dengan cara membujuk, kadang-kadang dengan paksaan. Dengan demikian kehadirannya selalu berlingkup dalam suasana konfik, setidaknya dengan aturan dan sistem budaya setempat. Sehingga akibat dari transformasi agraria ini melahirkan struktur sosial baru, baik itu di sektor ekonomi, social, budaya maupun kewilayahan. Di samping itu, kehadiran struktur sosial baru disertai dengan dampak ikutan seperti konfik dan kekerasan.
Di satu sisi bagi masyarakat di Bengkulu yang tergantung dan mengantungkan hidupnya dengan tanah melalui pertanian (sawah dan kebun) merupakan agen utama dari suatu praktek ekonomi, yang memiliki kaitan nilai dengan keluarga, komunitas dan masyarakat. Masyarakat Bengkulu bukanlah semata-mata sebuah organisasi produksi atau kumpulan orang-orang yang menggarap tanahnya, akan tetapi mereka juga merupakan satu unit konsumsi kendati hal ini belum berkaitan dengan keuntungan. Semangat kemerdekaan dan nasionalisasi hukum agraria melalui Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) semata-mata bertujuan untuk melepaskan diri dari undang-undang agraria kolonial dan membebaskan rakyat Indonesia, yang mayoritas hidupnya sangat bergantung pada tanah (dan sumber agraria lainnya) dari sistem feodal pra-kolonial di bawah kebijakan kolonial untuk mengeksploitasi petani. Itulah sebabnya land reform bertujuan melindungi dan menghormati kepentingan petani (baik petani kecil, penyakap, ataupun buruh pertanian) menjadi fokus utama UUPA.
Tetapi, dalam perjalannya UUPA tidak lagi berfungsi sebagai “hukum dasar” untuk mengatur sumber agrarian atau tanah. Rezim Orde Baru, justru, membuat sejumlah undang-undang kehutanan dan pertambangan baru serta membuat UUPA hanya berlaku sebagai peraturan bagi tanah non-hutan. Sedangkan usaha eksploitasi barang tambang baik di dalam maupun di luar wilayah kehutanan, berarti juga meliputi penguasaan tanah dan wilayah tempat barang tambang tersebut dieksploitasi, diatur melalui Undang-Undang Pertambangan, demikian juga dengan penetapan kawasan dan fungsi hutan di atur dengan Undang-Undang sendiri yaitu Undang-Undang Kehutanan. Persoalannya bertambah berkelindan ketika pelaksanaan prinsip-prinsip dasar UUPA juga mengundang banyak interpretasi dan terus-menerus dieksploitasi.
Orientasi politik agraria rezim Orde Baru memperparah kondisi yang ada, Orde Baru malah mendukung investasi-investasi skala besar berhubungan dengan tanah. Penyediaan lahan dalam skala besar untuk kepentingan modal baik di dalam negeri maupun luar negeri pun menjadi prioritas. Tanah bertranformasi secara cepat dan pasti menjadi komoditas ekonomi tentu saja kontradiktif atau sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar UUPA bahwa tanah memiliki fungsi sosial. Dampak dari perubahan tersebut adalah aktivitas spekulasi atas tanah menjadi bagian integral dari penyediaan tanah untuk kepentingan bisnis. Secara umum, dan senyata-nyatanya karakter utama politik agraria Orde Baru memperlakukan tanah dan sumber alam lainnya sebagai komoditas yang membuka ruang bagi penetrasi perusahaan dan investasi skala besar ke dalam wilayah pedesaan dan menyingkirkan kebutuhan tanah bagi rakyat pada umumnya.
Kondisi inilah membuat masyarakat Bengkulu berada dalam ruang dan kondisi didominasi oleh kekuatan onderneming didukung oleh sistem politik kolonialisasi berkelindan dengan kapitalisme, prinsif dasarnya melakukan penakluklan dan perampasan dan menuntut pelipatgandaan modal secara terus menerus serta mengutamakan bagaimana bekerjanya modal sebagaimana pada konsep primitive accumulation. Ini merupakan awal dari tumbuh kembangnya konflik, sengketa dan perkara terkait dengan tanah di Bengkulu.
Konflik, sengketa dan perkara memicu munculnya perlawanan-perlawanan dan gerakan rakyat dari masa colonial sampai Orde Baru. Secara massif gerakan-gerakan yang mengusung tema “Reforma Agraria” kembali bergeliat sejak awal 1990-an dan terus digeluti oleh sejumlah aktivis agraria dan lingkungan yang aktif dalam pengorganisasian penduduk miskin pedesaan (petani, masyarakat adat, dan kelompok marjinal lainnya), dan advokasi kebijakan land reform/pembaruan agrarian. Gerakan yang dibangun ini meyakini bahwa perubahan struktur agraria sudah dipastikan akan membawa perubahan mendasar sekaligus akan membawa transformasi sosial besar yang mampu mengubah bentuk dunia baru.
Dan tidak bisa dikesampingkan oleh gerakan yang mengusung tema “Reforma Agraria” meyakini bahwa perubahan struktur agraria tersebut tergantung dari kuasa yang ada pada sisi non ekonomi, walaupun dalam prakteknya lebih mengarah pada faktor ekonomi, sebagain harus diakui gerakan ini menjadi pendukung utama untuk mendapat tempat kembali dalam ruang-ruang kebijakan dan akademis seiring dengan kepedulian yang menguat atas kemiskinan dan ketidakadilan agraria yang kronis, plus kerusakan lingkungan yang parah di pedesaan.
Keterlibatan pada aktivitas gerakan-gerakan rakyat pedesaan untuk melakukan, terutama kampanye untuk perubahan kebijakan agraria maupun lahirnya arah baru kebijakan agraria adalah tonggak terbukannya ruang politik untuk mencapai apa yang disebut dengan cita-cita reforma agrarian “sejati”. Rezim Pemerintahan Jokowi-JK telah membangun dan meletakkan dasar atas mimpi-mimpi dengan menargetkan Reforma Agraria seluas 9 juta ha dan Perhutanan Sosial 12,7 ha yang ditujukan bagi kelompok masyarakat marjinal. Terlepas dari kritik bahwa program ini semakin membuka peluang perampasan tanah karena sertifikasi hanya akan memudahkan praktik jual-beli tanah yang menguntungkan tuan tanah dan perbankan yang menyita asset kaum tani ketika dihubungkan dengan skema Bank Dunia melalui Land Administration Project (LAP). Bahwa, faktor kesempatan politik yang terbuka dan dibuka oleh Pemerintahan Jokowi-JK inilah yang memungkinkan diangkutnya agenda Reforma Agraria ke dalam kebijakan publik di tingkat nasional dan global.



Daftar Bacaan;

1.     Akar Foundation. (2015-2016). Laporan Assesment dan Identifikasi perkembangan dan potensi pengelolaan hutan berbasis masyarakat (community based forest management) di Propinsi Bengkulu. Unpublished
2.     Akar Foundation. (2007). Laporan Penyelesaian Sengketa Lahan Masyarakat Adat Lembak Suku Tengah Kepungut dengan Pemerintahan Kabupaten Rejang Lebong di wilayah Eks Izin Hak Guna Usaha PT Bumi Mega Sentosa. Unpublished
3.     Akar Foundation. (2010). Laporan Penelitian Dominasi Penguasaan Tanah di Marga Jurukalang Kabupaten Lebong, Propinsi Bengkulu. Unpublished
4.     Akar Foundation. (2016-2018). Laporan Penyelesaian Konflik Lahan Masyarakat 8 Desa di Kecamatan Kaba Wetan Kepahiang dengan TWA Bukit Daun. Unpublished
5.     Benjamin White & Gunawan Wiradi. (1984). Reforma Agraria Dalam Tinjauan komparatif. Brighten Institute.
6.     BPN. (2015). Profil Pertanahan Propinsi Bengkulu
7.     Dianto Bachriadi & Gunawan Wiradi. (2011). Enam Dekade Ketimpangan Masalah Penguasaaan Tanah di Indonesia. ARC dan KPA.
8.     Erwin Basrin. http://bdikar.blogspot.co.id/2018/01/mendedah-kelaparan-tersembunyi-hidden.html. Diakses pada tanggal 23 Maret 2018.
10.  Geertz, Clifford. (2016). Involusi Pertanian, Jakarta: Komunitas Bambu
11.  Gunawan Wiradi. (2000). Refoma Agraria Perjalanan yang Belum Berakhir, Jawa Barat. Sajogyo Institute
12.  Gunawan Wiradi & Ismatul Hakim & Lucas R Wibowo (ed). (2014). Hutan untuk Rakyat Jalan Terjal Reforma Agraria di Sektor Kehutanan, Yogjakarta. LKiS
13.  Kusdinar, Pramasty Ayu. 2016. Laporan Riset Aksi Pemetaan Sosial dan Praktik Tenurial Masyarakat Hukum Adat Rejang di Kabupaten Lebong Propinsi Bengkulu. Akar Foundation-Right Resources Initiative-Epistema Institute.
14.  Johnson, Craig. 2013. Pembangunan Tanpa Teori-Kuasa Pengetahuan dan Perubahan Sosial, Yogyakarta: Resist Book.
15.  Setiawan, Bonnie. 2014. Jaringan Rantai Kapitalisme Global,  Yogyakarta: Resist Book




[1] Hasil Riset “Reversing the Resources Curse” yang dilaksanakan oleh Akar Foundation 2017-2018 menunjukan skema legal melalui penciptaan hukum baru, dalam laporan tersebut menyebutkan di tahun 1870 merupakan tahun tersulit dan puncak kemunduran bagi kekuasan elit pribumi terutama di wilayah Rejang Bengkulu yang mempunyai deposit mineral, karena pada tahun tersebut jabatan regent (bupati) dihapus, 29 tahun kemudian, Pemerintahan colonial Belanda memperbaharui aturan Mijn Reglement 1850 dengan mengeluarkan Mijnwet 1899, hukum pertambangan ini dibuat Staten Generaal dengan pemerintahan pusat di negeri Belanda. Dalam aturan baru ini, posisi pemerintahan jajahan Hindia Belanda amat sentral dalam hal mengurus pertambangan di wilayah jajahannya. Siapa saja yang hendak menambang, harus mengantongi izin dari pemerintah.

[2] Akar Foundation adalah organisasi non-profit yang didirikan pada tahun 2016 di Bengkulu untuk ikut serta dalam mengembangkan potensi dan swadaya masyarakat dalam rangka upaya mewujudkan masyarakat yang kritis, mandiri, demokratis dan berkeadilan sosial. Dan, prihatin dengan makin meluasnya dampak pembangunan, deglarasi hutan dan ekploitasi sumber daya alam terhadap ketidakadilan sosial dan penurunan kualitas lingkungan hidup di Sumatera.
[3] Mengacu pada SK Nomor 784/Menhut-II/2012 yang merincikan Kawasan Hutan Provinsi Bengkulu terdiri dari kawasan Suaka Alam dan Pelestarian Alam, Hutan Lindung, Hutan Produksi Terbatas, Hutan Produksi Tetap, dan Taman Buru. Luasan data BPN Berbeda dengan data yang dikeluarkan oleh Dinas Kehutanan Propinsi Bengkulu seluas 924.631 Ha.
[4] Profil Pertanahan Propinsi Bengkulu tahun 2015.
[5] Laporan Program Akar Foundation. Assesment dan Identifikasi perkembangan dan potensi pengelolaan hutan berbasis masyarakat (community based forest management) di Propinsi Bengkulu. (Bengkulu, tahun 2015-2016). Unpublished.

[6] Akar Foundation. Laporan Penyelesaian Sengketa Lahan Masyarakat Adat Lembak Suku Tengah Kepungut dengan Pemerintahan Kabupaten Rejang Lebong di wilayah Eks Izin Hak Guna Usaha PT Bumi Mega Sentosa. 2007.
[7] Marga adalah kesatuan kelembagaan Masyarakat Hukum Adat Rejang yang terdiri dari beberapa kumpulan setingkat dusun atau kampong yang masing-masing berdiri sendiri berdasarkan ikatan kekeluargaan yang timbul dari system unilateral dengan system garis keturunannya yang partrinial (dari pihak laki-laki) dan tenurial yang di bagi berdasarkan kesepakatan musyawarah adat.
[8] W. Marsden, The History of Sumatera, London MDCCLXXXIII, hal 178
[9] Dr. JW. Van Royen, adat-federatie in de Residentie’s Bengkoelen en Palembang Bab de Redjang. Hal 18
[10] Catatan penulis berdasarkan dokumen yang ada di Akar Foundation, kepentingan bertumpuk pada konflik ini (tata air untuk PLTA dan Irigasi, wisata alam, pengaweta species, situs budaya dan leluhur, identitas masyarakat hukum adat, ekonomi masyarakat, wilayah administrasi, pemukiman warga dll), sementara para pihak berkepentingan terhadap objek sengketa (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, ATR BPD, Kemendes, Depdagri, Balai TNKS, Dinas Kahutanan, Pemerintahan Propinsi/Kabupaten/Desa, Masyarakat Lokal/Masyarakat Hukum Adat, PLTA (Negara dan Swasta).
[11] Negosiator yang sering muncul di dalam setiap kesempatan adalah Bapak Alinudin, Bapak Saudiah, Bapak Kamedan Wijaya (tokoh Masyarakat Humum Adat Embong Uram/Marga Suku IX) dan Bapak Salim Senawar, M Amir dan Edi Purnomo/Edi Tril (Tokoh Masyarakat Hukum Adat Jurukalang). Ibu Supriyati di Desa Bandung Jaya Kabupaten Kepahiang, dan 20 orang tokoh masyarakat dari 5 Desa di Kabupaten Rejang Lebong yang dimotori oeh Bapak Sawon dan Tarosno dari Desa Baru Manis (presentative pendatang dari Jawa), Sindra dan Santo Dari Desa Tebat Tenong Dalam dan Tanjung Dalam (presentative Pendatang dari Bengkulu Selatan) dan Anggi Alexander dan M Sali dari Desa Tebat Pulau dan Baru Manis (Presentative Suku Asli Rejang).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar