Tahun 1982 aku diantarkan oleh
ibukku ke sebuah Sekolah Dasar (SD) Inpres, Sekolah ini berada di
Ujung Desa, jaraknya sekitar 200 meter dari rumah. Dengan seragam
baru dan teman-teman sekelas yang semuanya adalah anak tertua
dikeluargannya, kami disuruh berbaris dan kemudian masuk ke dalam
ruangan kelas dan menyanyikan lagu Indonesia Raya, tentu saja kami
belum hapal lagu ini, hanya mengikuti intonasi lalu menyimak
resonansi yang keluar dari mulut Guru Kami yang karismatik itu.
Ketika itu ibuku berada diluar
sambil mengintip anaknya yang mulai mengenal sebuah dunia, dunia itu
adalah dunia pendidikan, sekilas saya lihat dia mengintip sambil
mengendong adikku, ada perasaan takut ketika berada di ruangan yang
kemudian menjadi pijakan pertama bagi saja mengenal dunia ini lebih
luas. Tegak didepan kelas dengan wajah wibawa namun pengasih adalah
Bapak Abdulah, kami biasa pangil dengan sebutan Bapak Ib, dia guru
tua tanpa sertifikasi, kemudian aku tahu bahwa yang diajarinnya tidak
hanya soal penguatan kognitif, dia mengajarkan kami juga tentang
afektif sebuah sikap tentang kepedulian yang berbasis pengetahuan,
aku ingat dia pernah bilang bahwa angka A, B, C bukanlah sebuah
deretan hurup tanpa makna, ada makna yang luas dan dalam yang
terkandung didalamnya, dia menganalogikan tentang gelas, Sambang
dan gerigik
(tempat air dari bambu), dan ember, fasilitas atau media ini bukan
hanya media tapi ada substansi didalamnya yaitu tempat menampung air.
Sebagai fungsi tempat menampung
air maka pendidikan yang salah satunya mempelajari hurup/teks yang
membentuk kata, kalimat dan paragrap, maka semakin besar dan dalam
kita memehami media belajar ini maka semakin banyaklah yang bisa
ditampung, bukankah menurut John
von Naeumann
memperkirakan kapasitas otak manusia adalah 35 exabyte atau sekitar 1 milyar giga dan terdiri dari 100 juta sel saraf neuron.
memperkirakan kapasitas otak manusia adalah 35 exabyte atau sekitar 1 milyar giga dan terdiri dari 100 juta sel saraf neuron.
Dia mulai memancing otak kami
berpikir tentang pembacaan teks yang didalamnya ada konstruksi
sosial. Hurup yang membentuk teks dan setiap teks ini tidak boleh
mengacu pada makna final, karena katanya teks hadir sebagai jejak
yang bisa dirunut pembentukannya dalam sejarah. Itu yang selalu dia
katakan kepada kami, tentu kami tidak paham maksudnya ketika itu.
Yang kami tahu, kami harus belajar, belajar dan belajar.
Dari metode pengajaran ini
kemudian aku paham betul bagaimana mempedulikan diri terhadap
pendidikan. Metodelogi psikomotorik yang diajarkan itu membekas dalam
diri, setelah kami merasa mencintai dan penduli terhadap hurup-hurup
yang ditulis di papan berwarna hitam itu, setelah penuh tulisan harus
segera dihapus itu, dan memaksa kami menyimpan berbagai tulisan dalam
memori kognitif kami, kondisi ini juga memaksa kami melibatkan diri
dan berproses secara emansipatoris, secara bersama-sama mengembangkan
diri, berbagi hapalan lalu menjadi akomulasi pengetahuan. Aku hanya
hapal bahwa Jawa Barat itu berada di Pulau Jawa, lalu teman sebangku
menghapal ibu Kota Propisni Jawa Barat adalah Bandung, setelah di
akumulasi menjadi kalimat utuhnya adalah Jawa Barat adalah salah satu
Propinsi di Pulau Jawa dan nama Ibu Kotanya adalah Bandung. Menarik
sekali proses berbagi pengetahuan, proses saling belajar yang
diajarkannya.
Tahun 1982 di Desa kami hanya ada
1 buah teleivisi, Aku masih ingat betul pada tahun itu ada siaran
tentang Pembantaian
Sabra dan Shatila terjadi
pada September 1982 di
Beirut Lebanon yang
saat itu diduduki oleh Israeal. Pembantaian ini dilakukan oleh para
milisi Kristen Maronit Lebanon atas para pengungsi Palestina di
kamp-kamp pengungsi Sabra dan Shatila. Pasukan-pasukan Maronit berada
langsung di bawah komando Elie Hobeika yang belakangan menjadi
anggota parlemen Lebanon.
Selain di televisi hanya 1 buah
itu. Wadah interaksi dan berbagi informasi bagi tua-tua kampung
adalah ngobrol mereka menyebutnya “becelomok”
dimulai dari obrolan tentang pekerjaan, perkembangan kampung, tentang
ilmu kanuragaan dan biasanya diakhiri dengan kajian tasawuf yang
mereka sebut dengan kajian dalam.
Aku bukanlah siswa yang suka
ketika pulang kerumah kembali membuka pelajaran sekolah. Aku lebih
suka duduk dan kemudian ikut nimbrung obrolan tua-tua kampung. Ketika
mereka sibuk berinteraksi dan berdiskusi, aku yang paling kecil dan
belum tahu apa-apa sering diminta untuk mengungkapkan pendapat,
kadang-kadang mereka tertawa lalu membenarkan pendapat yang aku
kemukakan dan keluar dari tema obrolan mereka.
Ketika masuk sesi tentang ilmu
kanuragan/ilmu batin, aku suka mencuri-curi dengar, beberapa mereka
dengan suka rela menurunkan ilmu jampi-jampinya, aku menghapalkan
jampi-jampi tersebut dan tidak boleh di catat. Ada satu jampi yang
masih aku hapal sampai saat ini, mereka bilang jampi pelat, tentu
saja aku senang menghapalnya, setelah hapal di luar kepala, akupun
melapaskannya dekat nenek yang biasa aku sebut dengan Sebei,
akulah satu-satunya cucu kesayangannya diantara 76 orang cucunya. Dia
tertawa, lalu dia bilang itu jampi untuk memotong pusat bayi. Aku
tersipu malu dan jengkel karena dikibuli oleh tua-tua kampung.
Suatu hari aku pernah ikut mereka
menyelesaikan kasus adat, kasus pencemaran sungai, sungai tempat
biasanya kami mandi dan bersenda gurau tiba-tiba ikan di sungai yang
bisanya hanya boleh diambil dengan pancing dan jala. Tiba-tiba
ikan-ikan banyak mati, sungai menjadi memutih dan bau karena bangkai
ikan, lalu masyarakat seperti panen, sebagian mengambil ikan-ikan
yang besar-besar, sebagian diam saja karena takut dengan racun yang
terjandung didalam tubuh ikan. “Ini akibat pencemaran yang
disengaja, dari aromanya ini Racun Endrin” kata tetua, sambil duduk
bersarung dipingir sungai, Aku ada disamping beliau ketika itu.
Ketika waktu SMP aku baru tahu bahwa Racun Endrin rumus kimianya
adalah C12H8OCl6 termasuk dalam golongan Rodentisida untuk membasmi
tikus, racun berwarna putih ini tidak larut dan terurai di dalam air,
sehingga sepanjang aliran sungai akan teracuni oleh racun ini.
Tua-tua kampung berkumpul, tidak
ada yang bisa dijadikan tersangka pada kasus ini. Racun Endrin ini
punya daya rusak luar biasa kata tetua kampung, berbeda dengan Tuba
alam dari jenis-jenis
tumbuhan yang biasa digunakan untuk meracun ikan, yang biasa
digunakan adalah tuba adalah dari jenis Derris elliptica Bth anggota
suku Fabaceae (Leguminosae) yang memiliki kandungan rotenona
(rotenone), sejenis racun kuat untuk ikan dan serangga (insektisida)
tapi cepat larut dan terurai dalam air, interpal pengaruhnya tidak
lebar dan panjang sehingga tuba ini tidak membunuh semua jenis ikan.
Dalam proses peradilan adat,
terjadi dialog yang ketat antar tetua kampung, akhirnya mereka
bersepakat memutuskan bahwa kasus ini tersangkannya adalah semua
warga desa, maka semua warga desa wajib turut membayar denda berupa
pemulihan keseimbangan alam, lalu diadakanlah “kedurai”
ritual adat untuk menyampaikan permohonan maaf kepada penguasa sungai
dan permohonan maaf karena telah bersalah dan lalai kepada makluk
yang terdapat disepanjang sungai. Mereka mengangap bahwa Sungai
seperti aliran darah dalam tubuh manusia, sungai tersebut sebagai
saksi perjalan panjang sebuah peradaban mereka, satu sisi sungai ini
menjadi sumber utama pengerak dan sumber hidup ekosistem yang berada
pada daerah hamparan daerah alirannya.
Mereka menyebut mencemari sungai
dengan “berkirim surat ke laut”, mereka mempercayai bahwa polutan
yang dibawa oleh sungai itu akan bermuara di pusaran laut
mereka menyebutnya sebagai posok
laut,
mereka percaya pusaran laut ini membentuk maelstorm, membentuk
pusaran air yang
besar
dan memiliki downdraft yang
sangat kuat.
Pada pusaran ini mereka mempercayai sebagai tempat berkumpulnya induk
penyakit, ketika “surat” yang dikirim lewat sungai itu diterima,
surat itu pasti berbalas, balasannya berupa penyakit. Maka Kedurai
itu menjadi penting sebagai pengakuan atas kesalahan berkirim surat.
Karena
kedekatan dengan tetua kampung, pada proses ritual Kudurai
yang dilaksanakan diatas batu besar ditengah arus yang mengair, aku
duduk berada di samping kanan Dukun (orang yang dianggap bisa
berkomunikasi dengan alam dan gaib), aku menangkap dengan jelas
jambi-jampi yang dilapaskannya, sambil membakar asap kemenyan di dupa
yang disiapkan ibu-ibu dikampung, kemenyan di bakar pada dupa dan
asap mengepul berbau pengap, ada nuansa mistis yang sangat kuat
ketika itu, seakan-akan jari pada dedemit dan para dewa membelai
tubuh kami, aku mulai merasakan bulu-bulu ditubuhku mulai tegak, lalu
beras yang diwarnai dengan kunyit di taburi ke sungai dan si Dukun
melapaskan “hai
sepanjang hidung, hai sepajang hidung, hai sepanjang hidung, dio uku
madep kumu, kumu do tekadeak temungau biyoa, kemuaso biyoa, temungau
tang aai, kumu kulo do jemago lot ngen ai tang aai, uku medeu kumu
bae ngami, asep kemenyenku melayang, belas kemunik uku mamua, awei o
kulu adat bahasoku ngenkumu, dio ade iben ngen rokok, awei o kulu
pembuk pangen kumu berupo sabai, baso uku menok kedeu kumu yo, uku
lok madea keturuak, baso bilai yo bilai baik bulen
betuweak................”
Setelah
prosesi Kedurai ini, wajah kami kembali berseri, tidak ada kecurigaan
siapa yang melakukan kesalahan, kami telah menanggung akibatnya
kesalahan yang dilakukan oleh seseorang secara bersama-sama. Tapi si
Dukun meyakinkan kami bahwa permintaan maaf kami telah diterima
secara bersyarat, surat itu akan berbalas ketika kami mengulang
kesalahan yang sama. Si Dukun dan tetua kembali ke kampung dan kami
masih bermain-main dan mandi disungai, setelah dingin kamipun
menghangatkan badan dan berjemur dengan menempelkan badan kami pada
batu-batu yang panas karena terik mata hari. Sambil berjemur, aku dan
kawan-kawan seumuran mulai mendekontruksi proses Ritual akibat
“berkirim Surat ke laut” ini, lalu kami tahu maksudnya, seperti
maksud teks yang
hadir sebagai jejak yang bisa dirunut pembentukannya dalam sejarah.
Teks ini hadir kemudian berkembang seiring perkembangan budaya, lalu
menuju kesempurnaan melalui dialog dan dialegtika kemudian menemukan
bentuk-bentuk tesis, lalu di antitesis lahirlah sintesis. Sintesis
ini bukanlah makna final, dia akan berkamuflase dan bermetamorfosis
menuju keseimbangan, dan itulah peradaban.
Ahhh .... aku harus cepat-cepat
pulang, karena sore ini aku harus piket masak nasi untuk makan malam
kami sekeluarga, setelah makan malam aku akan datang dan mendengarkan
lagi tetua kampung bercelomok, ada banyak yang bisa didekontruksi
dari obrolan mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar