Desa
Topos, desa ini dipercayai sebagai desa tua dan Desa Asal Suku
Rejang, sebuah suku asli yang berada di dataran tinggi Sumatera dan
ada di Propinsi Bengkulu. Dalam folosofi lokal tentang Bahasa atau
Kata, Masyarakat Rejang mengenal Batutun bak Jale mak Manau,
bertutur dari pangkal bahasa yaitu Kata dan didalam aplikasinya
disebut dengan Ketibeak Baso yaitu tata cara menyusun kata dan
mendekontruksi kata dan kalimat yang di lisankan.
Dan, sebagai
entitas asal usul yang kemudian disebut sebagi Pemegang ‘Batang
Adat’, tentu saja tata cara berkata-kata dan pemilihan atas kata
masyarakat Topos memiliki kemampuan di atas rata-rata dibandingkan
masyarakat Rejang sebagai anak keturunannya, yang biasa disebut
dengan ranting dan royot ujung asep. Maka, di Topos,
masyarakatnya mengenal empat pola komunikasi dalam melisankan
kata-kata, pola mendatar, menurun, mendaki dan melereng. Melereng
adalah pola yang seringkali digunakan, meyembunyikan dan memperhalus
arti dan maksud sebenarnya.
Setelah selesai menempel Majalah Dinding tentang kepemimpinan,
ketikan Bambang yang mengantikan hurup ‘t’ dengan hurup ‘f’
dan meghasilkan catatan dan deretan kata-kata membentuk kalimat yang
memusingkan pembacanya; “Cafafan kifa kali ini menyangkuf calon
pemimpin yang di saaf-saaf akhir ini fema akfual di kalangan pelajar
terufama di sekolah dimanakamibalajar.....” Bapak saya yang empat
tahun saudah menjadi Sekretaris Desa dan sesekali menjadi juru rasan
menertawakan dan sekaligus mengomentari serta mengapresiasi kenekatan
kami. “Kata itu bisa menjadi sahabat sekaligus sebagai musuh setia”
kata-kata ini yang diucapkannya ketika dia selesai membaca hasil
ketikan Bambang, kami terdiam dan Bambang sesekali mengarut lehernya
yang mulai tumbuh panu selebar koin 100 rupiah perak.
Hari
Minggu tepat setelah 4 hari kami menempelkan Majalah Dinding itu,
sepanjang hari saya berada di tepi Sungai Ketahun setelah paginya
mencuci pakaian seragam sekolah dan menjemurnya di atas deretan
batu-batu yang pongkah berdiri diantara batu lainnya. Di bawah
rindang pohon dadap saya tergelepak seolah-oleh lenyap di dunia asing
diterbangkan oleh namanya ‘Kata’. Saya tertidur miring membentuk
posisi pistol, memeluk lutut yang menempel ke dagu berbantal batang
pohon yang terbawa hanyut arus sungai. Dan merenungkan apa yang
dikatakan Bapakku empat hari lalu soal ‘Kata”. Seumpamanya
tingkat teknologi dimuka bumi ini sudah cangih – misalnya ada alat
yang bisa ditempelkan di kepala sehingga seluruh gejolak
syaraf-syaraf pemikiran bisa direkamnya dalam bahasa yang tertata –
maka sebuah buku tebal tentang filosofi dan peradaban kata bisa
lahir. Pikirmu.
Soalnya,
‘Kata’ itu betapa ‘kurang ajar’-nya. Ia adalah sahabat yang
setia kita seret ke mana-mana, namun ia juga musuh yang mengancam
dari dalam selimut kehidupan kita. Kata, eh tepatnya pesan Bapakku.
“Para Nabi memperoleh kemulian tingkat tinggi dengan kendaraan
kata-kata, tetapi berbagai era sejarah kemanusiaan juga terjerumus ke
dalam kehinaan dan kehancuran oleh bom yang suku cadangnya kata-kata”
dia berupaya menyelaskan ketika Bambang mengarut leher dan tatap mata
saya yang kosong, dia mencoba untuk mempertegas maksudnya.
Tiba-tiba
lamunan saya yang diayun dengan gemericik suara aliran sungai dan
sepoi angin yang meniup di bawah rindang pohon dadap tergangu dengan
kehadiran Bambang yang tiba-tiba datang membawa ember hitam penuh
pakaian kotor yang di tindihnya dengan sebatang sabun cuci bermerek
‘Sinar Laut”. Dia langsung mencuci pakaian kotor, batangan sabun
Sinar Laut itu di potongnya menjadi dua bagian mengunakan bilah-bilah
bambu, “minggu depan saya bisa pakai potongan lainnya” sambil
menjemur pakaiannya di atas batu-batu dan meletekkan batu kerikil di
atasnya, supaya tidak melayang oleh anggin katanya.
“Jarang
orang meyadari betapa bermanfaatnya kata dan betapa ia berbahaya.”
dia lalu duduk jongkok disampingku sambil mengeluarkan Rokok Kansas
dari gulungan handuknya, sisa rokok yang dia berikan kepada Suharman
sebagai upah wawancara. Ini aneh, Bambang seperti punya indera ke
sembilan, dia tahu apa yang sedang saya lamunkan. Ternyata selama
empat hari juga dia memikirkan kata-kata Bapakku empat hari lalu
tentang kata itu bisa menjadi sahabat sekaligus sebagai musuh setia.
Karena itulah, lamunanku tentang kata-kata disiramkannya dengan
muntahan kata-kata tentang kata. Sayapun duduk berhadap-hadapkan
dengannya, jadilah kami seperti Billy the Kid ketika menyiapkan
serangan dan perampokan Bank sambil menghidup tembakau dari rokok
bermerek Kansas.
“Kata adalah salah satu jenis bahasa yang memungkinkan kita
mengayam tali sosialitas, menyelengarakan negara, lingkar komunitas,
silaturahmi, memutuskan ideologi, menerapkan agama, meramal angka
buntutan atau merayu orang tua. Akan tetapi, berhati-hatilah pula
karena kata bisa berbuat lebih memusingkan.” dia berhenti dan
tersenyum, pasti sedang membayangkan tulisannya ‘t’ digantinya
dengan ‘f’. “Serta bisa lebih punya daya pemusnah dibanding
segala bom dan kekuasaan yang digenggam oleh manusia”. Dia berhenti
ketika kesulitan mengigit bungkus rokok kansas, gigi depan bagian
atasnya ompong karena jatuh waktu belajar naik sepeda, mulutnya
beradu dengan bongkahan coran got samping rumahnya.
“Ia,
kalau kata kita biarkan singkat, ia gelap dan asbtrak. Kalau kita
rentangkan-panjangkan, ia menjadi sempit dan membatasi” timpal saya
sambil mengambil sebatang rokok dari tangan Bambang, jadilah kami
sebagai perokok pemula yang ketakutan ketahuan orang tua, kalau
ketahuan telapak tanggan bapak-bapak kami bisa membuat pipi kiri kami
merah membiru. Kalau kita bilang ‘kursi’, kita belum bisa punya
pegangan apa makna kongkret yang dimaksudkannya. Bisa kursi malas,
kursi kelas, ayat kursi. Kalau dibilang ‘kursi kayu’, kursi besi
dan bambu menjadi tergusur, padahal belum jelas benar apakah kursi
kayu bikinan Wak Jalil atau Wak Rusli, serta apakah kursi kayu untuk
rumah tangga ataukah untuk kantor. Kalau dibilang ‘kursi kayu yang
mahal’, tak jelas mahal bagi siapa, bagi Wak Weng yang kaya toke
atau bagi Jono. Sebab, yang pertama mungkin seharga 1 juta rupiah,
yang kedua lima puluh ribu.” Saya menjelaskan tetapi kali ini
Bambang tidak mencatat, dan saya mulai berpikir Majalah Dinding kami
itu adalah terbitan terakhir.
“Kalau
dibilang ‘kursi mahal bercat hijau’, segala warna lain harus
mengundurkan diri dari pencalonan. Padahal, cat hijau harus dibedakan
merek catnya, jenis kehijauannya, dan belum lagi kalau berdebat
tentang kursi hijau ini dengan orang yang buta warna” Bambang
menimpal dan mulai tidak produktif.
“Pertanyaan
tentang kursi ini bisa tak terhingga jumlahnya, dan pelajaran yang
muncul dari kenyataan itu adalah betapa relatifnya kehidupan ini.
Mungkin itulah sebabnya, perlu diciptakan disiplin akademis,
kepastian hukum objektivitas dan gairah keadilan dalam memandang dan
menilai segala sesuatu”. Timpal saya juga berharap membawa Bambang
ke trek diskusi yang benar. “Kalau seseorang mengatakan, ‘wah,
cewek itu cantik’, itu berlaku amat sempit, menurut semiliar orang
lain cewek itu belum tentu cantik” Bambang mulai lagi. Bagi orang
yang kelaparan total, mie dengan sedikit air kencing akan tetap
terasa enak, tetapi bagi orang lain yang berlebihan sehingga setiap
saat bisa memilih mie mana yang paling enak, mie yang normal-normal
saja pun bisa membuatnya muntah. Kata Bambang.
“Jadi
begini Mbang” Saya mulai emosi.
“Kalau
pimpinan perusahaan,” kami tertawa, ingat Wawancara kami tentang
Kepemimpinan. “Jika pimpinan perusahaan itu bilang begini ‘yang
saya lakukan bukan PHK, melainkan rasionalisasi, jadi harus dibaca
bahwa rasio perusahaan bisa sangat berbeda atau bertentangan dengan
rasio para karyawan. Kalau disebut dengan ‘pengurangan karyawan itu
sesuatu yang masuk akal, tetapi harus dipersoalkan ‘akalnya siapa’.
Juga kalau dikemukan, ‘saya sudah memberikan pesangon yang wajar’.
Para malaikat pasti akan sibuk menyelidiki ‘wajar menurut pihak
mana’”. Wah pilihan kata dan retorika saya mulai membentuk benang
kusut, Bambang menganguk aguk lalu terbatuk dia mencoba mengeluarkan
asap rokok melalui hidungnya.
“Kalau
Pak Ginde atau Kades bilang ‘tindakan saya atas Sulin ini sesuai
dengan undang-undang’, harus diteliti apakah penerapan ‘sesuai’
itu objektive atau subjective. Juga, bagimana proses lahirnya
undang-undang itu, apakah melalui mekanisme yang demokratis dan adil,
atau melalui fetakompli sistematis-psikologis. Sebab, dunia pernah
dihuni oleh sejarah di mana setiap butir kata raja bisa secara sah
dianggap undang-undang” Jelas saya yang juga binggung dengan apa
yang saya jelaskan.
“Ah,
kata mana yang bisa dijadikan sebagai pengangan” Jawab Bambang yang
artistik dan suka dengan bahasa puitis yang hanya dia yang mengerti,
dia mulai mengeluarkan jurus semantic-habits-nya. Kalau manusia punya
seribu kata lain untuk merelatifknanya. Pada suatu hari saya menikam
pisau ke dada anda dan saya punya seribu satu alasan. Kata Bambang.
“Saya
mengantarkannya untuk segera ketemu Tuhan”
“Saya
menolongnya agar tidak berkepanjangan melakukan dosa-dosa”
“Saya
menyelamatkannya dari tindakan bunuh diri karena kesumpekan hidup”
dan apabila saya menggenggam kekuasaan dan kekuatan, alasan saya bisa
tidak terhingga lagi. “Saya mengamankan desa dari keresahan yang
bisa ditimbulkannya”. “Saya menyelamatkan jimat desa kita karena
dia bermaksud mencurinya”. Nah kan Bambang mulai lagi dengan jurus
semantic-habits-nya. “Artinya, segala anggapan, kecurigaan, dan
tuduhan dari mulut saya bisa merupakan alasan yang sah untuk
memusnakannya” Katanya bersemangat menirukan Hitler.
“Iya,”
saya sambil mengangguk-angguk.
“Itulah
sebabnya masayarakat manusia membutuhkan moral, kejujuran, keadilan,
dan objectivitas. Tapi, siapakah diantara kita, lembaga manakah di
antara yang ada, yang dengan kesungguhan hati serta kesanggupan untuk
mati bersedia menjadi penjaga dan pemelihara moral, kejujuran,
keadilan, objectivitas, kepastian hukum serta sportivitas aturan
main?” tanya saya sambil membulatkan mata.
“Berdendang
biduk dihilir, sedang berdiang nasi masak,” Bambang mengeluarkan
jurus pemungkas pertanda mau memulai meng-simplikasi masalah.
“Tentulah
tetap ada kata pemungkas. Hasbunallah, cukuplah Allah bagi
kita”. Katanya.
“Tetapi
Anda” menirukan Pak Guru Firdaus yang suka mengatakan Anda kepada
muridnya. Mungkin Anda berkata, Allah sendiri tak kurang sukarnya
untuk dipahami. Ia Maha Hidup dan Maha Adil, namun dengan
skenario-Nya sendiri, dengan metode-Nya sendiri, dengan watak dan
gaya-Nya sendiri, yang betapa tidak gampang untuk dipahami. Kata
saya.
“Maksud
Anda, kenapa seperti bedentum guruh di papan, kilatnya sampai ke
Selayang?” ah, dia mulai berputar melereng, tetapi produktif kali
ini dia yang mau mengembalikan saya pada trek yang benar.
“Setidak-tidaknya
karena energi kita sudah terkuras untuk mengutak-atik nomor buntut.
Dan, ketika temuan angka 08 kita balik dan kita beli 80. padahal yang
keluar 08, teman kita menegur ‘kalau iman tak kuat, kalau sudah
yakin 08, ya beli 08 kok malah dibalik’” saya seret dia berputar
keliling.
“Jadi
perkuatlah iman. Bukan hanya ‘kata’ yang menikam kita, tetapi
juga ‘angka’” Saya menutup diskusi soal ‘kata’ karena
memang tidak bisa berkata-kata. Tetapi paling tidak, masyarakat
kampung saya sibuk berdebat soal ‘angka’ bukan ‘kata’. Setiap
Kamis-an ‘angka-angka’ ini ditunggu melalui pengumuman SDSB
(sumbangan darmawan sosial berhadiah). Idak berigak baju
dijemur keringlah sudah. Kami bersiap pulang ke rumah, besok senen
setelah upacara bendera, Pak Seno pasti akan menulis ‘angka-angka’
memenuhi papan tulis. Lalu, hanya ber’kata’ ini adalah rumus
pythagoras beserta turunannya untuk menunjukan hubungan antar
sisi-sisi dalam sebuah segi tiga. Betapa gelap dan asbtrak penjelasan
Pak Seno. Singkat, jelas, padat sekaligus membingungkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar