Udaranya
masih dingin, pagi ini turun kabut yang menutupi hijaunya perbukitan
yang dulunya adalah tanah adat Marga Bermani Ulu, setelah terbitnya
UU No 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, wilayah yang dulunya
milik Masyarakat hukum Adat Bermani Ulu dijadikan sebagai Kawasan
Hutan Negara yang berfungsi Lindung. Kondisi hutan yang harus
dilindungi untuk fungsi ekologi membuat masyarakat ‘diturunkan’
dari wilayah kelolanya, maka terjadilah konflik kepentingan, antara
kepentingan ekonomi yang pragmatis untuk kebutuhan hidup masyarakat
dan kepentingan ekologi yang idealis.
Konflik ini semakin meruncing
ketika terjadi pengusiran dan stigmatisasi pada masyarakat yang
dianggap sebagai perusak dan perambah hutan. Padalah mereka sudah
sangat lama tinggal di sini, terdapat puluhan desa dan ribuan
masyarakat pengarap di Kawasan Hutan lindung Bukit Daun, sebagian
besar penduduknya mendiami desa Asli masyarakat Hukum Adat Rejang
Bermani Ulu, Desa tranmigrasi sejak Pemerintahan Kolonial Belanda
maupun Desa-desa baru yang dihuni secara heterogen.
Untuk
mencapai desa ini tidaklah sulit, aksesibilitas dari ibu Kota
Kabupaten Rejang Lebong cuma butuh 25 menit perjalanan normal. Dan
perjalanan 2 jam dari pusat Propinsi Bengkulu. Berada di ketinggian
800-1.100 Dpl dengan tanah vulkanik yang subur dan topografi
perbukitan membuat perkebunan kopi dan palawija menjadi tanaman
primadona bagi masyarakatnya. Terdapat eks perkebunan teh peninggalan
Belanda di areal Bukit Daun “Desa Baru Manis adalah dulunya desa
yang dihuni oleh perkerja perkebunan teh” Cerita Bapak Sawon (60
tahun) yang juga berpropesi sebagai dalang. Selain melakukan
transaksi atas hasil perkebunan rakyat di Pasar-pasar Desa, komoditi
hasil pertanian masyarakat dijual ke Pasar Curup yang hanya terletak
10 kilometer dari kampung mereka. Dengan kondisi ini, seharusnya
masyarakatnya hidup makmur sebagai mana perkampungan agraris yang
berlimpah kekayaan alam yang subur. Masyarakatnya tidak bisa
mamanfaatkan sumberdaya yang ada secara maksimal karena kebijakan
Negara tentang pengelolaan status kawasan hutan yang ketat bahkan
cenderung fasis refresif.
Di
buffer sone Hutan Lindung Bukit Daun terdapat beberapa Desa Asli,
diantaranya adalah Desa Air Lanang, Sementara desa heterogen yang
dihuni oleh berbagai suku adalah Desa Tebat Pulau, Air Pikat dan
Tanjung Dalam. “Puncak pengusiran di desa kami dilakukan di tahun
1980-an” kata Muhammad Dahril (51 tahun), tokoh masyarakat Desa
Tebat Pulau, terjadi pengusiran besar-besaran ketika itu bahkan
penagkapan dan pembakaran pondok-pondok petani di dalam kawasan
hutan, “masing-masing kami diambil photo seperti maling yang
tertangkap” kenangnya. Sejak saat itu sampai tahun 2010 “kami
kuncing-kucingan dengan aparat untuk mengambil hasil kebun kami”,
sering kali di malam hari kami panen kopi, “seperti maling di tanah
sendiri”. Lanjut bapak yang hobi bernyanyi dangdut ini yang
sehari-hari di panggil Em.
“Saya
sudah 3 kali di usir dari kebun kami” kenang Bapak Sartono (56
tahun). Pria asal Cirebon ini datang ke Desa Baru Manis sejak tahun
70-an mengikuti keluarganya yang datang lebih dulu di bawa oleh
Pemerintahan Belanda dan kemudian menjadi petani kopi yang mengarap
kawasan hutan lindung yang hanya berjarak 800 meter dari desanya. Hal
serupa juga di ceritakan oleh Darwil (48 tahun) Kepala Desa Air
Lanang. “Desa kami ini jauh sebelum Indonesia Merdeka sudah ada
desa yang kami sebut dusun bagian dari Marga Bermani Ulu”, dulu
katanya memang ada hutan lindung yang dibuat oleh Pemerintahan
Belanda “kami menyebutnya dengan Hutan Batas BW”, tapi letaknya
jauh dari desa karena ketika penetapan batasnya masyarakatlah yang
menentukan batas-batas hutan” jelasnya. “Fungsinya sama dengan
hutan lindung yang sekarang sebagai fungsi lindung,” cerita Kepala
Desa yang pernah mendapatkan penghargaan dari Presiden Susilo Bambang
Yudoyono sebagai Kepala Desa pemerhati lingkungan ini.
“Tahun
2010, desa kami didatangai seseorang yang mengakunya dari LSM Akar”
Kenang Muhammad Dahril, dia datang mau menyelesaikan kasus hutan di
desa kami. “kami usir dia dari desa kami, tiga kali dia datang,
tiga kali juga kami usir, kami kira dia mata-mata kehutanan”.
Setelah kedatangannya yang keempat kali, kami lihat keseriusannya
mengurus dan membantu menyelesaikan kasus kami, barulah kami terima
dia. “Namanya Rahabilah Firdah,” lanjut Em. Setelah kami berikan
dia kesempatan untuk menjelaskan tujuannya. “waktu itu kami masih
ragu, cuma 3 orang yang berhasil dia kumpulkan”. Dan 3 orang inilah
cikal bakal inisiasi penyelesaian sengketan hutan. Selama tiga bulan
di tinggal bersama kami, dia berhasil mengumpulkan dukungan 400 orang
dari lima desa “kami diajari tentang berbagai aturan kehutanan dan
pengelolaan hutan, salah satunya adalah Hutan Kemasyarakatan,”
katanya. Dengan Hutan Kemasyarakatan masyarakat tidak lagi diusir
maupun di kejar-kejar, “masyarakat boleh mengambil hasil hutan
bukan kayu tanpa merubah fungsi hutannya.” jelas Em Dahril.
Setelah
berjalan dua tahun dia tinggal bersama kami, “dia berhasil
menggumpulkan sebanyak 721 kepala keluarga,semuanya penatani pengarap
hutan lindung Bukit Daun” kenang Muhammad Dahril yang pernah
menjadi Ketua Gabungan dari 7 Kelompok Tani di Desanya Tebat Pulau.
721 “Kepala Keluarga ini digabungkan ke dalam 18 Kelompok Tani
Hutan Kemasyarakatan dan 5 Gabungan Kelompok Tani yang tersebar di
lima desa”. Jelasnya dengan fasih.
“Setelah
kami merasa kuat dan paham dengan kebijakan kehutanan, barulah kami
mendatangai Dinas Kehutanan Rejang Lebong,” Cerita Anggi Alexsander
(30 tahun) yang juga sebagai Ketua Kelompok Tani Hutan Kemasyarakatan
di Desa Tabat Pulau. Dia menceritakan ketika tahun 2012 mereka
mendatangi Dinas Kahutanan dengan rombongan perambah hutan berjumlah
50 orang. “Kami datang ke Dinas Kehutanan dan mengakui bahwa kami
adalah Perambah Hutan Lindung”, Kepada Dinasnya tertawa-tawa karena
tahu kami mulai paham kebijakan kehutanan terutama tentang tata cara
akses masyarakat terhadap hutan. Ceritanya. “Baru setelak ketemu
dengan Dinas Kehutanan kami mulai menyaipkan prasyarat untuk
mendapatkan Izin Usaha Pemanfaatan Hutan Kemasyarakatan” Kenangnya.
“Pada
tahun 2013” Lanjut Anggi Alexander. Kami mendapatkan Izin Peta
Areal Kerja (PAK) untuk pengelolaan hutan melalui Skema Hutan
Kemasyarakatan (HKm) melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor:
SK.545/Menhut-II/2013 pada lahan seluas Lahan + 1.165 Ha. “SK ini
tertanggal 30 juli 2013 yang diberikan kepada Gapoktan Tumbuh
Lestari,Gapoktan Tri Setia, dan Gapoktan Rukun Makmur yang terdapat
di Desa Air Lanang Desa Tebat Pulau dan Desa Baru Manis dan Nomor:
SK.19/Menhut-II/2014 pada lahan seluas Lahan + 310 Ha tertangal 9
januari 2014 untuk Gapoktan Maju Jaya dan Gapoktan Enggas Lestari
terdapat Desa Tanjung Dalam dan Desa Tebat Tenong.” Tampak
kebanggaan di wajahnya sambil memperlihatkan dokumen photo copy SK
Menteri Kehutanan tersebut.
Menindak
lanjuti SK Menteri tersebut tanggal 13 Mei 2015 Bupati Kabupaten
Rejang Lebong memberikan Izin Usaha Pemanfaatan Hutan Kemasyarakatan
(IUPHKm) melalui Keputusan Bupati RL, No: 180.186.III Tahun 2015
tentang pemberian Usaha Pemanfaatan Hutan Kemasyarakatan (IUPHKm)
kepada Gabungan Kelompok Tani dalam Kabupaten Rejang Lebong di 5 Desa
(Air Lanang, Tebat Pulau, Tebat Tenong Dalam, Baru Manis dan Tanjung
Dalam). “Izin Usaha Pemanfaatan Hutan Kemasyarakatan (IUPHKm)
adalah izin usaha yang diberikan untuk memanfaatkan sumber daya hutan
pada kawasan hutan lindung Register 5 selama 35 tahun.” Kata Anggi.
“SK
Menteri dan SK Bupati ini, bukanlah akhir dari perjuangan kami”
Kata Bapak Tarsono yang duduk kalem disamping Anggi. Perkerjaan
terberatnya adalah memegang amanah yang di berikan Negara pasca
penerbitan izin. “Hutan kemasyarakatan ini harus memastikan
masyarakat bisa sejahtera dan hutan lestari” Katanya. Dia juga
menceritakan kegiatan yang mereka lakukan bersama Akar Foundation,
tahun 2016 sudah membagun inisiatif pengembangan unit bisnis. “kami
sudah membentuk Unit Koperasi khusus Petani Hutan Kemasyarakatan,
kami beri nama Koperasi Cahaya Panca Sejahtera” Katanya yakin.
Karena dialah yang duduk sebagai Ketua Badan Pendiri Koperasi ini.
Unit usahanya sudah berjalan dan telah melucurkan produk bubuk kopi
berjenis robusta bermerek Akar atau singkatan dari Aroma Kopi Alami
Rejang. “Kami munculkan identitas georafis Rejang, dan kata Alami
untuk menunjukan kopi kami dari hutan dan dikelola secara organik”
Katanya dengan berlogat Sunda. Ia meyakinkan saya dengan jumlah 271
Kepala Keluarga yang menjadi anggota koperasinya dengan luas lahan
1.475 Ha bisa menghasilkan ribuan ton biji kopi. “saat ini luas
efektif lahan yang di tanam kopi seluas 967 Ha, dengan 1 ha paling
tidak bisa menghasilkan 1 ton tanpa didukung teknologi pertanian, itu
artinya 1.000 ton per tahun.” Jelas Pak Tarsono.
Dengan
akses yang diberikan oleh Negara kepada Rakyat untuk mengelola hutan,
berlahan tingkat kesejahteraan mereka mulai membaik. Begitu juga
dengan tutupan hutan yang dulunya rusak akibat perambahan ilegal.
“Iklim didusun sudah mulai dingin, dan beberapa mata air yang
dulunya kering mulai mengalir” Cerita Pak Tarsono. Mereka bangga
ketika Kepala Desa dan Ketua Gapoktan Hutan Kemasyarakatan di Air
Lanang beberapa kami mendapatkan penghargaan oleh Presiden karena
terbukti bisa memulihkan kondisi hutan. “Itu bentuk pengakuan bahwa
rakyat bisa menjaga hutan bukan perusak hutan” Kata Anggi yang juga
pengurus Koperasi Cahaya Panca Sejahtera bersama dengan Pak Tarsono.
Anggi juga menceritakan jumlah produksi kopi semakin meningkat.
“Selain tanaman kopi kami juga menanam pala, kemiri, jengkol,
pinang, durian, dan aren”. Dengan agrofoestry masyarakat, petani
Hutan Kemasyarakatan tidak tergantung lagi dengan tanaman musiman
kopi, di sela kopi mereka bisa memanen kemiri, pala, jengkol. “Dulu,
sebelum Hkm ada masa paceklik kami panjang” Kata Anggi. Sekarang
kami bisa menjual komoditi lain sambil menunggu panen kopi.
Peningkatan kesejahteraan masyarakat bisa dilihat dengan banyaknya
petani pengarap Hutan Kemasyarakatan membangun rumah, yang sudah tua
ada banyak yang mendaftarkan naik haji. Bahkan sekarang mereka mulai
suka pergi ke tempat-tempat wisata. “Dan, yang paling penting
sebagian dari kami mulai terlepas dari jeratan utang ke tengkulak
desa, cita-cita kami tengkulaklah yang akan tergantung dengan kami”.
Sambung Anggi dengan yakin.
Ini
kunjungan saya yang kesekian kalinya sejak tahun 2010 ke Desa Tebat
Pulau, desa ini bergeliat, warung-warung desa semakin banyak dan
rami, tidak tampak lagi bapak-bapak yang duduk bersarung dengan
tatapan kosong di teras-teras rumah. Teras rumah dijadikan parkiran
sepeda motor, anak-anak sibuk dengan gadget, pedagang sayur
berkeluyuran datang membawa kebutuhan sayur mayur dari pasar Ibu Kota
Kabupaten. Hutan Kemasyarakatan, semoga Sejehtera Masyarakatnya dan
Lestari Hutannya.!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar