Di Bawah Atap Rumah Berwarna Hijau - Erwin Basrin

Breaking

Recent Posts

 photo Untitled-1_1.jpg

Minggu, 21 Agustus 2016

Di Bawah Atap Rumah Berwarna Hijau

Kutai Titik, adalah sebuah desa terpencil di tengah hutan mengalir di tengahnya sungai yang jernih dan digunakan penduduknya untuk minum, mandi, dan keperluan lainnya. Meskipun jernih sungai ini mengandung banyak penyakit. Desa ini berpenduduk kurang dari lima ratus orang.
Rumah kayu berjejer berjarak memanjang sepanjang aliran sungai. Memanjang dari Utara ke Selatan. Penduduk kampung ini sejak kecil diajarkan dan di ceritakan tentang roh, tentang sesuatu yang gaib, tentang hantu, arwah leluhur, tentang tempat yang dipercayai mempunyai tuah atau karomah. Mereka menyebutnya keramat. Boleh jadi, introduksi tentang kepercayaan terhadap yang gaib-gaib ini membentuk sistem berpikir warga kampung.
Cerita-cerita gaib ini susah sekali di verifikasi kebenarannya, karena memang lahir dari perkembangan sistem berpikir orang kampung. Cara berpikir dari gerak alam yang hidup disebabkan oleh adanya jiwa yang ada di belakang gejala alam. Karena memang berkaitan dengan pola hidup dan lingkungan. Dan itu terus menerus di introduksi. Maka di dalam sistem psikologis kongnitif, penduduk kampung kemudian dipaksakan untuk melakukan pengorganisasian dan penyesuaian untuk membuat kepercayaan gaib ini di terima secara logis. Jadilah gaib yang masuk akal. Penyesuaian ini dilakukan dengan asimilasi dan akomodasi, menggabungkan informasi baru kedalam pengetahuan gaib. Begitulah desa itu. Bukan karena warga desa tidak logis cara berpikirnya, namun lebih karena mereka tidak mempedulikan keadaan lingkungannya, sebab mereka hidup dalam sebuah pesona.
Pesona ini datang dari sebuah rumah di ujung desa disebelah Utara. Rumah berdinding bambu dan beratap bilah-bilah kayu berwarna hijau. Rumah ini milik Binang. Orang kampung memberi dia sebutan Burung Binang. Dia adalah seorang Pendongeng. Umurnya sekitar lima puluh tahunan. Tidak ada yang tahu pasti umurnya. Jika ditanya berapa umurnya. Dia hanya menjawab, dia lahir ketika sungai meluap dan banjir bandang. Begitulah orang di Kampung itu menjawab pertanyaan yang berhubungan dengan waktu, selalu mengacu pada kejadian-kejadian penting yang pernah terjadi dan dialami oleh warga kampung. Binang ini buta huruf, tidak bisa membaca dan menulis. Tetapi dia punya kemampuan untuk mengarang cerita di luar kepala. Satu bulan bisa dua cerita yang di karangnya. Rumahnyalah yang menjadi pesona di kampung ini. Binang tidak memiliki harta benda. Yang dimilikinya hanya sebatang sapu lidi untuk membersihkan rumahnya. Dia menghabiskan separuh hidupnya di rumah ini. Apabila dia merasa lapar dia hanya butuh berjalan ke salah satu rumah di sekitar rumahnya dan ikut makan bersama mereka. Jika dia perlu pakaian baru mereka memberinya. Dia jarang berkunjung ke warga kampung, sebab warga kampunglah yang selalu mengunjunginya. Hampir sepanjang hari orang-orang menemani Binang dan duduk bersila di teras rumahnya. Jika dia berkenan, Binang akan menghibur orang itu dengan cerita anekdot dan kisah pengalaman hidupnya. Jika tidak, dia akan berkata dengan orang-orang dengan pandangan masam, “Kamu kira aku ini apa? Jangan salahkan aku jika siang ini aku tidak punya cerita buatmu. Tanpa bermeditasi bagaimana mungkin arwah leluhur akan memberiku cerita? Kamu kira ceritaku itu melayang begitu saja di udara?”
Setiap Jum’at penduduk kampung bersembahyang, dan Binang selalu berlagak seperti pendeta yang memberi sesaji kepada arwah leluhur berupa buah-buahan dan bunga-bunga rampai yang dibawa oleh para penduduk kampung. Pada malam hari jika dia ingin menceritakan sebuah dongeng, dia akan menyalahkan lampu kecil dan menaruhnya di atas meja di teras rumahnya. Penduduk kampung yang pulang dari kebun dan sawah menjelang senja hari akan segera bergegas menunju rumah Binang di Ujung kampung. Dia selalu membuka ceritanya dengan sebuah pertanyaan sambil mengangkat jarinya ke depan. Lalu, Dia bertanya “Seribu tahun lampau, sebuah batu terlempar ke arah ini, kamu pikir ada apa di sana? Dulu, kampung ini berdiri setelah Sungai menyapu bersih penduduknya, kemudian orang-orang membangun kembali perkampungan ini. Setelah pembukaan cerita. Dia akan terus bercerita sampai empat jam tanpa berhenti. Dia bercerita tentang istana para leluhur, tentang musik, tentang perang, tentang menteri-menteri. Dia mengambarkan dengan rinci setiap ceritanya, kisah ceritanya seperti sebuah epik, ceritanya selalu saja sama dengan alur yang dikarang sesukanya. Ketika rembulan telah berlindung di balik pepohonan di hutan. Binang berkata “Kini kawan-kawan, arwah leluhur berkata bahwa kisah hari ini cukup sampai disini.? Dia lalu bangkit pergi, membaringkan diri dan jatuh tertidur sebelum gumaman kerumunan para pendengar berhenti.
Cahaya di sele-sela peopohonan akan terlihat lagi dua atau tiga hari kemudian. Raja-raja dan para pahlawan, hantu, peri dan arwah jelmaan leluhur dan dewa berujud manusia, orang-orang suci dan para pembunuh bermunculan di dalam dunia mereka di bawah naungan pepohonan. Suara Binang bergema dalam sebuah ritme, sinar rembulan yang tamaran melengkapai suasana bernuasa magis. Para penduduk tertawa dan menangis bersama Binang, mereka memuja para pahlawan dan mengutuk para penjahat, berseru ketika para jagoan menang dalam pertarungan dan memanjatkan syukur pada arwah leluhur untuk akhir yang bahagia. Binang sebuah keajaiban, mengutip kata-kata bijaknya yang di jadikan coretan di dinding rumahnya dan menghidupkannya dalam kedudukan yang tinggi dalam hidup mereka.
Dan hal ini berlangsung bertahun-tahun. Pada suatu ketika, Binang kembali menyalakan lampu di teras rumahnya. Para pendengar berdatangan. Binang mengambil tempat dan mulai bercerita. “Ketika Raja yang suka tersenyum....” dia berhenti bercerita. Diulanginya membuat permulaan yang baru. “Ada seorang raja..,” katanya, mengulang, lalu kata-katanya melayang dalam sebuah gumaman. “Apa yang terjadi padaku?” dia bertanya dengan sedih. “Arwah leluhur mengapa aku jadi terbata-bata begini? Aku baru saja menyusunnya, aku tidak mengerti apa yang telah terjadi.” Dia membisu dan begitu tampak menyedihkan hingga para pendengar berkata, “Istirahatlah. Mungkin anda letih.”
“Diam!” katanya.
“Aku letih? Tunggu sebentar, aku akan segera bercerita.” Dia lalu diam. Wajah-wajah penuh harap menatap padanya.
“Jangan memandangku!” ledaknya. Seseorang memberinya secawan susu dan sebungkus rokok. Para pendengar menunggu dengan sabar. Ini adalah sebuah hal baru. Beberapa orang menyatakan simpati. Yang lainnya mulai mengobrol dengan yang lainnya. Mereka yang ada di ujung kerumunan diam-diam pergi. Makin mendekat tengah malam, Binar duduk tertunduk, pikirannya di penuhi pikiran yang berkecamuk. Untuk pertama kalinya dia menyadari dirinya telah menua dan mulai merasa pikun. Dia melihat kedepan semua orang telah pergi kecuali kawannya, Bonen, si tukang batu. “Bonen kenapa kamu tidak pergi?”
“Mereka tidak ingin membuatmu letih, jadi mereka pulang.” Kata Bonen meminta maaf atas yang lainnya dengan nada menghibur.
Dia kembali menyalakan lampu lagi keseokan harinya. Kerumunan kembali berkumpul. Binang telah bermeditasi seharian meminta arwah leluhur tidak mengecewakannya. Dia mulai bercerita dan mendongeng. Ternyata dia mampu bercerita selama satu jam tanpa berhenti. Dia merasa amat senang, sehingga dia menyelingi ceritanya dengan kalimat. “Oh, kawan, arwah leluhur selalu berbaik hati pada kita. Aku tadinya begitu tahu...” lalu dia melanjutkan ceritanya. Beberapa menit kemudian dia merasa kehabisan cerita. Dia berjuang keras.
“Dan kemudian... kemudian....apa yang terjadi?” dia berguman. Dia berhenti hampir setengah jam. Para pendengarpun bangkit tanpa suara dan pulang ke rumah masing-masing.
Dua hari kemudian dia menyalakan lampu, melanjutkan ceritanya dan lagi-lagi hanya bertahan beberapa menit. Para pendengar bubar. Banyak orang-orang mulai tidak peduli lagi dengan lampu yang menyala diteras rumah Binang. Binang sadar bahwa tak ada gunanya dia berjuang. Dia mengakhiri ceritanya sebelum benar-benar selesai. Dia tahu apa yang terjadi. Dirinya terlalu dihantui perasaan takut gagal. Aku akan lebih bahagia jika mati beberapa tahun silam, batinnya. Leluhur, mengapa kalian biarkan aku menjadi tolol begini? Dia mengurung diri, mengurangi makan dan menghabiskan nyaris sepanjang harinya dengan duduk mematung bermeditasi.
Ketika rembulan kembali mengintip dari celah pepohonan, Binang menyalakan lampu. Para penduduk melihatnya ketika mereka pulang menjelang senja hari, namun hanya segelintir yang datang pada malam harinya.
“Mana yang lain?” Tanya Binang.
“Mari kita tunggu” dia menunggu. Rembulan telah muncul. Segelintir hadirin menunggu dengan sabar. Lalu Binang berkata. “Aku tidak akan bercerita, tidak juga besok kalau seluruh penduduk desa tidak datang kemari. Aku bersungguh-sungguh ini kisah yang dasyat, semua orang harus mendengarkannya.”
Keesok harinya dia keliling desa berteriak meminta orang-orang berkumpul. Malam hari penduduk kembali berkumpul, duduk, diam dan hening. Binang memulai ceritanya, “Adalah Leluhur yang memberikan anugerah, dan dialah yang mengabilnya kembali. Binang hanyalah perantara. Dia berbicara apabia leluhur mempunyai sesuatu yang harus di ceritakan. Dia membisu jika tidak ada yang perlu dikatakan. Akan tetapi apalah artinya sekuntum melati jika telah kehilangan keharumannya? Buat apa sebuah lampu jika minyaknya telah habis? Inilah kata-kata terakhirku di dunia ini, dan inilah kisah terbesarku.? Dia bangkit dan masuk kedalam rumahnya. Para pendengar tidak sepenuhnya mengerti apa yang dimaksud. Sebagian dari mereka tetap duduk di sana hingga lelah.
Malam besoknya Sang Pendongeng duduk dengan mata terpejam di teras depan lampu yang menyala redup tanda kehabisan minyak. “Tidakkah anda akan menceritakan sebuah kisah kepada kami?” tanya mereka. Binang membuka mata dan menatap mereka, lalu mengelengkan kepala. Dia memberi tanda dengan bahasa tubuhnya bahwa dia telah mengucapkan kata terakhir.
Apabila merasa lapar. Binang lalu berjalan ke salah satu rumah penduduk dan makan dengan berdiam diri, lalu pergi setelah selesai. Sisa hidupnya adalah sebuah kebisuan yang sunyi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar