Mudik itu Tahapan Perjalanan Kembali - Erwin Basrin

Breaking

Recent Posts

 photo Untitled-1_1.jpg

Rabu, 21 Juni 2017

Mudik itu Tahapan Perjalanan Kembali



Malam tadi saya ikut sholat tarawih di Mushola RT yang belum jadi di dekat rumah, untung malam ini Ustadnya bukan diutus salah seorang kandidat Calon Walikota. Mejelang sholat ada siraman rohani dari sang Ustad, dia bilang sepertiga pertama Ramadhan Masjid Rame, Sepertiganya Pasar yang Rame dan sepertiga terakhir yang rame Terminal.
Kemudian dia memberi memberi nasehat secara santun: “bagi mereka yang tidak atau kurang mampu, untuk apa mudik? Hendaknya jangan memaksa mudik”. Nasehat ini hampir mirip dengan nasehat para pejabat-pejabat di kota-kota besar yang saya lihat di televisi 14 inch dirumah saya.

Tentu saja maksudnya baik. Saya teringat, dalam skala kecil sering kali Ustad dikampung saya dengan tak bosan-bosannya menganjurkan agar orang jangan gampang-gampang selamatan. Ada pengantin selamatan. Ada khitanan selamatan. Ada yang meninggal dunia, selamatan. Sudah kehilangan famili yang dipangil Tuhan kok malah utang-utang duit untuk menyuguh sebegitu banyak orang yang datang melayat.

Budaya mudik, seperti juga selamatan, dipandang oleh para sebagian Ulama dan pemimpin itu sebagai semacam pesta tradisional. Dan itu hanya dilakukan oleh jenis “manusia Agraris” yang tidak efektif, dan tidak efisien hidupnya. Mudik itu counter-productive secara ekonomi maupun dipandang dari sejumlah sisi yang lain. Memboroskan uang, energi, waktu dan macam-macam lagi.

Kira-kira menurut kesan saya, nasehat diatas memiliki kecenderungan berpikir begitu. Ada beberapa hal yang – saya mungkin tidak setuju- tapi sekurang-kurangnya merasa kurang sreg, mungkin karena saya juga pelaku Mudik.

Pertama, logikanya.  Mari kita umpamakan kata “Mudik” dengan kata “Makan”. Apakah kepada orang yang susah ekonominya seperti saya kemudian dinasehatkan: “Kalau memang kurang atau tidak mampu memberi beras, untuk apa makan? hendaklah jangan memaksa diri…”

Pertanyaannya sekarang: Apakah mudik itu padaan dari makan? Apakah mudik itu sedemikian tidak primer bagi manusia sehingga boleh ditiadakan, sementara makan tidak boleh?

Beribu-ribu orang, berjutua-juta orang, berjejal-jejal di stasiun, terminal, di gerbong-gerbong, di kepengapan bis dan di berbagai kenderaan lain. Pada umumya mereka itu hanya setahun sekali bisa pulang kampung, karena terutama kesanggupan ekonomi mereka memang begitu.

Bagi mereka dan tentu saja saya, hari raya adalah kemewahan. Hari raya adalah “air liur” bagi kebahagian budaya mereka yang amat jarang didapatkan sehari-hari. Berjejal-jejal di kendaraan bukanlah siksaan bagi mereka, kalau kita mengetahui bahwa tidak ada siksaan jenis  apapun dalam hidup ini yang terus-menerus disongsong dengan sadar dan pakai biaya besar pula.

Baiklah. Mungkin gerakan mudik massal itu menyiksa, meletihkan, bahkan siapa tahu memuakkan. Tetapi muatan kebahagiaan di dalam siksaan itu masih jauh lebih besar dibanding siksaan itu sendiri. Berjuta-juta orang yang menyiksa diri dalam kebahagian itu tidak punya kemampuan seperti penghuni “kelas” sosial-ekonomi diatas mereka, yang jumlah uang mereka bisa dipakai mudik kapan saja mereka mau. Bisa seminggu sekali. Sebulan sekali. Bahkan sehari sekali atau sehari berkali-kali jika waktu dan jarak memungkinkan. Kemampuan membeli tiket pesawat membuat mereka bisa menciptakan hari raya kapan saja dan dengan fasilitas apa pun yang dengan gampang bisa mereka beli.

Semestinya kepada kelas inilah diucapkan kalimat: “untuk apa mudik? Mengalah lah. Berilah ruang yang lebih longgar kepada mereka yang hanya setahun sekali mampu mudik”. Akan lebih dasyat lagi jika kalimat itu, ditambah pula: “bagi mereka yang tidak mampu, silakan datang kerumah saja dan rumah beberapa orang yang terdaftar secara sukarela ini, untuk memperoleh tambahan biaya pulang kampung”.

Apalagi mudik itu bukanlah peristiwa budaya. Mudik itu tahapan perjalan kembali. Bahasa Arabnya ilahi roji’un. Kembali ke lumpur kampung, tempat Allah mengawali kehidupan mereka.     

Tidak ada komentar:

Posting Komentar