“Kalau
ikan gabus lapar, anaknyalah yang akan dimakan, beda gabus, beda pula
ikan Mujahir. Kalau ada ancaman anaknya dimasukan ke dalam mulutnya
dan setelah aman barulah anaknya dikeluarkan”. Kata Pak Alinudin
ketika berbicara di Seminar Menuju Pengakuan Masyarakat Hukum Adat
Rejang di Kabupaten Lebong yang dilaksanakan oleh Akar Foundation di
Gedung Aula Pertemuan Gubernur Bengkulu, Kamis, 19 November 2015
lalu. Dia menganalogikan Negara dengan ikan gabus dan ikan mujahir,
untuk urusan hak masyarakat adat, katanya “Negara seperti ikan
gabus”. Lalu dia menjelaskan kondisi yang dialaminya maupun yang
menimpa warga lain di kampungnya. Bapak yang bertubuh kecil ini lahir
di Desa Embong Uram 67 tahun yang lalu,
tanggal 10 Agustus 2017
sayapun berkunjung ke kediamannya, butuh waktu lima jam perjalanan
darat dari ibu Kota Propinsi Bengkulu untuk sampai di Desa Kota Baru
sebuah desa pemekaran dari Embong Uram Kecamatan Embong Uram
Kabupaten Lebong Propinsi Bengkulu. Deretan desa-desa yang berada di
Kecamatan Embong Uram ini adalah desa-desa penyanggah Kawasan Taman
Nasional Kerinci Sebelat (TNKS). Begitu sampai di depan gang
rumahnya, Pak Alinudin sudah menunggu kami, dengan sarung
kotak-kotak, baju safari berwarna hijau dan berpeci warna hitam yang
sudah mulai luntur warnanya. “Kediaman kami agak sulit dicari,
gangnya sempit makanya saya tunggu kedatangan kalian di pingir jalan”
Katanya Ramah sambil memandu kunjungan kami ke rumahnya.
“Leluhur
kami hidup disini dengan sistem adat pegong pakei” kata Bapak yang
pernah menjadi pembantu dan juruh tulis Pesirah Marga Suku IX ini.
Dia lahir ketika pemerintahan Marga masih eksis dan Desa Embong Uram
menjadi salah satu Kutai atau pemerintahan setingkat Dusun atau Desa
yang masuk kedalam federasi Pemerintahan Marga Suku IX. Marga Suku IX
ini salah satu Marga yang ada di Kabupaten Lebong dari lima Marga
yang ada. “Dusun Embong Uram ini didirikan pada zaman Rajo Lilo dan
menurut silsilahnya Rajo Lilo merupakan anak keturunan Ki Karang Nio
keturunan dari Bikau Sepanjang Jiwo dan Ajai Begelan Mato” Pak
Alinudin membuka obrolan kami setelah kami duduk di lantai yang hanya
dilapisi tikar anyaman berwarna merah dan bercorak kotak-kotak di
ruang tamu rumahnya yang terletak di salah satu gang sempit di Desa
Kota Baru.
“Dusun
Embong Uram pertama kali dipimpin oleh H. Abdullah” Dusun yang
dimaksud oleh Pak Alinudin ini adalah Dusun modern, menurutnya H.
Abdulah menjadi pimpinan Dusun ketika zaman Kolonial Belanda. Dan,
jika dihitung maka Kepala Desa yang sekarang di jabat oleh Naharudin
adalah pimpinan yang ke delapan. Embong Uram berasal dari kata Embong
dan Uram. “Embong artinya dikelilingi atau Genlung dalam
bahasa Rejang, dan Uram itu aslinya U’em atau Curam” jelas pak
Alinudin tentang perkampungannya yang dikelilingi oleh aliran Sungai
Uram atau U’em. Sebelah Utara Desa adalah kawasan hutan asli dan
lebat yang menjulang tinggi, hamparan dan deretan pengunungan di
kawasan ini mereka sebut masing-masing dengan sebutan Hutan Reges,
Tebo Pudau, Segurap dan Tebing Panjang. “Untuk sampai ke puncak
gunung atau Tebo pada lokasi tertentu sering kali dengkul kita ketemu
dengan dagu ketika naik, karena curamnya lereng-lereng pegunungan”
Kata Pak Alinudin.
Selain
Rajo Lilo, masyarakat Embong Uram mempercayai perkampungannya
didirikan oleh Demong Samin atau dikenal dengan Tuan Keboa yang
merupakan salah satu anak dari keturunan dari Ki Karang Nio sang
pendiri Marga Suku IX. Karena itulah di lokasi hulu sungai U’em
terdapat lokasi yang dikeramatkan, dipercayai sebagai lokasi
menghilangnya Demong Samin. “Masyarakat disini percaya Demong Samin
itu Raib atau menghiang di lokasi yang dikeramatkan itu” Cerita Pak
Alinudin sambil mempersilakan Penulis menikmati suguhan kopi dan
gorengan yang terbuat dari pisang yang dicampur dengan tepung beras
yang disuguhkan oleh istrinya. “Nak, disini kami menyebut gorengan
ini dengan sebutan Senaram” kata istrinya ramah.
Sebagai
penerus garis keturunan dari Ki Karang Nio maka sistem pemerintahan
di Embong Uram berbasis komunalisme dan mengacu pada sistem
kekeluargaan yang disebut dengan Petulai
atau Mego merupakan kesatuan kekeluargaan yang timbul dari sistem
unilateral
dengan sistem garis keturunan yang patrilinial
dan perkawinan yang eksogami,
sekalipun mereka terpencar dimana-mana. “Sistem perkawinan dengan
pasangan luar kampung merupakan syarat mutlak timbulya Petulai
sedangkan sistem kekeluargaan yang dihitung dari garis bapak sangat
mempengaruhi sistem kemasyarakatan dan akhirnya mempengaruhi bentuk
kesatuan dan kekuasaan dalam masyarakat.” Jelas Pak Alinudin yang
masih tinggi semangatnya ketika membicarakan sejarah leluhurnya. Dia
masih percaya masih ada kekuatan gaib dari leluhurnya Demong Samin
untuk menjaga anak cucunya dan wilayahnya. “Masyarakat disini masih
sering bernazar jika mengangalami kesulitan di lokasi yang
dikaramatkan tempat raibnya Demong Samin”. Lanjut pak Alinudin.
“Pada
zaman Bikau masyarakat di atur atas dasar sistem hukum yang di buat
berdasarkan azas mufakat/musyawarah, keadaan ini melahirkan kesatuan
masyarakat hukum adat yang disebut dengan Kutai
yang dikepalai oleh Ketuai Kutai”. Dan dia juga menerangkan bahwa
Kutai bisa difinisikan sebagai Dusun
yang berdiri sendiri.
“Kutai ini adalah kesatuan masyarakat hukum adat tunggal yang
dihitung dari garis keturunan dengan pemerintahan yang berdiri
sendiri dan bersifat kekeluargaan”. Dan, di tahun 1861, ditetapkan
sistem pemerintahan Marga yang merupakan gabungan dari beberapa Kutai
oleh Pemerintahan Belanda dan mengunakan Undang-Undang Simbur Cahaya
dengan mengadopsi Undang-Undang Simbur Cahaya di Sumatera Selatan.
Katanya Pak Alinudin menjelaskan.
Sistem Kutai menurut Pak
Alinudin di atur dengan Hukum Adat Rejang. “Sistem hukum adat
Rejang mengacu pada aturan pokok hukum adat yang disebut dengan Punen
Pokok Adat Jang
yang kemudian diterjemahkan dalam Adat
Ninik Menetai Pun
atau disebut juga dengan Adat
Beak Nyoa Pianang.
Dalam pelaksanaan dan penyelesaian haruslah mengacu pada musyawarah
disetiap tahapannya yang mengacu pada azas berjenjang
naik bertanggo turun
serta dengan mempertimbangkan murah
tepatnyo ado sukar tempatnyo sulit
terutama dalam menentukan denda dan sangsi”. Dalam sistim hukum
adat Rejang denda dan sangsi ini adalah sesuatu yang berbeda, denda
diterjemahkan sebagai bentuk material dari terdakwa dengan pesakitan
yang dihitung berdasarkan atas kerugian yang diderita atas kasus yang
terjadi sementara sangsi adalah kerugian yang harus ditunaikan untuk
memulihkan kondisi sosial dimana kejadi perkara terjadi. “Makanya
Undang-Undang Sumber Cahaya tidak diakui dalam menyelesaikan
sengketan yang terjadi” Katanya sambil tertawa dan membenarkan
letak peci hitamnya.
Bagi masyarakat Embong Uram
segala sesuatu yang terjadi dalam masyarakat tidak ada pemisahan
antara dunia lahir dan dunia gaib serta tidak ada pemisahan antar
manusia dengan makluk lainnya. “Segala sesuatu bercampur baur,
bersangkut paut dan saling berpengaruhi yang paling penting jika
dilihat lebih jauh hukum adat adalah manisfestasi dari keseimbangan,
keselarasan, keserasian,
segala yang mengangu keseimbangan tersebut merupakan pelangaran
Hukum” Terang Mantan Imam Masjid Kota Baru ini. “Masyarakat
embong Uram ini merupakan bagian tidak terpisahkan dari semua yang
ada diwilayahnya, termasuk dengan kepercayaan gaib, masa lalu dan
masa mendatang” Jelasnya Bijak.
“Wilayah adat bukanlah suatu
benda material, melainkan lebih memiliki makna gaib” Katanya
menjelaskan dan sayapun membayangkan konsep wujud corak
religio-magis,
berdasarkan
konsep magis-filosofis, maka tanah atau wilayah adat adalah kekayaan
kolektif yang dimiliki secara eksklusif oleh persekutuan hukum adat
yang bersangkutan, secara umum disebut dengan istilah hak ulayat atau
dalam bahasa Rejang di kenal dengan Taneak
Adat/Tanea Tanai.
“Hak atas Tanea Tanai adalah hak dari persekutuan hukum adat di
mana tanah tersebut berada sebagai wujud dari kekuasaan persekutuan
hukum adat, yakni kekuasaan atas tanah beserta segala sumber daya
alam yang ada yang dimiliki oleh suatu persekutuan hukum adat”.
Katanya sambil mengangakat gelas kopinya, begitu bibir gelas dan
bibirnya bersentuhan di tiup pelan-pelan air kopi yang mengepul
asapnya. Penjelasan sederhananya seperti meyakini bahwa hak
atas tanah harus memberikan kapasitas secara eksklusif kepada
persekutuan hukum adat yang bersangkutan untuk mengelola,
memanfaatkan, dan merawat tanah beserta sumber daya alamnya, dan
secara eksternal memberikan tanggung jawab untuk menjaga tanah dan
sumber daya alamnya dari penguasaan pihak. Sedotan kopi panasnya
memancing saya meraih gelas kopi yang dilapisi dengan piring, aroma
robustanya tercium sangat kuat ketika air kopi saya tumpahkan kedalam
piring menunggu dingin.
Di Desa Embong Uram terdapat
kawasan hutan adat
ketika Marga
masih eksis (Pra
1979), “Masyarakat
menyebutnya Hutan Adat atau
Hutan
Marga dan kami menjaganya dengan tertib dengan hukum adat”
Lanjutnya. Lalu
dia berceritan panjang bahwa kawasan Hutan adatnya dijadikan
sebagai Kawasan Hutan Negara dan sebelumnya
ditetapkan
juga sebagai
hutan
lindung oleh Pemerintahan Kolonial
Belanda sekitar tahun 1927.
Masyarakat Embong Uram hanya mengenal kawasan hutan Batas Bosswezen
(BW) atau atau Daerah Kawasan (DK). ”Kawasan ini berjarak ± 4 Km
dari Desa/Dusun”. Terang Pak Alinudin sambil menunjukan arah hutan
yang dimaksud. Menurutnya juga, penetapan kawasan Taman Nasional
Kerinci Sebelat (TNKS) yang merupakan bagian dari wilayah adat mereka
tanpa melibatkan masyarakat sehingga didalam wilayah TNKS tersebut
terdapat banyak lahan kelola masyarakat yang ditanami dengan tanaman
keras seperi durian, petai, jengkol dan kopi. Penetapan TNKS berbeda
ketika Pemerintahan Kolonial Belanda pada
tahun 1927 menetapkan kawasan hutan di Desa Embong Uram, Embong I dan
Kota Baru dijadikan sebagai kawasan BW, dalam proses penetapannya
dilakukan secara bersama antara Pemerintahan Kolonial Belanda dengan
Pemerintahan Adat Marga Suku IX.
“Pada tahun ± 1980-an
kawasan BW dan buffer zone kawasan BW dijadikan sebagai Daerah
Kawasan (DK), atau daerah cadangan,” Katanya. Lalu dia bercerita
dampak dari penetapan kawasan ini, pada tahun ± 1980-an
terjadi konflik antara masyarakat adat/lokal yang ada di Kabupaten
Lebong dengan kawasan Hutan Negara (DK), kawasan-kawasan atau wilayah
yang dulunya adalah wiayah adat dikenal dengan tanah Marga beralih
fungsi dari wilayah produktif pertanian masyarakat, wilayah magis
dimana terdapat situs Demong Samin, maupun kawasan perlindungan adat
menjadi kawasan yang dilindungi untuk kepentingan konservasi ekologi
kawasan. “Penetapan fungsi kawasan ini tidak melibatkan secara
langsung masyarakat yang bersentuhan dengan kawasan”. Sehingga,
Dengan penetapan fungsi kawasan tersebut mengakibatkan tercabutnya
hak akses dan kontrol masyarakat terhadap wilayah yang dulunya adalah
wilayah kelola rakyat dan wilayah adat yang fungsinya sebagai sumber
penghidupan dan identitas masyarakat adat.
Pada tahun 1982, kawasan DK
berubah fungsinya menjadi kawasan Konservasi atau Taman Nasional
Kerinci Sebelat (TNKS) ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Menteri
Pertanian No 736/Mentan/X/1982. Pada tahun 1999, Surat Keputusan
Menteri Pertanian No 736/Mentan/X/1982 diperkuat berdasarkan oleh
Kementerian Kehutanan dalam bentuk SK Menteri Kehutanan dan
Perkebunan No 901/kpts-II/1999 bahwa kawasan Taman Nasional Kerinci
Sebelat ini ditetapkan sebagai kawasan konservasi. “SK No 736 tahun
1982 ini aneh, Kawasan Hutan di SKkan oleh Menteri Pertanian”
Katanya sambil tersenyum.
Sayapun
menyampaikan informasi bahwa pada tahun 2004, Karena di dalam Kawasan
Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) memiliki beragan beragam flora
dan fauna. Sekitar 4.000 spesies tumbuhan tumbuh di wilayah taman
nasional termasuk bunga terbesar di dunia
Rafflesia
arnoldi,
dan bunga tertinggi di dunia,
Titan
Arum.
Dan keberagaman Fauna antara lain
Harimau
Sumatera,
Badak
Sumatera,
Gajah
Sumatera,
Macan
Dahan,
Tapir
Melayu,
Beruang
Madu,
dan sekitar 370 spesies burung. TNKS diterimanya sebagai
Warisan
Hutan Hujan Tropis Sumatera
ke
daftar
Situs
Warisan Dunia
oleh
UNESCO,
sehingga Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) juga diterima sebagai
Situs
Warisan Dunia UNESCO,
bersama dengan
Taman
Nasional Gunung Leuser
danTaman
Nasional Bukit Barisan Selatan.
Dia terdiam sejenak, lalu
menjelaskan seharusnya Negara bisa bedialog dengan mereka ketika
melakukan penetapan kawasan, sehingga tidak lagi memunculkan konflik
klaim di masing-masing pihak di kemudian hari. Katanya kawasan yang
telah ditetapkan sepihak oleh Negara tersebut bukanlah tanah kosong
tetapi tanah pertuanan milik masyarakat hukum adat Embong Uram.
Didalam kehidupan
masyarakat memiliki hak-hak untuk membuka tanah imbo
(tanah hutan kosong
yang belum digarap), hak untuk memungut dan mengambil hasil-hasil
hutan imbo
seperti damar dan berburu binatang liar, hasil-hasil sungai danau
hutan imbo
seperti ikan dan hasil buah-buahan hutan imbo
seperti durian,
petai dan jengkol. “Dan yang paling penting adalah hak berdiam dan
bertempat tinggal di daerah luak
langgam mereka
masing-masing secara damai tanpa di usir-usir” Katanya dengan
intonasi meninggi.
“Hak-hak
kami di rampas dan dituduh pula sebagai perambah dan perusak hutan”
Katanya. Padahal lanjutnya, masyarakat Embong Uram punya kearifan
dalam mengelola wilayah dan hutan adat mereka. Sebelum musim
berladang tiba, biasanya pada musim kemarau, maka orang-orang
se-kutai
sudah diperkirakan tempat-tempat imbo
yang akan mereka jadikan ladang, setelah musim berladang sudah dekat,
maka mereka pergi ketempat-tempat imbo
yang sudah direncanakan untuk disiangi tanah seluas kira-kira 5-10
depa persegi, kemudian membuat acak-acak, yaitu tiga batang kayu
diikat dengan rotan dan dipancangkan di tanah tersebut, pada
acak-acak ini digantungkan sebuah kayu yang terkait yang disebut
dengan Sulo.
Simbol
sulo ini hanya dipakai untuk pohon-pohon yang masih kecil dan belum
menghasilkan (pohon cadangan), sedangkan bagi pohon-pohon yang sudah
besar dan menghasilkan digunakan lain yang disebut tangga. Seorang
anggota masyarakat yang sudah membuat simbol sulo atau sulai atau
tangga (patet), maka ia wajib memberitahukan kepada tuai
kutainya, sehingga
pohon-pohon tersebut menjadi kepunyaannya. “Untuk memiliki
pohon-pohon ini tidak dikenakan biaya apapun, kecuali bila dalam
mengambil hasil-hasil pohon tersebut yang melebihi keperluan sendiri,
maka ia diwajibkan membayar bunga
kayu atau pancung
alas sebesar seper
sepuluh dari jumlah kelebihan dari keperluan. Hak kepemilikan
pohon-pohon ini akan hilang atau hapus ketika simbol-simbol itu
hilang atau pohonnya tumbang (mati)”.
Jelas Pak Alinudin
Di
dalam kawasan hutan atau imbo
tertentu terkenal dengan sebutan imbo
cadang utan piadan
diperlukan izin tuai
adat untuk
mengambil hasil-hasil hutannya. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga
kepentingan persekutuan masyarakat hukum adat, misalnya menjaga
kualitas kayu, baik untuk membangun rumah maka pohon yang ditebang
tua atau akan mati; pohon damar dapat di lobangi (takik) kembali
harus dalam jangka waktu 3 bulan 10 hari. “Disamping itu tanah
kutai (hutan cadangan) tidak boleh dijadikan ladang”.
“Bagi setiap anggota
persekutuan masyarakat hukum adat yang melanggar aturan-aturan hukum
adat tersebut akan dikenakan sanksi berupa denda adat.” Besarnya
denda adat ini berdasarkan musyawarah adat dari para tuai
kuteui.
“Saat ini,” Lanjutnya. Dalam melaksanakan
hak-hak perseorangan sebagai anggota persekutuan masyarakat hukum
adat meliputi membuka lahan di kawasan hutan (imbo),
hak untuk memungut hasil hutan dan hak untuk memiliki pohon-pohon
tertentu, merupakan bagian dari hak-hak perseorangan yang di warisi
secara turun temurun. Pak Alinudin tetap berjuang sambil mengelolah
sawahnya memelihara kebun duriannya yang berada di dalam Taman
Nasional Kerinci Sebalat, sesekali masih membuat lemari, kosen, meja
sebagai keahlian keterampilannya. “Saya sudah bertemu dengan Ibu
Menteri dan Dirjen Planologi beberapa waktu lalu saya lihat Negara
ini mulai membuka diri dan mau mengembalikan hak kami yang terlanjur
dirampas tetapi prasyaratnya masih terlalu berat dan prosesnya
panjang” Katanya bijak sambil meperlihatkan photo ketika dia
bertemu dengan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik
Indonesia. “Peraturan Daerah sudah disyahkan oleh DPRD Lebong
tinggal menunggu penerbitan SK tentang keberadaan kami, semoga cepat
selesai dan saya bisa bertemu lagi dengan Ibi Menteri dengan membawa
dokumen yang dibutuhkannnya” Katanya berharap. Azan Magrib yang
terdengar melalui pengeras suara dari Masjid yang tidak jauh dari
rumahnya memotong obrolan kami, kami lalu sholat berjamaah dirumahnya
yang di imami oleh Pak Alinudin, dia membaca ayat Ar Rahman, pada
rakaat pertama, suaranya tidaklah semerdu Muzammil
Hasballah, tetapi
suaranya merintih
seperti ribuan hujaman tombak melubangi pintu langit dia seperti
ketemu langsung dengan pencipta-Nya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar