Sepuluh Tahun Sudah - Erwin Basrin

Breaking

Recent Posts

 photo Untitled-1_1.jpg

Selasa, 21 September 2021

Sepuluh Tahun Sudah



Terima kasih kau telah buat aku secangkir kopi pada pagi itu, dan itu sudah sepuluh tahun sudah. Duduklah disampingku kemudian bersandarlah pada bahu yang kulit-kulitnya tidak seperti dulu, dan sekarang mari kita bicarakan kata-kata yang mulai berserakan yang seperti debu saja,  berterbangan ketika angin itu datang dan mari kita susun menjadi sebuah kalimat tanpa koma dan tanpa titik.

Sepuluh tahun sudah, kita jadikan komitmen tetap menjadi komitmen yang beralaskan pada akad, tak pedulilah kita pada debu yang berserakan dan duan-daun yang berguguran. Biarkan saja. Marilah tersenyum dan itu ternyata mampu meringankan duka dan lara. Kita keraskan saja hati kita, seraya berharap redupnya bulan seperti sebilah keris pusaka yang haus akan darah pada dewaDan pasti kita akan selalu hadir pada saat kita saling membutuhkan dan kemudian berpeluk dalam kedamaian. 

Sepuluh tahun sudah. Pada tidur malamku itu ada kamu disampingku, dan ketika mata kita mulai tertutup pasti saja kita tidak mau pelanggi itu mulai memudar. Kemudian sambil terlelap kita tetap biarkan gemercik cinta dan dendang keindahan sambil menikmati sentuhan dan pelukan lembut cinta dan aroma wangi kehindahan.

Ternyata Sepuluh tahun sudah. Kita masih hidup dengan jiwa, anak dari cinta dan keindahan. Pada suatu ketika berdirilah aku depan jendela kaca pintu rumah kita. Rumah yang kita bangun dengan tangan dan jari-jari kita, aku melihat diriku melihat dirimu, kemudian berlahan menghilang dan bayang itupun muncul. Dan memandang dengan tatapan sendu ke dalam diriku. Lalu pada malam itu, dalam kamar disamping patung bunda maria dan dalam gelap senyap berlahan kusentuh bening kaca itu dengan kelembutan jari kasarku, sepi bergayut pada senandung dalam jiwa yang pekat hitam. Telinga-telinga mendengar tawa padang-padang titik-titik embun malam yang terbang terbawa angin dari puncak ceremei.

Berdoa saja, berharap pintu itu terbuka lalu datanglah wahai bayangan itu. Mari reguk air mata embun yang menetes dari pelupuk malam sambil kita berpelukan seperti pada malam pertama itu dan pasti kita dengar gurauan jiwa seiring dengan sejuk segar desah napas angin. Aku dengar desahan berlahan dari dalam bayang itu. bayang yang datang pada malam itu. Dan itu harapku adalah desahan kamu. Desahan yang dibawa angin sayup terdengar.

Sepuluh tahun sudah, engkaupun telah menjadi racun dalam darahku, yang dipompa kemudian masuk dalam setiap sel darahku. Tanpa kamu sepi dan rinduku. Aku seperti malam tak berbintang, seperti tungku tanpa api.

Dan angin itupun yang membawa gurauan jiwa melalui gelap malam. Bayangan itupun bersenandung, janganlah melipat sayapmu bila melalui pintu. Tidak pula tundukan kepala takut terantuk kayu dan tak perlu pula kau harus bernafas cemas. Mengkwatirkan nafas membuat dinding retak atau retas, Mari kita berpandangan sebelum mata kita terlelap belailah aku dengan lembut dengan jemari kasarmu dan peluklah. Biar saja ranjang reot itu memeluk jiwa kita sampai kita terlelap dalam kesatuan seperti malam itu.

Cibubur, 09:32, 09 Mei 2014 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar