Policy Brief; Resolusi Konflik Perkebunan Masyarakat di Desa Kecamatan Kabawetan Kabupaten Kepahiang dengan Kasawan Taman Wisata Alam (TWA) Bukit Kaba - Erwin Basrin

Breaking

Recent Posts

 photo Untitled-1_1.jpg

Rabu, 21 Juni 2017

Policy Brief; Resolusi Konflik Perkebunan Masyarakat di Desa Kecamatan Kabawetan Kabupaten Kepahiang dengan Kasawan Taman Wisata Alam (TWA) Bukit Kaba


Oleh: Akar Foundation[2]

Latar Belakang
Indonesia mempunyai keanekaragaman hayati yang tinggi, mulai dari tipe ekosistem, jenis flora dan fauna, serta sumberdaya genetik. Kekayaan keanekaragaman hayati ini perlu dijaga pengelolaannya dan dipastikan pemanfaatan dilakukan dengan lestari. Langkah-langkah konservasi menjadi perlu dilakukan agar keanekara-gaman hayati yang ada selalu terpelihara dan mampu mewujudkan keseimbangan dalam kegiatan pembangu­nan.

Dewasa ini kawasan konservasi yang ditetapkan men­capai areal sekitar 27 juta hektar atau 21 % dari total kawasan hutan dan perairan di Indonesia. Kawasan konservasi seluas ini diklasifikasian dalam be­berapa kategori seperti Cagar Alam, Suaka Margasatwa, Taman Hutan Raya, Taman Wisata Alam, Taman Buru dan Taman Nasional.
Pengelolaan terhadap kawasan konservasi yang luas agar tetap lestari kondisinya bukanlah perkara mudah. Ada sejumlah tantangan yang ada. Pertama, terbatasnya tenaga pengelola di kawasan kon­servasi, saat ini, hanya terdapat sekitar 3.508 orang un­tuk mengelola 27.108.486,54 hektar kawasan konser­vasi. Artinya, rata-rata 1 orang diberi tanggung jawab untuk mengelola ± 3.552 hektar kawasan konservasi. Kedua, terbatasnya pendanaan yang dimiliki oleh pe­merintah untuk pengelolaan kawasan konservasi. Ketiga, masih banyak kawasan konservasi yang sudah ditunjuk namun belum dikukuhkan. Hal ini memperumit penyelesaian tata batas kawasan tersebut. Ditam-bah lagi, masih banyak kasus tumpang tindih klaim pemilikan atau penguasaan atas kawasan di dalam mau­pun diluar kawasan hutan. Saat ini terdapat sekitar 3746 desa berada di dalam dan sekitar kawasan konservasi. Tanpa ada kejelasan tenurial, konflik antara pengelola kawasan dan masyarakat desa akan semakin luas baik lokasi maupun para pihak yang terlibat.[3]
Keempat, masih perlunya pembenahan dalam penge-lolaan kawasan mengingat sampai tahun 2014, baru 187 kawasan konservasi (35,89%) yang telah mempu­nyai rencana pengelolaan yang telah disahkan dan 85 kawasan konservasi yang memiliki zonasi dan/atau blok pengelolaan.[4]
Dalam praktiknya, pengelolaan hutan di Indonesia yang dilakukan oleh negara mempunyai perjalanan panjang yang bernuansa Germany scientific forestry dan scientific forestry pada awalnya merupakan kaidah yang diterapkan bersamaan dengan kolonialisme dalam mengelola hutan untuk menghasilkan kayu secara lestari. Sehingga, sistem pengelolaan hutan memisahkan masyarakat sekitar hutan dengan hutan.  Pendekatan kolab­oratif (co-management) dan community based forest management (CBFM) mengubah nuansa pengolaan hutan tersebut menjadi sistem pengelolaan sumberdaya hutan bersama dan dengan masyarakat. Masyarakat sekitar hutan dalam skema kolaboratif memiliki akses yang cukup untuk berinteraksi dengan hutan serta ditempatkan pada posisi sejajar dengan stakeholders lain dalam implementasi pengelolaan sumberdaya hutan disinilah, dalam perjalannnya community based forest management (CBFM) mendapat ruang yang luas dalam pengelolaan hutan di Indonesia.[5]
Tantangan-tantangan tersebut diatas menggarisbawahi pentingnya berbagai inisiatif untuk meningkatkan efek­tifitas pengelolaan kawasan konservasi, yang tentu saja pijakannya adalah kelestarian ekologi yang idealis dengan mengakomodasi kebutuhan ekonomi pragmatis bagi masyarakat sebagai salah satu stakeholder yang terlibat aktif dalam pengelolaan kawasan konservasi.

Bengkulu dan Isu Kehutanan
Provinsi Bengkulu mempunyai luas daratan sebesar 2.007.223.9 Ha. Dari daratan ini, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 784/Menhut-II/2012. Keputusan ini adalah  keputusan merevisi luas beberapa kawasan hutan seperti yang terdapat dalam Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan perkebunan No. 420/Kpts-II/1999, tentang kawasan hutan di Provinsi Bengkulu. Hutan yang ada di Provinsi Bengkulu adalah hutan lindung, hutan produksi dan konservasi. Perincian luas untuk rincian kawasan hutan per kabupaten/kota dapat dilihat pada Tabel 2.1. sedangkan untuk rincian kawasan hutan per kabupaten/kota dapat dilihat pada Tabel 2.2.

Tabel 2.1 .
Sebaran luas kawasan hutan di Provinsi Bengkulu seluas 924.631 Ha berdasarkan Berdasarkan SK Menhut No. 784/Menhut-II/2012.

No
Fungsi Hutan
Luas (Ha)
1
Kawasan Suaka Alam/Kawasan Pelestarian Alam
462.965
1.1
Cagar Alam
4.300
1.2
Taman Nasional
412.325
1.3
Taman Wisata Alam
27.630
1.4
Taman Hutan Raya
1.748
1.5
Taman Buru
16.962
2
Hutan Lindung
250.750
3
Hutan Produksi
210.916
3.1
Hutan Produksi Terbatas
173.280
3.2
Hutas Produksi Tetap
25.873
3.3
Hutan Produksi Konversi
11.763
T O T A L
924.613





Tabel 2.2.
Sebaran luas kawasan hutan (dalam hektar) per kabupaten/kota di Provinsi Bengkulu berdasarkan SK Menhut No. 784/Menhut-II/2012. Areal hutan yang telah ditetapkan menjadi area pemanfaatan lain (APL) berdasarkan SK Menhut No.784/Menhut-II/2012 tidak dimasukkan dalam table dibawah.

Kabupaten
Fungsi
Nama Kawasan
Luas (Ha)
Bengkulu Selatan
Tahura
Tahura BT. Rabang
586
Taman Wisata Alam
TWA Lubuk Tapi Kayu Ajaran
8,7
Hutan Lindung
HL BT.Riki

4.150,1
HL. BT. Rajamendara
20. 574
HL BT. Sanggul
8.017,6
Hutan Produksi
HP Air Bengkenang
1.704,2
Hutan Produksi Terbatas
HPT Bt Rabang
4.970,8
HPT Peraduan Tinggi
8.160,5
HP
T Air Kedurang
1.108,5
Mukomuko
Cagar Alam
CA Air Rami II
42,7
CA Muko-muko Register 88a
73,3
Taman Nasional
Taman Nasional  Kerinci Seblat
150.036
Taman Wisata Alam
TWA Air Rami II
59,6
TWA Air Hitam Reg 102
295,5
TWA Mukomuko I
301,4
TWA PLG Seblat
1.347,2
Hutan Produksi
HP Air Dikit
2.252,9
HP Air Rami
4.460,8
HP Air Temarang
4.818,5
Hutan Produksi Terbatas
HPT Air Ipuh I
19.659,9
HPT Air Ipuh II
16.734,9
HPT Air Manjunto Reg 62
24.811,0
HPT Lebong Kandis
2.415,3
Hutan Produksi Konversi
Hutan Produksi Konversi
2.885,4
Bengkulu Utara
TB
TB Gn Nanua
7.754,8
Taman Nasional
Taman Nasional  Kerinci Seblat
71.702,7
Taman Wisata Alam
 TWA Air Rami II
56,9
TWA Air Rami I
69,9
TWA PLG Seblat
6.389,9
Cagar Alam
CA Air Seblat
97
CA Kioyo I
598,6
CA Kioyo II
164,2
CA S Baheuwo
1.424,2
CA Tg Laksaha
372,9
Hutan Lindung
HL BT Daun
37.460
HL Kokobuwabuwa
3.364,6
Hutan Produksi
HP Air Rami
9.549,3
Hutan Produksi Terbatas
HPT Air Ketahun
16.508,9
HPT Hulu Malakoni
2.390,5
HPT Lebong Kandis
26.142,9
Hutan Produksi Konversi
Hutan Produksi Konversi
8.877,2
Lebong
Cagar Alam
CA Danau Menghijau
154,1
Taman Nasional
TN Kerinci Seblat
98.287,2
Taman Wisata Alam
TWA Danau TES
2.724,5
Hutan Lindung
HL BT Daun
15.063,2
HL Rimbo Pengadang
2.487,5
HPT
HPT Air Ketahun
45,5
Kepahiang
Cagar Alam
CA Pagar Gunung 1
5,8
CA Pagar Gunung 2
2,4
CA Pagar Gunung 3
0,3
CA Pagar Gunung 4
0,2
CA Pagar Gunung 5
0,1
Taman Wisata Alam
TWA Bt Kaba
8.459,2
Hutan Lindung
HL BT Balai Rejang
1.161,1
HL BT Daun
7.027
HL Konak
12,5
HL Rimbo Donok
362,2
Kota Bengkulu
Cagar Alam
CA Danau Dusun Besar Reg 61
508,7
Taman Wisata Alam
TWA Pantai Panjang dan P. Baai Reg 9
1.172,8
Seluma
Cagar Alam
CA Air Alas
47,1
CA Pasar Ngalam Reg 92
230,7
CA Pasar Seluma Reg 93
172,7

CA Pasar Talo Reg 94
298,1
Taman Buru
TB Semidang Bt Kabu
5.417,2
Hutan Lindung
HL BT Daun
8,4
HL BT Sanggul
66.524,9
Hutan Produksi Terbatas
HPT Air Talo
2.282
HPT Bt Badas Reg 76
10.598,7
HPT Bt Rabang
2.827,5
Rejang Lebong
CA
CA Talang Ulu I
0,5
Cagar Alam
CA Talang Ulu II
0,1
Taman Nasional
TN Kerinci Sebelat
25.815,6
Taman Wisata Alam
TWA Bukit Kaba
6.666,8
Hutan Lindung
HL Bukit Balai Rejang
16.057
HL Bukit Daun
4.762,9
HPT Bukit Basa
125,4
Bengkulu Tengah
Cagar Alam
CA Danau Dusun Besar Reg 61
101,8
CA Taba Penanjung I
1,7
CA Taba Penanjung II
2
Tahura
Tahura Rajolelo
1.161,7
Taman Buru
TB Semidang Bt Kabu
3.790,3
Hutan Lindung
HL BT Daun
19.115,5
HL BT Sanggul
7,4
Hutan Produksi
HP Rindu Hati I
191,3
HP Rindu Hati II
165,9
HP Semidang BT Kabu
660,5
Hutan Produksi Terbatas
HPT BT Daun
2.927,2
Kaur
Taman Nasional
TN Bukit Barisan
66.483,1
Taman Wisata Alam
TWA Way Hawang
77,8
Hutan Lindung
HL BT Rajamendara
44.593,4
Hutan Produksi
HP Air Sambat
2.069,4
Hutan Produksi Terbatas
HPT Air Kinal
6.794,6
HPT Bt Kumbang
7.419,5
HPT Bukit Kumbang
1.299,7
HPT Kaur Tengah
12.463,3
HPT Air Kedurang
3.593,5
T O T A L
924.631

Dari data luas kawasan hutan Provinsi Bengkulu ini dapat dilihat bahwa kawasan hutan di Provinsi Bengkulu sebagian besar merupakan kawasan lindung, yang berupa kawasan suaka dan pelestarian alam serta hutan lindung. Kondisi ini tentu memiliki tantangan sendiri dan memerlukan penanganan pengelolaan yang spesifik yang berbeda dengan pengelolaan kawasan yang didominasi hutan produksi. Dominannya keberadaan hutan konservasi dan lindung ini seringkali memang dianggap sebagai beban daripada peluang untuk berinovasi. Namun, di tengah semakin menguatnya isu perubahan iklim, program-program yang bersifat melestarikan hutan dan peningkatan tutupan hutan dapat menjadi unggulan.

Kondisi Hutan dan Pola Ruang di Kabupaten Kepahiang
Di Kabupaten Kepahiang  terdapat tiga Status dan Fungsi Kawasan hutan yaitu Kawasan Suaka Alam, Kawasan Pelestarian Alam dan Hutan Lindung. Untuk kawasan konservasi terutama untuk Taman wisata alam, luas taman wisata alam di Kabupaten Kepahiang merujuk pada RTRW Provinsi Sesuai yang telah ditetapkan dalam TGHK adalah Taman Wisata Alam (TWA) Bukit Kaba seluas 13.490,00 Ha, yang terletak di Kabupaten Kepahiang dan Rejang Lebong dan luas TWA yang merupakan deliniasi wilayah Kabupaten Kepahiang adalah 8.518 Ha. Kabupaten Kepahiang dan Rejang Lebong mengajukan pelepasan kawasan hutan seluas 6.350 ha.
Saat ini, seperti data tutupan hutan yang di keluarkan oleh Ditjet Planologi Kementerian Kehutanan, tahun 2011 menunjukan kondisi hutan di Kepahiang sebagai berikut;

Kepahiang
Taman Wisata Alam
Hutan sekunder
1.537,6
18,2
Semak belukar
620,4
7,3
Pertanian campuran
6.301,0
74,5
Hutan Lindung
Hutan primer
17,5
0,2
Hutan sekunder
744,1
8,7
Semak belukar
576,5
6,7
Non vegetasi
10,1
0,1
Pertanian campuran
7.215,0
84,3

Berdasar pada Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 16/PRT/M/2009 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten, Rencana Struktur Ruang Kabupaten Kepahiang mencakup sistem perkotaan wilayah kabupaten yang berkaitan dengan kawasan perdesaan dalam wilayah pelayanannya dan jaringan prasarana wilayah kabupaten yang dikembangkan untuk mengintegrasikan wilayah kabupaten. Untuk melayani kegiatan skala kabupaten tersebut dihubungkan dengan berbagai sistem jaringan yang meliputi sistem jaringan transportasi, sistem jaringan energi dan kelistrikan, sistem jaringan telekomunikasi, sistem jaringan sumber daya air, termasuk seluruh daerah hulu bendungan atau waduk dari daerah aliran sungai, dan sistem jaringan prasarana lainnya
Perencanaan tata ruang dan kebutuhan masyarakat akan ruang kelola berkontribusi pada kondisi hutan, reforestasi terjadi sebagian besar di karenakan oleh kebutuhan rakyat dalam pemanfaatan ruang untuk kawasan perkebunan rakyat. Dalam perencanaan ruang di Kabupaten Kepahiang pada tahun 2031 adalah seluas 47.794,09 Ha yang terdistribusi di beberapa kecamatan. Alokasi lahan ini untuk memenuhi kebutuhan komoditi unggulan perkebunan rakyat di Kabupaten Kepahiang diantaranya yaitu kopi, kakau, cengkeh, lada, kemiri, kayu manis, aren, serta mendukung program Bupati Kepahiang penanaman sengon dengan program unggulan Siluna seta penanaman lainya. Dan, saat ini Pengembangan agroindustri dengan fungsi yang didasarkan pada potensi (basis komoditas) perkebunan dan pengembangan pusat pengumpul dan distribusi bagi pertanian perkebunan dengan memperhatikan jarak minimum (mudah dijangkau) adalah strategi bagi upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat di Kabupaten Kepahiang.
Pembukaan jejaring sarana dan prasarana pendukung percepatan pemanfaatan yang berbasis pada kekayaan alam. Jejak pembukaan jejaring sarana terutama infrastruktur ini secara konsisten menunjukkan tingginya daya rusak, besarnya dampak yang diemban dan kecilnya manfaat yang dinikmati masyarakat terutama akibat dari proses deforestasi ketika terjadi alih fungsi kawasan hutan. Perubahan iklim memperburuk keadaan yang ada. Di satu sisi perubahan iklim disumbang oleh Massive-nya deforestasi dan degradasi hutan. Deforestasi membuka gerbang bagi kemerosotan mutu hidup dan mutu lingkungan. Deforestasi menjadi mesin ampuh penurun daya dukung lingkungan dan kelentingan sosial. Hal ini menyebabkan pelipatgandaan daya rusak bencana ekologis, baik yang murni alami maupun yang dipicu oleh akumulasi dampak kegiatan manusia dalam jangka waktu lama.
Namun penting dicatat bahwa upaya kebijakan penataan ruang pada seharusnya sudah bekerja ke arah penanganan dampak perubahan iklim (adaptasi) serta tata-kelola dan upaya pemangkasan emisi CO2. Pendekatan penataan ruang harus bergeser dari upaya pengaturan konvensional tata-guna lahan ke arah perwujudan pembangunan berkelanjutan. Penataan ruang memiliki kemampuan untuk mengusung perubahan yang hakiki bagaimana pembangunan dilaksanakan untuk berkontribusi positif.
Dari perspektif masyarakat, suatu kewaspadaan dini (early precaution) terhadap dampak dan risiko berbagai bentuk prakarsa dari luar menjadi langkah mendasar. Rendahnya manfaat yang dinikmati masyarakat dari kegiatan pemanfaatan sumber daya hutan di satu sisi menjadi argumen yang kerap digunakan mendorong upaya pelibatan masyarakat. Namun hal tersebut harus dilatarbelakangi satu pemahaman dan kesadaran kritis tentang daya-rusak yang tidak terhindarkan berbagai bentuk pemanfaatan sumber daya alam terhadap kegunaan dan manfaat jangka-panjang bagi kehidupan masyarakat dan lingkungan sekitarnya.[6]

Politik Kebijakan; Reposisi Ruang dengan Pendekatan Kolaboratif
Dalam beberapa dekade terakhir, pendekatan kolab­oratif (co-management) dalam pengelolaan kawasan konservasi sudah lama dipromosikan oleh berbagai pihak. Pendekatan Co-Management adalah sebuah kerangka kerja yang menggambarkan suatu situasi di­mana satu atau lebih aktor sosial menegosiasikan, men­definisikan dan menyepakati diantara mereka sendiri.
Secara implementatif pendekatan kolaboratif dan skema community based forest management (CBFM) menyasar kelompok komunitas mengelola hutan, atau pengelolaan hutan negara di mana masyarakat memiliki hak akses dan kontrol atas kawasan hutan yang dibebani hak oleh negara dalam pengelolaannya. Sebagai kelompok yang memiliki akses kelola lebih mungkin mengadopsi perspektif jangka panjang dan praktik-praktik yang lebih berkelanjutan dan mampu menahan laju deforestasi dan melindungi kehidupan komunitas pengelola hutan selain mampu untuk menjamin ketahanan pangan, keanekaragaman budaya, kesatuan sosial dan pasar serta mengimplemtasi praktik-praktik demokratik serta distribusi kekayaan yang lebih merata.[7]
Berkenaan dengan pembagian peran dan tanggung jawab pengelolaan suatu kawasan sumberdaya tertentu serta menjamin adanya pembagian manfaat yang adil atas sumberdaya tersebut. Lebih spesifik lagi, penge­lolaan kolaboratif merupakan proses mengembangkan kerjasama antar pihak yang relevan, terutama antara masyarakat lokal dan pengguna sumberdaya alam, yang sudah mempunyai kejelasan fungsi, hak dan tanggung jawab. Beberapa alasan substantif berkaitan dengan pentingnya co-management itu dalam pengelolaan kawasan konservasi:[8]
1.       Upaya konservasi membutuhkan kapasitas dan pelibatan masyarakat secara keseluruhan, tidak hanya para ahli konservasi, kaum professional serta pihak pemerintah
2.       Upaya konservasi membutuhkan perhatian da­lam mengkaitkan kepentingan keanerakaragaman hayati dan kebudayaan yang memberi ruang bagi masyarakat lokal dan adat untuk secara aktif dan terberdayakan selama kolaborasi berlangsung;
3.       Upaya konservasi membutuhkan perhatian da­lam prinsip kesetaraan dan keadilan, baik pemba­gian biaya dan manfaat yang diterima baik dalam perlindungan keanekaragaman hayati, pengelolaan sumberdaya alam maupun pemanfaatannya.
4.       Upaya konservasi menuntut penghormatan ter­hadap hak-hak social ekonomi masyarakat. Prinsip “do no harm” dalam pelaksanaan konservasi penting dikedepankan agar tidak memberikan dampak buruk terhadap kesejahteraan social-ekonomi masyarakat yang tinggal didalam dan disekitar ka­wasan. Apabila memungkinkan, diupayakan insiatif konservasi untuk memberi dampak positif pada kesejahteraan masyarakat.
Pelibatan masyarakat dengan pendekatan pember­dayaan menjadi penting mengingat masyarakat sudah tinggal di sekitar atau di dalam kawasan konservasi sebelum kawasan tersebut ditetapkan. Karenanya me­negasikan keberadaan masyarakat dalam pengelolaan kawasan konservasi sangat tidak mungkin mengingat interaksi, pemahaman dan ketergantungan masyarakat terhadap kawasan cukup tinggi. Masyarakat adalah aset yang eksistensinya dapat mendukung terwujud-nya pengelolaan kawasan yang efektif. Ruang kerjasama pengelolaan kawasan konservasi yang telah diberikan Negara selayaknya menjadi landasan dalam memba-ngun kemitraan antar pihak yang sejajar dalam kerang­ka pengelolaan, kawasan konservasi yang lestari dan mensejahterkan masyarakat.[9]
Dalam konteks mendukung program pendekatan kolab­oratif (co-management), lahirnya UU No. 23/2014 tentang Pemerintah Daerah, pasal 14 menyebutkan bahwa penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang kehutanan, kelautan, serta energi dan sumberdaya mineral di bagi antara pemerintah pusat dan daerah propinsi, kecuali Taman Hutan Raya yang pengelolaannya menjadi kewenangan daerah kabupaten/kota (pasal 14, ayat 2). 
Selain itu, pergerakan perhutanan sosial atau community based forest management (CBFM) sudah berkembang sejak tahun 1980an. Program ini bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang berada di dalam dan di sekitar hutan melalui pemberdayaaan masyarakat dengan memperhatikan aspek kelestariannya. Pemberdayaan ini berupa penguatan kapasitas dan pemberian akses terhadap kawasan. Pemerintahan di bawah Presiden Joko Widodo yang dicanangkan sejak 2014 lalu salah satunya adalah terwujudnya wilayah kelola rakyat di areal hutan minimal seluas 12,7 juta hektar. Dampak dari target tersebut, Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan, Kementerian Lingkungan Hidup danKehutanan (KLHK) menjadi salah satu pihak yang bertanggungjawab memastikan angka ini tercapai. Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan, Hutan Tanaman Rakyat, Hutan Adat dan Kemitraan, misalnya, merupakan skema-skema yang harus didorong manifestasinya karena pemberian izin atas skema-skema perhutanan sosial tersebut akan menjadi bukti dari terwujudnya perluasan wilayah kelola rakyat.
Pendekatan kolab­oratif (co-management) diharapkan dapat mengurangi konflik yang sering terjadi antara masyarakat lokal dengan pemerintah mengenai penggunaan hutan. Hutan memang merupakan bagian penting dalam kehidupan masyarakat sekitar dan di dalamnya. Secara implementatif, ruang-ruang kebijakan memungkin untuk dilakukan pendekatan kolab­oratif (co-management) yang meilbatkan para pihak dalam tata kelola hutan terutama kelompok-kelompok masyarakat sekitar dan didalam hutan yang mempunyai ketergantungan yang tinggi akan hutan baik untuk kebutuhan ekonomi, fungsi ekologi maupun fungsi pertahanan (security land). Ruang-ruang kebijakan berlaku yang menemukan kepentingan kelestarian fungsi kawasan hutan dan kebutuhan masyarakat di atur di dalam beberapa kebijakan dan skema kolab­oratif (co-management).

-          Undang Undang No. 5 Tahun 1990 Tentang: Konservasi Sumberdaya Alam Hayati Dan Ekosistemnya. UU ini menyebutkan unsur-unsur sumber daya alam hayati dan ekosistemnya pada dasarnya saling tergantung antara satu dengan yang lainnya dan saling mempengaruhi sehingga kerusakan dan kepunahan salah satu unsur akan berakibat terganggunya ekosistem. Ekosistem sumber daya alam hayati adalah sistem hubungan timbal balik antara unsur dalam alam, baik hayati maupun nonhayati yang saling tergantung dan pengaruh mempengaruhi. Salah satu fungsi kawasan konservasi yang dimaksud adalah Taman wisata alam adalah kawasan pelestarian alam yang terutama dimanfaatkan untuk pariwisata dan rekreasi alam. Merujuk pada Pasal 7; Perlindungan sistem penyangga kehidupan ditujukan bagi terpeliharanya proses ekologis yang menunjang kelangsungan kehidupan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia. Pada Pasal 8; Untuk mewujudkan tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Pemerintah menetapkan: a. wilayah tertentu sebagai wilayah perlindungan system penyangga kehidupan; b. pola dasar pembinaan wilayah perlindungan sistem penyangga kehidupan; c. pengaturan cara pemanfaatan wilayah perlindungan system penyangga kehidupan.
-          UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, di dalam Pasa 3 menyebutkan bahwa UU ini disusun bertujuan untuk memastikan Penyelenggaraan kehutanan bertujuan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan dengan : a. menjamin keberadaan hutan dengan luasan yang cukup dan sebaran yang proporsional; b. mengoptimalkan aneka fungsi hutan yang meliputi fungsi konservasi, fungsi lindung, dan fungsi produksi untuk mencapai manfaat lingkungan, sosial, budaya, dan ekonomi, yang seimbang dan lestari; c. meningkatkan daya dukung daerah aliran sungai; d. meningkatkan kemampuan untuk mengembangkan kapasitas dan keberdayaan masyarakat secara partisipatif, berkeadilan, dan berwawasan lingkungan sehingga mampu menciptakan ketahanan sosial dan ekonomi serta ketahanan terhadap akibat perubahan eksternal; dan e. menjamin distribusi manfaat yang berkeadilan dan berkelanjutan.
-          Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor: P.48/Menhut-II/2010 Tentang Pengusahaan Pariwisata Alam Di Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Taman Hutan Raya Dan Taman Wisata Alam. Dalam Permenhut ini menyatakan bahwa Permohonan IUPJWA di Taman Nasional dan Taman Wisata Alam, dapat diajukan oleh: a. perorangan; b. badan usaha milik negara; c. badan usaha milik daerah; d. badan usaha milik swasta; atau e. koperasi. Pemberian IUPJWA perorangan diprioritaskan bagi masyarakat sekitar kawasan termasuk masyarakat setempat.
-          Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor: P.3/Menhut-II/2014 Tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Urusan Pemerintahan (Dekonsentrasi) Bidang Kehutanan Tahun 2014 yang Dilimpahkan Kepada Gubernur Selaku Wakil Pemerintah. Petunjuk Teknis ini dimaksudkan untuk menjamin keselarasan senergisitas antar output kegiatan Dekonsentrasi Bidang Kehutanan terutama dalam rangka penurunan konflik, perambahan kawasan hutan, illegal logging dan wildlife traficking sampai dengan di batas daya dukung sumberdaya hutan, Populasi spesies prioritas utama yang terancam punah meningkat sebesar 1,5% dari kondisi Tahun 2008 sesuai ketersediaan habitat dan Terbentuknya 12 kerjasama kemitraan melalui peningkatan peran serta pelaku utama dan pelaku usaha dalam pemberdayaan masyarakat.
-          Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor: P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016 tentang Perhutanan Sosial. Permenhut ini untuk merespon upaya untuk mengurangi kemiskinan, pengganguran dan ketimpangan pengelolaan/pemanfaatan kawasan hutan serta memeberikan akses legal kepada masyarakat setempat berupa pengelolaan Hutan desa, Hutan Kemasyarakatan, HTR, Kemitraan Kehutanan atau pengakuan dan perlindungan masyarakat hokum adat untuk kesejahteraan masyarakat dan kelestarian sumber daya hutan. Pada bagian ke empat dalam Permenhut ini bahwa pelaku Kemitraaan Kehutanan adalah masyarakat sekitar hutan dengan alokasi areal kerja paling luas 2 (dua) hektar untuk setiap Kepala Keluarga dan luas areal kerja pemegang izin paling luas 5 (lima) ha untuk setiap keluarga.

Penyelesaian Kasus
Berangkat dari pengalaman yang telah dilaksanakan oleh Akar Foundation, maka dalam menindak lanjuti Penyelesaian kasus Lahan Perkebunan Masyarakat 8 (delapan) desa Kecamatan Kabawetan Kabupaten Kepahiang yang Masuk di dalam Kasawan Taman Wisata Alam (TWA) Bukit Kaba. Hal-hal penting yang  harus dilakukan adalah;
-          Kelembagaan Masyarakat dan Tata Kelola Kawasan
Terdapat empat faktor kunci yang menjadi bahan utama dalam penguatan kelembagaan masyarakat antara lain; pertama peningkatan kapasitas atau pengetahuan masyarakat terhadap kawasan. Hal ini dilakukan dengan cara menginventaris potensi kawasan secara partisipatif. Kedua,  penyusunan rencana pengelolaan kawasan, yang terdiri dari rencana umum (jangka panjang) dan rencana operasional ( jangka pendek). Hal-hal yang tertuang dalam rencana pengelolaan kawasan meliputi kondisi bio fisik, identifikasi kondisi sosial ekonomi, potensi areal kerja dan kelembagaan. Selain itu,  rencana pengelolaan kawasan tersebut juga harus mengacu pada pengembangan usaha non-timber forest product (NTFP), usaha jasa lingkungan, tanaman bawah tegakan, rencana perlindungan hutan, rencana pengembangan kelompok dan perencanaan lainnya. Penyusunan rencana pengelolaan kawasan tersebut haruslah berpatok pada status kawasan, kondisi hutan, kearifan tata kelola hutan dan isu yang berkembang.
-          Diskursus Pulik dan Advokasi Kebijakan
Resolusi konflik adalah suatu proses analisis dan penyelesaian masalah yang mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan individu dan kelompok seperti identitas dan pengakuan juga perubahan-perubahan institusi yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyarakat dalam pengelolan kawasan konservasi. Dalam setiap konflik selalu dicari jalan penyelesaian. Konflik terkadang dapat saja diselesaikan oleh kedua belah pihak yang bertikai secara langsung. Namun tak jarang pula harus melibatkan pihak ketiga untuk menemukan resolusi konflik, implementasi Peacekeeping adalah upaya untuk menghentikan atau mengurangi aksi kekerasan melalui intervensi keamanan yang menjalankan peran sebagai penjaga perdamaian yang netral.[10]
Peacemaking, adalah proses yang tujuannya mempertemukan atau merekonsiliasi sikap politik dan stategi dari pihak yang bertikai melalui mediasi, negosiasi, arbitrasi terutama pada level elit. Sedangkan Peacebuilding, adalah proses implementasi perubahan atau rekonstruksi social, politik, dan ekonomi demi terciptanya perdamaian yang langgeng, dan dalam parekteknya diharapkan negative peace (atau the absence of violence) berubah menjadi positive peace dimana masyarakat merasakan adanya keadilan social, kesejahteraan ekonomi dan keterwakilan politik yang efektif.
Usaha-usaha penyelesaian konflik melalui proses Peacemaking dan Peacebuilding ini haruslah terlegitimasi secara tegas dalam Kebijakan Daerah, sehingga usaha untuk mereduksi gangguan dan konflik pada sektor Kehutanan dan Perkebunan Rakyat di Bengkulu baik yang bersifat horisontal maupun vertikal yang terkait dengan politik ekonomi, hukum, pertahanan dan keamanan yang diperlukan penanganan secara terpadu memiliki kekuatan hukum sekaligus kekuatan politik yang kuat.
Karena Penanganan Konflik adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan secara sistematis dan terencana dalam situasi dan peristiwa baik sebelum, pada saat, maupun sesudah terjadi Konflik yang mencakup pencegahan konflik, penghentian konflik, dan pemulihan pasca konflik. Dan usaha pencegahan konflik dilakukan untuk:
·         memelihara kondisi damai dalam masyarakat di sekitar Perkebunan
·         mengembangkan siste penyelesaian perselisihan  secara damai
·         melakukan sosialisasi merata ke masyarakat
·         meredam potensi konflik antara masyarakat, pelaku usaha bidang lain dan pelaku usaha perkebunan; dan e. membangun sistem peringatan dini.
Urgensi penyelesain terhadap konflik yang terjadi ini haruslah segera dilaksanakan dan Negara tentu harus hadir dalam memfasilitasi dan mereduksi konflik kehutanan dengan perkebunan Rakyat yang ada di Kabupaten Kepahiang Propinsi Bengkulu. Paska pelaksaan resolusi konflik, kepastian kelola hutan oleh rakyat harus mengarah pada Akses modal. Kendala terbesar untuk memastikan peningkatan kesejahteraan masyarakat, sehingga kemudahan akses modal oleh petani pengarap haruslah dibuka ruang seluas-luasnya, baik oleh Perbankkan maupun institusi resmi dan institusi swasta melalui Coorporate Social Responsibility (CSR). Masing-masing pihak yang terlibat dalam proses fasilitasi pembangunan Kehutanan baik Pemerintah, Universitas, Swasta maupun Civil Society Organization (CSO) atau Organisasi Masyarakat Sipil harus memastikan akuntabilitas atau pertanggungjawaban dalam proses fasilitasi yang dilakanakan.





[1] Disampaikan sebagai rekomendasi Penyelesaian Konflik Pengelolan Hutan Taman Wisata Alam Bukit Kaba Kabupaten Kepahiang
[2] Akar Foundation adalalah NGOs yang bergerak pada issue Lingkungan, Pengelolaan Sumber Daya Alam Berkelanjutan dan Masyarakat Adat – www.akar.or.id
[3] Santosa, A & Praputra, A.C. 2014. Laporan Studi : Pemberdayaan Masyarakat di Dalam dan Sekitar Kawasan Konservasi. Working Group Pem­berdayaan Kementrian Kehutanan. Kemitraans – FKKM: Jakarta.
[4] Paper, USAID Lestari: Pengelolaan Kawasan Konservasi secara Kolaboratif.
[5] Erwin Basrin, Akar Foundation-Warsi. 2015: Laporan Assessment dan Identifikasi Potesi dan Perkembangan Community Based Forest Management (CBFM) di Bengkulu.
[6] Pramasty Ayu Kusdinar, Akar Foundation-ProRep, 2015. Laporan Program Mendorong Kebijakan Daerah untuk Resolusi Konflik dan Reposisi Ruang Kelola Rakyat di Bengkulu.
[7] Pramasty ayu Kusdinar, Akar Foundation-Scale Up, 2016. Laporan Program Mendorong Partisipasi Masyarakat dalam Memperoleh Akses Kelola dan Pengakuan Hak Masyarakat di Kawasan Taman Nasional Kerinci Sebelat (TNKS) di Rejang Lebong Propinsi Bengkulu.
[8] Erwin Basrin dan Rahabilah Firdha, Akar Foundation-Siemenpuu Foundation. 2012: Laporan Study Dominasi Penguasaan Kawasan Hutan Konservasi, Study Kasus di Wilayah Marga Jurukalang Kabupaten Lebong.
[9] Pramasty Ayu Kusdinar, Akar Foundation-Right Resources Initiative-Epistema Intitute. 2016: Laporan Riset Aksi Pemetaan Sosial dan Praktik Tenurial Masyarakat Hukum Adat Rejang di Kabupaten Lebong Propinsi Bengkulu.
[10] Akar Foundation-ProRep USAID, 2015; Policy Recommendation Resolusi Konflik Kehutanan dan Perkebunan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar