Topos, dan Kamipun di ajarkan tentang "Berkirim Surat ke Laut" - Erwin Basrin

Breaking

Recent Posts

 photo Untitled-1_1.jpg

Kamis, 14 September 2017

Topos, dan Kamipun di ajarkan tentang "Berkirim Surat ke Laut"


Tahun 1982 aku diantarkan oleh ibukku ke sebuah Sekolah Dasar (SD) Inpres, Sekolah ini berada di Ujung Desa, jaraknya sekitar 200 meter dari rumah. Dengan seragam baru dan teman-teman sekelas yang semuanya adalah anak tertua dikeluargannya, kami disuruh berbaris dan kemudian masuk ke dalam ruangan kelas dan menyanyikan lagu Indonesia Raya, tentu saja kami belum hapal lagu ini, hanya mengikuti intonasi lalu menyimak resonansi yang keluar dari mulut Guru Kami yang karismatik itu.

Ketika itu ibuku berada diluar sambil mengintip anaknya yang mulai mengenal sebuah dunia, dunia itu adalah dunia pendidikan, sekilas saya lihat dia mengintip sambil mengendong adikku, ada perasaan takut ketika berada di ruangan yang kemudian menjadi pijakan pertama bagi saja mengenal dunia ini lebih luas. Tegak didepan kelas dengan wajah wibawa namun pengasih adalah Bapak Abdulah, kami biasa pangil dengan sebutan Bapak Ib, dia guru tua tanpa sertifikasi, kemudian aku tahu bahwa yang diajarinnya tidak hanya soal penguatan kognitif, dia mengajarkan kami juga tentang afektif sebuah sikap tentang kepedulian yang berbasis pengetahuan, aku ingat dia pernah bilang bahwa angka A, B, C bukanlah sebuah deretan hurup tanpa makna, ada makna yang luas dan dalam yang terkandung didalamnya, dia menganalogikan tentang gelas, Sambang dan gerigik (tempat air dari bambu), dan ember, fasilitas atau media ini bukan hanya media tapi ada substansi didalamnya yaitu tempat menampung air.
Sebagai fungsi tempat menampung air maka pendidikan yang salah satunya mempelajari hurup/teks yang membentuk kata, kalimat dan paragrap, maka semakin besar dan dalam kita memehami media belajar ini maka semakin banyaklah yang bisa ditampung, bukankah menurut John von Naeumann
memperkirakan kapasitas otak manusia adalah 35 exabyte atau sekitar 1 milyar giga dan terdiri dari 100 juta sel saraf neuron.
Dia mulai memancing otak kami berpikir tentang pembacaan teks yang didalamnya ada konstruksi sosial. Hurup yang membentuk teks dan setiap teks ini tidak boleh mengacu pada makna final, karena katanya teks hadir sebagai jejak yang bisa dirunut pembentukannya dalam sejarah. Itu yang selalu dia katakan kepada kami, tentu kami tidak paham maksudnya ketika itu. Yang kami tahu, kami harus belajar, belajar dan belajar.
Dari metode pengajaran ini kemudian aku paham betul bagaimana mempedulikan diri terhadap pendidikan. Metodelogi psikomotorik yang diajarkan itu membekas dalam diri, setelah kami merasa mencintai dan penduli terhadap hurup-hurup yang ditulis di papan berwarna hitam itu, setelah penuh tulisan harus segera dihapus itu, dan memaksa kami menyimpan berbagai tulisan dalam memori kognitif kami, kondisi ini juga memaksa kami melibatkan diri dan berproses secara emansipatoris, secara bersama-sama mengembangkan diri, berbagi hapalan lalu menjadi akomulasi pengetahuan. Aku hanya hapal bahwa Jawa Barat itu berada di Pulau Jawa, lalu teman sebangku menghapal ibu Kota Propisni Jawa Barat adalah Bandung, setelah di akumulasi menjadi kalimat utuhnya adalah Jawa Barat adalah salah satu Propinsi di Pulau Jawa dan nama Ibu Kotanya adalah Bandung. Menarik sekali proses berbagi pengetahuan, proses saling belajar yang diajarkannya.
Tahun 1982 di Desa kami hanya ada 1 buah teleivisi, Aku masih ingat betul pada tahun itu ada siaran tentang Pembantaian Sabra dan Shatila terjadi pada September 1982 di Beirut Lebanon yang saat itu diduduki oleh Israeal. Pembantaian ini dilakukan oleh para milisi Kristen Maronit Lebanon atas para pengungsi Palestina di kamp-kamp pengungsi Sabra dan Shatila. Pasukan-pasukan Maronit berada langsung di bawah komando Elie Hobeika yang belakangan menjadi anggota parlemen Lebanon.
Selain di televisi hanya 1 buah itu. Wadah interaksi dan berbagi informasi bagi tua-tua kampung adalah ngobrol mereka menyebutnya “becelomok” dimulai dari obrolan tentang pekerjaan, perkembangan kampung, tentang ilmu kanuragaan dan biasanya diakhiri dengan kajian tasawuf yang mereka sebut dengan kajian dalam.
Aku bukanlah siswa yang suka ketika pulang kerumah kembali membuka pelajaran sekolah. Aku lebih suka duduk dan kemudian ikut nimbrung obrolan tua-tua kampung. Ketika mereka sibuk berinteraksi dan berdiskusi, aku yang paling kecil dan belum tahu apa-apa sering diminta untuk mengungkapkan pendapat, kadang-kadang mereka tertawa lalu membenarkan pendapat yang aku kemukakan dan keluar dari tema obrolan mereka.
Ketika masuk sesi tentang ilmu kanuragan/ilmu batin, aku suka mencuri-curi dengar, beberapa mereka dengan suka rela menurunkan ilmu jampi-jampinya, aku menghapalkan jampi-jampi tersebut dan tidak boleh di catat. Ada satu jampi yang masih aku hapal sampai saat ini, mereka bilang jampi pelat, tentu saja aku senang menghapalnya, setelah hapal di luar kepala, akupun melapaskannya dekat nenek yang biasa aku sebut dengan Sebei, akulah satu-satunya cucu kesayangannya diantara 76 orang cucunya. Dia tertawa, lalu dia bilang itu jampi untuk memotong pusat bayi. Aku tersipu malu dan jengkel karena dikibuli oleh tua-tua kampung.
Suatu hari aku pernah ikut mereka menyelesaikan kasus adat, kasus pencemaran sungai, sungai tempat biasanya kami mandi dan bersenda gurau tiba-tiba ikan di sungai yang bisanya hanya boleh diambil dengan pancing dan jala. Tiba-tiba ikan-ikan banyak mati, sungai menjadi memutih dan bau karena bangkai ikan, lalu masyarakat seperti panen, sebagian mengambil ikan-ikan yang besar-besar, sebagian diam saja karena takut dengan racun yang terjandung didalam tubuh ikan. “Ini akibat pencemaran yang disengaja, dari aromanya ini Racun Endrin” kata tetua, sambil duduk bersarung dipingir sungai, Aku ada disamping beliau ketika itu. Ketika waktu SMP aku baru tahu bahwa Racun Endrin rumus kimianya adalah C12H8OCl6 termasuk dalam golongan Rodentisida untuk membasmi tikus, racun berwarna putih ini tidak larut dan terurai di dalam air, sehingga sepanjang aliran sungai akan teracuni oleh racun ini.
Tua-tua kampung berkumpul, tidak ada yang bisa dijadikan tersangka pada kasus ini. Racun Endrin ini punya daya rusak luar biasa kata tetua kampung, berbeda dengan Tuba alam dari jenis-jenis tumbuhan yang biasa digunakan untuk meracun ikan, yang biasa digunakan adalah tuba adalah dari jenis Derris elliptica Bth anggota suku Fabaceae (Leguminosae) yang memiliki kandungan rotenona (rotenone), sejenis racun kuat untuk ikan dan serangga (insektisida) tapi cepat larut dan terurai dalam air, interpal pengaruhnya tidak lebar dan panjang sehingga tuba ini tidak membunuh semua jenis ikan.
Dalam proses peradilan adat, terjadi dialog yang ketat antar tetua kampung, akhirnya mereka bersepakat memutuskan bahwa kasus ini tersangkannya adalah semua warga desa, maka semua warga desa wajib turut membayar denda berupa pemulihan keseimbangan alam, lalu diadakanlah “kedurai” ritual adat untuk menyampaikan permohonan maaf kepada penguasa sungai dan permohonan maaf karena telah bersalah dan lalai kepada makluk yang terdapat disepanjang sungai. Mereka mengangap bahwa Sungai seperti aliran darah dalam tubuh manusia, sungai tersebut sebagai saksi perjalan panjang sebuah peradaban mereka, satu sisi sungai ini menjadi sumber utama pengerak dan sumber hidup ekosistem yang berada pada daerah hamparan daerah alirannya.
Mereka menyebut mencemari sungai dengan “berkirim surat ke laut”, mereka mempercayai bahwa polutan yang dibawa oleh sungai itu akan bermuara di pusaran laut mereka menyebutnya sebagai posok laut, mereka percaya pusaran laut ini membentuk maelstorm, membentuk pusaran air yang besar dan memiliki downdraft yang sangat kuat. Pada pusaran ini mereka mempercayai sebagai tempat berkumpulnya induk penyakit, ketika “surat” yang dikirim lewat sungai itu diterima, surat itu pasti berbalas, balasannya berupa penyakit. Maka Kedurai itu menjadi penting sebagai pengakuan atas kesalahan berkirim surat.
Karena kedekatan dengan tetua kampung, pada proses ritual Kudurai yang dilaksanakan diatas batu besar ditengah arus yang mengair, aku duduk berada di samping kanan Dukun (orang yang dianggap bisa berkomunikasi dengan alam dan gaib), aku menangkap dengan jelas jambi-jampi yang dilapaskannya, sambil membakar asap kemenyan di dupa yang disiapkan ibu-ibu dikampung, kemenyan di bakar pada dupa dan asap mengepul berbau pengap, ada nuansa mistis yang sangat kuat ketika itu, seakan-akan jari pada dedemit dan para dewa membelai tubuh kami, aku mulai merasakan bulu-bulu ditubuhku mulai tegak, lalu beras yang diwarnai dengan kunyit di taburi ke sungai dan si Dukun melapaskan “hai sepanjang hidung, hai sepajang hidung, hai sepanjang hidung, dio uku madep kumu, kumu do tekadeak temungau biyoa, kemuaso biyoa, temungau tang aai, kumu kulo do jemago lot ngen ai tang aai, uku medeu kumu bae ngami, asep kemenyenku melayang, belas kemunik uku mamua, awei o kulu adat bahasoku ngenkumu, dio ade iben ngen rokok, awei o kulu pembuk pangen kumu berupo sabai, baso uku menok kedeu kumu yo, uku lok madea keturuak, baso bilai yo bilai baik bulen betuweak................”
Setelah prosesi Kedurai ini, wajah kami kembali berseri, tidak ada kecurigaan siapa yang melakukan kesalahan, kami telah menanggung akibatnya kesalahan yang dilakukan oleh seseorang secara bersama-sama. Tapi si Dukun meyakinkan kami bahwa permintaan maaf kami telah diterima secara bersyarat, surat itu akan berbalas ketika kami mengulang kesalahan yang sama. Si Dukun dan tetua kembali ke kampung dan kami masih bermain-main dan mandi disungai, setelah dingin kamipun menghangatkan badan dan berjemur dengan menempelkan badan kami pada batu-batu yang panas karena terik mata hari. Sambil berjemur, aku dan kawan-kawan seumuran mulai mendekontruksi proses Ritual akibat “berkirim Surat ke laut” ini, lalu kami tahu maksudnya, seperti maksud teks yang hadir sebagai jejak yang bisa dirunut pembentukannya dalam sejarah. Teks ini hadir kemudian berkembang seiring perkembangan budaya, lalu menuju kesempurnaan melalui dialog dan dialegtika kemudian menemukan bentuk-bentuk tesis, lalu di antitesis lahirlah sintesis. Sintesis ini bukanlah makna final, dia akan berkamuflase dan bermetamorfosis menuju keseimbangan, dan itulah peradaban.
Ahhh .... aku harus cepat-cepat pulang, karena sore ini aku harus piket masak nasi untuk makan malam kami sekeluarga, setelah makan malam aku akan datang dan mendengarkan lagi tetua kampung bercelomok, ada banyak yang bisa didekontruksi dari obrolan mereka.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar