Malam Nuzulul Quran Ramadhan Kali ini, Aku di kunjungi Haji Syamsudin - Erwin Basrin

Breaking

Recent Posts

 photo Untitled-1_1.jpg

Selasa, 20 Juni 2017

Malam Nuzulul Quran Ramadhan Kali ini, Aku di kunjungi Haji Syamsudin

Ramahdan kali ini agak berbeda jika dibandingkan Ramadhan yang lalu-lalu, aku mulai tertarik dalam pencarian penemuan ketegangan antara “yang langit” dan “yang bumi” dan berdialegtika memisahkan “yang tetap” dan “yang berubah”. Syariat Shaum dan sholat fardhu sekaligus Sunnah hampir tidak terlewatkan, ini seperti penemuan kembali, aku menyebutnya bukanlah hidayah seperti
yang sering di sampaikan Ustad menjelang Sholat Tarawih di Masjid RT dimana aku tinggal, ini bak puisi sufistik Ibnu ‘Arabi; My heard has become able to take on all forms…… and for whoever cicumambulates it, the Kaaba, it is the tablets of the Torah and also the leaves of the Koran! Yang, hakikatnya setiap orang selalu terbuka pada kebaikan diri, entah dari manapun datangnya, setiap orang harus senantiasa mengerakkan hati nuraninya untuk menjemput kebaikan dan kebenaran serta menjauhi berbagai macam fanatisme yang memberangus kejujuran dan ketulusan.
Sepulang Taraweh, aku tidak tadarusan. Rebus air lalu minum kopi Rabika yang diberikan oleh masyarakat petani kopi Sengkuang yang mereka di usir dari ruang kelola untuk hidup mereka. Aku hampir tidak bisa tidur sampai makan Saur, pertanyaan-pertanyaan kenapa kemudian Kalam Allah atau wahyu kurang menpunyai arti dalam kehidupan kotemporer? Kenapa belakangan ini kalam Allah justru digunakan untuk mengabsahkan kekerasan dan penindasan? Di sela-sela akhir tegukan kopi yang keluar dari organ intim luwak, pikiran nakalkupun mulai berputar bak melawan gaya sentrifugal, bukan seperti efek semu yang ditimbulkan ketika sebuah benda melakukan gerak melingkar, aku mengalami proses sentripental, mendekati pusat putaran. Mungkinkah otoritarianisme politik memang lahir dari rahimnya otoritarianisme agama atau politik dan agama merupakan saudara kembar? Bapaknya adalah hegemoni dan ibunya adalah kekuasaan, sehingga titik temu antara agama dan politik tidak terhindarkan karena keduanya sama-sama menghakimi dan memutuskan sesuatu. Kalua demikian, mungkinkah menghadirkan wajah Al-Quran yang toleran, humanis, inklusif, pluralis dan multikulturalis dalam kontek kekinian?
Sampai malam menjelang turunnya Al-Quran, aku tidak menemukan jawaban yang sedang aku cari, dan di malam tepat dimana Al-Quran diperingati tahun turunnya. Menjelang tengah malam aku tertidur di kursi ruang tamu rumahku, itu setelah mata mulai letih membaca Rekontruksi falsafah Iqbal. Tiba-tiba ada yang sakit dan membesar di alat intimku, itu pertanda ginjal masih berjalan norman menyaring kepala muda yang masuk sore tadi. Aku bangun menuju rungan sentral pembuangan kotoran satu-satunya dirumahku. Ketika aku keluar dari ruang 3 m², aku dikejutkan dengan seseorang yang sedang duduk bersila diruangan sholat.
Orang tua berumur 75 tahun berpakaian haji warnah putih dan bersarung motif kotak-kotak, baju dalam berwarna putih berlengan panjang dilapisi jaket jas rombi hitam bercorak samar-samar tulisan Arab, sorban melingkar di kepalanya, sorat matanya tajam tetapi teduh, badannya kekar, masih tersisa otot-otot yang ditutupi oleh kulitnya yang mulai keruput, dari gerak geriknya nampak pergerakannya masih lincah tetapi tidak ada tasbih ditangannya. Aku tahu dia adalah kakekku, bapak dari ibuku namanya kecilnya Tihi, kami mengenalnya dengan Haji Syamsudin, nama yang disematkan ketika dia menunaikan haji di tahun 1959. Dia tidak hanya guru silat tetapi giat mengajari ilmu-ilmu “kajian dalam” tentang agama, menyebarkan ilmu tasawuf ketika dia masih hidup dan dialah yang pertama kali membangun Masjid permanen di kampungku. Bangunan masjid yang dibangun dengan tangannya itu, aslinya sangat kuat dengan symbol perpaduan dan ikatan adat dengan agama, terdapat satu tiang utama sebagai penyanggah empat tiang lainnya. Ini symbol dan tanda adat tiang pat lima dengan raja, dan dia tidak marah ketika orang menafsirkan tiang utama itu adalah sholat lima waktu sebagai tiangnya agama. Semasa muda dia berkelana dan belajar dengan banyak guru, dia sangat fasih menjelaskan ajaran Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah, Thariqah ini merupakan perpaduan dari dua buah tarekat besar, yaitu Thariqah Qadiriyah dan Thariqah Naqsabandiyah yang didirikan oleh seorang Sufi Syaikh besar Masjid Al-Haram di Makkah al-Mukarramah bernama Syaikh Ahmad Khatib Ibn Abd.Ghaffar al-Sambasi al-Jawi. Inti pokok ajarannya adalah sama-sama menekankan pentingnya syari'at dan menentang faham Wihdatul Wujud, menuntun pada kesempurnaan suluk.
Dia tersenyum padaku tetapi masih dalam posisi duduk bersila mengarah ke kiblat, aku mendatangi lalu mencium tangannya, kemudian memeluk dia dalam-dalam dan dialah satu-satunya yang paling ingin aku temui dan aku rindukan sepanjang hidupku. Dari setiap doa habis sholatku, doaku konsisten “Tuhan jika Kakekku H. Syamsudin di alam kubur mendapat siksa mohon Engkau lapangkan, kalau mendapat berkah mohon Engkau tambahkan” sederhana saja. Malam ini dia datang kerumahku, kami duduk berhadap-hadapan seperti “murid putus guru”, ritual makan bersama satu piring ketika muridnya selesai belajar silat. Karismanya yang luar biasa menaburi seluruh tubuhku, aku bemancarkan cahaya yang dipantulkan tubuhnya. Dia tersenyum seperti kakek yang ingin menyampaikan sesuatu kepada cucu kesayangannya.
“Wahyu sesungguhnya merupakan petunjuk dari Allah yang diturunkan hanya kepada para nabi dan rasul dan konteks sistem serta persepsi yang terkandung didalamnya sangat komprehensif, baik dari segi teologis, sosiologis maupun filosofis” dia mulai membuka pembicaraan, sepertinya dia tahu apa yang sedang aku pikirkan akhir-akhir ini. Aku tidak bisa jawab, aku masih menikmati rasa rinduku yang sangat dalam, seumur hidupku aku hanya mendengar cerita-cerita tentang perjalan hidupnya. H. Syamsudin muda pernah di penjara oleh Pemerintahan Belanda karena melakukan pemberontakan dan menolak membayar pajak, sampai mati di betisnya bersarang peluru yang keluar dari moncong senapan gerombolan milisi PRRI, dia marah ketika milisi PRRI membakar kampungnya. Ah, Ingin rasanya aku tidur di atas silangan kakinya, atau mau aku pijit betisnya yang lincah, kuda-kuda betisnya sangat kukuh sekaligus lincah. Dia pernah sekali waktu beradu ilmu dengan pesilat nomor wahid bersuku Minang, gempuran serangan silek sahabatnya Sutan Basa mampulah dia kendalikan, mereka berdua penganut aliran ilmu silek Harimau.
“Wahyu” katanya, kali ini intonasinya seperti kakek yang sedang mendogeng sesuatu dengan cucunya.
“Wahyu mempunyai keistimewaan bila dibandingan dengan sesuatu yang bukan wahyu, wahyu melampui batas kapasitas umatnya baik dari segi Bahasa maupun tema yang diangkat, seperti kiamat, hal-hal gaib dan yang berkaitan dengan dimensi ketuhanan” katanya.
Aku terdiam, membayangkan seperti ini dulu dia mengajari murid-muridnya tentang”kajian dalam”, “berdirinya zat pada sifat” atau ketika membedah ‘sifat 20”. Pengenalan atas Tuhan, yang dasar tentang eksistensi Tuhan berlandaskan atas argumen kosmologis, teleologis dan ontologis. Titik berangkat kosmologinya yang memandang dunia sebagai sebuah akibat-terbatas, melintas deretan rangkaian yang tergantung, terhubung sebagai sebab-akibat dan berhenti pada sebab pertama yang tak bersebab, lantaran kemustahilan tasasul tanpa ujung.
“Secara sosiologis” dia melanjutkan, “Al-Quran merupakan ayat-ayat yang tidak terpisah dari kontek masyarakat. Bila kamu membaca Al-Quran dengan baik maka akan ditemukan bahwa metode yang digunakan Al-Quran adalah metode komunikatif, saling dapat berhubungan sehingga pesan yang disampaikannya dapat diterima dng baik.” Aku masih belum bisa berpikir, suaranya pelan berkarisma. “Dan, secara filosofis, Al-Quran itu selalu menentang manusia untuk berpikir dan merenungi di balik penciptaan alam. Lebih dari 300 ayat yang menceritakan pentingnya berpikir” katanya yang aku tahu dia adalah penghapal Al-quran.
“Berarti umat islam perlu memikirkan upaya rekontruksi keistimewaan Al-Quran dalam dimensi yang lebih lagi?” Tanyaku berani, karena dari gestur dan pilihan kalimatnya dia tidak ingin menguruiku, dia mau komunikasi kami setara. Karena begitulah adat dan pola komunikasi Masyarakat Suku Rejang, komunikasi yang demokratis, komunikasi yang dua arah, non-patronase apalagi mendominasi kebenaran.
“Iya.”
“Al-Quran sejak awal telah mengugah manusia untuk senantiasa membaca dan menelaan ketauhidan Tuhan. “bacalah dengan nama Tuhanmu yang telah menciptakanmu. Yang telah menciptakanmu dari segumpal darah. Bacalah dengan nama Tuhanmu yang maha mulia. Yang mengajari dengan Qalam. Yang mengajari manusia tentang hal-hal yang tidak diketahui. Itu yang dia firmankan dalam surat Al-Alaq (96), 1-5.” Kata-katanya terkesan teleologik-dialegtik. Dia mencoba mengajak aku meninjau jeka-jejak pandangan, tujuan, adaptasi alam, argument ini menyimpulkan adanya wujud yang sadar diri dengan kecerdaasan dan kekuasaan tak terhingga.
Aku mulai memancing tetapi dengan gaya komunikasi melingkar. “Jika kita membaca itu adalah teks,” aku berhenti. Dan berpikir bukankah dalam ayat ketiga Al-Alaq ini mengandung arti tentang mengenali, mengidentifikasi, mengklasifikasi, membandingkan, menganalisa, menyimpulkan, membina, dan membuktikan.
“Bukankah, karakter teks ini mengandung dua unsur penting yaitu pesan (parole) dan Bahasa (lengue)” dia tersenyum senang sampai tampak giginya yang putih mungkin karena aku mulai merespon. Dan aku malu sendiri karena mulai menonjolkan arogansi intelektual, tabiat bawaan cucu kesayangannyan muncul.
“Sebuah teks bisa melahirkan berbagai makna, yang tidak hanya mengacu pada unsur kebahasaan tetapi juga mengacu pada kontek pembaca dan disiplin ilmu tertentu.” Karena itu, lanjutku. Al-Quran sebagai teks mempunyai karateristik yang sangat menonjol, yaitu kemungkinan munculnya aneka ragam makna, baik dilihat dari sudut pandang linguistic maupun dari sudut pandang sosilogis dan fenomenologis.
“Para ulama terdahulu dalam memahami Al-Quran senantiasa menggunakan dua sudut pandang dalam memahami teks yaitu secara etimologi dan terminologis. Dan, secara umum teks Al-Quran mempunyai dua wajah makna yaitu makna etimologis dan terminologis. Nah, maka kedua makna tersebut senantiasa diangkat ke permukaan, baik dalam rangka menyambungkan keduanya atau mencari makna yang bersifat distingtif atau bersifat membedakan antara satuan Bahasa.” Aku tercengang, dia paham juga rupanya dengan Karakter Teksnya Ferdinand de Saussure. Dia tahu, aku masih binggung dengan penjelasannya meski dengan Bahasa sederhana.
“Begini penjelasan,” sambungnya.
“Secara Bahasa, al-shalat berarti al-dzikr, yaitu mengingat Tuhan. Makna etimologis seperti ini sesungguhnya mempunyai kontek tersendiri, karena agama-agama samawi sebelum Islam juga mempunyai praktik shalat menurut ajarannya masing-masing. Yahudi dan Kristen juga mempunyai ritual shalat tetapi, ketika shalat dikhususkan dalam kontek Islam, maka shalat berarti perbuatan yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam wajib dilaksanakan lima kali dalam sehari.” Jelasnya memberikan contoh yang mudah aku pahami.
“Maka, itulah kemudian di sebut dengan pengetahuan sehingga manusia yang hidup yang mampu menyergabnya dan merebutnya dari kekayaan kehidupan yang tidak terlibat didalamnya,” aku suka dengan pilihan kata menyergap dan merebut, kata yang biasa digunakan dan dipraktekkan oleh para pesilat tangguh, berubahlah posisi dudukku, seperti elang yang akan menangkap ikan, darah pesilat yang mengalir ditubuh kakekku ini memicu sistem peredaran darahku membentuk sistem kardiovaskular. Ini akibat pengaruh titis guru, keturunan geneolgis.
“Karenanya fenomena pembacaan teks merupakan aktivitas transformasi dan bimbingan batiniah dan lahiriah manusia dan tujuan hakiki manusia?” potongku seperti membaca mantera langkah satu ketika turun silat, tersenyum lagi dia, dia tahu maksud pertanyaanku itu basisnya adalah Bacalah dalam Surat Al-Alaq.
Aku melanjutkan, “Sungguh, dilihat dari fungsinya, agama sangat membutuhkan landasan rasional dalam prinsip-prinsip pokoknya ketimbang digma-dogma sains. Sains bisa saja mengabaikan metafisika rasional; dan memang sejauh ini ia telah mengabaikannya.”
“Di dalam Al-Quran paradigm seperti itu dikenal dengan kekhususan- kekhususan yang menglingkup sebuah teks” jelas dia bijak.
Dia mulai menjelaskan dan mengikuti cara berpikirku. “Seperti teori sebab-sebab turunnya Al-Quran atau asbab al-nuzul dan nasikh wa al-mansukh. Para ulama berpendapat bahwa sebuah pembacaan teks yang kemudian melahirkan tafsir tidak hanya merujuk pada isi sebuah teks, termasuk di dalamnya ada kalimat, melainkan merujuk kepada aspek-aspek sosiologis yang telah turut serta dalam melahirkan sebuah teks,” dia pandang dalam-dalam wajahku.
“Konsekwensinya adalah bahwa teks tidak berdiri sendiri, ia bergulat dan berkomunikasi secara intensif dalam konteks. Dalam teks terdapat unsur konteks, begitu juga sebaliknya.”
“Kalaulah tidak, paling tidak merujuk pada asbab al-nuzul dan nasikh wa al-mansukh, akibatnya yang muncul bukanlah pandangan-pandangan yang otoritatif, melainkan pandangan otoriter. Mereka sebenarnya bukan berbicara tentang Tuhan, akan tetapi berbicara atas nama Tuhan” katanya.
Aku berkedip, dia seketika hilang dari pandanganku. Aku menangis tersedu, seperti bayi lapar yang di tinggali ibunya. Tersentak bangun, ternyata aku masih tidur di kursi ruang tamu rumahku. Aku masih sangat rindu dengan H. Syamsudin, rindu dengan persepsi dia tentang manusia, rindu dengan kalimat indahnya “Jika hatimu tak terperdaya fatamorgana, jangan engkau bangga dengan tajamnya pengetahuanmu; karena kebebasanmu dari ilusi penglihatan ini disebabkan dahagamu yang tak sempurna”. Tetapi, kenapa dia mendatangaiku dalam mimpi tapi seakan nyata dimalam Nuzulul Quran, apakah ini karena kefasifan, situasi mistik dikondisikan oleh beberapa tindakan pendahuluan yang dilakukan secara sengaja akibat dos sederhanaku? sehingga membuat hasratku sementara menghilang dan merasa direngkuh dan dikuasai oleh suatu kekuatan yang lebih tinggi.
Aku yakin disana matanya tetap tertuju padaku, seraya berdoa semoga cucunya ini ketika mendapatkan wawasan tentang kedalaman kebenaran itu haruslah digali melalui diskursif empat tangga menuju makrifatulah. Bukankah pengetahuan yang meyakinkan, yang hakiki, haruslah dibangun di atas dasar keyakinan yang sempurna (haqq al-yaqin). Ia tidak didapat lewat pengalaman inderawi, juga tidak lewat penalaran rasional, tetapi semata lewat kemurnian qalbu yang mendapat ilham atau limpahan nur dari Tuhan sebagai pengalaman kasyfiy atau ‘irfaniy. Teori pengetahuan sufi ini dipandang telah ikut aktif dalam kehidupan nyata secara seimbang antara tuntutan pribadi dan sosial, antara jasmani dan ruhani.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar