Topos, Momen Lebaran dan Membagun Dirinya yang Baru - Erwin Basrin

Breaking

Recent Posts

 photo Untitled-1_1.jpg

Selasa, 08 Agustus 2017

Topos, Momen Lebaran dan Membagun Dirinya yang Baru


Pagi itu aku dibangunkan pagi-pagi oleh Ibuku, dan itu pagi sekali. Lalu aku disuruh mandi, cukup lama aku duduk dekat ember penampung air, duduk sambil berhayal mentransfer energi panas ke dalam wadah tempat air. Berharap ketika air tersebut nempel dikulit tidak mengeluarkan uap asap akibat reaksi kulit ketika bertemu dengan dinginnya air.
Maklum saja ketika itu, minyak goreng saja beku, harus diiris pakai pisau kalau mau digunakan. Dinginnya luar biasa, belum ada perubahan iklim, semuanya berjalan normal, keteraturan cuaca dan keteraturan musim berjalan pada sistem alami dan tunduk pada skema alam.

Cepat mandi, kita mesti cepat nanti tidak kebagian tempat sholatnya.” bahasa perintah Ibuku ini membuat gagal transfer energi panas ke dalam ember tempat menampung air. Dan benar saja ketika guyuran air membasahi tubuhku, uap asappun keluar, aku seperti kena malaria stadium empat, gemetar kedinginan. Pagi itu adalah hari Lebaran/idul fitri 1402 H, lebaran di tahun 1982. Kami menyebutnya bilai rayo atau hari lebaran.

Bersama ibu dan bapakku kami berangkat ke Masjid yang tidak jauh dari rumah, aku duduk samping Bapakku, kami berdua berbagi sejadah. Masjid ini kata ibuku adalah cenderamata dari Ayahnya, masjid permanen pertama di kampungku ini dibangun oleh Kakekku, ayah dari ibuku. Maka setiap pulang dari masjid ini, terutama setelah sholat idul fitri atau lebaran, Ibu dan nenekku pasti menangis sedih, dan itu berlangsung sampai sekarang, aku tahu dia pasti rindu dengan ayahnya, masjid ini mampu mengugah kesadaran kolektif keluarga kami.

Pulang sholat, kampung masih berkabut, udaranya segar dan dingin, dinginnya seperti nempel dikulit dan menusuk-nusuk ke tulang, lalu kami hangatkan tubuh dengan kue tanpa pengawet buatan ibuku. Sambil menikmati kerenyahan kue, aku juga diwajibkan menikmati tangisan rindu ibuku pada Ayahnyayang telah tiada dan itu bisa lama kalau ada saudaranya yang datang ke rumah. Biasanya tangisan itu akan berhenti ketika Kakak tertua Ibuku datang, dia pemimpin tertinggi dikeluarga kami saat itu. Aku punya tradisi, biasannya ketika dia datang, aku langsung memijit betisnya, karena pasti ada kejutan-kejutan yang akan keluar dari mulutnya, mulut yang hapal habis isi Al Quran.

Kita tidak mungkin menentukan secara mutlak momen kematian, karena fisiologi membuktikan bahwa kematian bukanlah sesuatu fenomena yang langsung dan sejenak, tapi suatu proses yang berlangsung lama,” Katanya membuka obrolan dan aku menganguk tanda tidak mengerti dan dia tersenyum kemudian sambil merebahkan kepalanya.

Begini, setiap makluk hidup itu adalah momen yang sama atau berbeda, nah, dalam setiap momen kematian misalnya, ketika sel-sel tubuh itu sendiri mengalami kematian maka pada momen yang lain membangun diri yang baru.” Lanjutnya. Dan. Akupun tambah tidak mengerti, umurku baru 6 tahun ketika itu, masih kelas 1 SD dan belum lancar baca tulis.

Sambil menyengir dan memijit betisnya, aku lihat dia mulai tertidur, lalu pikiraku melayang dengan tafsir bebasnya, mungkin ini bentuk dari patah tubuh hilang berganti yang sering aku dengar dari celoteh tetua kampung kalau lagi berkumpul, mereka beranggap bahwa setiap makluk hidup adalah dirinya sendiri namun juga sesuatu yang lain dari dirinya.

Jadi Kakekku boleh saja meninggal, dia tetap bagian dari kami, tapi kami tetap harus hidup, lalu merefleksi apa yang telah dia lakukan, kemudian berbuat dan merancang untuk perkembangan berkesinambungan, tentu kami harus lebih baik dari beliau dan menjadikan kebaikan ajaran dan jejaknya sebagai alas pijakan kami. imajinasiku mulai berdialegtika

Itu masa lalu, kemudian masa kini lalu masa depan, kesemuanya adalah proses pembentukan sejarah.” jawab teman imajiku yang keluar tiba-tiba dari dalam sarung yang aku pakai lalu menghilang.

Pada lebaran tahun itu, tidak ada baju baru yang dibelikan seperti anak-anak lainnya, bagiku hari-hari itu berjalan sangat alami, alami dalam kesederhanaan. Tangisan mulai reda, sepertinya kedatangan kakak tertua ibuku mampu secara simbolik mengantikan kehadiran Ayahnya.

Semua saudara dari keluarga ibuku sudah berkumpul. Dalam tradisi keluarga ibuku, rumah Kakekku yang sekarang ditungui oleh ibuku, disepakati sebagai “Rumah Tua”. Rumah tempat berkumpul keluarga besar kami, keluarga besar yang dihitung atas akumulasi 5 generasi di atas kakekku, dan itu beserta keturannanya. Jadi aku tidak perlu capek-capek berkunjung kerumah saudara kami kalau lebaran untuk mintak maaf, cukup tunggu dan duduk-duduk dirumah, lalu mereka datang sendiri.

Aku menikmati dan kebagian berkah dari fungsi “rumah tua” ini. Dan belum lagi kalau dihitung, aku satu-satunya anggota kelurga yang disayangi dalam keluarga besar ini, disayang karena berpenyakitan, sejak lahir sampai umur 10 tahunan aku selalu diserang oleh berbagai penyakit dan selalu jenisnya bergantian, sumber penyakit terlalu dekat dengan tubuhku, penyebab utamanya pasti karena kurangnya asupan dan suplai gizi.

Setelah semuanya berkumpul, ibu dan para saudaranya menyiapkan makanan untuk syukuran. Kami menyebutnya Beduo, berdoa yang diakhiri dengan makan bersama. Ini bentuk pesta makan setelah satu bulan berpuasa. Setelah pesta dan doa makan, tradisi selanjutnya mengunjungi makam tua yang terletak di ujung desa, makam ini dipercayai sebagai makam leluhur yang melahirkan tradisi adat dan agama di Kampungku.

Dalam perjalanan ke Makam untuk bersiarah, dalam nalar yang sederhana ketika itu. Aku berendapat bahwa penghuni Kubua Penungea (nama kompleks kuburan) pasti dimasa hidupnya telah banyak meninggalkan jejak entitas, sesuatu yang sungguh ada, diketahui dan jadi acuan karena mengandung ajaran mungkin saja sangat idelogis, buktinya ada eksistensi fisik yang reflektif sehingga kami anak keturunannya bisa memamahi sejarah kami. adapohon sejarah yang sukses dengan fondasi akar yang kuat, batang yang menjulang dan ranting yang merindang serta buah sejarah yang bisa dinikmati sepanjang musim. Lalu ada pohon sejarah yang rapuh, akar yang tercabut dari  bumi, akhirnya mudah runtuh dan rubuh.” kata teman imajiku yang tiba-tiba berjalan disampingku lalu menghilang.

Antrian panjang sekali di makam tua ini, setelah bedoa dan tabur bunga, keluarga besar kami lalu ke komplek pemakaman kakekku, keluarga besar kami duduk rapi mengelilingi kuburan kakekku yang sepertinya sudah mulai di kramatkan. Belum ada kesepakatan menjadikan Makam kakekku sebagai Makam Tua, sepertinya karena wibawanya yang besar dalam memimpin keluarga besarnya menuju pemahaman realitas inderawi, sebuah kemampuan memahami dunia luar dari manusia. Menurut cerita dari tua-tua kampung yang pernah belajar dengan beliau. Kakekku ketika masih hidup semangat sekali mengajari Ilmu Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah, Thariqah ini merupakan perpaduan dari dua buah tarekat besar, yaitu Thariqah Qadiriyah dan Thariqah Naqsabandiyah yang didirikan oleh seorang Sufi Syaikh besar Masjid Al-Haram di Makkah al-Mukarramah bernama Syaikh Ahmad Khatib Ibn Abd.Ghaffar al-Sambasi al-Jawi.  inti pokok ajarannya adalah sama-sama menekankan pentingnya syari'at dan menentang faham Wihdatul Wujud, menuntun pada kesempurnaan suluk, adab (etika), dzikir, dan murakabah. Secara sederhana mengajarkan survive material untuk tetap hidup sehingga mampu membentuk kesalehan sosial dan kesalehan individu berjalan secara pararel.

Sepulangnya dari kuburan, aku sempat bermain-main dengan teman-teman sekampung yang berbanga dengan baju barunya, sebenarnya ada perasaan minder ketika itu, tapi tidak apa-apa, bukankah sehari setelah lebaran baju itupun jadi barang usang, kemudian menjadi bagian dari masa lalu, bagian dari sejarah. Ini realitas historis, realitas yang berubah. Oleh karena itu, konsepsi kita terhadap sejarah haruslah bermula dan berdasar pada realita yang utuh, seperti setiap makluk hidup adalah dirinya sendiri namun juga sesuatu yang lain dari dirinya, kata-kata yang selalu diucapkan para tetua dikampungku.

Tentu saja kemudian konsepsi kita tidak boleh fragmentatif yang memisahkan objek dan subjek, mengisolasi gerak dalam diam, memutuskan rangkaian sebab dan akibat, sejauh mana kita melihat realitas, sejauh itu pula konsefsi kita terbangun, ini adalah substansi dari ritual Mulang Apei. Mulang Apei, bukan hanya aktivitas kembali ketempat leluhur, aktivitas secara priodik mengenang sejarah, mempelajari artepak-artepak dan jejak leluhur, Mulang Apei bukan prosesi metaforis. Tetapi, lebih jauh Prosesi Mulang Apei mengajarkan pengungkapan konsepsi sejarah, konsepsi tentang sejarah panjang dari peradaban masyarakat manusia.

Menjelang malam hari, aku duduk disamping ibuku, dia sedang menyiapkan makan kami dari sisa Syukuran/Doa siang tadi. lalu dia bilang, bahwa anggota keluarga kami yang berkumpul di Rumah siang tadi sesungguhnya sedang mengingat sejarah identitas mereka, mereka sedang melaksanakan kaidah-kaidah formal tradisi, itulah bentuk peradaban, peradaban ini menyisihkan dialektika dan kondisi historis masyarakat lain sebelum kita. Jadi nak, katanya lembut, wujud sosial kita yang bisa kita pahami dari Mulang Apei ini hanya bisa dipahami secara realistis sebagai individu di suatu masyarakat, tidak ada individu yang berdiri sendiri di luar kumpulannya. Jadi tujuan masyarakat manusia kapan pun dan dimanapun adalah hidup, yakni melestarikan hidup dalam hubungan alamiah dan hubungan sosialnya. Otak saya belum bisa pahami kata-kata ibuku ini, tapi hatiku berbunga karena saya yakin dia pasti pintar seperti Abang tertuanya, yang selalu saya pijit betisnya setiap ketemu.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar