Rejang berasal dari
kata Merajang pati yang diambil dari kata Jang atau Jung merujuk pada perahu
besar. Syahdan, ketika Bikau Bembo yang dipercayai salah seorang anak dari
Zulkarnaene melakukan pelayarannya dari kerajaan Rum dia merajang pati membelah
samudera. Perahunya bertambat di tanah Majapahit sebelum melanjutkan layarnya
menuju Batuen, dari Banteun Bikau Bembo menuju Pagaruyung. Bersama Bikau Bermano,
Bikau Sepanjang Jiwo dan Bikau Bejenggo dan lengkaplah mereka berempat berlayar
menyusuri pantai menuju “muara yang berat”. Dari tubir muara yang berat, haluan
layar Jung berlayar menuju Renah Sekalawi, setelah mengukir hati dan jantung
kerbau bersama Ajai Bitang, perjalanan dilanjutkan ke hulu dari muara yang
berat, hulu sungai Ketahun. Hingga, mereka bersepakat dan bersumpah semayo dengan Ajai Siang.
Ingatan-ingatan
arkaik mengenai perjalanan panjang Bikau Bembo
mengarunggi lautan terekam jejaknya dalam setiap generasi purbawi suku
Rejang. Cerita-cerita perjalanan tersebut merupakan cerminan endapan paling
dasar dari kenangan samar-samar akan migrasi laut yang ditempuh leluhur
masyarakat Rejang. Migrasi sesungguhnya tidak bisa terhapus bayang-bayangnya
sampai kapanpun dalam sedimentasi alam pikir kebudayaan Rejang. Peryataan, pola
prilaku serta prototip dilekatkan dengan kenangan samar-samar tersebut. Ungkapan
“berkirim surat kelaut”, ritme gemuruh ombak dalam ketukan kelintang, sampai
pada objek fisik bangunan berbentuk perahu, perahu sebagai metafora kendaraan
suci dalam wujud wahana berjuru mudi agar arwah tidak tersesat adalah bentuk
cerminan dari arketip.
Jika di tarik garis
sejarah, jauh sebelum tradisi hindu dan budha. Suku Rejang yang kemudian menjadi
agraris sesungguhnya memiliki kultur laut yang begitu dalam. Jauh sebelum
dongeng-dongen Jataka, kisah fabel dari India yang melukiskan pelayaran berbahaya
menuju negeri Svannabhumi, jauh sebelum Pepirus
of the Erythrean Sea sebuah teks Yunani menyebut Chryse atau Asia Tenggara dan jauh sebelum Ptolemaus menyebut
Javadwipa. Orang-orang Rejang sudah memiliki keterampilan bahari dalam bentuk
pengetahuan astronomi.
Bahkan, jauh
sebelum Sriwijaya menjadi negara maritim. Orang-orang Rejang yang disebut
sebagai orang hulu yang mendiami wilayah Renah Sekalawi telah melakukan ikatan
kebudayaan yang kuat dengan negeri Selebar Daun. Relasi-relasi purbawi ini diikat
dengan tradisi perarian dan bahari, Walai Macung merupakan pimpinan pasukan
pengamaan laut atau Hulubalang Laut yang dalam tradisi Rejang yang dibentuk
sejak zaman Makedum Rajo Diwo. Tradisi bahari, sebagaimana di ceritakan dalam
epos Bujang Tungea dalam cerita kepahlawanannya menaklukan sang naga dari “pusat
laut” dan menghancurkan kapal perang milik Rajo Agat Garang. Cerita-cerita
bernuansa bahari telah tumbuh jauh sebelum kisah-kisah perang Mahabarata dan
Ramayana yang berkosentrasi pada alam darat yang tidak memiliki pengalaman
bahari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar