Eric Hobsbawm pada tahun 1994 menulis bahwa perubahan paling dramatis dalam paruh kedua abad (kedua puluh) yang untuk selamanya memisahkan kita dari dunia masa lampau, adalah kematian petani. “the death of peasantry” ujar sejarawan Britania dalam karya terkenalnya Age of Extremes. Kematian petani sebagaimana ditulis Eric Hobsbawm, salah satunya diakibatkan oleh kekuatan ekonomi politik yang bekerja pada tingkat global dan menghasilkan kecenderungan pengurangan jumlah kelas petani di pedesaan serta semakin kecilnya pengaruh pedesaan pada kehidupan rakyatnya. Deagrarianization semakin menunjukkan kecilnya andil kerja-kerja dari dunia agraris bagi ekonomi rakyat, perubahan orientasi hidup, identifikasi sosial, dan perubahan lokasi hidup.
Bentuk nyata dari Deagrarianization adalah penangkapan 40 orang petani yang tergabung dalam Perkumpulan Petani Pejuang Bumi Sejahtera (PPPBS) yang sedang berjuang menyusun sistem penghidupan agraris dengan menguasai lahan terlantar perkebunan kelapa sawit milik PT Bina Bumi Sejahtera (BBS). Yang ditelantarkan sejak 17 tahun lalu. Mereka di paksa dan ditetapkan sebagai tersangka atas tuduhan tindak pidana pencurian. Dan itu setelah puluhan tahun kampung halaman mereka di porak-poranda hanya untuk melayani cara hidup masyarakat kota, termasuk melayani kaum elite pemilik modal yang hidup di kota-kota dan berjaringan satu sama lain. Berjejaring dangan pemilik kuasa dan pemilik senjata.
Tanah itu pada dasarnya adalah milik masyarakat. Itu yang acapkali disampaikan oleh Sekretaris Jenderal PPPBS, Lobian Anggrianto. Orang seorang berhak menggunakannya, sebanyak yang perlu baginya serta keluarganya, tapi dia tidak boleh menjualnya. Jika dia tidak menggunakannya lagi, tanah itu jatuh kembali kepada “masyarakat” yang akan membagikannya kembali kepada yang membutuhkannya. Tapi bagi kaum elit pemilik modal, tanah itu bisa saja beralih hanya dengan pinjam pakai. Secara de jure bisa saja tanah dimiliki oleh PT Bina Bumi Sejahtera (BBS) secara de facto beralih tangan kepada PT Daria Dharma Pratama melalui meja notaris. Luasnya tidak main-main, 1.889 Ha dimiliki oleh satu orang elit pemilik modal. Padahal, kita tahu pemilikan tanah yang sangat luas oleh seseorang bertentangan dengan dasar perekonomian yang adil.
Hipotesanya adalah siapa yang mampu menguasai tanah yang luas dengan mutu lahannya lebih baik maka akan memperoleh surplus diatas biaya, dengan demikian pihak yang memiliki atau menguasai tanah yang lahannya luas dan bermutu tinggi, memperoleh banyak keuntungan dari tekanan antara kebutuhan dan permintaan yang semakin meningkat. Sebaliknya, siapa yang tidak mempunyai, memiliki atau menguasai tanah dengan mutu yang baik akan semakin tertekan oleh tekanan hidup yang muncul. Postulat sederhana dari kasus yang terjadi di Malin Malin Deman Kabupaten Mukomuko ini adalah merubah keakayaan alam menjadi modal dalam ekonomi produksi kapitalis dan kaum petani yang dulunya pemilik lahan diubah menjadi buruh tani.
Di sepanjang empat dasa warsa, jejaring antara elit pemilik modal dengan pemilik kuasa dan pemilik senjata telah berhasil melakukan perubahan yang mendasar pada formasi social. Negara melalui Pemerintah telah berhasil memfasilitasi bagi berlakunya hukum akumulasi modal. Bangkitnya modal (rise of capital), di satu sisi menghasilkan suatu proses pertumbuhan swasta yang didominasi oleh konglomerasi. Modal besar untuk datang dengan alasan “memperluas kesempatan kerja”, “memperbesar pemasukan devisa negara ,“memperkecil kesenjangan regional”, serta masih banyak bentuk propaganda lainnya.
Proses fasilitasi pemerintah juga dilakukan dengan pembangun infrastruktur yang masif untuk mendapatkan distribusi surplus, baik pemasukan resmi negara atau dalam bentuk yang biasa disebut sebagai rente illegal (illegal rent). Pasokan surplus yang besar jelas diperlukan negara untuk operasional institusi-institusi dan personalia mesin bernama negara.
Memisahkan petani dengan tanah, memporak-poranda ruang hidup masyarakat agraris adalah mengantarkan petani menuju kematian. Keadaan kian memburuk yang akan dialami oleh petani ketika terjadi kondisi krisis (gangguan alam maupun sosial). Petani yang berhimpun dalam PPPBS mempunyai wataknya sendiri dalam bentuk subsistensi yang berbeda dengan kalkulasi kapitalis. Dalam situasi dan terjadi kondisi krisis, rumah tangga ‘mereka’ dipaksa memaksimalkan tenaga kerja yang ada (intensifikasi) hanya untuk sekedar memenuhi kebutuhan minimal.
Dalam Politik Agraria, permasalahan diatas adalah permasalahan pokok yang ingin dipecahkan. Politik agraria memastikan bahwa tanah tidak boleh menjadi alat kekuasaan orang-seorang untuk menindas dan memeras hidup orang banyak. Reforma agraria menciptakan keadilan sosial yang ditandai dengan adanya keadilan agraria yang dimaknai sebagai suatu kondisi dimana struktur penguasaan tanah tidak memperlihatkan ketimpangan, memberikan peluang bagi terciptanya penyebaran dan penguatan aktivitas perekonomian rakyat yang berbasis di pedesaan oleh petani.
Hubungan struktur agraria (lahan) dan kesejahteraan petani dalam kontek masyarakat petani Malin Deman adalah sangat erat karena bagi para petani, sumberdaya agraria (lahan) merupakan sumber nafkah utama. Hubungan ini melahirkan tindakan mereka sejak lama dalam ke-agraria-an dalam bentuk dimensi kerja dan interaksi. Dari dua dimensi ini secara deduktif dirumuskan dalam proposisi dasar subjek agraria (petani) memiliki hubungan teknis dengan obyek (tanah) dalam bentuk kerja pemanfaatan berdasar hak penguasaan (land tenure) dan subjek agraria satu sama lain berhubungan atau berinteraksi secara sosial dalam rangka penguasaan dan pemanfaatan objek agraria.
Fasilitasi yang masif oleh Pemerintah yang menyampaikan
keharusan-keharusan bagaimana kebijakan dan fasilitas pemerintah diarahkan
untuk mempermudah para perusahaan besar untuk dan memperbesar kapasitas
produksi komoditas-komoditas global, mensirkulasikannya, dan “menjual belikan”
kebijakan penguasaan lahan sedemikian rupa adalah bentuk dari percepatan bagi kematian
petani.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar