Oleh; Erwin Basrin
Selisik Transformasi Agraria di Bengkulu
Tanah atau agraria berasal
dari beberapa bahasa. Istilah agraria berasal dari kata ‘akker’ (Bahasa
Belanda), ‘agros’ (Bahasa Yunani) berarti tanah pertanian, ‘agger’ (Bahasa
Latin) berarti tanah atau sebidang tanah, ‘agrarian’ (Bahasa Inggris) berarti
tanah untuk pertanian (Santoso, Urip. 2009:1). Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI) mendefinisikan agraria sebagai (1) urusan pertanian atau tanah
pertanian, (2) urusan pemilikan tanah.
Urusan-urusan yang menyangkut persoalan tanah yang merupakan bagian terpenting sebagai kekayaan Negara yang secara tegas sebagai mana termaktub di dalam pasal 33 ayat (3) UUD 1945, menyatakan bahwa segala kekayaan yang dimiliki oleh Indonesia, dikuasai, diatur dan dikelola serta didistribusikan oleh negara yang tujuannya untuk semata-mata meningkatkan dan mencapai kesejahteraan masyarakat.
Urusan-urusan yang menyangkut persoalan tanah yang merupakan bagian terpenting sebagai kekayaan Negara yang secara tegas sebagai mana termaktub di dalam pasal 33 ayat (3) UUD 1945, menyatakan bahwa segala kekayaan yang dimiliki oleh Indonesia, dikuasai, diatur dan dikelola serta didistribusikan oleh negara yang tujuannya untuk semata-mata meningkatkan dan mencapai kesejahteraan masyarakat.
Namun, saat ini tujuan
tersebut belum sepenuhnya bisa di capai akibat dari masih ada beberapa kasus berhubungan
dengan kinerja pengelolaan aset negara (dalam hal ini tanah) yang berdampak
cukup besar bagi kehidupan masyarakat. Sebagai contoh, konflik, sengketa dan
perkara tanah adat, kepemilikan hak atas tanah, penetapan fungsi dan status
kawasan hutan, kurangnya lahan untuk pembangunan kepentingan umum dan lain
sebagainya. Kehadiran perkebunan di Kepahiang dan Rejang Lebong, Pertambangan
Mineral Emas pada tahun 1897 di Kabupaten Lebong Propinsi Bengkulu atas
fasilitasi dan peranan kolonialisme, yang haus akan extraction of natural
resources mengawali hadirnya ketimpangan
struktur agraria di Bengkulu.
Di dalam prakteknya
kehadiran perkebunan dan industri pertambangan adalah suatu tindakan dalam
rangka melakukan penundukan masyarakat satu terhadap masyarakat lainnya, dengan
berbagai cara mulai dari penataan wilayah, penciptaan aturan hukum[1],
membentuk sistem birokrasi baru hingga misi-misi civilization.
Ketimpangan struktur agraria melahirkan dominasi, maka terjadilah ketimpangan social,
ujungnya adalah konfik sosial, selalu merusak norma-norma budaya yang telah ada
sebelumnya dan menetapkan ketentuan-ketentuannya sendiri. Kehadiranya
kadang-kadang dengan cara membujuk, kadang-kadang dengan paksaan. Dengan
demikian kehadirannya selalu berlingkup dalam suasana konfik, setidaknya dengan
aturan dan sistem budaya setempat. Sehingga akibat dari transformasi agraria ini
melahirkan struktur sosial baru, baik itu di sektor ekonomi, social, budaya
maupun kewilayahan. Di samping itu, kehadiran struktur sosial baru disertai dengan
dampak ikutan seperti konfik dan kekerasan.
Di satu sisi bagi
masyarakat di Bengkulu yang tergantung dan mengantungkan hidupnya dengan tanah
melalui pertanian (sawah dan kebun) merupakan agen utama dari suatu praktek
ekonomi, yang memiliki kaitan nilai dengan keluarga, komunitas dan masyarakat. Masyarakat
Bengkulu bukanlah semata-mata sebuah organisasi produksi atau kumpulan
orang-orang yang menggarap tanahnya, akan tetapi mereka juga merupakan satu
unit konsumsi kendati hal ini belum berkaitan dengan keuntungan. Semangat
kemerdekaan dan nasionalisasi hukum agraria melalui Undang-Undang Pokok Agraria
(UUPA) semata-mata bertujuan untuk melepaskan diri dari undang-undang agraria kolonial
dan membebaskan rakyat Indonesia, yang mayoritas hidupnya sangat bergantung
pada tanah (dan sumber agraria lainnya) dari sistem feodal pra-kolonial di
bawah kebijakan kolonial untuk mengeksploitasi petani. Itulah sebabnya land
reform bertujuan melindungi dan menghormati kepentingan petani (baik petani
kecil, penyakap, ataupun buruh pertanian) menjadi fokus utama UUPA.
Tetapi, dalam perjalannya UUPA
tidak lagi berfungsi sebagai “hukum dasar” untuk mengatur sumber agrarian atau
tanah. Rezim Orde Baru, justru, membuat sejumlah undang-undang kehutanan dan
pertambangan baru serta membuat UUPA hanya berlaku sebagai peraturan bagi tanah
non-hutan. Sedangkan usaha eksploitasi barang tambang baik di dalam maupun di
luar wilayah kehutanan, berarti juga meliputi penguasaan tanah dan wilayah
tempat barang tambang tersebut dieksploitasi, diatur melalui Undang-Undang
Pertambangan, demikian juga dengan penetapan kawasan dan fungsi hutan di atur
dengan Undang-Undang sendiri yaitu Undang-Undang Kehutanan. Persoalannya
bertambah berkelindan ketika pelaksanaan prinsip-prinsip dasar UUPA juga
mengundang banyak interpretasi dan terus-menerus dieksploitasi.
Orientasi politik agraria
rezim Orde Baru memperparah kondisi yang ada, Orde Baru malah mendukung
investasi-investasi skala besar berhubungan dengan tanah. Penyediaan lahan
dalam skala besar untuk kepentingan modal baik di dalam negeri maupun luar
negeri pun menjadi prioritas. Tanah bertranformasi secara cepat dan pasti
menjadi komoditas ekonomi tentu saja kontradiktif atau sangat bertentangan
dengan prinsip-prinsip dasar UUPA bahwa tanah memiliki fungsi sosial. Dampak
dari perubahan tersebut adalah aktivitas spekulasi atas tanah menjadi bagian
integral dari penyediaan tanah untuk kepentingan bisnis. Secara umum, dan
senyata-nyatanya karakter utama politik agraria Orde Baru memperlakukan tanah
dan sumber alam lainnya sebagai komoditas yang membuka ruang bagi penetrasi
perusahaan dan investasi skala besar ke dalam wilayah pedesaan dan
menyingkirkan kebutuhan tanah bagi rakyat pada umumnya.
Kondisi inilah membuat
masyarakat Bengkulu berada dalam ruang dan kondisi didominasi oleh kekuatan onderneming
didukung oleh sistem politik kolonialisasi berkelindan dengan kapitalisme, prinsif
dasarnya melakukan penakluklan dan perampasan dan menuntut pelipatgandaan modal
secara terus menerus serta mengutamakan bagaimana bekerjanya modal sebagaimana
pada konsep primitive accumulation. Ini merupakan awal dari tumbuh
kembangnya konflik, sengketa dan perkara terkait dengan tanah di Bengkulu.
Konflik, sengketa dan
perkara memicu munculnya perlawanan-perlawanan dan gerakan rakyat dari masa
colonial sampai Orde Baru. Secara massif gerakan-gerakan yang mengusung tema
“Reforma Agraria” kembali bergeliat sejak awal 1990-an dan terus digeluti oleh
sejumlah aktivis agraria dan lingkungan yang aktif dalam pengorganisasian
penduduk miskin pedesaan (petani, masyarakat adat, dan kelompok marjinal lainnya),
dan advokasi kebijakan land reform/pembaruan agrarian. Gerakan yang dibangun
ini meyakini bahwa perubahan struktur agraria sudah dipastikan akan membawa
perubahan mendasar sekaligus akan membawa transformasi sosial besar yang mampu
mengubah bentuk dunia baru.
Dan tidak bisa
dikesampingkan oleh gerakan yang mengusung tema “Reforma Agraria” meyakini bahwa
perubahan struktur agraria tersebut tergantung dari kuasa yang ada pada sisi
non ekonomi, walaupun dalam prakteknya lebih mengarah pada faktor ekonomi, sebagain
harus diakui gerakan ini menjadi pendukung utama untuk mendapat tempat kembali
dalam ruang-ruang kebijakan dan akademis seiring dengan kepedulian yang menguat
atas kemiskinan dan ketidakadilan agraria yang kronis, plus kerusakan lingkungan yang parah di pedesaan.
Keterlibatan pada
aktivitas gerakan-gerakan rakyat pedesaan untuk melakukan, terutama kampanye
untuk perubahan kebijakan agraria maupun lahirnya arah baru kebijakan agraria
adalah tonggak terbukannya ruang politik untuk mencapai apa yang disebut dengan
cita-cita reforma agrarian “sejati”. Rezim Pemerintahan Jokowi-JK telah membangun dan
meletakkan dasar atas mimpi-mimpi dengan menargetkan Reforma Agraria seluas 9
juta ha dan Perhutanan Sosial 12,7 ha yang ditujukan bagi kelompok masyarakat
marjinal. Terlepas dari kritik bahwa program ini
semakin membuka peluang perampasan tanah karena sertifikasi hanya akan
memudahkan praktik jual-beli tanah yang menguntungkan tuan tanah dan perbankan
yang menyita asset kaum tani ketika dihubungkan dengan skema Bank Dunia
melalui Land Administration Project (LAP). Bahwa, faktor
kesempatan politik yang terbuka dan dibuka oleh Pemerintahan Jokowi-JK inilah
yang memungkinkan diangkutnya agenda Reforma Agraria ke dalam kebijakan publik
di tingkat nasional dan global.
Silakan di Unduh;
https://www.academia.edu/36253842/Menyingkap_Persoalan_Agraria_Melalui_Anotasi_Advokasi_Kasus_Tanah_di_Bengkulu
Daftar Bacaan;
1.
Akar
Foundation. (2015-2016). Laporan Assesment dan Identifikasi perkembangan dan
potensi pengelolaan hutan berbasis masyarakat (community based forest
management) di Propinsi Bengkulu. Unpublished
2.
Akar
Foundation. (2007). Laporan Penyelesaian Sengketa Lahan Masyarakat Adat Lembak Suku
Tengah Kepungut dengan Pemerintahan Kabupaten Rejang Lebong di wilayah Eks Izin
Hak Guna Usaha PT Bumi Mega Sentosa. Unpublished
3.
Akar
Foundation. (2010). Laporan Penelitian
Dominasi Penguasaan Tanah di Marga Jurukalang Kabupaten Lebong, Propinsi
Bengkulu. Unpublished
4.
Akar
Foundation. (2016-2018). Laporan
Penyelesaian Konflik Lahan Masyarakat 8 Desa di Kecamatan Kaba Wetan Kepahiang
dengan TWA Bukit Daun. Unpublished
5.
Benjamin
White & Gunawan Wiradi. (1984). Reforma Agraria Dalam Tinjauan komparatif.
Brighten Institute.
6.
BPN.
(2015). Profil Pertanahan Propinsi Bengkulu
7.
Dianto
Bachriadi & Gunawan Wiradi. (2011). Enam Dekade Ketimpangan Masalah
Penguasaaan Tanah di Indonesia. ARC dan KPA.
8.
Erwin
Basrin. http://bdikar.blogspot.co.id/2018/01/mendedah-kelaparan-tersembunyi-hidden.html. Diakses pada tanggal
23 Maret 2018.
9.
Erwin
Basrin. https://indoprogress.com/2017/09/pengantar-politik-agraria-memahami-peta-jalan-menuju-keadilan-agraria/. Diakses pada tanggal
23 Maret 2018.
10. Geertz, Clifford. (2016). Involusi
Pertanian, Jakarta: Komunitas Bambu
11.
Gunawan
Wiradi. (2000). Refoma Agraria Perjalanan yang Belum Berakhir, Jawa Barat.
Sajogyo Institute
12.
Gunawan
Wiradi & Ismatul Hakim & Lucas R Wibowo (ed). (2014). Hutan untuk
Rakyat Jalan Terjal Reforma Agraria di Sektor Kehutanan, Yogjakarta. LKiS
13. Kusdinar,
Pramasty Ayu. 2016. Laporan Riset Aksi Pemetaan Sosial dan Praktik Tenurial
Masyarakat Hukum Adat Rejang di Kabupaten Lebong Propinsi Bengkulu. Akar
Foundation-Right Resources Initiative-Epistema Institute.
14. Johnson, Craig. 2013.
Pembangunan Tanpa Teori-Kuasa Pengetahuan dan Perubahan Sosial, Yogyakarta:
Resist Book.
15. Setiawan, Bonnie. 2014. Jaringan
Rantai Kapitalisme Global, Yogyakarta:
Resist Book
[1]
Hasil Riset “Reversing the Resources Curse” yang
dilaksanakan oleh Akar Foundation 2017-2018 menunjukan skema legal melalui
penciptaan hukum baru, dalam laporan tersebut menyebutkan di tahun 1870 merupakan tahun tersulit dan puncak
kemunduran bagi kekuasan elit pribumi terutama di wilayah Rejang Bengkulu yang
mempunyai deposit mineral, karena pada tahun tersebut jabatan regent (bupati) dihapus, 29
tahun kemudian, Pemerintahan colonial Belanda memperbaharui aturan Mijn
Reglement 1850 dengan mengeluarkan Mijnwet 1899, hukum pertambangan ini dibuat
Staten Generaal dengan pemerintahan pusat di negeri Belanda. Dalam aturan baru
ini, posisi pemerintahan jajahan Hindia Belanda amat sentral dalam hal mengurus
pertambangan di wilayah jajahannya. Siapa saja yang hendak menambang, harus
mengantongi izin dari pemerintah.
[2]
Akar Foundation adalah
organisasi non-profit yang didirikan pada tahun 2016 di Bengkulu untuk ikut
serta dalam mengembangkan potensi dan swadaya masyarakat dalam rangka upaya
mewujudkan masyarakat yang kritis, mandiri, demokratis dan berkeadilan sosial.
Dan, prihatin dengan makin meluasnya dampak pembangunan, deglarasi hutan dan
ekploitasi sumber daya alam terhadap ketidakadilan sosial dan penurunan
kualitas lingkungan hidup di Sumatera.
[3] Mengacu pada SK Nomor
784/Menhut-II/2012 yang merincikan Kawasan Hutan Provinsi Bengkulu terdiri dari
kawasan Suaka Alam dan Pelestarian Alam, Hutan Lindung, Hutan Produksi
Terbatas, Hutan Produksi Tetap, dan Taman Buru. Luasan data BPN Berbeda dengan
data yang dikeluarkan oleh Dinas Kehutanan Propinsi Bengkulu seluas 924.631
Ha.
[4] Profil Pertanahan Propinsi
Bengkulu tahun 2015.
[5] Laporan Program Akar Foundation. Assesment dan Identifikasi perkembangan dan potensi pengelolaan hutan
berbasis masyarakat (community based forest management) di Propinsi Bengkulu.
(Bengkulu, tahun 2015-2016). Unpublished.
[6] Akar Foundation.
Laporan Penyelesaian Sengketa Lahan
Masyarakat Adat Lembak Suku Tengah Kepungut dengan Pemerintahan Kabupaten
Rejang Lebong di wilayah Eks Izin Hak Guna Usaha PT Bumi Mega Sentosa. 2007.
[7] Marga adalah kesatuan
kelembagaan Masyarakat Hukum Adat Rejang yang terdiri dari beberapa kumpulan
setingkat dusun atau kampong yang masing-masing berdiri sendiri berdasarkan
ikatan kekeluargaan yang timbul dari system unilateral dengan system garis
keturunannya yang partrinial (dari pihak laki-laki) dan tenurial yang di bagi
berdasarkan kesepakatan musyawarah adat.
[8] W. Marsden, The History
of Sumatera, London MDCCLXXXIII, hal 178
[9] Dr. JW. Van Royen,
adat-federatie in de Residentie’s Bengkoelen en Palembang Bab de Redjang. Hal
18
[10]
Catatan penulis
berdasarkan dokumen yang ada di Akar Foundation, kepentingan bertumpuk pada
konflik ini (tata air untuk PLTA dan Irigasi, wisata alam, pengaweta species,
situs budaya dan leluhur, identitas masyarakat hukum adat, ekonomi masyarakat,
wilayah administrasi, pemukiman warga dll), sementara para pihak berkepentingan
terhadap objek sengketa (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, ATR BPD,
Kemendes, Depdagri, Balai TNKS, Dinas Kahutanan, Pemerintahan
Propinsi/Kabupaten/Desa, Masyarakat Lokal/Masyarakat Hukum Adat, PLTA (Negara
dan Swasta).
[11] Negosiator yang sering muncul di dalam setiap
kesempatan adalah Bapak Alinudin, Bapak Saudiah, Bapak Kamedan Wijaya (tokoh
Masyarakat Humum Adat Embong Uram/Marga Suku IX) dan Bapak Salim Senawar, M
Amir dan Edi Purnomo/Edi Tril (Tokoh Masyarakat Hukum Adat Jurukalang). Ibu
Supriyati di Desa Bandung Jaya Kabupaten Kepahiang, dan 20 orang tokoh
masyarakat dari 5 Desa di Kabupaten Rejang Lebong yang dimotori oeh Bapak Sawon
dan Tarosno dari Desa Baru Manis (presentative pendatang dari Jawa), Sindra dan
Santo Dari Desa Tebat Tenong Dalam dan Tanjung Dalam (presentative Pendatang
dari Bengkulu Selatan) dan Anggi Alexander dan M Sali dari Desa Tebat Pulau dan
Baru Manis (Presentative Suku Asli Rejang).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar