Hikayat Jung dalam Sejarah Rejang - Erwin Basrin

Breaking

Recent Posts

 photo Untitled-1_1.jpg

Sabtu, 04 Juni 2022

Hikayat Jung dalam Sejarah Rejang



Rejang berasal dari kata Merajang pati yang diambil dari kata Jang atau Jung merujuk pada perahu besar. Syahdan, ketika Bikau Bembo yang dipercayai salah seorang anak dari Zulkarnaene melakukan pelayarannya dari kerajaan Rum dia merajang pati membelah samudera. Perahunya bertambat di tanah Majapahit sebelum melanjutkan layarnya menuju Batuen, dari Banteun Bikau Bembo menuju Pagaruyung. Bersama Bikau Bermano, Bikau Sepanjang Jiwo dan Bikau Bejenggo dan lengkaplah mereka berempat berlayar menyusuri pantai menuju “muara yang berat”. Dari tubir muara yang berat, haluan layar Jung berlayar menuju Renah Sekalawi, setelah mengukir hati dan jantung kerbau bersama Ajai Bitang, perjalanan dilanjutkan ke hulu dari muara yang berat, hulu sungai Ketahun. Hingga, mereka bersepakat dan bersumpah semayo dengan Ajai Siang.

 

Ingatan-ingatan arkaik mengenai perjalanan panjang Bikau Bembo  mengarunggi lautan terekam jejaknya dalam setiap generasi purbawi suku Rejang. Cerita-cerita perjalanan tersebut merupakan cerminan endapan paling dasar dari kenangan samar-samar akan migrasi laut yang ditempuh leluhur masyarakat Rejang. Migrasi sesungguhnya tidak bisa terhapus bayang-bayangnya sampai kapanpun dalam sedimentasi alam pikir kebudayaan Rejang. Peryataan, pola prilaku serta prototip dilekatkan dengan kenangan samar-samar tersebut. Ungkapan “berkirim surat kelaut”, ritme gemuruh ombak dalam ketukan kelintang, sampai pada objek fisik bangunan berbentuk perahu, perahu sebagai metafora kendaraan suci dalam wujud wahana berjuru mudi agar arwah tidak tersesat adalah bentuk cerminan dari arketip.  

 

Jika di tarik garis sejarah, jauh sebelum tradisi hindu dan budha. Suku Rejang yang kemudian menjadi agraris sesungguhnya memiliki kultur laut yang begitu dalam. Jauh sebelum dongeng-dongen Jataka, kisah fabel dari India yang melukiskan pelayaran berbahaya menuju negeri Svannabhumi, jauh sebelum Pepirus of the Erythrean Sea sebuah teks Yunani menyebut Chryse atau Asia Tenggara dan jauh sebelum Ptolemaus menyebut Javadwipa. Orang-orang Rejang sudah memiliki keterampilan bahari dalam bentuk pengetahuan astronomi.

 

Bahkan, jauh sebelum Sriwijaya menjadi negara maritim. Orang-orang Rejang yang disebut sebagai orang hulu yang mendiami wilayah Renah Sekalawi telah melakukan ikatan kebudayaan yang kuat dengan negeri Selebar Daun. Relasi-relasi purbawi ini diikat dengan tradisi perarian dan bahari, Walai Macung merupakan pimpinan pasukan pengamaan laut atau Hulubalang Laut yang dalam tradisi Rejang yang dibentuk sejak zaman Makedum Rajo Diwo. Tradisi bahari, sebagaimana di ceritakan dalam epos Bujang Tungea dalam cerita kepahlawanannya menaklukan sang naga dari “pusat laut” dan menghancurkan kapal perang milik Rajo Agat Garang. Cerita-cerita bernuansa bahari telah tumbuh jauh sebelum kisah-kisah perang Mahabarata dan Ramayana yang berkosentrasi pada alam darat yang tidak memiliki pengalaman bahari.

 

Kedatangan penjelajah dengan niat berlayar bukan untuk membangun kemitraan sejajar, tetapi untuk menguasai sumber-sumber daya. Laut, sungai ditafsirkan oleh mereka sebagai zona ekonomi. Kapal-kapal mereka berlomba berkompetisi membawa sebanyak-banyaknya sumber-sumber yang di sediakan oleh zona ekonomi. Perjanjian Tordesillas yang menyepakati garis meridian berdampak pada mata uang “real” atau reais sebagai alat tukar yang kemudian di kenal dalam sejarah purbawi Rejang. Reais atau real adalah bentuk peninggalan dari relasi ekonomi yang dibangun secara tidak setara dengan pendatang dari Portugis.


 

Sebagai mana penaklukan Run dan disepakatinya perjanjian Breda hanyalah salah satu tragedi bahari yang berlahan menghapus praktek-praktek bahari. Perubahan orientasi dari maritim ke kontinental berlahan begeser. Perjanjian Giyanti antara VOC dan Kerajaan Mataram. Perjanjian 1866 di Topos Lebong antara konselor Belanda Prijs van der Hoeven dengan Ratu Salam Pesirah Jurukalng yang mempresentatif Suku Rejang merupakan perjanjian yang memaksa orang Rejang berorientasi agraris. Perjanjian ini memaksa hasil bumi suku-suku asli termasuk Rejang harus dijual kepada dan menggunakan kapal-kapal Penjajah dalam pelayaran hasil bumi. Sejarah bahari mengalami perkembangan dimanis setelah masa penaklukan atau penjajajahan, pandangan baru terhadap laut semakin menyempit, res communis telah bergeser akibat munculnya teritorialisasi laut oleh negara yang memiliki laut.


 

Orang Rejang masih merekam jejak generasi purbawi mereka, Rejang tetaplah Jung. Kapal. Axis mundi mereka tetap perairan, perairan yang menghubungkan antara sungai dan laut sebagai basis relasi purbawi. Mereka tetap dipengaruhi oleh jiwa zaman purbawi. Boleh saja perahunya pecah dan terombang-ambing oleh ombak namun pangkatan masih kokoh dan kuat di terjang ombak yang silih berganti datang seraya menunggu perahu atau Jung bertaut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar