Dari Desa Tua Topos kami belajar tentang Tibeak Baso, tentang Kata dan berkata-kata dengan Kata - Erwin Basrin

Breaking

Recent Posts

 photo Untitled-1_1.jpg

Minggu, 20 Agustus 2017

Dari Desa Tua Topos kami belajar tentang Tibeak Baso, tentang Kata dan berkata-kata dengan Kata


Desa Topos, desa ini dipercayai sebagai desa tua dan Desa Asal Suku Rejang, sebuah suku asli yang berada di dataran tinggi Sumatera dan ada di Propinsi Bengkulu. Dalam folosofi lokal tentang Bahasa atau Kata, Masyarakat Rejang mengenal Batutun bak Jale mak Manau, bertutur dari pangkal bahasa yaitu Kata dan didalam aplikasinya disebut dengan Ketibeak Baso yaitu tata cara menyusun kata dan mendekontruksi kata dan kalimat yang di lisankan. 


Dan, sebagai entitas asal usul yang kemudian disebut sebagi Pemegang ‘Batang Adat’, tentu saja tata cara berkata-kata dan pemilihan atas kata masyarakat Topos memiliki kemampuan di atas rata-rata dibandingkan masyarakat Rejang sebagai anak keturunannya, yang biasa disebut dengan ranting dan royot ujung asep. Maka, di Topos, masyarakatnya mengenal empat pola komunikasi dalam melisankan kata-kata, pola mendatar, menurun, mendaki dan melereng. Melereng adalah pola yang seringkali digunakan, meyembunyikan dan memperhalus arti dan maksud sebenarnya.

Setelah selesai menempel Majalah Dinding tentang kepemimpinan, ketikan Bambang yang mengantikan hurup ‘t’ dengan hurup ‘f’ dan meghasilkan catatan dan deretan kata-kata membentuk kalimat yang memusingkan pembacanya; “Cafafan kifa kali ini menyangkuf calon pemimpin yang di saaf-saaf akhir ini fema akfual di kalangan pelajar terufama di sekolah dimanakamibalajar.....” Bapak saya yang empat tahun saudah menjadi Sekretaris Desa dan sesekali menjadi juru rasan menertawakan dan sekaligus mengomentari serta mengapresiasi kenekatan kami. “Kata itu bisa menjadi sahabat sekaligus sebagai musuh setia” kata-kata ini yang diucapkannya ketika dia selesai membaca hasil ketikan Bambang, kami terdiam dan Bambang sesekali mengarut lehernya yang mulai tumbuh panu selebar koin 100 rupiah perak.

Hari Minggu tepat setelah 4 hari kami menempelkan Majalah Dinding itu, sepanjang hari saya berada di tepi Sungai Ketahun setelah paginya mencuci pakaian seragam sekolah dan menjemurnya di atas deretan batu-batu yang pongkah berdiri diantara batu lainnya. Di bawah rindang pohon dadap saya tergelepak seolah-oleh lenyap di dunia asing diterbangkan oleh namanya ‘Kata’. Saya tertidur miring membentuk posisi pistol, memeluk lutut yang menempel ke dagu berbantal batang pohon yang terbawa hanyut arus sungai. Dan merenungkan apa yang dikatakan Bapakku empat hari lalu soal ‘Kata”. Seumpamanya tingkat teknologi dimuka bumi ini sudah cangih – misalnya ada alat yang bisa ditempelkan di kepala sehingga seluruh gejolak syaraf-syaraf pemikiran bisa direkamnya dalam bahasa yang tertata – maka sebuah buku tebal tentang filosofi dan peradaban kata bisa lahir. Pikirmu.

Soalnya, ‘Kata’ itu betapa ‘kurang ajar’-nya. Ia adalah sahabat yang setia kita seret ke mana-mana, namun ia juga musuh yang mengancam dari dalam selimut kehidupan kita. Kata, eh tepatnya pesan Bapakku. “Para Nabi memperoleh kemulian tingkat tinggi dengan kendaraan kata-kata, tetapi berbagai era sejarah kemanusiaan juga terjerumus ke dalam kehinaan dan kehancuran oleh bom yang suku cadangnya kata-kata” dia berupaya menyelaskan ketika Bambang mengarut leher dan tatap mata saya yang kosong, dia mencoba untuk mempertegas maksudnya.

Tiba-tiba lamunan saya yang diayun dengan gemericik suara aliran sungai dan sepoi angin yang meniup di bawah rindang pohon dadap tergangu dengan kehadiran Bambang yang tiba-tiba datang membawa ember hitam penuh pakaian kotor yang di tindihnya dengan sebatang sabun cuci bermerek ‘Sinar Laut”. Dia langsung mencuci pakaian kotor, batangan sabun Sinar Laut itu di potongnya menjadi dua bagian mengunakan bilah-bilah bambu, “minggu depan saya bisa pakai potongan lainnya” sambil menjemur pakaiannya di atas batu-batu dan meletekkan batu kerikil di atasnya, supaya tidak melayang oleh anggin katanya.

“Jarang orang meyadari betapa bermanfaatnya kata dan betapa ia berbahaya.” dia lalu duduk jongkok disampingku sambil mengeluarkan Rokok Kansas dari gulungan handuknya, sisa rokok yang dia berikan kepada Suharman sebagai upah wawancara. Ini aneh, Bambang seperti punya indera ke sembilan, dia tahu apa yang sedang saya lamunkan. Ternyata selama empat hari juga dia memikirkan kata-kata Bapakku empat hari lalu tentang kata itu bisa menjadi sahabat sekaligus sebagai musuh setia. Karena itulah, lamunanku tentang kata-kata disiramkannya dengan muntahan kata-kata tentang kata. Sayapun duduk berhadap-hadapkan dengannya, jadilah kami seperti Billy the Kid ketika menyiapkan serangan dan perampokan Bank sambil menghidup tembakau dari rokok bermerek Kansas.

“Kata adalah salah satu jenis bahasa yang memungkinkan kita mengayam tali sosialitas, menyelengarakan negara, lingkar komunitas, silaturahmi, memutuskan ideologi, menerapkan agama, meramal angka buntutan atau merayu orang tua. Akan tetapi, berhati-hatilah pula karena kata bisa berbuat lebih memusingkan.” dia berhenti dan tersenyum, pasti sedang membayangkan tulisannya ‘t’ digantinya dengan ‘f’. “Serta bisa lebih punya daya pemusnah dibanding segala bom dan kekuasaan yang digenggam oleh manusia”. Dia berhenti ketika kesulitan mengigit bungkus rokok kansas, gigi depan bagian atasnya ompong karena jatuh waktu belajar naik sepeda, mulutnya beradu dengan bongkahan coran got samping rumahnya.

“Ia, kalau kata kita biarkan singkat, ia gelap dan asbtrak. Kalau kita rentangkan-panjangkan, ia menjadi sempit dan membatasi” timpal saya sambil mengambil sebatang rokok dari tangan Bambang, jadilah kami sebagai perokok pemula yang ketakutan ketahuan orang tua, kalau ketahuan telapak tanggan bapak-bapak kami bisa membuat pipi kiri kami merah membiru. Kalau kita bilang ‘kursi’, kita belum bisa punya pegangan apa makna kongkret yang dimaksudkannya. Bisa kursi malas, kursi kelas, ayat kursi. Kalau dibilang ‘kursi kayu’, kursi besi dan bambu menjadi tergusur, padahal belum jelas benar apakah kursi kayu bikinan Wak Jalil atau Wak Rusli, serta apakah kursi kayu untuk rumah tangga ataukah untuk kantor. Kalau dibilang ‘kursi kayu yang mahal’, tak jelas mahal bagi siapa, bagi Wak Weng yang kaya toke atau bagi Jono. Sebab, yang pertama mungkin seharga 1 juta rupiah, yang kedua lima puluh ribu.” Saya menjelaskan tetapi kali ini Bambang tidak mencatat, dan saya mulai berpikir Majalah Dinding kami itu adalah terbitan terakhir.

“Kalau dibilang ‘kursi mahal bercat hijau’, segala warna lain harus mengundurkan diri dari pencalonan. Padahal, cat hijau harus dibedakan merek catnya, jenis kehijauannya, dan belum lagi kalau berdebat tentang kursi hijau ini dengan orang yang buta warna” Bambang menimpal dan mulai tidak produktif.

“Pertanyaan tentang kursi ini bisa tak terhingga jumlahnya, dan pelajaran yang muncul dari kenyataan itu adalah betapa relatifnya kehidupan ini. Mungkin itulah sebabnya, perlu diciptakan disiplin akademis, kepastian hukum objektivitas dan gairah keadilan dalam memandang dan menilai segala sesuatu”. Timpal saya juga berharap membawa Bambang ke trek diskusi yang benar. “Kalau seseorang mengatakan, ‘wah, cewek itu cantik’, itu berlaku amat sempit, menurut semiliar orang lain cewek itu belum tentu cantik” Bambang mulai lagi. Bagi orang yang kelaparan total, mie dengan sedikit air kencing akan tetap terasa enak, tetapi bagi orang lain yang berlebihan sehingga setiap saat bisa memilih mie mana yang paling enak, mie yang normal-normal saja pun bisa membuatnya muntah. Kata Bambang.

“Jadi begini Mbang” Saya mulai emosi.

“Kalau pimpinan perusahaan,” kami tertawa, ingat Wawancara kami tentang Kepemimpinan. “Jika pimpinan perusahaan itu bilang begini ‘yang saya lakukan bukan PHK, melainkan rasionalisasi, jadi harus dibaca bahwa rasio perusahaan bisa sangat berbeda atau bertentangan dengan rasio para karyawan. Kalau disebut dengan ‘pengurangan karyawan itu sesuatu yang masuk akal, tetapi harus dipersoalkan ‘akalnya siapa’. Juga kalau dikemukan, ‘saya sudah memberikan pesangon yang wajar’. Para malaikat pasti akan sibuk menyelidiki ‘wajar menurut pihak mana’”. Wah pilihan kata dan retorika saya mulai membentuk benang kusut, Bambang menganguk aguk lalu terbatuk dia mencoba mengeluarkan asap rokok melalui hidungnya.

“Kalau Pak Ginde atau Kades bilang ‘tindakan saya atas Sulin ini sesuai dengan undang-undang’, harus diteliti apakah penerapan ‘sesuai’ itu objektive atau subjective. Juga, bagimana proses lahirnya undang-undang itu, apakah melalui mekanisme yang demokratis dan adil, atau melalui fetakompli sistematis-psikologis. Sebab, dunia pernah dihuni oleh sejarah di mana setiap butir kata raja bisa secara sah dianggap undang-undang” Jelas saya yang juga binggung dengan apa yang saya jelaskan.

“Ah, kata mana yang bisa dijadikan sebagai pengangan” Jawab Bambang yang artistik dan suka dengan bahasa puitis yang hanya dia yang mengerti, dia mulai mengeluarkan jurus semantic-habits-nya. Kalau manusia punya seribu kata lain untuk merelatifknanya. Pada suatu hari saya menikam pisau ke dada anda dan saya punya seribu satu alasan. Kata Bambang.

“Saya mengantarkannya untuk segera ketemu Tuhan”

“Saya menolongnya agar tidak berkepanjangan melakukan dosa-dosa”

“Saya menyelamatkannya dari tindakan bunuh diri karena kesumpekan hidup” dan apabila saya menggenggam kekuasaan dan kekuatan, alasan saya bisa tidak terhingga lagi. “Saya mengamankan desa dari keresahan yang bisa ditimbulkannya”. “Saya menyelamatkan jimat desa kita karena dia bermaksud mencurinya”. Nah kan Bambang mulai lagi dengan jurus semantic-habits-nya. “Artinya, segala anggapan, kecurigaan, dan tuduhan dari mulut saya bisa merupakan alasan yang sah untuk memusnakannya” Katanya bersemangat menirukan Hitler.

“Iya,” saya sambil mengangguk-angguk.

“Itulah sebabnya masayarakat manusia membutuhkan moral, kejujuran, keadilan, dan objectivitas. Tapi, siapakah diantara kita, lembaga manakah di antara yang ada, yang dengan kesungguhan hati serta kesanggupan untuk mati bersedia menjadi penjaga dan pemelihara moral, kejujuran, keadilan, objectivitas, kepastian hukum serta sportivitas aturan main?” tanya saya sambil membulatkan mata.

“Berdendang biduk dihilir, sedang berdiang nasi masak,” Bambang mengeluarkan jurus pemungkas pertanda mau memulai meng-simplikasi masalah.

“Tentulah tetap ada kata pemungkas. Hasbunallah, cukuplah Allah bagi kita”. Katanya.

“Tetapi Anda” menirukan Pak Guru Firdaus yang suka mengatakan Anda kepada muridnya. Mungkin Anda berkata, Allah sendiri tak kurang sukarnya untuk dipahami. Ia Maha Hidup dan Maha Adil, namun dengan skenario-Nya sendiri, dengan metode-Nya sendiri, dengan watak dan gaya-Nya sendiri, yang betapa tidak gampang untuk dipahami. Kata saya.

“Maksud Anda, kenapa seperti bedentum guruh di papan, kilatnya sampai ke Selayang?” ah, dia mulai berputar melereng, tetapi produktif kali ini dia yang mau mengembalikan saya pada trek yang benar.

“Setidak-tidaknya karena energi kita sudah terkuras untuk mengutak-atik nomor buntut. Dan, ketika temuan angka 08 kita balik dan kita beli 80. padahal yang keluar 08, teman kita menegur ‘kalau iman tak kuat, kalau sudah yakin 08, ya beli 08 kok malah dibalik’” saya seret dia berputar keliling.


“Jadi perkuatlah iman. Bukan hanya ‘kata’ yang menikam kita, tetapi juga ‘angka’” Saya menutup diskusi soal ‘kata’ karena memang tidak bisa berkata-kata. Tetapi paling tidak, masyarakat kampung saya sibuk berdebat soal ‘angka’ bukan ‘kata’. Setiap Kamis-an ‘angka-angka’ ini ditunggu melalui pengumuman SDSB (sumbangan darmawan sosial berhadiah). Idak berigak baju dijemur keringlah sudah. Kami bersiap pulang ke rumah, besok senen setelah upacara bendera, Pak Seno pasti akan menulis ‘angka-angka’ memenuhi papan tulis. Lalu, hanya ber’kata’ ini adalah rumus pythagoras beserta turunannya untuk menunjukan hubungan antar sisi-sisi dalam sebuah segi tiga. Betapa gelap dan asbtrak penjelasan Pak Seno. Singkat, jelas, padat sekaligus membingungkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar