Oleh: Akar Foundation[2]
Latar Belakang
Indonesia mempunyai keanekaragaman hayati yang
tinggi, mulai dari tipe ekosistem, jenis flora dan fauna, serta sumberdaya
genetik. Kekayaan keanekaragaman hayati ini perlu dijaga pengelolaannya dan
dipastikan pemanfaatan dilakukan dengan lestari. Langkah-langkah konservasi
menjadi perlu dilakukan agar keanekara-gaman hayati yang ada selalu terpelihara
dan mampu mewujudkan keseimbangan dalam kegiatan pembangunan.
Dewasa ini kawasan konservasi yang ditetapkan mencapai
areal sekitar 27 juta hektar atau 21 % dari total kawasan hutan dan perairan di
Indonesia. Kawasan konservasi seluas ini diklasifikasian dalam beberapa
kategori seperti Cagar Alam, Suaka Margasatwa, Taman Hutan Raya, Taman Wisata
Alam, Taman Buru dan Taman Nasional.
Pengelolaan terhadap kawasan konservasi yang luas
agar tetap lestari kondisinya bukanlah perkara mudah. Ada sejumlah tantangan
yang ada. Pertama, terbatasnya tenaga pengelola di kawasan konservasi,
saat ini, hanya terdapat sekitar 3.508 orang untuk mengelola 27.108.486,54
hektar kawasan konservasi. Artinya, rata-rata 1 orang diberi tanggung jawab
untuk mengelola ± 3.552 hektar kawasan konservasi. Kedua, terbatasnya
pendanaan yang dimiliki oleh pemerintah untuk pengelolaan kawasan konservasi. Ketiga,
masih banyak kawasan konservasi yang sudah ditunjuk namun belum dikukuhkan.
Hal ini memperumit penyelesaian tata batas kawasan tersebut. Ditam-bah lagi,
masih banyak kasus tumpang tindih klaim pemilikan atau penguasaan atas kawasan
di dalam maupun diluar kawasan hutan. Saat ini terdapat sekitar 3746 desa
berada di dalam dan sekitar kawasan konservasi. Tanpa ada kejelasan tenurial,
konflik antara pengelola kawasan dan masyarakat desa akan semakin luas baik
lokasi maupun para pihak yang terlibat.[3]
Keempat, masih perlunya pembenahan dalam penge-lolaan kawasan mengingat
sampai tahun 2014, baru 187 kawasan konservasi (35,89%) yang telah mempunyai
rencana pengelolaan yang telah disahkan dan 85 kawasan konservasi yang memiliki zonasi dan/atau
blok pengelolaan.[4]
Dalam praktiknya, pengelolaan hutan di
Indonesia yang dilakukan oleh negara mempunyai perjalanan panjang yang
bernuansa Germany scientific forestry
dan scientific forestry pada awalnya
merupakan kaidah yang diterapkan bersamaan dengan kolonialisme dalam mengelola
hutan untuk menghasilkan kayu secara lestari. Sehingga, sistem pengelolaan
hutan memisahkan masyarakat sekitar hutan dengan hutan. Pendekatan kolaboratif (co-management) dan community based forest management
(CBFM) mengubah nuansa pengolaan hutan tersebut menjadi sistem pengelolaan
sumberdaya hutan bersama dan dengan masyarakat. Masyarakat sekitar hutan dalam
skema kolaboratif memiliki akses yang cukup untuk berinteraksi dengan hutan
serta ditempatkan pada posisi sejajar dengan stakeholders lain dalam
implementasi pengelolaan sumberdaya hutan disinilah, dalam perjalannnya
community based forest management (CBFM) mendapat ruang yang luas dalam
pengelolaan hutan di Indonesia.[5]
Tantangan-tantangan tersebut diatas
menggarisbawahi pentingnya berbagai inisiatif untuk meningkatkan efektifitas
pengelolaan kawasan konservasi, yang tentu saja pijakannya adalah kelestarian
ekologi yang idealis dengan mengakomodasi kebutuhan ekonomi pragmatis bagi
masyarakat sebagai salah satu stakeholder yang terlibat aktif dalam pengelolaan
kawasan konservasi.
Bengkulu dan Isu
Kehutanan
Provinsi Bengkulu mempunyai luas
daratan sebesar 2.007.223.9 Ha. Dari daratan ini, berdasarkan Surat Keputusan
Menteri Kehutanan No. 784/Menhut-II/2012. Keputusan ini adalah keputusan merevisi luas beberapa kawasan
hutan seperti yang terdapat dalam Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan
perkebunan No. 420/Kpts-II/1999, tentang kawasan hutan di Provinsi Bengkulu.
Hutan yang ada di Provinsi Bengkulu adalah hutan lindung, hutan produksi dan
konservasi. Perincian luas untuk rincian kawasan hutan per kabupaten/kota dapat
dilihat pada Tabel 2.1. sedangkan untuk rincian kawasan hutan per
kabupaten/kota dapat dilihat pada Tabel 2.2.
Tabel
2.1 .
|
Sebaran luas kawasan hutan di Provinsi
Bengkulu seluas 924.631 Ha berdasarkan Berdasarkan SK Menhut No.
784/Menhut-II/2012.
|
||
No
|
Fungsi
Hutan
|
Luas
(Ha)
|
|
1
|
Kawasan Suaka Alam/Kawasan Pelestarian Alam
|
462.965
|
|
1.1
|
Cagar Alam
|
4.300
|
|
1.2
|
Taman Nasional
|
412.325
|
|
1.3
|
Taman Wisata Alam
|
27.630
|
|
1.4
|
Taman Hutan Raya
|
1.748
|
|
1.5
|
Taman Buru
|
16.962
|
|
2
|
Hutan Lindung
|
250.750
|
|
3
|
Hutan Produksi
|
210.916
|
|
3.1
|
Hutan Produksi Terbatas
|
173.280
|
|
3.2
|
Hutas Produksi Tetap
|
25.873
|
|
3.3
|
Hutan Produksi Konversi
|
11.763
|
|
T
O T A L
|
924.613
|
||
Tabel
2.2.
|
Sebaran luas kawasan hutan (dalam hektar)
per kabupaten/kota di Provinsi Bengkulu berdasarkan SK Menhut No.
784/Menhut-II/2012. Areal hutan yang telah ditetapkan menjadi area
pemanfaatan lain (APL) berdasarkan SK Menhut No.784/Menhut-II/2012 tidak
dimasukkan dalam table dibawah.
|
Kabupaten
|
Fungsi
|
Nama
Kawasan
|
Luas
(Ha)
|
Bengkulu Selatan
|
Tahura
|
Tahura BT. Rabang
|
586
|
Taman Wisata Alam
|
TWA Lubuk Tapi Kayu Ajaran
|
8,7
|
|
Hutan Lindung
|
HL BT.Riki
|
4.150,1
|
|
HL. BT. Rajamendara
|
20. 574
|
||
HL BT. Sanggul
|
8.017,6
|
||
Hutan Produksi
|
HP Air Bengkenang
|
1.704,2
|
|
Hutan Produksi Terbatas
|
HPT Bt Rabang
|
4.970,8
|
|
HPT Peraduan Tinggi
|
8.160,5
|
||
HP
T Air Kedurang
|
1.108,5
|
||
Mukomuko
|
Cagar Alam
|
CA Air Rami II
|
42,7
|
CA Muko-muko Register 88a
|
73,3
|
||
Taman Nasional
|
Taman Nasional Kerinci
Seblat
|
150.036
|
|
Taman Wisata Alam
|
TWA Air Rami II
|
59,6
|
|
TWA Air Hitam Reg 102
|
295,5
|
||
TWA Mukomuko I
|
301,4
|
||
TWA PLG Seblat
|
1.347,2
|
||
Hutan Produksi
|
HP Air Dikit
|
2.252,9
|
|
HP Air Rami
|
4.460,8
|
||
HP Air Temarang
|
4.818,5
|
||
Hutan Produksi Terbatas
|
HPT Air Ipuh I
|
19.659,9
|
|
HPT Air Ipuh II
|
16.734,9
|
||
HPT Air Manjunto Reg 62
|
24.811,0
|
||
HPT Lebong Kandis
|
2.415,3
|
||
Hutan Produksi Konversi
|
Hutan Produksi Konversi
|
2.885,4
|
|
Bengkulu Utara
|
TB
|
TB Gn Nanua
|
7.754,8
|
Taman Nasional
|
Taman Nasional Kerinci
Seblat
|
71.702,7
|
|
Taman Wisata Alam
|
TWA
Air Rami II
|
56,9
|
|
TWA Air Rami I
|
69,9
|
||
TWA PLG Seblat
|
6.389,9
|
||
Cagar Alam
|
CA Air Seblat
|
97
|
|
CA Kioyo I
|
598,6
|
||
CA Kioyo II
|
164,2
|
||
CA S Baheuwo
|
1.424,2
|
||
CA Tg Laksaha
|
372,9
|
||
Hutan Lindung
|
HL BT Daun
|
37.460
|
|
HL Kokobuwabuwa
|
3.364,6
|
||
Hutan Produksi
|
HP Air Rami
|
9.549,3
|
|
Hutan Produksi Terbatas
|
HPT Air Ketahun
|
16.508,9
|
|
HPT Hulu Malakoni
|
2.390,5
|
||
HPT Lebong Kandis
|
26.142,9
|
||
Hutan Produksi Konversi
|
Hutan Produksi Konversi
|
8.877,2
|
|
Lebong
|
Cagar Alam
|
CA Danau Menghijau
|
154,1
|
Taman Nasional
|
TN Kerinci Seblat
|
98.287,2
|
|
Taman Wisata Alam
|
TWA Danau TES
|
2.724,5
|
|
Hutan Lindung
|
HL BT Daun
|
15.063,2
|
|
HL Rimbo Pengadang
|
2.487,5
|
||
HPT
|
HPT Air Ketahun
|
45,5
|
|
Kepahiang
|
Cagar Alam
|
CA Pagar Gunung 1
|
5,8
|
CA Pagar Gunung 2
|
2,4
|
||
CA Pagar Gunung 3
|
0,3
|
||
CA Pagar Gunung 4
|
0,2
|
||
CA Pagar Gunung 5
|
0,1
|
||
Taman Wisata Alam
|
TWA Bt Kaba
|
8.459,2
|
|
Hutan Lindung
|
HL BT Balai Rejang
|
1.161,1
|
|
HL BT Daun
|
7.027
|
||
HL Konak
|
12,5
|
||
HL Rimbo Donok
|
362,2
|
||
Kota Bengkulu
|
Cagar Alam
|
CA Danau Dusun Besar Reg 61
|
508,7
|
Taman Wisata Alam
|
TWA Pantai Panjang dan P. Baai Reg 9
|
1.172,8
|
|
Seluma
|
Cagar Alam
|
CA Air Alas
|
47,1
|
CA Pasar Ngalam Reg 92
|
230,7
|
||
CA Pasar Seluma Reg 93
|
172,7
|
||
|
CA Pasar Talo Reg 94
|
298,1
|
|
Taman Buru
|
TB Semidang Bt Kabu
|
5.417,2
|
|
Hutan Lindung
|
HL BT Daun
|
8,4
|
|
HL BT Sanggul
|
66.524,9
|
||
Hutan Produksi Terbatas
|
HPT Air Talo
|
2.282
|
|
HPT Bt Badas Reg 76
|
10.598,7
|
||
HPT Bt Rabang
|
2.827,5
|
||
Rejang Lebong
|
CA
|
CA Talang Ulu I
|
0,5
|
Cagar Alam
|
CA Talang Ulu II
|
0,1
|
|
Taman Nasional
|
TN Kerinci Sebelat
|
25.815,6
|
|
Taman Wisata Alam
|
TWA Bukit Kaba
|
6.666,8
|
|
Hutan Lindung
|
HL Bukit Balai Rejang
|
16.057
|
|
HL Bukit Daun
|
4.762,9
|
||
HPT Bukit Basa
|
125,4
|
||
Bengkulu Tengah
|
Cagar Alam
|
CA Danau Dusun Besar Reg 61
|
101,8
|
CA Taba Penanjung I
|
1,7
|
||
CA Taba Penanjung II
|
2
|
||
Tahura
|
Tahura Rajolelo
|
1.161,7
|
|
Taman Buru
|
TB Semidang Bt Kabu
|
3.790,3
|
|
Hutan Lindung
|
HL BT Daun
|
19.115,5
|
|
HL BT Sanggul
|
7,4
|
||
Hutan Produksi
|
HP Rindu Hati I
|
191,3
|
|
HP Rindu Hati II
|
165,9
|
||
HP Semidang BT Kabu
|
660,5
|
||
Hutan Produksi Terbatas
|
HPT BT Daun
|
2.927,2
|
|
Kaur
|
Taman Nasional
|
TN Bukit Barisan
|
66.483,1
|
Taman Wisata Alam
|
TWA Way Hawang
|
77,8
|
|
Hutan Lindung
|
HL BT Rajamendara
|
44.593,4
|
|
Hutan Produksi
|
HP Air Sambat
|
2.069,4
|
|
Hutan Produksi Terbatas
|
HPT Air Kinal
|
6.794,6
|
|
HPT Bt Kumbang
|
7.419,5
|
||
HPT Bukit Kumbang
|
1.299,7
|
||
HPT Kaur Tengah
|
12.463,3
|
||
HPT Air Kedurang
|
3.593,5
|
||
T O T A L
|
924.631
|
Dari data luas kawasan hutan Provinsi Bengkulu
ini dapat dilihat bahwa kawasan hutan di Provinsi Bengkulu sebagian besar
merupakan kawasan lindung, yang berupa kawasan suaka dan pelestarian alam serta
hutan lindung. Kondisi ini tentu memiliki tantangan sendiri dan memerlukan
penanganan pengelolaan yang spesifik yang berbeda dengan pengelolaan kawasan
yang didominasi hutan produksi. Dominannya keberadaan hutan konservasi dan
lindung ini seringkali memang dianggap sebagai beban daripada peluang untuk
berinovasi. Namun, di tengah semakin menguatnya isu perubahan iklim,
program-program yang bersifat melestarikan hutan dan peningkatan tutupan hutan
dapat menjadi unggulan.
Kondisi Hutan dan
Pola Ruang di Kabupaten Kepahiang
Di Kabupaten
Kepahiang terdapat tiga Status dan Fungsi
Kawasan hutan yaitu Kawasan Suaka Alam, Kawasan Pelestarian Alam dan Hutan Lindung. Untuk kawasan konservasi terutama
untuk Taman wisata alam, luas
taman wisata alam di Kabupaten Kepahiang merujuk pada RTRW Provinsi Sesuai yang
telah ditetapkan dalam TGHK adalah Taman Wisata Alam (TWA) Bukit Kaba seluas
13.490,00 Ha, yang terletak di Kabupaten Kepahiang dan Rejang Lebong dan luas
TWA yang merupakan deliniasi wilayah Kabupaten Kepahiang adalah 8.518 Ha.
Kabupaten Kepahiang dan Rejang Lebong mengajukan pelepasan kawasan hutan seluas
6.350 ha.
Saat ini, seperti data tutupan hutan
yang di keluarkan oleh Ditjet Planologi Kementerian Kehutanan, tahun 2011 menunjukan
kondisi hutan di Kepahiang sebagai berikut;
Kepahiang
|
Taman Wisata Alam
|
Hutan sekunder
|
1.537,6
|
18,2
|
Semak belukar
|
620,4
|
7,3
|
||
Pertanian campuran
|
6.301,0
|
74,5
|
||
Hutan Lindung
|
Hutan primer
|
17,5
|
0,2
|
|
Hutan sekunder
|
744,1
|
8,7
|
||
Semak belukar
|
576,5
|
6,7
|
||
Non vegetasi
|
10,1
|
0,1
|
||
Pertanian campuran
|
7.215,0
|
84,3
|
Berdasar pada Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 16/PRT/M/2009 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah
Kabupaten, Rencana Struktur Ruang Kabupaten Kepahiang mencakup sistem perkotaan wilayah kabupaten
yang berkaitan dengan kawasan perdesaan dalam wilayah pelayanannya dan jaringan
prasarana wilayah kabupaten yang dikembangkan untuk mengintegrasikan wilayah
kabupaten. Untuk melayani kegiatan skala kabupaten tersebut dihubungkan dengan
berbagai sistem jaringan yang meliputi sistem jaringan transportasi, sistem
jaringan energi dan kelistrikan, sistem jaringan telekomunikasi, sistem
jaringan sumber daya air, termasuk seluruh daerah hulu bendungan atau waduk
dari daerah aliran sungai, dan sistem jaringan prasarana lainnya
Perencanaan tata ruang dan kebutuhan masyarakat akan ruang kelola
berkontribusi pada kondisi hutan, reforestasi terjadi sebagian besar di
karenakan oleh kebutuhan rakyat dalam pemanfaatan ruang untuk kawasan perkebunan
rakyat. Dalam perencanaan ruang di Kabupaten Kepahiang pada tahun 2031 adalah
seluas 47.794,09 Ha yang terdistribusi di beberapa kecamatan. Alokasi lahan ini
untuk memenuhi kebutuhan komoditi unggulan perkebunan rakyat di Kabupaten
Kepahiang diantaranya yaitu kopi, kakau, cengkeh, lada, kemiri, kayu manis,
aren, serta mendukung program Bupati Kepahiang penanaman sengon dengan program
unggulan Siluna seta penanaman lainya. Dan, saat ini Pengembangan agroindustri
dengan fungsi yang didasarkan pada potensi (basis komoditas) perkebunan dan
pengembangan pusat pengumpul dan distribusi bagi pertanian perkebunan dengan
memperhatikan jarak minimum (mudah dijangkau) adalah strategi bagi upaya
peningkatan kesejahteraan masyarakat di Kabupaten Kepahiang.
Pembukaan jejaring sarana dan prasarana
pendukung percepatan pemanfaatan yang berbasis pada kekayaan alam. Jejak
pembukaan jejaring sarana terutama infrastruktur ini secara konsisten
menunjukkan tingginya daya rusak, besarnya dampak yang diemban dan kecilnya
manfaat yang dinikmati masyarakat terutama akibat dari proses deforestasi
ketika terjadi alih fungsi kawasan hutan. Perubahan iklim memperburuk keadaan
yang ada. Di satu sisi perubahan iklim disumbang oleh Massive-nya deforestasi dan degradasi hutan. Deforestasi membuka
gerbang bagi kemerosotan mutu hidup dan mutu lingkungan. Deforestasi menjadi
mesin ampuh penurun daya dukung lingkungan dan kelentingan sosial. Hal ini menyebabkan
pelipatgandaan daya rusak bencana ekologis, baik yang murni alami maupun yang
dipicu oleh akumulasi dampak kegiatan manusia dalam jangka waktu lama.
Namun penting dicatat bahwa upaya kebijakan
penataan ruang pada seharusnya sudah bekerja ke arah penanganan dampak
perubahan iklim (adaptasi) serta tata-kelola dan upaya pemangkasan emisi CO2.
Pendekatan penataan ruang harus bergeser dari upaya pengaturan
konvensional tata-guna lahan ke arah perwujudan pembangunan berkelanjutan.
Penataan ruang memiliki kemampuan untuk mengusung perubahan yang hakiki
bagaimana pembangunan dilaksanakan untuk berkontribusi positif.
Dari perspektif masyarakat, suatu kewaspadaan
dini (early precaution) terhadap
dampak dan risiko berbagai bentuk prakarsa dari luar menjadi langkah mendasar.
Rendahnya manfaat yang dinikmati masyarakat dari kegiatan pemanfaatan sumber
daya hutan di satu sisi menjadi argumen yang kerap digunakan mendorong upaya
pelibatan masyarakat. Namun hal tersebut harus dilatarbelakangi satu pemahaman
dan kesadaran kritis tentang daya-rusak yang tidak terhindarkan berbagai bentuk
pemanfaatan sumber daya alam terhadap kegunaan dan manfaat jangka-panjang bagi
kehidupan masyarakat dan lingkungan sekitarnya.[6]
Politik Kebijakan;
Reposisi Ruang dengan Pendekatan Kolaboratif
Dalam beberapa dekade terakhir, pendekatan kolaboratif
(co-management) dalam pengelolaan
kawasan konservasi sudah lama dipromosikan oleh berbagai pihak. Pendekatan Co-Management adalah sebuah kerangka
kerja yang menggambarkan suatu situasi dimana satu atau lebih aktor sosial
menegosiasikan, mendefinisikan dan menyepakati diantara mereka sendiri.
Secara implementatif
pendekatan kolaboratif dan skema community
based forest management (CBFM) menyasar
kelompok komunitas mengelola hutan, atau pengelolaan hutan negara di mana
masyarakat memiliki hak akses dan kontrol atas kawasan hutan yang dibebani hak
oleh negara dalam pengelolaannya. Sebagai kelompok yang memiliki akses kelola
lebih mungkin mengadopsi perspektif jangka panjang dan praktik-praktik yang
lebih berkelanjutan dan mampu menahan laju deforestasi dan melindungi kehidupan
komunitas pengelola hutan selain mampu untuk menjamin ketahanan pangan,
keanekaragaman budaya, kesatuan sosial dan pasar serta mengimplemtasi
praktik-praktik demokratik serta distribusi kekayaan yang lebih merata.[7]
Berkenaan dengan pembagian peran dan tanggung
jawab pengelolaan suatu kawasan sumberdaya tertentu serta menjamin adanya
pembagian manfaat yang adil atas sumberdaya tersebut. Lebih
spesifik lagi, pengelolaan kolaboratif merupakan proses mengembangkan
kerjasama antar pihak yang relevan, terutama antara masyarakat lokal dan
pengguna sumberdaya alam, yang sudah mempunyai kejelasan fungsi, hak dan
tanggung jawab. Beberapa alasan substantif berkaitan dengan pentingnya
co-management itu dalam pengelolaan
kawasan konservasi:[8]
1. Upaya konservasi membutuhkan kapasitas dan
pelibatan masyarakat secara keseluruhan, tidak hanya para ahli konservasi, kaum
professional serta pihak pemerintah
2. Upaya konservasi membutuhkan perhatian dalam
mengkaitkan kepentingan keanerakaragaman hayati dan kebudayaan yang memberi
ruang bagi masyarakat lokal dan adat untuk secara aktif dan terberdayakan
selama kolaborasi berlangsung;
3. Upaya konservasi membutuhkan perhatian dalam
prinsip kesetaraan dan keadilan, baik pembagian biaya dan manfaat yang
diterima baik dalam perlindungan keanekaragaman hayati, pengelolaan sumberdaya
alam maupun pemanfaatannya.
4. Upaya konservasi menuntut penghormatan terhadap
hak-hak social ekonomi masyarakat. Prinsip “do no harm” dalam pelaksanaan
konservasi penting dikedepankan agar tidak memberikan dampak buruk terhadap
kesejahteraan social-ekonomi masyarakat yang tinggal didalam dan disekitar kawasan.
Apabila memungkinkan, diupayakan insiatif konservasi untuk memberi dampak
positif pada kesejahteraan masyarakat.
Pelibatan masyarakat dengan pendekatan pemberdayaan
menjadi penting mengingat masyarakat sudah tinggal di sekitar atau di dalam
kawasan konservasi sebelum kawasan tersebut ditetapkan. Karenanya menegasikan
keberadaan masyarakat dalam pengelolaan kawasan konservasi sangat tidak mungkin
mengingat interaksi, pemahaman dan ketergantungan masyarakat terhadap kawasan
cukup tinggi. Masyarakat adalah aset yang eksistensinya dapat mendukung
terwujud-nya pengelolaan kawasan yang efektif. Ruang kerjasama pengelolaan
kawasan konservasi yang telah diberikan Negara selayaknya menjadi landasan
dalam memba-ngun kemitraan antar pihak yang sejajar dalam kerangka
pengelolaan, kawasan konservasi yang lestari dan mensejahterkan masyarakat.[9]
Dalam konteks mendukung program pendekatan
kolaboratif (co-management), lahirnya UU No. 23/2014 tentang Pemerintah Daerah,
pasal 14 menyebutkan bahwa penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang
kehutanan, kelautan, serta energi dan sumberdaya mineral di bagi antara
pemerintah pusat dan daerah propinsi, kecuali Taman Hutan Raya yang pengelolaannya
menjadi kewenangan daerah kabupaten/kota (pasal 14, ayat 2).
Selain itu, pergerakan perhutanan sosial
atau community
based forest management (CBFM) sudah
berkembang sejak tahun 1980an. Program ini bertujuan meningkatkan kesejahteraan
masyarakat yang berada di dalam dan di sekitar hutan melalui pemberdayaaan
masyarakat dengan memperhatikan aspek kelestariannya. Pemberdayaan ini berupa
penguatan kapasitas dan pemberian akses terhadap kawasan. Pemerintahan
di bawah Presiden Joko Widodo yang dicanangkan sejak 2014 lalu salah satunya
adalah terwujudnya wilayah kelola rakyat di areal hutan minimal seluas 12,7
juta hektar. Dampak dari target tersebut, Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial
dan Kemitraan Lingkungan, Kementerian Lingkungan Hidup danKehutanan (KLHK)
menjadi salah satu pihak yang bertanggungjawab memastikan angka ini tercapai.
Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan, Hutan Tanaman Rakyat, Hutan Adat dan
Kemitraan, misalnya, merupakan skema-skema yang harus didorong manifestasinya
karena pemberian izin atas skema-skema perhutanan sosial tersebut akan menjadi
bukti dari terwujudnya perluasan wilayah kelola rakyat.
Pendekatan kolaboratif (co-management) diharapkan dapat mengurangi konflik yang sering
terjadi antara masyarakat lokal dengan pemerintah mengenai penggunaan hutan.
Hutan memang merupakan bagian penting dalam kehidupan masyarakat sekitar dan di
dalamnya. Secara implementatif,
ruang-ruang kebijakan memungkin untuk dilakukan pendekatan kolaboratif
(co-management) yang meilbatkan para pihak dalam tata kelola
hutan terutama kelompok-kelompok masyarakat sekitar dan didalam hutan yang
mempunyai ketergantungan yang tinggi akan hutan baik untuk kebutuhan ekonomi,
fungsi ekologi maupun fungsi pertahanan (security land). Ruang-ruang kebijakan
berlaku yang menemukan kepentingan kelestarian fungsi kawasan hutan dan
kebutuhan masyarakat di atur di dalam beberapa kebijakan dan skema kolaboratif
(co-management).
-
Undang Undang
No. 5 Tahun 1990 Tentang: Konservasi Sumberdaya Alam Hayati Dan Ekosistemnya. UU ini menyebutkan unsur-unsur sumber daya alam hayati dan ekosistemnya pada dasarnya
saling tergantung antara satu dengan yang lainnya dan saling mempengaruhi
sehingga kerusakan dan kepunahan salah satu unsur akan berakibat terganggunya
ekosistem. Ekosistem sumber daya alam hayati adalah sistem hubungan timbal
balik antara unsur dalam alam, baik hayati maupun nonhayati yang saling
tergantung dan pengaruh mempengaruhi. Salah satu fungsi kawasan konservasi yang
dimaksud adalah Taman wisata alam adalah kawasan pelestarian alam yang terutama
dimanfaatkan untuk pariwisata dan rekreasi alam. Merujuk pada Pasal 7;
Perlindungan sistem penyangga kehidupan ditujukan bagi terpeliharanya proses
ekologis yang menunjang kelangsungan kehidupan untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat dan mutu kehidupan manusia. Pada Pasal 8; Untuk mewujudkan tujuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Pemerintah menetapkan: a. wilayah tertentu
sebagai wilayah perlindungan system penyangga kehidupan; b. pola dasar
pembinaan wilayah perlindungan sistem penyangga kehidupan; c. pengaturan cara
pemanfaatan wilayah perlindungan system penyangga kehidupan.
-
UU No 41 Tahun
1999 tentang Kehutanan, di dalam Pasa 3 menyebutkan bahwa UU ini disusun bertujuan untuk
memastikan Penyelenggaraan kehutanan
bertujuan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan
berkelanjutan dengan : a. menjamin keberadaan hutan dengan luasan yang cukup
dan sebaran yang proporsional; b. mengoptimalkan aneka fungsi hutan yang
meliputi fungsi konservasi, fungsi lindung, dan fungsi produksi untuk mencapai
manfaat lingkungan, sosial, budaya, dan ekonomi, yang seimbang dan lestari; c.
meningkatkan daya dukung daerah aliran sungai; d. meningkatkan kemampuan untuk
mengembangkan kapasitas dan keberdayaan masyarakat secara partisipatif,
berkeadilan, dan berwawasan lingkungan sehingga mampu menciptakan ketahanan
sosial dan ekonomi serta ketahanan terhadap akibat perubahan eksternal; dan e.
menjamin distribusi manfaat yang berkeadilan dan berkelanjutan.
-
Peraturan
Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor:
P.48/Menhut-II/2010 Tentang Pengusahaan Pariwisata Alam Di Suaka Margasatwa,
Taman Nasional, Taman Hutan Raya Dan
Taman Wisata Alam. Dalam Permenhut ini menyatakan bahwa Permohonan
IUPJWA di Taman Nasional dan Taman Wisata Alam, dapat diajukan oleh: a.
perorangan; b. badan usaha milik negara; c. badan usaha milik daerah; d. badan
usaha milik swasta; atau e. koperasi. Pemberian IUPJWA perorangan
diprioritaskan bagi masyarakat sekitar kawasan termasuk masyarakat setempat.
-
Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor:
P.3/Menhut-II/2014 Tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Urusan Pemerintahan (Dekonsentrasi)
Bidang Kehutanan Tahun 2014 yang Dilimpahkan Kepada Gubernur Selaku Wakil
Pemerintah. Petunjuk Teknis ini dimaksudkan untuk menjamin keselarasan
senergisitas antar output kegiatan Dekonsentrasi Bidang Kehutanan terutama
dalam rangka penurunan konflik, perambahan kawasan hutan, illegal logging dan
wildlife traficking sampai dengan di batas daya dukung sumberdaya hutan,
Populasi spesies prioritas utama yang terancam punah meningkat sebesar 1,5%
dari kondisi Tahun 2008 sesuai ketersediaan habitat dan Terbentuknya 12 kerjasama kemitraan melalui peningkatan
peran serta pelaku utama dan pelaku usaha dalam pemberdayaan masyarakat.
-
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik
Indonesia Nomor: P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016 tentang Perhutanan Sosial. Permenhut ini untuk
merespon upaya untuk mengurangi kemiskinan, pengganguran dan ketimpangan
pengelolaan/pemanfaatan kawasan hutan serta memeberikan akses legal kepada
masyarakat setempat berupa pengelolaan Hutan desa, Hutan Kemasyarakatan, HTR,
Kemitraan Kehutanan atau pengakuan dan perlindungan masyarakat hokum adat untuk
kesejahteraan masyarakat dan kelestarian sumber daya hutan. Pada bagian ke
empat dalam Permenhut ini bahwa pelaku Kemitraaan Kehutanan adalah masyarakat
sekitar hutan dengan alokasi areal kerja paling luas 2 (dua) hektar untuk
setiap Kepala Keluarga dan luas areal kerja pemegang izin paling luas 5 (lima)
ha untuk setiap keluarga.
Penyelesaian Kasus
Berangkat dari pengalaman
yang telah dilaksanakan oleh Akar Foundation, maka dalam menindak lanjuti
Penyelesaian kasus Lahan Perkebunan Masyarakat 8 (delapan) desa Kecamatan Kabawetan
Kabupaten Kepahiang yang Masuk di dalam Kasawan Taman Wisata Alam (TWA) Bukit
Kaba. Hal-hal penting yang harus
dilakukan adalah;
-
Kelembagaan
Masyarakat dan Tata Kelola Kawasan
Terdapat empat faktor kunci yang
menjadi bahan utama dalam penguatan kelembagaan masyarakat antara lain; pertama
peningkatan kapasitas atau pengetahuan masyarakat terhadap kawasan. Hal ini
dilakukan dengan cara menginventaris potensi kawasan secara partisipatif.
Kedua, penyusunan rencana pengelolaan
kawasan, yang terdiri dari rencana umum (jangka panjang) dan rencana
operasional ( jangka pendek). Hal-hal yang tertuang dalam rencana pengelolaan
kawasan meliputi kondisi bio fisik,
identifikasi kondisi sosial ekonomi, potensi areal kerja dan kelembagaan.
Selain itu, rencana pengelolaan kawasan
tersebut juga harus mengacu pada pengembangan usaha non-timber forest product
(NTFP), usaha jasa lingkungan, tanaman bawah tegakan, rencana perlindungan
hutan, rencana pengembangan kelompok dan perencanaan lainnya. Penyusunan rencana
pengelolaan kawasan tersebut haruslah berpatok pada status kawasan, kondisi hutan, kearifan tata
kelola hutan dan isu yang berkembang.
-
Diskursus Pulik dan
Advokasi Kebijakan
Resolusi konflik adalah suatu proses
analisis dan penyelesaian masalah yang mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan
individu dan kelompok seperti identitas dan pengakuan juga perubahan-perubahan
institusi yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyarakat dalam
pengelolan kawasan konservasi. Dalam setiap konflik selalu dicari jalan
penyelesaian. Konflik terkadang dapat saja diselesaikan oleh kedua belah pihak
yang bertikai secara langsung. Namun tak jarang pula harus melibatkan pihak
ketiga untuk menemukan resolusi konflik, implementasi Peacekeeping adalah upaya untuk menghentikan atau mengurangi aksi
kekerasan melalui intervensi keamanan yang menjalankan peran sebagai penjaga
perdamaian yang netral.[10]
Peacemaking, adalah proses yang
tujuannya mempertemukan atau merekonsiliasi sikap politik dan stategi dari
pihak yang bertikai melalui mediasi, negosiasi, arbitrasi terutama pada level
elit. Sedangkan Peacebuilding, adalah
proses implementasi perubahan atau rekonstruksi social, politik, dan ekonomi
demi terciptanya perdamaian yang langgeng, dan dalam parekteknya diharapkan negative
peace (atau the absence of violence) berubah
menjadi positive peace dimana masyarakat merasakan adanya keadilan social,
kesejahteraan ekonomi dan keterwakilan politik yang efektif.
Usaha-usaha penyelesaian konflik
melalui proses Peacemaking dan Peacebuilding ini haruslah
terlegitimasi secara tegas dalam Kebijakan Daerah, sehingga usaha untuk
mereduksi gangguan dan konflik pada sektor Kehutanan dan Perkebunan Rakyat di
Bengkulu baik yang bersifat horisontal maupun vertikal yang terkait
dengan politik ekonomi, hukum, pertahanan dan keamanan yang
diperlukan penanganan secara terpadu memiliki kekuatan hukum sekaligus kekuatan
politik yang kuat.
Karena Penanganan Konflik adalah
serangkaian kegiatan yang dilakukan secara sistematis dan terencana dalam
situasi dan peristiwa baik sebelum, pada saat, maupun sesudah terjadi Konflik
yang mencakup pencegahan konflik, penghentian konflik, dan pemulihan pasca
konflik. Dan usaha pencegahan konflik
dilakukan untuk:
·
memelihara
kondisi damai dalam masyarakat di sekitar Perkebunan
·
mengembangkan
siste penyelesaian perselisihan secara damai
·
melakukan
sosialisasi merata ke masyarakat
·
meredam potensi
konflik antara masyarakat, pelaku usaha
bidang lain dan pelaku usaha perkebunan; dan e. membangun sistem peringatan dini.
Urgensi penyelesain terhadap konflik
yang terjadi ini haruslah segera dilaksanakan dan Negara tentu harus hadir
dalam memfasilitasi dan mereduksi konflik kehutanan dengan perkebunan Rakyat yang
ada di Kabupaten Kepahiang Propinsi
Bengkulu. Paska pelaksaan resolusi konflik,
kepastian kelola hutan oleh rakyat harus mengarah pada Akses modal. Kendala terbesar untuk memastikan peningkatan
kesejahteraan masyarakat, sehingga kemudahan akses modal oleh petani pengarap
haruslah dibuka ruang seluas-luasnya, baik oleh Perbankkan maupun institusi
resmi dan institusi swasta melalui Coorporate Social Responsibility (CSR). Masing-masing pihak
yang terlibat dalam proses fasilitasi pembangunan Kehutanan baik Pemerintah, Universitas, Swasta maupun Civil Society Organization
(CSO) atau Organisasi Masyarakat Sipil harus memastikan akuntabilitas atau
pertanggungjawaban dalam proses fasilitasi yang dilakanakan.
[1] Disampaikan sebagai rekomendasi Penyelesaian Konflik
Pengelolan Hutan Taman Wisata Alam Bukit Kaba Kabupaten Kepahiang
[2] Akar Foundation adalalah NGOs yang bergerak
pada issue Lingkungan, Pengelolaan Sumber Daya Alam Berkelanjutan dan
Masyarakat Adat – www.akar.or.id
[3] Santosa, A & Praputra, A.C. 2014.
Laporan Studi : Pemberdayaan Masyarakat di Dalam dan Sekitar Kawasan
Konservasi. Working Group Pemberdayaan Kementrian Kehutanan. Kemitraans –
FKKM: Jakarta.
[5] Erwin Basrin, Akar
Foundation-Warsi. 2015: Laporan Assessment dan Identifikasi Potesi dan
Perkembangan Community Based Forest Management (CBFM) di Bengkulu.
[6] Pramasty
Ayu Kusdinar, Akar Foundation-ProRep, 2015. Laporan Program Mendorong Kebijakan
Daerah untuk Resolusi Konflik dan Reposisi Ruang Kelola Rakyat di Bengkulu.
[7] Pramasty
ayu Kusdinar, Akar Foundation-Scale Up, 2016. Laporan Program Mendorong
Partisipasi Masyarakat dalam Memperoleh Akses Kelola dan Pengakuan Hak
Masyarakat di Kawasan Taman Nasional Kerinci Sebelat (TNKS) di Rejang Lebong
Propinsi Bengkulu.
[8] Erwin
Basrin dan Rahabilah Firdha, Akar Foundation-Siemenpuu Foundation. 2012:
Laporan Study Dominasi Penguasaan Kawasan Hutan Konservasi, Study Kasus di
Wilayah Marga Jurukalang Kabupaten Lebong.
[9] Pramasty
Ayu Kusdinar, Akar Foundation-Right Resources Initiative-Epistema Intitute.
2016: Laporan Riset Aksi Pemetaan Sosial dan Praktik Tenurial Masyarakat Hukum
Adat Rejang di Kabupaten Lebong Propinsi Bengkulu.
[10] Akar Foundation-ProRep USAID, 2015; Policy Recommendation Resolusi Konflik Kehutanan dan Perkebunan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar