Sore dan tempat favorit kami adalah sungai. Mandi di sungai. Ritual mandi di sungai ini kami lakukan setiap kali kami pulang kampung. Sungai di mana dulu ari-ariku dihanyut. Sungai dimana bayi-bayi yang baru dilahirkan diritualkan disini. Sungai dimana aku sering mengawani bapakku mencari ikan dengan jala, dengan sumpit, jaring dan kail. Dan, di sungai ini aku membantu mencatat debit dan kecepatan arus untuk pembangunan Pembangkit Listrik yang untungnya tidak jadi.
Kami harus berjalan jauh untuk sampai di sungai ini. Dulu ketika aku masih
kecil. Penduduk mengunakan sungai untuk mandi, cuci dan kakus. Dan di sana dulu
ada mesin kincir untuk menumbuk padi. Jadi, jalannya terawat dan ramai sekali.
Kini. Jalannya jarang sekali digunakan kecuali oleh orang-orang tua yang masih
setia dengan sungai, setia dengan kebiasaan atau sekedar keterikatan mengingatkan
memori kolektif mereka. Namun semakin hari jumlahnya semakin sedikit.
Air sungai ini semakin kecil, tetapi tidak ada yang berubah, agregatnya
masih seperti dahulu. Batu-batunya tetap berdiri kokoh, Airnya masih jernih,
sejernih ketika dulu aku sering mandi dan menyelam ketika bulan ramadhan.
Menyelam sambil minum air. Dan itu membantu sekali menahan haus ketika kita
berpuasa. Sekali menyelam setara dengan seteguk air
Anak bungsuku belajar berenang dan dia tampak kegirangan, dia ajarkan oleh
kakek dan kakak sepupunya. Aku duduk di sebuah batu yang dulu sering aku gunakan
untuk berdiri, aku berdiri tegak seperti berdiri di puncak dunia yang
berdekatan dengan surya. Dari batu ini aku melocat ke dalam air, berenang
sampai menggigil, menggigil dalam kehangatan kebahagiaan bersama kawan sebayaku.
Aku duduk dengan anak tertuaku. Bdikar.
“Lihatlah Nak, dan pahamilah sungai yang mengalir ini,”
“Kau akan tahu dan mengerti akan rahasia kehidupan yang kaya didalamnya.”
Pikiranku melayang ketika dulu pernah jadi saksi ritual membersihkan sungai.
Aku duduk pas di samping sang Dukun. Dan jangan sesekali berkirim surat melalui
sungai, demikian pesan tua-tuan kampung setelah asap kemenyan menghilang.
“Oh, begitu,” Kata Bdikar, kakinya bergerak-gerak seperti bersiap untuk terjun
ke sungai dari tempat kami duduk.
“Kau akan melihat betapa kedalamannya bermain-main beribu mutiara
gemerlapan, udara yang segar berenang di permukaannya dan kebiruan cahaya
langit yang berkaca kepadanya.”
“Belajarlah dari dia, cintai dia, maka akan terbukalah bagimu berjuta
rahasia.” Bdikar mulai buka bajunya, sepertinya tidak dia dengar dan perhatikan
apa yang barusan aku bicarakan. Dia meloncat seperti kodok. Menyelam lalu
berenang. Adiknya tertawa kegirangan melihat gaya renang abangnya.
Aku kemudian menatap aliran sungai. Dulu aku sering berlomba menyeberanginya
bersama-sama teman sebayaku. Yang kalah dan hanyut akan mendarat di lokasi
khusus yang difungsikan untuk kakus terbuka. Orang yang buang hajat disana biasanya
menutupi mukanya dengan sarung, sehingga hanya tampak knalpot yang membuang kotoran
padat berwarna kekuningan. Ternyata kemaluan itu ada di muka dan kepala.
Makanya harus ditutup. Setelah membuang hajad barulah mereka mandi. Kalau ada
yang sedang sakit perut dan menceret. Cepatlah ketahuan, air berubah warna.
Aliran sungai ini masih bening dan berarus deras. Suara jeram arus ini
memicu hatiku seakan terbuka dan memahami sebuah makna. Karena, Rahasia sungai
ini adalah rahasia perjalanan hidupku. Arus dan sungai ini tetap berada seperti
dahulu, senantiasa disana, arusnya seperti merindukan sesuatu dalam
perjalanannya, namun justru dalam kerinduannya itu ia menjadi selalu baru.
Lamunanku berhenti, ketika ada pukulan di bahuku. Itu Bambang, dia sepupu
jauhku dan teman sekolah, teman sebangku dan teman mencuri buku-buku
diperpustakaan. Karena perpustakaanya selalu terkunci. Maka mencurilah
satu-satunya cara untuk melihat deretan huruf dan angka yang tertulis didalam
buku yang sebagian sudah rapuh dimakan rayap.
“Buku itu untuk dibaca bukan untuk disimpan di lemari kemudian jadi makanan
rayap,” itu pembelaanya kalau kami ketahuan oleh Guru Kepala Sekolah. Dan, dia
yang selalu di depan dan pertama kami merasakan mendaratnya telapak tangan Guru
Kepala Sekolah kami. Lalu. Biasanya di menoleh kebelakang. Antrian selanjutnya
adalah aku. Dia selalu meyeringai seperti kesakitan dengan mulut komat-kamit. Katanya
dia sedang melapaskan ajian tahan pukul yang dia pelajari dari kakeknya. Ajian
tahan pukulah yang membuat wajah putihnya memerah lalu muncul jejak telapak
tangan. Sekarang dia menjadi seorang pegawai Negeri sipil dan bertugas di
Kampungku. Anaknya pendiam. Diam-diam nakal tetapi pandai sekali merangkai kata
lalu menjadikan berpuisi.
“Apa yang kau lihat?” Tanya dia lalu duduk disampingku. Bdikar tersenyum
dengan Waknya, dan kepalanya mengilang masuk kedalam air. Bambang tahu aku
pulang dan mandi ke sungai dari ibuku. Ketika dia lewat depan rumah, ibuku
bilang aku sedang mandi di sungai dengan anak-anakku. Lalu dia menyusul. Kami
selalu ketemu kalau aku pulang kampung. Kami punya kenangan di sungai ini,
selain kenangan ketika berurusan dengan Perpustakaan sekolah. Dialah yang
mengajariku pertama kali menyelam sambil minum air ketika kami sama-sama
berpuasa. Awalnya dia tidak mau mengaku ketika aku tanyakan kenapa setiap dia
menyelam gelembung udara selalu muncul.
“Tidakkah dari sungai ini kau mengerti akan suatu rahasia, bahwa sebenarnya
waktu itu tidak ada dalam kehidupanmu?” tanya Bambang.
“Sungai itu ada dimana-mana dan sama. Ia sama di mata airnya, sama di
muaranya, airnya tetap sama meski ia mengarugi air terjun, terjepit di
sela-sela bukit dan pengunungan. Ia sama dalam amarahnya ketika mengamuk
menjadi air bah. Sama seperti dalam keramahannya ketika bernyanyi menjadi
sungai kecil.” Kami terdiam.
Dia menunjukan arus deras tempat kami sering berlomba-lomba menyeberanginya.
Dia selalu saja kalah, beberapa kali aku bantu dia menyeberang dengan menarik
tangannya. Aku di untungkan dengan pengetahuanku menghitung kekuatan lalu debit
arus yang diajari bapakku. Jangan sesekali menyeberang sungai dimulai dengan
kaki kanan. Kemungkian hanyut semakin besar, ini pelajaran pertama bapakku.
Pelajaran ini membuat aku tahu di titik di mana aku memulai berenang
menyeberangi arus. Pernah suatu kali, kami berlomba lalu aku tarik tangannya,
celananya lepas karena arus terlalu kuat dan ikatan celananya longgar. Dia
lepaskan pegangan tangannya membiarkan hanyut lalu mengejar celananya yang
hanyut dan mendarat di sebuah batu tempat orang-orang duduk dan menutup mukanya
dengan sarung.
Bambang selalu lemah di hitung-hitungan. Dia kuat di pelajaran sejarah,
bahasa dan pencinta buku dan cerita roman.
“Sama seperti dalam kesedihannya ketika ia merintih menjadi hujan gerimis
rintik-rintik,” Jawabku bak berbalas pantun. Beginilah kebiasaan kami
berkomunikasi sejak dahulu. Kami selalu mengunakan kata-kata berkias. Aku
memaksa diri mengikutinya. Seperti terjun Balanda. Selalu saja dia yang
membetulkan redaksi dan susunan kata-kataku yang salah. Dan sejak dulu aku
selalu seperti anak yang baru bisa belajar bicara. Dia gurunya.
“Pahamkah kau sekarang dengan arti masa lalu dan masa depanmu. Kau tetap
sama”
“Tapi hendaklah kesamaamu selalu membuahkan kerinduan. Supaya hidupmu
selalu baru. Kerinduan itulah yang membuatmu tak pernah muda, tak pernah tua,”
“Itulah hakekat waktu dan dalam waktu itulah hidupmu berada.” Dia mulai
bijak dan aku sengaja biarkan dia sendiri yang menjawab pertanyaan dia
sebelumnya bahwa sebenarnya waktu itu tidak ada dalam kehidupan? Karena aku
tahu dia semakin banyak belajar. Sejak dulu dia hampir tidak pernah meninggalkan
kampung. Kami sering ikut menikmati obrolan tua-tua kampung. Dia selalu diam,
tidak berani berkomentar. Setelah itu barulah kami mempraktekkan dan
mendiskusikan obrolan tua-tua kampung.
Kata-katanya tentang waktu dan hidup mengingatkanku pada mimpi tahun lalu.
Mimpi ketika aku berada di suatu tempat yang tidak mengenal kata-kata siang dan
malam. Dalam mimpiku aku merasa mengengam bulan dan matahari. Gelap dan terang
sekaligus. Tapi tiba-tiba mencuat sebuah cahaya, mengulung menjadi awan yang
berarak gemerlap-gemerlap di iringi suara musik pada bidadari. Entah dari mana
asalnya.
Aku ceritakan dengannya tentang mimpiku.
Aku tahu. Sejak dulu dia juga sering meraba-raba tentang masa depan. Dia sering
berlagak bak peramal. Meski setiap ramalannya selalu meleset dan tidak tepat.
Sama ketika dia menyebarangi arus. Hitunganya selalu saja meleset.
Tiba-tiba Bdikar datang, lalu bersalaman dengan Bambang. Belum ada
tanda-tanda dia kedinginan, dia ambil ancang-ancang lalu meloncat terjun dari
batu dimana kami duduk. Kali ini jaraknya semakin jauh di banding loncatan
pertamanya. Kami tersenyum. Itu mengingatkan kami ketika kecil dulu.
“Kau selalu saja kalah jauh ketika kita lomba locat dari batu ini.”
Kenangku. Dia tersenyum sambil menoleh ke arah hilir dimana dulu sering
difungsikan orang-orang untuk buang hajad.
“Waktu yang meyediakan ruang kebahagian dan penderitaan sekaligus,” Jawab
dia dengan kata-kata yang bersayap.
“Jangan terkejut, cahaya. Seperti dalam mimpimu itu adalah penunjuk dalam
hatimu.” Di bersemangat.
“Maka jangan ikuti aku”
“Ikuti hatimu.” Kali ini dia benar. Kami tertawa ketika aku ceritakan
betapa dia sering salah mendarat ketika menyeberang arus dan sejak itu aku
mesti mempertimbangkan untuk mengikuti setiap sarannya.
“Kebijaksanaan terembunyi di dalam hatimu, sama seperti malam yang bersayap
terang. Seperti kehidupan bersayapkan kematian.” Dia seperti tahu betapa aku
sering meratapi hatiku yang sering mengalir kelemahan berupa penderitaan dan
kesengsaraan. Aku perantau dan tidak bawa bekal apapun dalam perkelanaanku.
Pernah suatu kali aku mulai hilang harapan.
Kehilangan harapan karena ada banyak ketidakadilan di dalam struktur
sosial, budaya, pola kepemimpinan dan mempengaruhi sudut pandangku.
Ekpektasiku.
Kecenderungan menyalahkan, yang aku saksikan adalah prilaku defensif yang
mengantikan renungan dan intropeksi jujur atas kehidupan, yang sesungguhnya
merupakan landasan yang paling diperlukan untuk mencari bimbingan saat kita
salah langkah atau salah arah.
“Kini buatlah hatimu menjadi keindahan,” Katanya. Kali ini seperti Kakak
yang menasehati adik yang mulai putus asah.
“Karena kaindahan itulah milik rahasiamu. Keindahan itu tak dapat kau
pelajari lebih daripada kebenaran”
“Keindahan yang bagaimana?” Tanyaku.
“Keindahan itu adalah keseimbangan, keseimbangan antara kebahagian dan
penderitaan, antara kegembiraan dan kedukaan. Antara harapan dan kenyataan,”
kata-kata ini sering juga aku dengan dari Pak Salim Senawar. Bambang adalah
anaknya. Anak Sulungnya.
“Dan justru dalam keseimbangan itulah kebahagian dan penderitaan lenyap,
harapan dan kenyataan menghilang.” Dia
membujuk. Tetapi kalimat ini belum aku mengerti. Aku lebih fokus melihat kedua
putraku berenang.
“Keindahan yang dibalut dengan cinta.” Jawabku pura-pura mengerti. Aku
mulai tertantang dengan kata-kata yang berkias. Sepertinya dia mulai
menantangku.
“Air sungai ini bisa hilang kesegarannya bila tiba di muara, tetapi cinta
mereka hidup dari pagi sampai malam”
“Lihatlah!” Kataku
“Maski telah berganti, tidak ada lagi Mesin kincir untuk menumbuk padi,
tidak ada lagi orang-orang duduk dengan menutup kepala di tepian sungai. Fungsinya
sudah dipindahkan keruangan yang orang modern sebut WC. Tak ada lagi para gadis
dan ibu-ibu mencuci beras dalam baki. Tetapi keindahan sungai ini sangup
membuat dunia kembali kepada masa mudanya yang tak bercela.” Lanjutku.
“Ia.”
“Karena cinta menuntun arusnya melewati jalan sempit, cinta juga
menjerumuskan mereka ke dalam juruang-jurang dalam, tetapi cinta juga
mengangkat mereka ke puncak gunung. Dan cinta juga menyeret mereka masuk ke
dalam pondok yang hampir rubuh jika dilihat dari luar,”
“Begitulah kawan,”
“Dalam cinta kebahagian dan penderitaan itu bersatu, lebur menjadi
kehidupan,” Kata Bambang.
Kami tertawa. Sungai ini bukan hanya mampu mengingatkan ingatan kolektif
kami, sungai ini menjadi saksi dalam diam perjalaan hidup kami, hidup
orang-orang kampung, perjalanan budaya. Sungai ini juga mengajari kami siapa
yang pernah berpikir, makin kencang badai melanda makin jauh swagaloka
ditinggalkan.
Seperti biasa. Kami mandi dengan basahan, dengan kain penutup aurat kami. Kami
bukan anak-anak lagi. Aku tantang dia berenang menantang arus sampai
kesebarang. Arusnya tidaklah sekuat dan sebesar ketika kami masih kecil dulu.
Anakku tertawa memberi semangat. Pada hitungan ketiga kami sama-sama meloncat.
Kali ini aku yang tidak bisa sampai ke seberang.
Dan aku hanyut. Untungnya tempat aku merapat tidak lagi di gunakan untuk
buang hajad. Bambang tertawa. Dia tetap menungguku di sebarang. Lalu aku ulangi
lagi kali ini dengan ancang-ancang. Meloncat dengan diawali kaki sebelah kiri aku
meloncat. Dia tangkap tangganku dan kami sama-sama akhirnya di seberang arus.
Kami duduk di atas batu cadas tempat tumbukan arus. Dari atas cadas ini
tampaklah batu besar ditengah arus yang biasa digunakan untuk berbagai ritual
yang berhubungan dengan sungai.
Aku melihat ada badan halus yang berkeliaran di atas batu tempat ritual
itu. Memakai pakaian serba halus dengan renda-renda putih. Menyala dalam terang
yang sangat halus pula. Berpendar seperti kunang-kunang senja, hanya mereka
seperti tidak berdaya. Lalu berlahan berubah ujud, ujud hati. Hati yang tidak
berdaya di bawa himpitan tangan-tangan nafsu kedurhakaan. Bambang meloncat. Cipratan
air meyadarkan lamunanku. Aku meloncat dan menyelam aku tersandung batu, air
sungai mulai keruh, pertanda airnya akan naik karena hutan dihulunya.
Ini tanda dan peringatan, sungai menyapikan sesuatu atas dasar cinta.
Sungai masih bersahabat seperti dulu. Semoga saja tidak ada yang berkirim surat
ke sungai dan membuat dia murka, karena nyanyian kemurkaannya adalah badai yang
mengerikan. Aku tahu dihulunya hutan semakin menurun kwalitasnya karena
keterdesakan kebutuhan warga kampungku. Tapi gelombang hidup pun
harus mengayun, menuntun setiap doa dan mimpi
manusia yang masih memiliki cinta dan gairah pada kehidupan. Cinta
jua yang akan menuntun arusnya melewati jalan sempit, cinta juga menjerumuskan
mereka ke dalam juruang-jurang dalam, tetapi cinta juga mengangkat mereka ke
puncak gunung.
Kami kemudian berhenti mandi dan pulang kembali ke rumah. Tidak ada obrolan
sepanjang jalan pulang. Jalan mendaki dengkul gemetaran dan nafas kami seperti
berpacu seperti arus sungai yang mengalir menuju muara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar