Masyarakat
Suku Rejang yang mendiami Kabupaten Lebong Propinsi Bengkulu memiliki sejarah
yang panjang dalam pengelolaan industri ekstraktif, industry Pertambangan.
Sejarah tambang melekat dalam mitologi, sejarah tenurial, identitas bahkan
dalam budaya masyarakat Rejang yang ada di Lebong. Pinang Belapis, Renah
Sekalawi dan Kutai Belek Tebo adalah urutan nama yang diberikan kepada kesatuan
wilayah atau Puak Lebong. Sejarah emas, salah satu deposit hasil pertambangan,
menempel erat dalam identitas kesatuan tenurial tersebut.
Diceritakan,
Ajai (sebutan pimpinan clan patrilineal) dipilih berdasarkan jumlah kepemilikan
harta, salah satunya akumulasi jumlah emas yang dimilikinya. Sehingga, orang
yang berharta berada berada di urutan pertama dari tiga prasyarat kemudian di
ikuti oleh orang berakal, lalu orang yang berilmu. Jumlah harta yang dimiliki
oleh Pimpinan komunal akan disumbangkan dan dihibahkan untuk kepentingan warga
yang dipimpinnya. Semakin banyak harta yang dimiliki semakin banyak orang yang
bisa ditolong. Begitulah logika kontruksi demokrasi komunalisme yang dibangun.
Emas dalam bentuk real (alat tukar)
adalah ukuran kesejahteraan warganya bukan pimpinan komunal.
“emas
memiliki pengaruh yang kuat dalam sejarah kami” Kata Pak Alinudin, salah satu
tokoh Masyarakat Hukum Adat Suku IX yang hadir dalam diskusi yang dilaksanakan
pada tanggal 20 Februari 2018 di Ruang Bina Graha Pemerintahan Kabupaten Lebong
yang bermoto EMAS. Istilah Mas (emas) Kutai, misalnya sampai saat ini dipakai
sebagai sebutan alat transaksi dalam membayar kewajiban masyarakatnya dalam
proses pernikahan selain Mas Kawin. Tambah Pak Alinudin ke pada Penulis di
sela-sela diskusi.
“86 persen
penduduk kampung saya bermata pencarian sebagai penambang” kata Kepala Desa
Lebong Tambang yang duduk berdekatan dengan investor tambang PT Tansri Madjid
Energy. Indentitas pertambangan lagi-lagi menempel di nama desanya yang
bertetangga dengan Desa Tambang Sawah, Lebong Donok dan sudah bisa dipastikan
persentasi warganya yang mengantungkan hidupnya dengan tambang lebih besar
dibandingkan dengan sector lainnya, misalnya sebagai petani sawah dan kebun.
Tetapi, sterotif sebagai Penambang Liar menempel juga ketika dilihat dari kaca
mata legal Negara. Padahal, mereka menambang jauh sebelum Negara ini terbentuk
dan teknologi pertambangan modern yang ekploitatif di temukan.
Kepemilikan deposit emas dan mineral yang melipah di Kabupaten Lebong
dimanfaatkan sebagai menompang utama keberlangsungan hidup dan system budaya
komunalisme masyarakat Rejang di Lebong. Ketika Emas menjadi alat transaksi
ekonomi yang massif, aktivitas menambang pun dirasuki aura kerakusan yang berujung mengalahkan
akal sehat. Cadangan Emas menjadi buruan. Itulah yang terjadi dalam perjalanan
di Lebong, sehingga hamparan sumber daya emas tidak pernah menjadi berkah,
tetapi kutukan. Secara ekonomi, menjerumuskan masyarakat dalam jurang
kemiskinan (resource curse hypothesis).
Belanda misalnya, merupakan contoh kasus yang sering disebut, di mana kekayaan
yang dimilikinya justru memerangkap negara Belanda dalam situasi stagnasi,
fenomena ini dikenal dengan istilah Dutch
disease (penyakit Belanda). Perubahan ekonomi berbasis komunalisme menuju
kapitalisme membuat lebong terinfeksi gejala Dutch disease.
Perburuan
emas di Lebong, dilakukan jauh sebelum kedatangan colonial Belanda. Perburuan emas telah dilakukan oleh Raja Paga Ruyung
Sultan Daulat Mahkota Alamsyah untuk mencari daerah baru yang tanahnya
mengandung emas bisa jadi menjadi factor utama yang menjadikan Raja Mawang yang
berdarah Minang memerintah Lebong meskipun di ceritakan hanya dalam waktu yang
singkat sebelum digantikan oleh Ki Karang Nio. Demikian juga dengan kedatangan
para Bikau yang melakukan penaklukan melului system perkawinan, bisa jadi
merupakan agenda perburuan emas. Kata-kata Lebong yang berarti berkumpul
merupakan buah karya dari para Bikau yang lahir melalui prosesi penebangan kayu
Benuang Sakti. Pasca prosesi tersebut nama Renah Sekalawi semakin meredup dan
Lebong semakin bersinar bak pancaran pantulan sinar gigi palsu dari emas.
Jadilah Lebong di konotasi sebagai wilayah pertambangan.
Secara
massif perburuan emas mulai dilakukan oleh colonial Belanda. Penaklukan dimulai
secara politik melalui kesepakatan antara Suku Rejang dengan Kolonial Belanda
di Topos pada tahun 1866, salah satu poin
kesepakatannya adalah Pemerintahan Kolonial Belanda tidak boleh ikut campur
dalam pelaksanaan adat istiadat meskipun dikemudian hari campur tangannya
sangat kuat dengan memberi Gelar Pangerah kepada Pesirah yang kooperatif. Kelemahan
bangsa Suku Rejang pada kesepakatan 1866 adalah abai dengan kekayaan alam yang
terkandung di wilayah pertuanan suku mereka. Kondisi ini dimanfaatkan dengan
baik oleh Pemerintahan Kolonial, berlahan Kolonial Belanda memakai Mijn
Reglement 1850 sebagai landasan hukum untuk mengambil alih, mengatur serta
memanfaatkan bahan mineral untuk kepentingan Pemerintahan Belanda. Menurut
catatan Helfrich, di tahun 1870 merupakan tahun tersulit dan puncak kemunduran
bagi kekuasan elit pribumi terutama di wilayah Rejang yang mempunyai deposit
mineral, karena pada tahun tersebut jabatan regent (bupati)
dihapus.
29 tahun kemudian, Pemerintahan colonial Belanda memperbaharui aturan Mijn
Reglement 1850 dengan mengeluarkan Mijnwet 1899, hukum pertambangan ini dibuat
Staten Generaal dengan pemerintahan pusat di negeri Belanda. Dalam aturan baru
ini, posisi pemerintahan jajahan Hindia Belanda amat sentral dalam hal mengurus
pertambangan di wilayah jajahannya. Siapa saja yang hendak menambang, harus
mengantongi izin dari pemerintah.
Penguasaan sumber-sumber tambang dan eksploitasi yang massif membuat Lebong
menjadi salah atu pengekspor emas dan perak yang utama di Hindia Belanda, pada
tahun 1936 bernilai f. 3.538.00 yang berarti 94,5 % dari seluruh eksport dari
Hindia Belanda yang bernilai f. 3.715.00. Perusahaan tambang Redjang-Lebong
merupakan perusahaan terkemuka dan tertua yang berdiri tahun 1897 dengan nama
Perusahaan Ekplorasi Emas Redjang-Lebong. Perusahaan pertambangan colonial
disebut oleh masyarakat local Rejang dengan Maskapai untuk menyebut Maatschappij. Dan pada tahun
1898 menjadi Perusahaan Tambang Redjang-Lebong dengan konsesi 4.079 bau
selama75 tahun dengan pembayaran cukai 10 % darihasil bersih dan biaya sewa
sebesar 0,25/bau, namun pada tahun 1936 perusahaan Tambang Redjang-Lebong
ditutup sementara, tetapi kemudian beroperasi kembali karena mendapatkan daerah
penambangan baru dengan 23 izin konsesi dari perusahaan tambang milik
pemerintah. Setelah
Indonesia merdeka tahun 1945, tambang emas dan peninggalan berupa bangunan
Belanda diambil alih oleh rakyat Lebong. Pada tahun 1988 PT Lusang Mining
memulai aktivitas pertambangan baik di Lebong tandai maupun di Lebong Simpang.
Seperti arus
Sungai Ketahun yang mengalir deras dan segar, keberadaan deposit emas seperti
tidak habis-habisnya dan mengundang perburuan emas modern. Misalnya di tahun
2007 PT Sugico Graha melalui anak
perusahaannya, PT Tansri Madjid Energi segera melakukan pengeboran guna
mendapatkan 200 sampel di 6 titik dengan kedalaman 2.000 – 2.400 meter.
Pengobaran ini masih dalam tahap eksplorasi untuk mengetahui sejauh mana
deposit (kandungan) emas dan mineral lainnya. Ada
tiga lokasi yang dibor, yakni Lebong Tambang, Tambang Sawah dan Belimau.
Tumpeng tindih wilayah operasional antara dua
investor pertambangan, PT NPM (Nusa Palapa Mineral) dan PT TME (Tansri Madjid
Energy) juga mewarnai keruhnya areal perburuan emas di Lebong. PT
Lion Power Energy, PT. Mineral Gading Kencana (MGK), PT. Seribu Pulau Indo Mining (SPIM)
dan PT. Jambi Resources
juga terlibat dan melibatkan diri dalam melakukan aktivitas perburuan sumber
daya di bawah tanah yang di huni puak Rejang di Lebong.
Issue lingkungan hidup, sumber energi konvensional berbahan bakar, batu
bara, dan gas alam terbukti sangat efektif secara ekonomis, tetapi pada saat
itu juga berdampak buruk bagi lingkungan dan kesehatan manusia. Kesadaran ini mengalihkan focus
perburuan yang mulai menyasar sumber energi lain yang terbarukan. Sekali Lagi,
Lebong yang berada di punggung dua lempeng tektonik dunia yaitu
lempeng Indo-Australia dan lempeng Eurasia menyediakan banas bumi yang
berlipah. Kehadiran PT Pertamina Geotermal Energy (PGE) yang tersebar
dibeberapa kecamatan, seperti PT PGE Proyek Hulu Lais, PT PGE Bukit Daun di
Kecamatan Rimbo Pengadang dan PT PGE yang berada di lokasi Tambang Sawah di
gadang-gadangkan menjadi pusat penyuplai energy terbesar di Bengkulu.
Lebong yang
subur dan berlimpah kekayaan alam terbarukan maupun yang tidak terbarukan,
tetapi sekaligus merupakan wilayah rawan bencana. Ekosistem hutannyapun di mana
dibawahnya terkandung sumber kekayaan alam yang hanya bisa dimanfaatkan melalui
aktivitas ekstraktif memiliki peran pivotal, di satu sisi menjadi penyedia
bahan-bahan yang dapat digunakan secara langsung oleh mahluk hidup, dan di sisi
lain berperan penting menjamin keberlanjutan fungsi-fungsi alam, seperti tata
air, penyaring udara, pengatur kestabilan iklim, serta pengikat tanah. Lebong
adalah contoh gambaran lengkap satu kesatuan sistem dan fungsi ekosistem selama
beberapa abad sebagai penyedia sumber kehidupan dan penghidupan dan pada saat
yang sama memainkan peran kunci dalam menjamin kelangsungan fungsi-fungsi alam. Penambangan bahan-bahan mineral yang ditopang
pembukaan jejaring sarana dan prasarana pendukung percepatan industri berbasis
kekayaan alam. Jejak tersebut secara konsisten menunjukkan tingginya daya
rusak, besarnya dampak yang diemban dan kecilnya manfaat yang dinikmati
masyarakat di Lebong.
Diskusi proyeksi sekaligus refleksi perjalanan panjang pertambangan di
Lebong yang dilaksanakan oleh Akar, PWYP dan Pemerintahan Kabupaten Lebong
membuat penulis mengendus adanya kegagalan institusional, di mana terjadi
ketidakjelasan terhadap hak kepemilikan (property
rights) dari berbagai sumber kekayaan alam dan lingkungan. Masyarakat local
yang secara turun temurun untuk jangkan yang panjang melakukan praktek
penambangan di wilayah dan ruang hidupnya diangap sebagai penambang liar. Untuk
kasus Lebong Tambang misalnya, masyarakat asli yang menumpahkan daerahnya di
tanah Lebong Tambang menjadi penumpang gelap yang harus ditertibkan karena
diatasnya telah dibebani oleh IUP PT Tansri Madhid Energy. Aroma kegagalan
pemerintah atau kebijakan (policy
failure) pun semerbak mengacaukan penciuman penulis, yakni kebijakan yang
diambil pemerintah justru menimbulkan distorsi dan memberikan sinyal yang salah
kepada pelaku ekonomi (investor tambang) terhadap nilai yang sesungguhnya dari
kekayaan alam dan lingkungan.
Pemerintahan
Kabupaten Lebong mulai siuman, inisiatif transparansi dan partisipasi public
dalam mengelolaan kekayaan alam dan pembangunan mulai di buka. “E-planing,
e-budgeting dan e-basen dan TSLP (Tanggung Jawab Social Lingkungan Perusahaan)
adalah inisiatif terobosan yang mulai kami bangun dengan cukup serius”. Kata Bapak
Dalmuji Asisten II Pemerintahan Kabupaten Lebong pada diskusi yang dilakukan di
Ruang Bina Graha ini. Masyarakat Lebong, telah belajar banyak akibat aktivitas
ekploitasi pertambangan diwilayahnya, merekapun mulai mengenal dengan baik
fenomena lack of good governance and transparency. Good governance telah
menjadi salah satu mantra ajaib yang banyak didengungkan dalam teori
pembangunan modern. Kata governance
yang mengacu pada ‘tata kelola’ disebut-sebut sebagai formula rahasia yang
menentukan kemajuan atau kemunduran suatu negara. Semoga inisiatif terobosan
yang mulai dipraktekkan di Kabupaten Lebong bisa menentukan arah kemajuan
bersama, sebagai mana yang telah di praktekkan oleh pemerintahan komunalisme
kuno leluhur Puak Rejang di Lebong, dan terpatri dalam moto Kabupaten Lebong
Swarang Patang Setumang (pantang tercerai berai, tinggal meninggal, susah sama
di rasa, senang sama dinikmati).

Tidak ada komentar:
Posting Komentar