Malam tadi
saya ikut sholat tarawih di Mushola RT yang belum jadi di dekat rumah, untung
malam ini Ustadnya bukan diutus salah seorang kandidat Calon Walikota. Mejelang
sholat ada siraman rohani dari sang Ustad, dia bilang sepertiga pertama Ramadhan
Masjid Rame, Sepertiganya Pasar yang Rame dan sepertiga terakhir yang rame
Terminal.
Kemudian dia memberi memberi nasehat secara santun: “bagi mereka yang
tidak atau kurang mampu, untuk apa mudik? Hendaknya jangan memaksa mudik”.
Nasehat ini hampir mirip dengan nasehat para pejabat-pejabat di kota-kota besar
yang saya lihat di televisi 14 inch dirumah saya.
Tentu saja
maksudnya baik. Saya teringat, dalam skala kecil sering kali Ustad dikampung saya dengan
tak bosan-bosannya menganjurkan agar orang jangan gampang-gampang selamatan.
Ada pengantin selamatan. Ada khitanan selamatan. Ada yang meninggal dunia,
selamatan. Sudah kehilangan famili yang dipangil Tuhan kok malah utang-utang
duit untuk menyuguh sebegitu banyak orang yang datang melayat.
Budaya mudik,
seperti juga selamatan, dipandang oleh para sebagian Ulama dan pemimpin itu sebagai
semacam pesta tradisional. Dan itu hanya dilakukan oleh jenis “manusia Agraris”
yang tidak efektif, dan tidak efisien hidupnya. Mudik itu counter-productive secara ekonomi maupun dipandang dari sejumlah
sisi yang lain. Memboroskan uang, energi, waktu dan macam-macam lagi.
Kira-kira
menurut kesan saya, nasehat diatas memiliki kecenderungan berpikir begitu. Ada
beberapa hal yang – saya mungkin tidak setuju- tapi sekurang-kurangnya merasa
kurang sreg, mungkin karena saya juga
pelaku Mudik.
Pertama,
logikanya. Mari kita umpamakan kata
“Mudik” dengan kata “Makan”. Apakah kepada orang yang susah ekonominya seperti
saya kemudian dinasehatkan: “Kalau memang kurang atau tidak mampu memberi
beras, untuk apa makan? hendaklah jangan memaksa diri…”
Pertanyaannya
sekarang: Apakah mudik itu padaan dari makan? Apakah mudik itu sedemikian tidak
primer bagi manusia sehingga boleh ditiadakan, sementara makan tidak boleh?
Beribu-ribu
orang, berjutua-juta orang, berjejal-jejal di stasiun, terminal, di
gerbong-gerbong, di kepengapan bis dan di berbagai kenderaan lain. Pada umumya
mereka itu hanya setahun sekali bisa pulang kampung, karena terutama
kesanggupan ekonomi mereka memang begitu.
Bagi mereka
dan tentu saja saya, hari raya adalah kemewahan. Hari raya adalah “air liur”
bagi kebahagian budaya mereka yang amat jarang didapatkan sehari-hari.
Berjejal-jejal di kendaraan bukanlah siksaan bagi mereka, kalau kita mengetahui
bahwa tidak ada siksaan jenis apapun
dalam hidup ini yang terus-menerus disongsong dengan sadar dan pakai biaya
besar pula.
Baiklah.
Mungkin gerakan mudik massal itu menyiksa, meletihkan, bahkan siapa tahu
memuakkan. Tetapi muatan kebahagiaan di dalam siksaan itu masih jauh lebih
besar dibanding siksaan itu sendiri. Berjuta-juta orang yang menyiksa diri
dalam kebahagian itu tidak punya kemampuan seperti penghuni “kelas”
sosial-ekonomi diatas mereka, yang jumlah uang mereka bisa dipakai mudik kapan
saja mereka mau. Bisa seminggu sekali. Sebulan sekali. Bahkan sehari sekali
atau sehari berkali-kali jika waktu dan jarak memungkinkan. Kemampuan membeli
tiket pesawat membuat mereka bisa menciptakan hari raya kapan saja dan dengan
fasilitas apa pun yang dengan gampang bisa mereka beli.
Semestinya
kepada kelas inilah diucapkan kalimat: “untuk apa mudik? Mengalah lah. Berilah
ruang yang lebih longgar kepada mereka yang hanya setahun sekali mampu
mudik”. Akan lebih dasyat lagi jika kalimat itu, ditambah pula: “bagi mereka yang
tidak mampu, silakan datang kerumah saja dan rumah beberapa orang yang
terdaftar secara sukarela ini, untuk memperoleh tambahan biaya pulang kampung”.
Apalagi
mudik itu bukanlah peristiwa budaya. Mudik itu tahapan perjalan kembali. Bahasa Arabnya ilahi roji’un. Kembali ke lumpur kampung, tempat Allah mengawali
kehidupan mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar