Tahun 1987, Dari Desa Tua Topos Kami Bicara Soal Calon Pemimpin Masa Depan - Erwin Basrin

Breaking

Recent Posts

 photo Untitled-1_1.jpg

Kamis, 17 Agustus 2017

Tahun 1987, Dari Desa Tua Topos Kami Bicara Soal Calon Pemimpin Masa Depan



Oleh: Erwin Basrin

Tahun 1987 saya duduk di kelas 5 Sekolah Dasar Inpres No 41 Desa Topos, Desa ini masih bergabung dengan Kabupaten Rejang Lebong ketika itu, Sekolah Inpres kami di Kepalai oleh Kepala Sekolah bersuku Jawa, kalau sedang menerangkan pelajaran suaranya melengking tanpa spasi kemudian membiarkan kami mencari jawaban sendiri atas pertanyaan-pertanyaan yang dihujamkannya bertubi-tubi, namanya Pak Seno. Ketika kelas lima saya sering ikut Cerdas Cermat dan sesekali mewakili Sekolah, tetapi hanya sampai di tingkat Kecamatan Perwakilan dan tidak pernah sampai di tingkat Kecamatan Induk.
Saya dan Bambang teman sebang saya suka ‘mengutil’ buku-buku dari perpustakaan sekolah kami. “Buku-buku ini akan rusak digerayangi rayap kalau tidak di buka dan dibaca halaman-halamannya” Kata Bambang sambil memasuki buku-buku kedalam baju bagian belakangnya, dan saya menjadi makmum yang baik, kalau Bambang ambil 4 buah buku maka saya tidak mau kalah, saya ambil enam buku. Pernah kami ketahuan oleh Guru Kelas kami ketika ‘mengutil’. Dan, Sayapun mengeluarkan ancaman tidak akan ikut cerdas cermat mewakili Sekolah kalau sampai dimarahi dan diketahui oleh teman-teman sekelas kami. Pak Daryanto, guru kelas kamipun melembut dan menjadi maklum.

Memasuki catur wulan kedua di Kelas Lima, saya kemudian bermaksud untuk menyemarakkan suasana penerbitan majalah dinding, ada satu ruangan dirumah kami yang sering digunakan oleh Ibuku sebagai tempat belajar dan mengajar paket A untuk kaum ibu-ibu di kampung. Saya terinpirasi dengan bahan-bahan ajar Paket A yang sering digunakannya. Terutama catatan ibu-ibu tentang ekpektasi terhadap anak-anak mereka di masa mendatang. Dan, tulisan di halaman pertama teman-teman sekelas kami yang menulis cita-cita mereka untuk menjadi pemimpin.

Iseng-iseng tapi serius, saya bersama Bambang teman sebayaku bermaksud mulai membangun majalah dinding, setelah berpikir sana pikir sini, kami berdua memutuskan mewawancara beberapa pakar tentang pentingnya membangun Calon Pemimpin masa depan.

Dari hasil diskusi awal kami berdua, pakar yang kami maksud bukanlah ilmuwan, budayawan, atau tokoh panutan dalam arti yang sering disebut namanya di televisi satu-satunya milik desa di desa kami atau di dalam koran yang masuk seminggu satu kali ke kampung kami. Melainkan siapa saja sekenanya.

“Kok saya di anggap pakar?” tanya Suharman ketika saya mulai wawancara di pondok sawah bapaknya yang terletak di ujung desa dan Bambang sudah siap dengan buku catatannya bersampul warna hitam.

“Kan kamu yang paling tahu tentang pendapatmu sendiri dibanding orang lain” Jawab saya tiba-tiba. Begitu juga ketika saya menjawab kekagetan Suparman dan Supardi. “Kamu otentik dengan pikiranmu sendiri. Kamu alhi dengan pandanganmu sendiri. Kamu yang paling punya hak terhadap apa saja yang muncul dari pemikiran dan penalaranmu!”

Suharman adalah seorang mahasiswa abadi. Hingga usia di atas 40 tahun belum pernah jadi Serjana. Mungkin justru karena otaknya dipenuhi oleh berbagai obsesi tentang lingkungan masyarakatnya, tentang keadaan bangsa dan negara, rumahnya beberapa kali didatangi oleh anggota Koramil dan Kodim untuk menjinak sekaligus menitipkan ancaman atas cara dia berpikir, ia lupa dengan nasibnya sendiri. Juga lupa apakah ia masih terdaftar sebagai mahasiswa di kampusnya atau sudah di-DO. Sedangkan Suparman adalah sepupu jauh kami, ia pekerja keras yang punya tradisi untuk merasa tidak puas dan suka membanding-bandingkan Indonesia dengan negara lainya. Dia di sekolahkan oleh Gubernur Sumatera Selatan yang berasal dari desa tetangga kami, karir tertingginya pernah menjadi Kepala Sekolah kemudian turun menjadi penjaga sekolah. Adapun Supardi seorang yang cukup tertib, serjana muda, bekerja sebagai tenaga honorer di SMP yang baru didirikan di kampung kami, sehari-hari berpakaian rapi berbaju kemeja celana katun berwarna hitam dan tidak merokok.

Kami tentu saja memperhitungkan bahwa tentunya berbeda pendapat dari tukang obsesi seperti Suharman, pekerja keras macam Suparman dan seorang tenaga honorer yang tertib dan rapi macam Supardi. Adapun kenapa Calon Pemimpin yang kami jadikan sebagai liputan untuk majalah dinding, karena isue tentang pemimpin ini bagiakan virus menyerbu otak siswa-siswa terutama yang ada di kelas kami yang semuanya adalah anak tertua di masing-masing keluarganya. Masing-masing kami memasang cita-cita sebagai pemimpin. Saya bercita-cita jadi Abraham Lincolm terobsesi dari buku hasil ‘menguntil’ tantang perjalalan hidup Sang Presiden. Bambang punya obsesi masa depannya untuk jadi Imam Masjid. Bagi kami, betapa mulianya menjadi pemimpin dibandingkan menjadi petani, usahawan, guru. Bagi kami pemimpin itu memiliki kelebihan dan pahala.

Pada kesempatan yang berbeda saya bertanya, “Setujukah anda terhadap berdirinya sekolah calon pemimpin?”

“Itu mimpi di siang bolong!” jawab Suharman
“Setuju. Supaya banyak calon pemimpin!” jawab Suparman
“Biar setuju biar tidak setuju, mau apa saya? Toh, negara ini berjalan tanpa mendengarkan pendapat saya!” Jawab Supardi

Jawabanya semua kacau.

“Kenapa Anda menjawab begitu?” tanya saya lebih lanjut dan Bambang duduk bersila di belakang saya dan mendengar dengan seksama lalu sesekali menelungkup sibuk mencatat setiap jawaban dari pertanyaan saya.

“Kenapa pula bikin Sekolah sombong begitu, coba bikin sekolah yang mendidik bagaimana menjadi manusia yang baik, punya hati nurani, punya tanggaungjawab sosial, punya pikiran positif bagi khalayak. Terserah kemudian mereka mau jadi apa.”

“Kalau belum-belum anak-anak dididik sudah dibuat merasa akan menjadi calon pemimpin, nanti mereka jadi sombong dan angkuh. Jadi geer. Kalau ketemu orang lain, selalu dilihatnya sebagai orang yang akan ia pimpin. Ia akan cenderung merendahkan orang lain dan meninggikan dirinya sendiri. Sekolah yang lugu saja”

“Seseorang akan menjadi pemimpin atau tidak, itu akan muncul dengan sendirinya melalui seleksi alam, bukan melalui teknokrasi seperti ini. Kalau orang merasa dirinya jadi pemimpin, biasanya dia bukan pemimpin yang baik, malah cenderung jadi penguasa. Pemimpin biasanya adalah orang yang merasa sebagai temannya orang banyak, seperti saya ini...,” demikian Suharman yang perokok berat dan sesak napas itu menjawab.

Suparman lain lagi jawabannya. “Saya setuju dengan sekolah pemimpin ini setidaknya supaya warna negara ini terutama generasi mudanya punya keberanian untuk bercita-cita. Kan selama ini tidak ada orang yang berani membayangan dirinya kelak jadi Bupati, Gubernur bahkan Presiden”

“Maka biarkan saja sekolah Pemimpin itu mencetak anak-anak muda yang punya cita-cita tinggi, mereka mungkin akan geer dan sok, tetapi sejelek-jeleknya manusia masih punya hati nurani” Suparman yang berambut keriting mulai suversif. “Paling tidak, dengan demikian ‘kan semakin banyak orang yang bersaing jadi nomor satu. Toh, yang jadi pemimpin sungguhan cuma satu. Lainnya terserah dia. Ada yang jadi camat, guru, pemimpin club bola, petani, terserah saja” demikian Suparman menjelaskan alasannya dan Bambang mencatat, tulisannya seperti bekas jejak cakar ayam dan saya pastika cuma dialah yang bisa membaca tulisan tanggannya.

Adapun Supardi, lain lagi argumentasinya. “Saya tidak perlu menjelaskan apa-apa,” katanya. “Sia-sia untuk ngomong. Toh, tidak akan ada orang atau pihak lain yang akan memakai omongan kita, sementara kita sendiri tidak punya posisi, kekuatan, dan fasilitas untuk menerapkan omongan kita. Untuk apa berdebat soal nilai-nilai, apa yang terbaik bagi bangsa ini, apa sistim dan nilai atau ideologi yang tepat bagi pembangunan kita - toh tidak ada yang mendengarkan kita.”

“Negara ini toh terletak di tangan kelompok tertentu yang tidak membutuhkan bacotan saya. Negara ini tetap menjalankan apa yang mereka maui. Mereka menentukan sistem apa, rakyat mau diapakan, hutan dan hasil bumi mau dikemanakan, utang mau dibengkakkan, atau apapun, semua tidak berlandasan pendapat saya. Jadi, untuk apa membuang energi untuk lontaran yang tidak bermanfaat. Lebih baik saya bekerja untuk keluarga saya, melupan macam-macam dan rekreasi di akhir pekan..”

Wawancara kemudian tidak bisa dilanjutkan. Sebab Supardi benar-benar tidak bersedia menlanjutkan. Ia sudah menutup pintu dan malah menyeret kami untuk omong-omong yang lain. Suparman malah mengoceh kemana-mana keluar tema. Ia mengeluhkan macam-macam soal. “Susah di negeri ini. Etos kerja tak bisa hidup makmur. Mau kerja keras sering malah sia-sia. Sebab orang yang berjaya di negeri ini bukanlah terutama ditentukan oleh kapasitas dan kualitas kerjanya, melainkan loyalitas dan kesediaannya untuk menjilat-jilat dan memanut-manut dengan yang ada diatasnya. Secara keseluruhan, jadinya orang merasa tidak perlu mengembangkan daya kerja dan profesionalitas...” Kami harus jadi keranjang sampah Suparman, dan tulisan di buku Bambang semakin kacau, tulisan gaya tegak bersambungnya sudah seperti benang kusut.

Tapi itu mending dibanding Suharman. Perokok berat dari Bukit tengkorak ini hanya bersedia melanjutkan wawancara kalau kami menyediakan honorarium, katanya untuk beli rokok bermerek Filtra. “Kita ‘kan sudah sama-sama hidup di kota-kota besar dan negeri-negeri maju lainnya,” ucapnya. “Kalau koran mewawancara seseorang, ia harus menyediakan uang imbalan bagi waktu, pikiran dan energi yang dikeluarkan oleh orang tersebut.”

Akhirnya hasil kami runding-runding, Suharman bersedia kompromi. Kami bukan memberinya sejumlah uang, melainkan persedian rokok buat Suharman selama seminggu. Rokok yang berikan ke dia bermerek kansas dan jamboe bol kami belikan dari penjualan beras hasil dari menunggu mesin kincir milik nenek saya yang satu-satunya tempat menumbuk padi di desa kami. Suharman setuju. Hitung-hitung dari pada mengangur. Sebab terus terang saja, Suharman memang seorang pengangur.

Buku catatan Bambang yang bersampun hitam itu sudah hampir habis halamannya, catatan hasil wawancara kami membentuk benang kusut dan rakus ruang di halaman buku. Kami pulang, dan masuk ke ruang redaksi di kamar yang biasa di pakai ibuku mengajari Paket A itu. Lalu, sayapun mengambil mesin ketik milik bapak saya yang sudah empat tahun jadi Sekretaris Desa dari sebuah lemari di ruang tamu rumah kami. Bambang mulai mengetik karena hanya dia yang bisa membaca tulisan tangannya berbentuk benang kusut habis di cakar-cakar ayam. Saya duduk di depan mejanya seperti Dewan Redaksi yang menunggu hasil ketikannya dan siap diterbitkan dan ditempel di dinding kamar rumah kami dan pasti malam nanti akan dibaca oleh ibu-ibu peserta Paket A.

Tapi, ya ampun.! Hasil ketikan Bambang kacau betul. Tidak jauh lebih baik dari tulisan tangannya. Mesin ketik Bapak saya itu huruf ‘t’-nya hilang. Jadi ia ganti dengan ‘f’. dan tak hanya itu; terkadang tiga kata yang nyambung jadi satu, serta berbagai kesalahan teknis lain yang amat serius.

Cobalah baca:

“Cafafan kifa kali ini menyangkuf calon pemimpin yang di saaf-saaf akhir ini fema akfual di kalangan pelajar terufama di sekolah dimanakamibalajar. Tefafi, inferviu seperfi warfawan yang kami lakukan fidaklah dilakukan kepada fokoh-fokoh ferkenal, melainkan kepada fokoh fersembunyi seperfi Suharman, manfanakfitismahasiswa, Suparman yang pekerja juga Supardi yang fertib..”

Ya, ampun beful si Bambang yang belajar jadi warfawan ini. Tetapi hasil kefikannya fefap kami fempelkan di didinding.


Awal Agustus tahun 2017 saya pulang kampung, Bambang karirnya tetap menjadi Sekretaris, terakhir dia menjadi Sekretaris Kelurahan Desa kami dan mengetik dengan Laptop tetapi jauh lebih lancar jika mengunakan mesin ketik. Suharman berhasil mendirikan sekolah. Dia mulai dari Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM), kemudian Sekolah Menengah Kelas Jauh dan sekarang menjadi SMA Negeri, sekarang diakhir namanya ada Gelas Akademik Sarjana Hukum yang jarang sekali dia tulis. Suparman tetap menjadi guru dan sekarang menjadi Pemimpin Adat di Kampung kami. Supardi, dia menjadi guru tetap di Sekolah yang didirikan Suharman. Dan saya, justru masih dipenuhi oleh berbagai obsesi tentang lingkungan masyarakat, tentang keadaan bangsa dan negara, dan mengetik tulisan ini di malam dimana Negeri ini di Merdeka-kan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar