Oleh: Erwin Basrin
Tahun 1987 saya duduk di kelas 5 Sekolah Dasar Inpres No 41 Desa Topos, Desa ini masih bergabung dengan Kabupaten Rejang Lebong ketika itu, Sekolah Inpres kami di Kepalai oleh Kepala Sekolah bersuku Jawa, kalau sedang menerangkan pelajaran suaranya melengking tanpa spasi kemudian membiarkan kami mencari jawaban sendiri atas pertanyaan-pertanyaan yang dihujamkannya bertubi-tubi, namanya Pak Seno. Ketika kelas lima saya sering ikut Cerdas Cermat dan sesekali mewakili Sekolah, tetapi hanya sampai di tingkat Kecamatan Perwakilan dan tidak pernah sampai di tingkat Kecamatan Induk.
Saya dan Bambang
teman sebang saya suka ‘mengutil’ buku-buku dari perpustakaan
sekolah kami. “Buku-buku ini akan rusak digerayangi rayap kalau
tidak di buka dan dibaca halaman-halamannya” Kata Bambang sambil
memasuki buku-buku kedalam baju bagian belakangnya, dan saya menjadi
makmum yang baik, kalau Bambang ambil 4 buah buku maka saya tidak mau
kalah, saya ambil enam buku. Pernah kami ketahuan oleh Guru Kelas
kami ketika ‘mengutil’. Dan, Sayapun mengeluarkan ancaman tidak
akan ikut cerdas cermat mewakili Sekolah kalau sampai dimarahi dan
diketahui oleh teman-teman sekelas kami. Pak Daryanto, guru kelas
kamipun melembut dan menjadi maklum.
Tahun 1987 saya duduk di kelas 5 Sekolah Dasar Inpres No 41 Desa Topos, Desa ini masih bergabung dengan Kabupaten Rejang Lebong ketika itu, Sekolah Inpres kami di Kepalai oleh Kepala Sekolah bersuku Jawa, kalau sedang menerangkan pelajaran suaranya melengking tanpa spasi kemudian membiarkan kami mencari jawaban sendiri atas pertanyaan-pertanyaan yang dihujamkannya bertubi-tubi, namanya Pak Seno. Ketika kelas lima saya sering ikut Cerdas Cermat dan sesekali mewakili Sekolah, tetapi hanya sampai di tingkat Kecamatan Perwakilan dan tidak pernah sampai di tingkat Kecamatan Induk.
Memasuki
catur wulan kedua di Kelas Lima, saya kemudian bermaksud untuk
menyemarakkan suasana penerbitan majalah dinding, ada satu ruangan
dirumah kami yang sering digunakan oleh Ibuku sebagai tempat belajar
dan mengajar paket A untuk kaum ibu-ibu di kampung. Saya terinpirasi
dengan bahan-bahan ajar Paket A yang sering digunakannya. Terutama
catatan ibu-ibu tentang ekpektasi terhadap anak-anak mereka di masa
mendatang. Dan, tulisan di halaman pertama teman-teman sekelas kami
yang menulis cita-cita mereka untuk menjadi pemimpin.
Iseng-iseng
tapi serius, saya bersama Bambang teman sebayaku bermaksud mulai
membangun majalah dinding, setelah berpikir sana pikir sini, kami
berdua memutuskan mewawancara beberapa pakar tentang pentingnya
membangun Calon Pemimpin masa depan.
Dari
hasil diskusi awal kami berdua, pakar yang kami maksud bukanlah
ilmuwan, budayawan, atau tokoh panutan dalam arti yang sering disebut
namanya di televisi satu-satunya milik desa di desa kami atau di
dalam koran yang masuk seminggu satu kali ke kampung kami. Melainkan
siapa saja sekenanya.
“Kok
saya di anggap pakar?” tanya Suharman ketika saya mulai wawancara
di pondok sawah bapaknya yang terletak di ujung desa dan Bambang
sudah siap dengan buku catatannya bersampul warna hitam.
“Kan
kamu yang paling tahu tentang pendapatmu sendiri dibanding orang
lain” Jawab saya tiba-tiba. Begitu juga ketika saya menjawab
kekagetan Suparman dan Supardi. “Kamu otentik dengan pikiranmu
sendiri. Kamu alhi dengan pandanganmu sendiri. Kamu yang paling punya
hak terhadap apa saja yang muncul dari pemikiran dan penalaranmu!”
Suharman adalah seorang mahasiswa abadi. Hingga usia di atas 40 tahun
belum pernah jadi Serjana. Mungkin justru karena otaknya dipenuhi
oleh berbagai obsesi tentang lingkungan masyarakatnya, tentang
keadaan bangsa dan negara, rumahnya beberapa kali didatangi oleh
anggota Koramil dan Kodim untuk menjinak sekaligus menitipkan ancaman
atas cara dia berpikir, ia lupa dengan nasibnya sendiri. Juga lupa
apakah ia masih terdaftar sebagai mahasiswa di kampusnya atau sudah
di-DO. Sedangkan Suparman adalah sepupu jauh kami, ia pekerja keras
yang punya tradisi untuk merasa tidak puas dan suka
membanding-bandingkan Indonesia dengan negara lainya. Dia di
sekolahkan oleh Gubernur Sumatera Selatan yang berasal dari desa
tetangga kami, karir tertingginya pernah menjadi Kepala Sekolah
kemudian turun menjadi penjaga sekolah. Adapun Supardi seorang yang
cukup tertib, serjana muda, bekerja sebagai tenaga honorer di SMP
yang baru didirikan di kampung kami, sehari-hari berpakaian rapi
berbaju kemeja celana katun berwarna hitam dan tidak merokok.
Kami
tentu saja memperhitungkan bahwa tentunya berbeda pendapat dari
tukang obsesi seperti Suharman, pekerja keras macam Suparman dan
seorang tenaga honorer yang tertib dan rapi macam Supardi. Adapun
kenapa Calon Pemimpin yang kami jadikan sebagai liputan untuk majalah
dinding, karena isue tentang pemimpin ini bagiakan virus menyerbu
otak siswa-siswa terutama yang ada di kelas kami yang semuanya adalah
anak tertua di masing-masing keluarganya. Masing-masing kami memasang
cita-cita sebagai pemimpin. Saya bercita-cita jadi Abraham Lincolm
terobsesi dari buku hasil ‘menguntil’ tantang perjalalan hidup
Sang Presiden. Bambang punya obsesi masa depannya untuk jadi Imam
Masjid. Bagi kami, betapa mulianya menjadi pemimpin dibandingkan
menjadi petani, usahawan, guru. Bagi kami pemimpin itu memiliki
kelebihan dan pahala.
Pada
kesempatan yang berbeda saya bertanya, “Setujukah anda terhadap
berdirinya sekolah calon pemimpin?”
“Itu
mimpi di siang bolong!” jawab Suharman
“Setuju.
Supaya banyak calon pemimpin!” jawab Suparman
“Biar
setuju biar tidak setuju, mau apa saya? Toh, negara ini berjalan
tanpa mendengarkan pendapat saya!” Jawab Supardi
Jawabanya
semua kacau.
“Kenapa
Anda menjawab begitu?” tanya saya lebih lanjut dan Bambang duduk
bersila di belakang saya dan mendengar dengan seksama lalu sesekali
menelungkup sibuk mencatat setiap jawaban dari pertanyaan saya.
“Kenapa
pula bikin Sekolah sombong begitu, coba bikin sekolah yang mendidik
bagaimana menjadi manusia yang baik, punya hati nurani, punya
tanggaungjawab sosial, punya pikiran positif bagi khalayak. Terserah
kemudian mereka mau jadi apa.”
“Kalau
belum-belum anak-anak dididik sudah dibuat merasa akan menjadi calon
pemimpin, nanti mereka jadi sombong dan angkuh. Jadi geer. Kalau
ketemu orang lain, selalu dilihatnya sebagai orang yang akan ia
pimpin. Ia akan cenderung merendahkan orang lain dan meninggikan
dirinya sendiri. Sekolah yang lugu saja”
“Seseorang
akan menjadi pemimpin atau tidak, itu akan muncul dengan sendirinya
melalui seleksi alam, bukan melalui teknokrasi seperti ini. Kalau
orang merasa dirinya jadi pemimpin, biasanya dia bukan pemimpin yang
baik, malah cenderung jadi penguasa. Pemimpin biasanya adalah orang
yang merasa sebagai temannya orang banyak, seperti saya ini...,”
demikian Suharman yang perokok berat dan sesak napas itu menjawab.
Suparman
lain lagi jawabannya. “Saya setuju dengan sekolah pemimpin ini
setidaknya supaya warna negara ini terutama generasi mudanya punya
keberanian untuk bercita-cita. Kan selama ini tidak ada orang yang
berani membayangan dirinya kelak jadi Bupati, Gubernur bahkan
Presiden”
“Maka
biarkan saja sekolah Pemimpin itu mencetak anak-anak muda yang punya
cita-cita tinggi, mereka mungkin akan geer dan sok, tetapi
sejelek-jeleknya manusia masih punya hati nurani” Suparman yang
berambut keriting mulai suversif. “Paling tidak, dengan demikian
‘kan semakin banyak orang yang bersaing jadi nomor satu. Toh, yang
jadi pemimpin sungguhan cuma satu. Lainnya terserah dia. Ada yang
jadi camat, guru, pemimpin club bola, petani, terserah saja”
demikian Suparman menjelaskan alasannya dan Bambang mencatat,
tulisannya seperti bekas jejak cakar ayam dan saya pastika cuma
dialah yang bisa membaca tulisan tanggannya.
Adapun
Supardi, lain lagi argumentasinya. “Saya tidak perlu menjelaskan
apa-apa,” katanya. “Sia-sia untuk ngomong. Toh, tidak akan ada
orang atau pihak lain yang akan memakai omongan kita, sementara kita
sendiri tidak punya posisi, kekuatan, dan fasilitas untuk menerapkan
omongan kita. Untuk apa berdebat soal nilai-nilai, apa yang terbaik
bagi bangsa ini, apa sistim dan nilai atau ideologi yang tepat bagi
pembangunan kita - toh tidak ada yang mendengarkan kita.”
“Negara
ini toh terletak di tangan kelompok tertentu yang tidak membutuhkan
bacotan saya. Negara ini tetap menjalankan apa yang mereka
maui. Mereka menentukan sistem apa, rakyat mau diapakan, hutan dan
hasil bumi mau dikemanakan, utang mau dibengkakkan, atau apapun,
semua tidak berlandasan pendapat saya. Jadi, untuk apa membuang
energi untuk lontaran yang tidak bermanfaat. Lebih baik saya bekerja
untuk keluarga saya, melupan macam-macam dan rekreasi di akhir
pekan..”
Wawancara
kemudian tidak bisa dilanjutkan. Sebab Supardi benar-benar tidak
bersedia menlanjutkan. Ia sudah menutup pintu dan malah menyeret kami
untuk omong-omong yang lain. Suparman malah mengoceh kemana-mana
keluar tema. Ia mengeluhkan macam-macam soal. “Susah di negeri ini.
Etos kerja tak bisa hidup makmur. Mau kerja keras sering malah
sia-sia. Sebab orang yang berjaya di negeri ini bukanlah terutama
ditentukan oleh kapasitas dan kualitas kerjanya, melainkan loyalitas
dan kesediaannya untuk menjilat-jilat dan memanut-manut dengan yang
ada diatasnya. Secara keseluruhan, jadinya orang merasa tidak perlu
mengembangkan daya kerja dan profesionalitas...” Kami harus jadi
keranjang sampah Suparman, dan tulisan di buku Bambang semakin kacau,
tulisan gaya tegak bersambungnya sudah seperti benang kusut.
Tapi
itu mending dibanding Suharman. Perokok berat dari Bukit tengkorak
ini hanya bersedia melanjutkan wawancara kalau kami menyediakan
honorarium, katanya untuk beli rokok bermerek Filtra. “Kita ‘kan
sudah sama-sama hidup di kota-kota besar dan negeri-negeri maju
lainnya,” ucapnya. “Kalau koran mewawancara seseorang, ia harus
menyediakan uang imbalan bagi waktu, pikiran dan energi yang
dikeluarkan oleh orang tersebut.”
Akhirnya
hasil kami runding-runding, Suharman bersedia kompromi. Kami bukan
memberinya sejumlah uang, melainkan persedian rokok buat Suharman
selama seminggu. Rokok yang berikan ke dia bermerek kansas dan jamboe
bol kami belikan dari penjualan beras hasil dari menunggu mesin
kincir milik nenek saya yang satu-satunya tempat menumbuk padi di
desa kami. Suharman setuju. Hitung-hitung dari pada mengangur. Sebab
terus terang saja, Suharman memang seorang pengangur.
Buku
catatan Bambang yang bersampun hitam itu sudah hampir habis
halamannya, catatan hasil wawancara kami membentuk benang kusut dan
rakus ruang di halaman buku. Kami pulang, dan masuk ke ruang redaksi
di kamar yang biasa di pakai ibuku mengajari Paket A itu. Lalu,
sayapun mengambil mesin ketik milik bapak saya yang sudah empat tahun
jadi Sekretaris Desa dari sebuah lemari di ruang tamu rumah kami.
Bambang mulai mengetik karena hanya dia yang bisa membaca tulisan
tangannya berbentuk benang kusut habis di cakar-cakar ayam. Saya
duduk di depan mejanya seperti Dewan Redaksi yang menunggu hasil
ketikannya dan siap diterbitkan dan ditempel di dinding kamar rumah
kami dan pasti malam nanti akan dibaca oleh ibu-ibu peserta Paket A.
Tapi,
ya ampun.! Hasil ketikan Bambang kacau betul. Tidak jauh lebih baik
dari tulisan tangannya. Mesin ketik Bapak saya itu huruf ‘t’-nya
hilang. Jadi ia ganti dengan ‘f’. dan tak hanya itu; terkadang
tiga kata yang nyambung jadi satu, serta berbagai kesalahan teknis
lain yang amat serius.
Cobalah
baca:
“Cafafan
kifa kali ini menyangkuf calon pemimpin yang di saaf-saaf akhir ini
fema akfual di kalangan pelajar terufama di sekolah
dimanakamibalajar. Tefafi, inferviu seperfi warfawan yang kami
lakukan fidaklah dilakukan kepada fokoh-fokoh ferkenal, melainkan
kepada fokoh fersembunyi seperfi Suharman, manfanakfitismahasiswa,
Suparman yang pekerja juga Supardi yang fertib..”
Ya,
ampun beful si Bambang yang belajar jadi warfawan ini. Tetapi hasil
kefikannya fefap kami fempelkan di didinding.
Awal
Agustus tahun 2017 saya pulang kampung, Bambang karirnya tetap
menjadi Sekretaris, terakhir dia menjadi Sekretaris Kelurahan Desa
kami dan mengetik dengan Laptop tetapi jauh lebih lancar jika
mengunakan mesin ketik. Suharman berhasil mendirikan sekolah. Dia
mulai dari Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM), kemudian Sekolah
Menengah Kelas Jauh dan sekarang menjadi SMA Negeri, sekarang diakhir
namanya ada Gelas Akademik Sarjana Hukum yang jarang sekali dia
tulis. Suparman tetap menjadi guru dan sekarang menjadi Pemimpin Adat
di Kampung kami. Supardi, dia menjadi guru tetap di Sekolah yang
didirikan Suharman. Dan saya, justru masih dipenuhi oleh berbagai
obsesi tentang lingkungan masyarakat, tentang keadaan bangsa dan
negara, dan mengetik tulisan ini di malam dimana Negeri ini di
Merdeka-kan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar