Hari
ini, setelah sholat Jum’at kami berjanji ketemu di tempat yang bisa menikmati
makan siang, secangkir kopi, dan tidak terganggu untuk mengobrol. Saya datang
duluan ketempat yang dijanjikan, sambil menunggu tiga orang teman, saya pesan
minuman dingin tetapi mengandung alkohol. Teman pertama saya datang, namanya Willy,
dia adalah seniman, musikus. Berwajah ganteng, tinggi putih tapi kurus dan
berambut gondrong, khas seniman, bercelana jean dan robek di lutut, berbaju
putih koko berlengan panjang wajahnya teduh
dan belakangan ini dia mendadak mulai religius.
Setelah lima belas menit kemudian, teman kedua saya datang, namanya Wiradi, rambut gondrong, berkameja dan bercelana hitam, kulitnya putih bersih jauh lebih ganteng dari saya. Dia adalah peneliti dan tentu saja berpendidikan tinggi, dia menguasai lima Bahasa dunia. Teman saya yang terakhir datang berbadan tinggi tegap, kulit menghitam karena matahari, maklum karena dia adalah demonstran. Tampak kekerasan di wajahnya yang memancarkan militansi ideologis, keningnya seperti menempel ke langit. Namanya Wilendra, dia mahasiswa tingkat akhir.
Setelah lima belas menit kemudian, teman kedua saya datang, namanya Wiradi, rambut gondrong, berkameja dan bercelana hitam, kulitnya putih bersih jauh lebih ganteng dari saya. Dia adalah peneliti dan tentu saja berpendidikan tinggi, dia menguasai lima Bahasa dunia. Teman saya yang terakhir datang berbadan tinggi tegap, kulit menghitam karena matahari, maklum karena dia adalah demonstran. Tampak kekerasan di wajahnya yang memancarkan militansi ideologis, keningnya seperti menempel ke langit. Namanya Wilendra, dia mahasiswa tingkat akhir.
Sambil
minum kopi dan menunggu menu makan siang kami pesan, obrolan kami mulai seru
dan focus pada seputaran Kesadaran Jiwa. Kami mulai bersepakat bahwa kebencian terhadap sesuatu tanpa alasan dan
subjectivisme adalah penyakit dalam kesadaran jiwa, padahal kesadaran jiwa
adalah pondasi paling dasar dari kesadaran itu sendiri, pada struktur kesadaran
jiwa ini kita menyadari bahwa semua relitas hakikatnya adalah satu, tunggal,
dengan demikian tidak ada realita yang tidak dapat diubah.
Kata temanku yang sekolah tinggi itu, dan sesekali
mengunakan istilah Bahasa asing, bawah kesadaran jiwa melahirkan konsep
kecerdasan/kematangan jiwa atau emotion
quotient untuk menyeimbangi kecerdasan
emosional, intellectual
quotient yang merupakan
pondasi rasionalisme, kecerdasan ini bisa bisa memotivasi kondisi jiwa agar
menjadi pribadi yang matang secara social berkenaan dengan eksistensinya
sebagai entitas social. Katanya.
Temanku yang militansinya tegak lurus ke
langit itu sepakat bahwa kesadaran ini harus terwujud dalam bentuk kemampuan
merasakan, memahami dan secara efektif menerapkan daya dan kepekaan emosi
sebagai sumber energy yang menyulut kretivitas yang tentu saja mengarahkan manusia
ke arah yang lebih baik. Itu kesimpulannya. Dan, temanku yang musikus ini
berpendapat bahwa kesadaran jiwa ini menyiratkan kesediaan manusia untuk
memikul amanah, beban, kepedulian yang tidak diikuti oleh komitmen terhadap
sikap mendua. Sumber utama konplik jiwa ini adalah kebodohan dalam
mendifinisikan makna tindakan fisiologis, hawa nafsu, keinginan buta, ambisi
kemudian disederhanakan sikap yang munafik, betrayal atau penghianatan. Kata-katanya
puitis dan terkesan sufistik, maklum dia pengagum berat Rumi.
Makan siang sudah datang. Sebagai orang
yang paling tua diantara mereka, saya harus berpendapat sebelum kan siang.
“Karakter tidak bisa berkembang dengan mudah dan cepat,” karakter yang
membentuk kesadaran itu hanya melalui pengalaman ujian dan penderitaan jiwa
bisa diperkuat, visi diperjelas, ambisi di ilhami dan keberhasilan diraih.
Mereka mengangguk-angguk, mereka tidak tahu saya hanya mengutip Helen Keller.
Piring pesanan sudah kosong, dan tersapu
bersih. Sebagai laki-laki, obrolan kami mengarah pada soal wanita. Tersebutlah
sebuah nama yang sama-sama kami kenal dan kenal dekat, nama Serlynda. Perempuan
cantic berkulit putih, rambutnya panjang ikal mayang. Kami terdiam, seperti
masing-masing meyimpan rahasia. Wilendralah yang pertama kali yang
mengakui, bahwa minggu lalu dia dapat paket dan surat dari Serlynda, surat itu di ketik dengan hurup
Time New Roman dengan cetak miring. Akhirnya kami mengakui bahwa kami semua
mendapatkan surat yang sama. Kami keluarkan surat masing-masing dan isinya sama
dan dibaca dengan terbata-bata oleh Willy, kami menyimaknya dengan surat yang
masing-masing kami miliki;
Kukirimkan untuk anda darah, daging
dan tulang belulang. Itulah darah, daging dan tulang belulang Tuhan. Bayi saya
hidup selama setengah hari saja. Dia tidak punya kekuatan apapun sejak lahir.
Saya hanya menatap ketika si perawat memegang kedua kakinya. Menelungkupkan,
lalu meggucangkan tubuhnya. Akhirnya dia
menangis. Kemarin siang, kata perawat, dia menguap dua kali lalu mati. Kami
berbaring di ranjang yang berdampingan – oh iya, baru tujuh bulan dia lahir,
dan segera setelah terlahir ia pipis sekali lalu mati.
Dia tidak mirip siapa pun. Ia
bahkan tidak mirip saya sedikit pun. Dia kelihatan hanya seperti boneka kecil
yang cantik. Bisakah Anda bayangan seorang bayi dengan wajah paling
mempesonakan di dunia? Dia tidak punya tanda pengenal dan tidak pula cacat.
Pipinya montok, bibirnya terkatup rapat, dan setelah dia mati ada selapis darah
melekat disana. Selain itu, tak ada yang saya ingat lagi. Si perawat memujinya
sebagai anak yang mempesonakan, kulitnya bening.
Jika dia dilahirkan sebagai anak
yang malang, jika ia harus hidup sebagai anak yang lemah, saya kira lebih baik
dia mati sebelum mulai menghisap susu saya atau tertawa. Saya menangisi anak
ini, yang lahir tidak mirip siapapun. Tidakkah bayi ini, dalam hatinya, ketika
dia masih ada dalam Rahim, berkata pada diri sendiri betapa dirinya tidak mirip
siapa pun? Dia datang ke dunia ini bersama pikiran menyedihkan ini. Dan
tidakkah ia meninggalkan dunia sambil berpikir: aku harus mati sebelum aku jadi
mirip seseorang?
Anda – ah, lebih baik saya katakan
‘anda semua’, ya anda semua, sampai sekarang, bahkan jika saya tidur dengan
seratus atau seribu orang pria, akan memasang wajah tak tahu, seolah hal
semacam itu tidak lain hanyalah sedikit keganjilan di tengah jalan. Tetapi
ketika saya hamil, wah, betapa resahnya wajah kalian semua. Anda semua ini –
memang sudah dasar kalian – datang membawa mikroskop maskulin untuk mengamati
rahasia seorang wanita.
Konon kisahnya zaman kuno dulu, Hakunin,
sang pendeta, mengendong di lengannya bayi seorang gadis yang tidak menikah dan
berkata. “inilah anakku.” Tuhan telah menyelamatkan anakku pula. Pada si bayi
dalam Rahim, ketika dia dengan sedih berpikir ‘aku harus mirip siapa’’, Tuhan
berkata, “anakku yang sangat kusayangi, miriplah denganku. Lahirlah sebagai tuhan.
Karena kamulah anak Tuhan.
Karena terlalu memikirkan anak ini
dengan hati remuk, saya tidak bisa bilang anak saya harus mirip siapa di antara
kalian ini. Maka kukirimkan pada kalian semua satu bagian saja.
Kami semua terdiam, seperti di hantam keras, bahwa kesadaran
yang kami agungkan sebagai laki-laki masih terhambat dan terjebak pada
artikulasi dan pemaknaan diri, klaim diri paling hebat terjebak pada
nilai-nilai subjectivisme yang sempit, kesadaran maskulinitas kami belum
terkelola dengan baik, kesadaran itu masih dalam taraf dirinya (etre pour soi e). Dan,
kami terjebak pada pseudo
maskulinitas atau kesadaran palsu. Etre pour soi e kami
masih berjarak. Tentu saja kami marah kalau di sebut lelaki bajingan tengik,
marah pula kalua Serlynda distreotif wanita jalang tetapi masing-masing kami
tidak mau juga anak yang lahir itu mirip dengan kami!
·
Tulisan ini terinspirasi
dan sebagian besar di kutip dari tulisan Yasunari Kawabata
Tidak ada komentar:
Posting Komentar