Ini bukan
kisah tentang seorang perempuan tua yang menjual sepasang sepatu di pasar
malam, juga bukan kisah tentang seorang perempuan tua yang membeli sepatu di
pasar malam. Bukan pula kisah tentang seorang perempuan tua yang memakai
sepasang sepatu untuk pergi ke pasar malam. Ini kisah tentang perempuan tua dan
Pasar malam.
Seorang
perempuan tua, bahkan terlalu tua, tengah duduk beralas koran bekas di dekat
pintu masuk sebuah pasar malam di sebuah lapangan di daerah dekat rumahku di
sebuah kota kecil yang mulai berkembang. Tubuhnya kurus kering, hanya tulang
dengan selapis daging. Rambutnya sepenuhnya memutih. Di depannya sebuah mangkuk
dari plastik yang tampak di dalamnya dua buah uang koin seratusan. Kedua
kakinya diluruskan di sisi jalan. Selembar kain batik yang sudah usang membelit
baju kebayanya yang sudah lusuh, sebagian ia tutupkan di atas kakinya untuk
bertahan dalam kedinginan malam. Bukan lah manusia ketika melihatnya tanpa rasa
iba.
Dan
memang orang-orang yang lalu lalang keluar masuk ke pasar malam itu bukan lah
manusia. Tak ada seorang pun yang melirik untuk sekedar menjatuhkan satu atau
dua koin uang recehan. Orang-orang itu berdesakan ingin masuk melihat
pertunjukan-pertunjukan. Komidi putar, becak angkasa, topeng monyet, rumah
hantu dan beraneka jajanan dan mainan. Rintihan perempuan tua itu tak
terdengar, terhisap oleh hingar bingar suara penjual karcis lewat pengeras
suara. Anak-anak kecil berjingkrak-jingkrak, sorak sorai kegirangan. Ibu-ibu
memilih pakaian-pakaian dan dagangan. Anak-anak muda berpacaran.
Perempuan
tua itu memandangi keramaian yang kini tak lagi menjadi miliknya. Bahkan ia pun
kini sudah tidak lagi menjadi bagian dari dunia. Langkah-langkah waktu telah
mengusirnya untuk tidak dapat lagi berkawan dengan dunia dan keramaiannya.
Senja usia telah menjauhkannya dari segala hingar-bingar dan hiruk pikuk itu.
Ia teringat bagaimana sewaktu kecil dulu, ia sangat suka sekali pergi ke pasar
malam bersama teman-teman mainnya, hanya untuk sekedar melihat-lihat
keramaiannya, karena ia tidak punya uang untuk membayar karcis meski hanya satu
permainan. Tapi ia sungguh bahagia kala itu. Ia menjadi bagian dunia, dunia
menjadi bagian keceriaan masa kecilnya.
Seorang
gadis kecil berlari memecah kerumunan orang di tengah pasar malam. Tak dipedulikannya
orang-orang yang tengah berdesak-desakan melihat aneka permainan. Ia menerobos
setiap celah yang ada di antara tubuh-tubuh yang bahkan tak merasakan adanya
tubuh seorang gadis kecil melewatinya. Ia menuju ke pojok lapangan, dekat
dengan seorang pedagang kembang gula warna-warni. Di sana teman-temannya tengah
menanti. Ada tiga orang. Siapakah anak-anak itu, tak ada yang peduli.
Masing-masing sibuk dengan kesenangannya sendiri. Anak-anak itu pun tak peduli,
apakah orang tuanya akan mencari.
”Kak,
aku dapat uang tadi, ada bapak-bapak yang baik hati mau ngasih aku lima ratus,”
gadis kecil itu menunjukkan uang yang dia genggam di tangannya. Bapak-bapak
baik hati katanya. Ia tidak tahu, apakah bapak itu benar-benar baik hati mau
memberi, ataukah karena rasa iba, ataukah karena ia tak ingin kedapatan oleh
orang-orang di sekitarnya menolak uluran tangan meminta seorang gadis kecil di
dekat pintu masuk pasar malam itu. Gadis kecil itu tetap mengganggapnya baik
hati, karena dengan pemberiannya ia dapat membeli, paling tidak satu satu
bungkus roti, atau es tong-tong.
”Hah?
dimana sekarang Bapak-bapak itu, ayo kita cari,” seketika anak lelaki paling
tua bertanya.
”Di
sana, di dekat pintu masuk, dia sedang membelikan anaknya es tong-tong,” gadis
kecil itu menjawab. Ketiga anak itu berlarian menuju seorang bapak-bapak yang
tengah menawar es tong-tong untuk anaknya. Gadis kecil itu mengikuti, lima
langkah berjarak.
Seorang
bapak, memakai kemeja batik safari. Kumisnya menjadi penanda bahwa ia seorang pejabat,
atau setidaknya seorang anggota polisi, postur tubuhnya tegap, tetapi perutnya
sedikit buncit. Kedua tangannya dimasukkan ke kedua saku celana kain warna
abu-abu, sandalnya sandal kulit berwarna hitam bermerek mahal. Melihat
kedatangan tiga orang anak kecil yang membuka telapak tangan kepadanya meminta,
ia geram. Pura-pura ia tidak memperhatikan, berkonsentrasi pada penjual es tong-tong
yang lalu diajaknya ngobrol, sekedar menjadi pengalihan agar ketiga anak kecil
itu segera berlalu, berpindah mencari seorang dermawan lain. Tetapi ketiga anak
itu tetap tak beranjak dari tempatnya semula. Mereka tetap menodongkan telapak
tangannya meminta, karena mereka tahu, bapak itu dermawan, terbukti dia telah
memberi seorang gadis kecil temannya uang lima ratus rupiah. Mereka menunggu
dengan wajah memelas dan rintihan lapar yang entah dibuat-buat ataukah memang
demikian kenyataannya. Gadis kecil memandanginya dari kejauhan.
”Biasa
lah, Pak, musim pasar malam, banyak pengemis jalanan yang menyerbu kemari
mencari penghasilan,” celoteh penjual es tong-tong. ”Kasih saja seratus
rupiah-an, mereka pasti akan pergi.”
”Bukan
itu masalahnya, Mas. Saya bisa saja langsung memberi mereka uang, satu orang
seribu pun saya mampu. Tapi, kalau saya terus- terusan berbaik hati memberi mereka
uang, mereka ini akan ketergantungan. Mereka akan terus-terusan minta-minta.
Kalau tidak ke saya, ya ke orang lain. Mereka akan malas bekerja. Apalagi
mereka masih anak-anak, kalau terus-terusan jadi pengemis, bagaimana nanti
nasib generasi muda kita. Ini salah orang tuanya, Mas. Masa anak- anaknya
dibiarkan ngemis. Hus..hus.. sudah sana pergi.”
Ketiga
anak itu tidak peduli, mereka tetap tidak beranjak dari tempatnya. Telapak
tangannya masih menengadah meminta.
”Sudahlah,
Pak. Kasih saja mereka lima ratus bertiga, mereka pasti langsung pergi,” lanjut
penjual es tong-tong lagi.
”Lha,
ini. Pikiran-pikiran seperti Mas ini yang membuat anak- anak kita malas
berusaha. Mas pikirannya terlalu memudahkan mereka. Lha saya punya uang banyak
’kan dari berusaha, bukan meminta-minta, bukan ngemis,” sahut sang bapak ketus.
”Lihat saja, gara-gara orang- orang seperti mas-mas ini, ibukota menjadi banjir
pengemis, di jalan- jalan, di perempatan-perempatan, di terminal-terminal.
Kriminalitas menjadi merajalela, wajah kota kita tercinta menjadi kumuh, kumal.
Saya malu sama negara-negara tetangga kalau mereka berkunjung ke negeri kita.
Lha negeri kita ini ’kan terkenal di mancanegara sebagai negeri kaya raya,
subur, makmur, orangnya ramah-ramah. Saya malu, mas. Saya malu. Makanya, kalau
ada kunjungan pejabat negeri-negeri tetangga –tetangga dekat atau jauh
sekalipun– kalau bisa, para pengemis- pengemis ini disuruh menyingkir dulu,
jangan menampakkan diri. Atau, mereka disembunyikan dulu, rumah-rumah dan
perkampungan mereka diratakan dulu, dibersihkan dulu, yang penting tidak
kelihatan.”
”Oalaah,
Pak, Pak. Tinggal kasih saja berapa, kok malah mikirin tentang negara segala.
Mau ngasih apa nggak? Atau biar saya saja yang ngasih,” sahut penjual es tong-tong
jengkel. Ia mengambil beberapa buah koin seratusan, diberikannya kepada ketiga
anak yang meminta-minta itu sambil mendorong gerobak es tong-tongnya pergi.
”Heh..
mas.. mas, anda mau kemana? Dasar orang bodoh tidak berpikiran jauh ke depan.
Kalau sekarang dikasih, besok mereka akan meminta lagi. Walah.. sudahlah, nanti
akan saya usulkan kepada anggota dewan, agar orang-orang tidak boleh memberi
sumbangan dan belas kasihan sepeser pun kepada para pengemis jalanan.
Sumbangan- sumbangan agar disalurkan oleh badan-badan yang sah,” Bapak-bapak
itu mengomel sendiri. Lalu ia teringat anaknya yang sejak tadi berdiri di
sampingnya, mengira bahwa ia adalah salah seorang dari tiga anak pengemis itu.
Dengan satu tangan masih di saku kirinya, ia menggamit tangan kecil anaknya
untuk kembali menikmati keriuhan pasar malam.
Malam
semakin meninggi, satu persatu orang bergiliran keluar, terutama anak-anak
kecil, atau ibu-ibu, bapak-bapak dan keluarga yang membawa anak-anak kecil.
Anak-anak muda mengambil waktunya. Di pojok-pojok, di remang-remang. Bercumbu,
bercengkerama dengan lawan jenis. Bapak-bapak berkemeja batik safari telah ada
di belakang kemudi mobilnya. Anak perempuannya duduk disampingnya, memegang
bungkusan kotak besar. Ia sudah tidak sabar ingin segera mencoba benda yang ada
di dalamnya. Sepasang sepatu baru, harganya dua ratus ribu. Bapaknya baru saja
membelikannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar