Pagi itu aku dibangunkan
pagi-pagi oleh Ibuku, dan itu pagi sekali. Lalu aku disuruh mandi,
cukup lama aku duduk dekat ember penampung air, duduk sambil berhayal
mentransfer energi panas ke dalam wadah tempat air. Berharap ketika
air tersebut nempel dikulit tidak mengeluarkan uap asap akibat reaksi
kulit ketika bertemu dengan dinginnya air.
Maklum saja ketika itu,
minyak goreng saja beku, harus diiris pakai pisau kalau mau
digunakan. Dinginnya luar biasa, belum ada perubahan iklim, semuanya
berjalan normal, keteraturan cuaca dan keteraturan musim berjalan
pada sistem alami dan tunduk pada skema alam.
“Cepat mandi, kita mesti cepat
nanti tidak kebagian tempat sholatnya.” bahasa perintah Ibuku ini
membuat gagal transfer energi panas ke dalam ember tempat menampung
air. Dan benar saja ketika guyuran air membasahi tubuhku, uap asappun
keluar, aku seperti kena malaria stadium empat, gemetar kedinginan.
Pagi itu adalah hari Lebaran/idul fitri 1402 H, lebaran di tahun
1982. Kami menyebutnya bilai
rayo atau hari
lebaran.
Bersama ibu dan bapakku kami
berangkat ke Masjid yang tidak jauh dari rumah, aku duduk samping
Bapakku, kami berdua berbagi sejadah. Masjid ini kata ibuku adalah
cenderamata dari Ayahnya, masjid permanen pertama di kampungku ini
dibangun oleh Kakekku, ayah dari ibuku. Maka setiap pulang dari
masjid ini, terutama setelah sholat idul fitri atau lebaran, Ibu dan
nenekku pasti menangis sedih, dan itu berlangsung sampai sekarang,
aku tahu dia pasti rindu dengan ayahnya, masjid ini mampu mengugah
kesadaran kolektif keluarga kami.
Pulang sholat, kampung masih
berkabut, udaranya segar dan dingin, dinginnya seperti nempel dikulit
dan menusuk-nusuk ke tulang, lalu kami hangatkan tubuh dengan kue
tanpa pengawet buatan ibuku. Sambil menikmati kerenyahan kue, aku
juga diwajibkan menikmati tangisan rindu ibuku pada Ayahnyayang telah
tiada dan itu bisa lama kalau ada saudaranya yang datang ke rumah.
Biasanya tangisan itu akan berhenti ketika Kakak tertua Ibuku datang,
dia pemimpin tertinggi dikeluarga kami saat itu. Aku punya tradisi,
biasannya ketika dia datang, aku langsung memijit betisnya, karena
pasti ada kejutan-kejutan yang akan keluar dari mulutnya, mulut yang
hapal habis isi Al Quran.
“Kita tidak mungkin menentukan
secara mutlak momen kematian, karena fisiologi membuktikan bahwa
kematian bukanlah sesuatu fenomena yang langsung dan sejenak, tapi
suatu proses yang berlangsung lama,” Katanya membuka obrolan dan
aku menganguk tanda tidak mengerti dan dia tersenyum kemudian sambil
merebahkan kepalanya.
“Begini, setiap makluk hidup
itu adalah momen yang sama atau berbeda, nah, dalam setiap momen
kematian misalnya, ketika sel-sel tubuh itu sendiri mengalami
kematian maka pada momen yang lain membangun diri yang baru.”
Lanjutnya. Dan. Akupun tambah tidak mengerti, umurku baru 6 tahun
ketika itu, masih kelas 1 SD dan belum lancar baca tulis.
Sambil menyengir dan memijit
betisnya, aku lihat dia mulai tertidur, lalu pikiraku melayang dengan
tafsir bebasnya, mungkin ini bentuk dari patah
tubuh hilang berganti
yang sering aku dengar dari celoteh tetua kampung kalau lagi
berkumpul, mereka beranggap bahwa setiap makluk hidup adalah dirinya
sendiri namun juga sesuatu yang lain dari dirinya.
Jadi Kakekku boleh saja
meninggal, dia tetap bagian dari kami, tapi kami tetap harus hidup,
lalu merefleksi apa yang telah dia lakukan, kemudian berbuat dan
merancang untuk perkembangan berkesinambungan, tentu kami harus lebih
baik dari beliau dan menjadikan kebaikan ajaran dan jejaknya sebagai
alas pijakan kami. imajinasiku mulai berdialegtika
“Itu masa lalu, kemudian masa
kini lalu masa depan, kesemuanya adalah proses pembentukan sejarah.”
jawab teman imajiku yang keluar tiba-tiba dari dalam sarung yang aku
pakai lalu menghilang.
Pada lebaran tahun itu, tidak ada
baju baru yang dibelikan seperti anak-anak lainnya, bagiku hari-hari
itu berjalan sangat alami, alami dalam kesederhanaan. Tangisan mulai
reda, sepertinya kedatangan kakak tertua ibuku mampu secara simbolik
mengantikan kehadiran Ayahnya.
Semua saudara dari keluarga ibuku
sudah berkumpul. Dalam tradisi keluarga ibuku, rumah Kakekku yang
sekarang ditungui oleh ibuku, disepakati sebagai “Rumah Tua”.
Rumah tempat berkumpul keluarga besar kami, keluarga besar yang
dihitung atas akumulasi 5 generasi di atas kakekku, dan itu beserta
keturannanya. Jadi aku tidak perlu capek-capek berkunjung kerumah
saudara kami kalau lebaran untuk mintak maaf, cukup tunggu dan
duduk-duduk dirumah, lalu mereka datang sendiri.
Aku menikmati dan kebagian berkah
dari fungsi “rumah tua” ini. Dan belum lagi kalau dihitung, aku
satu-satunya anggota kelurga yang disayangi dalam keluarga besar ini,
disayang karena berpenyakitan, sejak lahir sampai umur 10 tahunan aku
selalu diserang oleh berbagai penyakit dan selalu jenisnya
bergantian, sumber penyakit terlalu dekat dengan tubuhku, penyebab
utamanya pasti karena kurangnya asupan dan suplai gizi.
Setelah semuanya berkumpul, ibu
dan para saudaranya menyiapkan makanan untuk syukuran. Kami
menyebutnya Beduo,
berdoa yang diakhiri dengan makan bersama. Ini bentuk pesta makan
setelah satu bulan berpuasa. Setelah pesta dan doa makan, tradisi
selanjutnya mengunjungi makam tua yang terletak di ujung desa, makam
ini dipercayai sebagai makam leluhur yang melahirkan tradisi adat dan
agama di Kampungku.
Dalam perjalanan ke Makam untuk
bersiarah, dalam nalar yang sederhana ketika itu. Aku berendapat
bahwa penghuni Kubua
Penungea (nama
kompleks kuburan) pasti dimasa hidupnya telah banyak meninggalkan
jejak entitas, sesuatu yang sungguh ada, diketahui dan jadi acuan
karena mengandung ajaran mungkin saja sangat idelogis, buktinya ada
eksistensi fisik yang reflektif sehingga kami anak keturunannya bisa
memamahi sejarah kami. “adapohon
sejarah yang sukses dengan fondasi akar yang kuat, batang yang
menjulang dan ranting yang merindang serta buah sejarah yang bisa
dinikmati sepanjang musim. Lalu ada pohon sejarah yang rapuh, akar
yang tercabut dari bumi, akhirnya mudah runtuh dan rubuh.”
kata teman imajiku yang tiba-tiba berjalan disampingku lalu
menghilang.
Antrian panjang sekali di makam
tua ini, setelah bedoa dan tabur bunga, keluarga besar kami lalu ke
komplek pemakaman kakekku, keluarga besar kami duduk rapi
mengelilingi kuburan kakekku yang sepertinya sudah mulai di
kramatkan. Belum ada kesepakatan menjadikan Makam kakekku sebagai
Makam Tua, sepertinya karena wibawanya yang besar dalam memimpin
keluarga besarnya menuju pemahaman realitas inderawi, sebuah
kemampuan memahami dunia luar dari manusia. Menurut cerita dari
tua-tua kampung yang pernah belajar dengan beliau. Kakekku ketika
masih hidup semangat sekali mengajari Ilmu Thariqah
Qadiriyah Naqsabandiyah, Thariqah ini merupakan perpaduan
dari dua buah tarekat besar, yaitu Thariqah
Qadiriyah dan Thariqah
Naqsabandiyah
yang didirikan oleh seorang Sufi Syaikh besar Masjid Al-Haram di
Makkah al-Mukarramah bernama Syaikh Ahmad Khatib Ibn Abd.Ghaffar
al-Sambasi al-Jawi. inti
pokok ajarannya adalah sama-sama
menekankan pentingnya syari'at dan menentang faham Wihdatul
Wujud, menuntun
pada
kesempurnaan
suluk, adab (etika), dzikir, dan murakabah. Secara sederhana
mengajarkan survive
material untuk tetap hidup sehingga mampu membentuk kesalehan sosial
dan kesalehan individu berjalan secara pararel.
Sepulangnya dari kuburan, aku
sempat bermain-main dengan teman-teman sekampung yang berbanga dengan
baju barunya, sebenarnya ada perasaan minder ketika itu, tapi tidak
apa-apa, bukankah sehari setelah lebaran baju itupun jadi barang
usang, kemudian menjadi bagian dari masa lalu, bagian dari sejarah.
Ini realitas historis, realitas yang berubah. Oleh karena itu,
konsepsi kita terhadap sejarah haruslah bermula dan berdasar pada
realita yang utuh, seperti setiap makluk hidup adalah dirinya sendiri
namun juga sesuatu yang lain dari dirinya, kata-kata yang selalu
diucapkan para tetua dikampungku.
Tentu saja kemudian konsepsi kita
tidak boleh fragmentatif yang memisahkan objek dan subjek,
mengisolasi gerak dalam diam, memutuskan rangkaian sebab dan akibat,
sejauh mana kita melihat realitas, sejauh itu pula konsefsi kita
terbangun, ini adalah substansi dari ritual Mulang
Apei. Mulang
Apei, bukan hanya
aktivitas kembali ketempat leluhur, aktivitas secara priodik
mengenang sejarah, mempelajari artepak-artepak dan jejak leluhur,
Mulang Apei
bukan prosesi metaforis. Tetapi, lebih jauh Prosesi Mulang
Apei mengajarkan
pengungkapan konsepsi sejarah, konsepsi tentang sejarah panjang dari
peradaban masyarakat manusia.
Menjelang malam hari, aku duduk
disamping ibuku, dia sedang menyiapkan makan kami dari sisa
Syukuran/Doa siang tadi. lalu dia bilang, bahwa anggota keluarga kami
yang berkumpul di Rumah siang tadi sesungguhnya sedang mengingat
sejarah identitas mereka, mereka sedang melaksanakan kaidah-kaidah
formal tradisi, itulah bentuk peradaban, peradaban ini menyisihkan
dialektika dan kondisi historis masyarakat lain sebelum kita. Jadi
nak, katanya lembut, wujud sosial kita yang bisa kita pahami dari
Mulang Apei
ini hanya bisa dipahami secara realistis sebagai individu di suatu
masyarakat, tidak ada individu yang berdiri sendiri di luar
kumpulannya. Jadi tujuan masyarakat manusia kapan pun dan dimanapun
adalah hidup, yakni melestarikan hidup dalam hubungan alamiah dan
hubungan sosialnya. Otak saya belum bisa pahami kata-kata ibuku ini,
tapi hatiku berbunga karena saya yakin dia pasti pintar seperti Abang
tertuanya, yang selalu saya pijit betisnya setiap ketemu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar