“Warga desa pada intinya tidak harus menunggu wartawan, mereka juga bisa menjadi pewarta, mengabarkan informasi dengan perspektif mereka sendiri agar lebih orisinil dan akan jauh lebih menarik apabila dikembangkan untuk memberitakan tentang hal yang akan di angkat dari desanya untuk masyarakat luas.” Harry Siswoyo, Ketua Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) Bengkulu.
Jumat, 25 Desember 2020 jam menunjukan angka 17.12
ketika hempasan angin laut ujung lancang berputar menyapa ingin bersua,
dahan-dahan Ketapang bergoyang-goyang seiring irama alam, ranting-ranting kecil
saling berpegangan dalam diam. Sehelai daun menampar diam ketika kami duduk di
teras sebuah ruang penginapan di tepi pantai. Sore mulai menyambut sela
menjelang senja, anak-anak berkecipak bermain riang dimainkan ombak, dan
nelayan pulang dengan setetes harapan menjadi berkah setelah seharian mendayung
gerak perahu.
“Nama Laguna ini di diberikan oleh Pengelola pertama
yang berasal dari Lampung, nama lokalnya Ujung Lancang” Cerita Pak Darwis
berbaju kaos singlet, celana pendek dengan jam yang kebesaran di tanganya yang
kurus. Dengan ramah dan senyum yang di hiasi kumis tipis, pemilik penginapan
meyuguhkan kopi kepada kami.
Dulu saya adalah nelayan tradisional, setelah melihat potensi pariwisata saya mulai membangun gubuk-gubuk tempat pelawat stirahat dan menginap. “Berlahan para pelawat mulai rame, mereka wisatawan keluarga dan sebagian besarnya datang dari Sumatera Selatan. Mereka tertarik dengan pasir, lautnya yang jernih dengan ombak yang tenang, karena semakin rame beberapa keluarga asli Merpas mengklaim lahan ini adalah milik keluarga mereka.” Tambah Pak Darwis meyakinkan kami untuk menghabiskan malam di pantai yang sekarang di swakelola oleh Pemerintahan Desa kepada pihak ketiga, Pak Darwis adalah salah satu diantara pihak ketiga itu.
Pagi Sabtu, 26 Desember 2020 kami dibangunkan oleh hempasan ombak yang beriringan untuk cepat sampai di pantai, lalu menghempaskan dirinya ke pesisir pantai Laguna, walau tak semua hempasannya sampai ke tepian, terkadang mereka merelakan diri menerjang tubir-tubir karang yang ponggah. Setelah berkemas, kami bergegas menuju Balai Desa. Selama dua hari, kami akan menghabiskan waktu bersama 23 orang warga Merpas untuk berlatih menjadi pewarta. Balai desa yang terletak di tepi tebing membatas desa sudah dipersiapkan dan dipenuhi oleh calon pewarta, 8 orang perempuan dan 15 laki-laki. Mereka menanti dengan riang, guratan-guratan wajah mereka yang tertangkup masker mengalamatkan kerinduan dan menyapa kami dengan akrab. Hampir semua perserta sudah kami kenal pada kegiatan-kegiatan sebelumnya.
Kami membawa Harry Siswoyo, sang Pedagog dan Koordinator Aliansi Jurnalis Independen (AJI) wilayah Bengkulu. Demikian kami perkenalkan secara singkat dengan Kepala Desa Merpas yang kali ini masih konsisten dengan baju batik kebanggaannya. Pria kurus berambut gondrong ini sebagai kawan belajar para calon pewarta. Pak Kapala Desa tersenyum akrab sambil melirik Sekretaris Desanya yang selalu sibuk menyiapkan setiap kegiatan kami di kantornya. Kantor Desa Merpas.
Jam menunjukan pukul 09.45. Kepala Desa Merpas, Amir Hamzah S.Pd yang selalu datang tepat waktu setiap kami melaksanakan acara di desanya dan tetap bersedia membuka acara yang kali ini kami beri tajuk “Jurnalisme Warga” yang tujuannya tidak menjadikan masyarakat hanya menjadi konsumen media tapi juga bisa terlibat dalam proses pengelolaan informasi. “Kami senang Akar Foundation masih konsisten bersama-sama dengan kami, membuat kami cerdas setelah sebelumnya kami juga di latih tentang advokasi, semoga di depan harapan kita tentu saja semoga semakin baik masa depan kita, masa depan laut kita, masa depan nelayan kita,”
“Marilah kita ikuti pelatihan menjadi pewarta, menjadi wartawan. Karena ini menjadi penting, informasi yang benar itu penting” Jelasnya sambil menceritakan pengalamannya yang pernah di peras oleh wartawan gadungan akibat dari kurangnya pengetahuan tentang isu dan seputar jurnalisme.
Erwin Basrin yang duduk disamping Kepala Desa, segera menimpal Pak Kades. Dengan ramah dia sampaikan secara singkat tentang Jurnalisme Warga. Lokalatih Jurnalisme Warga yang kali ini diselenggarakan tujuannya untuk menjadikan warga sebagai pewarta, melibatkan warga dalam peliputan, membuat, mengawasi, mengoreksi, menanggapi, atau setidaknya sekadar memilih informasi yang ingin dibaca, yang ingin dilihat dan yang ingin di dengar.
“Karena itu, jurnalisme warga tidak hanya memberi tempat. Tapi juga menyarankan dan mendorong pembaca untuk terlibat di dalamnya. Jurnalisme warga ini murah, cepat dan mudah diakses. Dengan adanya warga yang tersebar dan dekat dengan peristiwa, maka berita akan cepat didapat, cepat di publikasi dan dapat di lakukan melalui berbagai media seperti sosial media atau media daring yang saat ini familiar bagi bapak dan ibu” Kata Erwin meyakinkan calon pewarta.
Harry Siswoyo memulai lokalatih jurnalis dengan memperkenalkan dirinya. “Selain ikut terlibat mendirikan AJI Bengkulu, sebelumnya saya adalah wartawan di beberapa media, di Jakarta saya pernah bekerja untuk VIVA, Kumparan, IDN times, DestinAsian Indonesia” Kata Harry sambil menunggu bahan presentasinya muncul di layar infokus. Jurnalisme warga atau Bahasa Inggrisnya citizen journalism yang akan kita pelajari selama dua hari ini merupakan aktivitas warga yang memainkan peranan aktif dalam mengumpulkan, menganalisis, melaporkan, dan menyebarkan berita kepada masyarakat luas. Jurnalisme ini lahir merupakan respon dari market driven journalism yang memandang masyarakat hanya sebagai obyek pemasaran.
Nah, dalam hal ini masyarakat dipakai sebagai alat untuk menguntungkan kaum pemodal saja dalam industri media. “Oleh karena itu,” Kata Harry. Diperlukan suatu pendekatan yang melibatkan peran partisipasi aktif masyarakat untuk turut serta memasuki ruang-ruang publik masyarakat sebagai upaya counter opini sebagai bentuk penyeimbang berbagai informasi yang kurang menguntungkan.
“Selama ini berita yang dinaikan hanya berita-berita tentang kriminal, pencabulan pokoknya berita-berita negative sedangkan hal-hal positif jarang sekali dinaikkan, disinilah posisi kita sebagai pewarta warga” Kata Harry. “Apakah media sosial yang saya yakin bapak ibu sekalian punya akan mengancam keberadaan media mainstream?” tanyanya. “Kalau orang bilang media sosial ancaman bagi media mainstream, jawabannya bisa ya bisa tidak, itu tergantung dengan bapak ibu sekalian. Media sosial yang paling banyak di gunakan adalah Facebook, Instagram, WhatsApp, twitter dan lain-lain konten utamanya adalah foto. Foto ini adalah alat efektif karena gampang sekali di ingat.
“Kita biasanya ingat dengan wajah orang tapi sering kali lupa Namanya. Begitulah indra penglihatan kita cepat sekali menangkap gambar-gambar” hari ini kita akan mulai berlatih mengunakan teknik photovoice. Foto yang bisa bercerita.
“Photovoice ini adalah sarana komunikasi yang didalamnya menyampaikan sebuah pesan yang tidak hanya dilakukan melalui bahasa lisan atau tulisan. Teknik ini juga menjadi sarana yang efektif dalam menyampaikan pesan atau ide-ide brilian.
“Melalui foto, kita berlatih untuk dapat menjelaskan suatu objek yang kita foto,” Harry kemudian menjelaskan bagaimana dasar-dasar fotografi. Mulai dari bagaimana cara melihat foto, menghubungkan gambar dengan cerita, mengenal kompisisi dan sampai bagaimana mengoperasikan sebuah kamera.
“Yang kita punya saat ini adalah kamera handphone maka kita akan belajar mengenal dan mengunakan kamera handphone saja,” Membuat foto bersuara itu bukan sekadar menghasilkan foto. Ia memiliki konsep yang berlatar isu atau masalah yang hendak didokumentasikan.
“Karena itu, kekuatan cerita dalam foto dan cerita di baliknya yang disampaikan oleh fotografer menjadi nilai penting dari foto bersuara” Intinya, cara atau jalan menyampaikan pesan lewat foto itu lewat realitas, simbol dan rekayasa. Secara teknis atau dalam prakteknya dimulai dari masalah apa yang akan diangkat atau research question, kemudian jawaban dari masalahnya, rencana visual dan mengambil foto di lapangan sesuai dengan rencana cisual yang di susun.
“Memotretlah yang banyak dan baik. Jangan lupa meminta izin kepada objek yang akan difoto. Jangan lupa perhatikan komposisi, fokus, konsepnya realitas, simbol atau rekayasa?” Tambah Harry. Selanjutnya tulislah catatan keterangan foto berdasar cerita yang telah didapat dan hendak disampaikan ke public, cantumkan nama fotografer, waktu pengambilan foto dan lokasi. Periksa lagi keterangan foto, supaya jangan ada kesalahan penulisan.
“Patokannya apa yang anda lihat atau tampilkan di dalam foto?, apa yang sebenarnya terjadi bagaimana ini berkaitan dengan kehidupan kita?, mengapa ini terjadi? Dan apa yang bisa kita lakukan?” tutup Harry sambil menyeka keringat yang mengering. Ruang pusat pemerintahan desa pun makin menghening pertanda mentari telah sampai di ufuk barat. Dari kuning memerah lalu sesaat cahaya meredup seakan menyapa tiap peristiwa seharian belajar tentang pewarta. Mentari meredup saga memperingatkan kami untuk segera berkemas menuju Ujung Lancang untuk tuntaskan tugas ditepian hari.
Tanggal telah berubah menjadi 27 Desember 2020. Kami kembali menakar imajinasi seraya melihat langit bertamaran. Jam Kembali konsisten menunjukan di angka 09.30. Harry memulai bagian ini dengan menjelaskan cara membuat foto bersuara, foto bersuara bukan sekadar menghasilkan foto. Ia memiliki konsep yang berlatar isu atau masalah yang hendak didokumentasikan. Photovoice ini membantu setiap individu menyelesaikan suatu masalah baik masalah yang terdapat diri individu tersebut maupun yang ada di masyarakat.
“Karena itu, kekuatan cerita dalam foto dan cerita yang disampaikan oleh fotografer menjadi nilai penting bagi foto bersuara,” dengan rinci dan datail Harry menjelaskan inti dari teknik photovoice adalah dengan mencampurkan dan menggabungkan antara foto dan tulisan. Perpaduan antara foto dengan tulisan membuat orang yang melihat akan menjadi lebih paham makna yang tercantum dalam foto tersebut. Sehingga, tidak ada kesalahan dalam persepsi ketika melihat foto tersebut. Setiap orang mempunyai kecenderungan dalam melihat benda yang sama dengan cara yang berbeda-beda. Perbedaan tersebut bisa dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya adalah pengetahuan, pengalaman dan sudut pandangnya. Persepsi juga bertautan dengan cara pandang seseorang terhadap suatu objek tertentu dengan cara yang berbeda-beda dengan menggunakan alat indera yang dimiliki, kemudian berusaha untuk menafsirkannya. Jelasnya.
“Nah, foto-foto tersebut biasanya dapat berupa foto diri sendiri dan menceritakan kehidupannya, selain foto diri yang menceritakan diri sendiri juga dapat berupa foto yang menceritakan suatu komunitas tertentu dan yang terakhir foto yang dapat diambil ialah foto mengenai fenomena yang terjadi di masyarakat.”
“Setengah hari ini kita akan mempraktekkan apa yang kita dapati dari seharian kemaren,” Kita akan bagi menjadi tiga kelompok. Masing-masing silakan pilih kelompoknya dan selanjutnya menuju Sungai Sekunyit, tempat pengasapan ikan Dusun Merpas, Pelabuhan dan Pantai Laguna untuk mengambil foto.
“Siang kita akan presentasi hasil fotonya” sebagai pemandunya adalah masalah apa yang ada di masyarakat yang umumnya memiliki frekwensi dan masalah yang terjadi telah berlangsung cukup lama serta memiliki pengaruh ke banyak orang. Dampak dari masalah mengganggu kehidupan baik pribadi maupun komunitas dan intensitasnya tinggi.
“Masalah yang ada cenderung membuat kerusakan atau bisa mengancam
hak seseorang dan masalah yang ada itu sudah menjadi kesimpulan bersama sebagai
sebuah masalah” Jelas Harry. Calon pewarta bergegas munuju lokasi yang di
sepakati.
Matahari beranjak merangkak ketika calon pewarta
kembali membuat bingar hingar, membuat cahaya menyilaukan menjadi teduh di
tatapan. Mereka seperti serumpun kunang setelah melukis kabut malang, senyum
mereka tidak memuncahkan lunglai yang bersimbah. Jadilah debar Ketika
perwakilan mereka maju satu persatu mempresentasikan hasil tangkapan momen
melalui camera sederhana yang terpasang di handphone mereka. Satu persatu pula
foto muncul di layar infokus seperti hamparan awan putih yang manggaris langit
biru. Mereka tampilkan dengan bangga, Sungai yang tercemar, laut yang
mendangkal, ikan yang menghitam pekat, karang yang terkikis, riuh gapura
Laguna. Foto mereka seperti bulan yang membinarkan rupa jutaan pesona. Pesona
Merpas, pesona laguna yang semakin lancip di ujung lancang yang akan menghias
tiap-tiap hari baru.
Setelah dua hari Panjang merentang, matahari kembali
menepati kepastiannya untuk terbenam senja. Sang Pedagog dan Kepala Desa yang
masih seperti nyiur menari anggun dibawah nyala luna menutup perjumpaan
mengantarkan kami kembali berkemas menuju Ujung Lancang untuk tuntaskan tugas
ditepian hari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar