![]() |
photo by Reynaldi Azhora |
Begitu anda memasuki gerbang Kabupaten
Kaur dari arah Bengkulu Selatan, sebelah kiri jalan kita akan lihat tulisan Selamat
Datang di Kabupaten Kaur dan patung Gurita-Mungkus. Kabupaten Se’ase Seijean yang
di bentuk oleh UU No 3 Tahun 2003 terdiri atas 7 kecamatan dan 123 desa serta 3
kelurahan. Dua jam perjalanan kemudian kita akan sampai di desa paling Ujung
bagian Selatan Bengkulu. Desa Merpas Kecamatan Nasal, penduduknya didominasi
pendatang dari Propinsi Lampung dan sebagian mengakui suku asli Kaur bermarga
Nasal dan Sambat yang hidup, tumbuh dan berkembang di kawasan pesisir, yakni
suatu kawasan transisi antara wilayah darat dan laut. Masyarakatnya adalah
masyarakat pesisir atau nelayan. Ujung Lancang, atau yang sekarang dikenal
dengan pantai Laguna adalah icon wisata bahari yang dimiliki Merpas sekaligus
sebagai pintu wilayah tangkap nelayan pinggir. Nelayan pinggir yang saya
maksudkan disini adalah nelayan tradisional
yang memanfaatkan sumber daya perikanan dengan peralatan tangkap tradisional,
modal usaha yang kecil, dan organisasi dengan pola patron-klien.
Secara sosiologis, mereka memiliki
karakteristik sosial yang berbeda dengan masyarakat petani pegunungan yang saya
temui bertahun-tahun, yang membedakannya adalah karakteristik sumberdaya yang
dimiliki. Sumber daya kelautan dan perikanan. Kesejahteraan secara ekonomi
masyarakatnya sangat bergantung pada sumberdaya perikanan tangkap di laut, yang
hingga saat ini aksesnya masih bersifat terbuka (open access), sehingga kondisi lingkungan wilayah pesisir dan laut
menentukan keberlanjutan kondisi sosial ekonomi masyarakatnya.
Memperbincangkan masyarakat nelayan hampir pasti
isu yang selalu muncul adalah masyarakat yang marjinal, miskin dan menjadi
sasaran eksploitasi penguasa baik secara ekonomi maupun politik. Kemiskinan
yang selalu menjadi trade mark bagi mereka
dalam beberapa hal dapat dibenarkan dengan beberapa fakta seperti kondisi
pemukiman, tingkat pendapatan dan pendidikan yang rendah, rentannya mereka
terhadap perubahan-perubahan sosial, politik, dan ekonomi, dan ketidakberdayaan
mereka terhadap intervensi pemodal, dan penguasa dan pengusaha yang datang.
Disamping itu, kemiskinan mereka juga diakibatkan oleh masalah kerusakan
ekosisitem pesisir-laut yang berdampak serius terhadap menipisnya sumberdaya
perikanan.
Dalam pengamatan saya selama satu tahun terakhir
yang acapkali berkunjung ke Desa Merpas. Saya melihat sekaligus merasakan
denyut tatanan perekonomian masyarakatnya sarat dengan ketergantungan terhadap
sumberdaya alam yang ada. Mayoritas berprofesi sebagai nelayan dan menjadikan
profesi tersebut sebagai profesi yang dapat diwariskan turun temurun, sehingga
kehidupan sosial yang dijalankan oleh masyarakat selalu mengajarkan anak-anaknya
untuk bergulat dengan keadaan alam dengan cara ikut serta melaut dan akhirnya
ia tumbuh dan menjadi nelayan seperti apa yang telah diajarkan oleh orang
tuanya.
Masalah lain yang tak kalah penting dalam kegiatan
ekonominya adalah, terutama terkait operasional penagkapan ikan, persoalan
modal usaha untuk menyediakan segala kebutuhan kegiatan penagkapan ikan,
seperti bahan bakar kapal, alat-alat penagkap ikan dan sebagainya. Menurut Pak
Bambang (40 tahun) yang berpropesi sebagai nelayan pinggir, dia yang selalu
saya temui ketika berkunjung ke Desa Merpas selalu bercerita tentang kondisi nelayan
kecil atau nelayan tradisional. Tertutama kebutuhan akan modal usaha, yang bisa
diakses atau yang bisa didayagunakan setiap saat tersebut, sangat tinggi.
Kondisi ini katanya, merupakan respon atas besarnya biaya investasi di sektor
perikanan tangkap, sedangkan perolehan pendapatan tidak pasti dan tingkat
penghasilan bervariatif. Dengan kebutuhan konsumsi rumah tangga yang harus
dipenuhi setiap hari, nelayan tidak memiliki tabungan dana yang mencukupi jika
suatu saat harus berhadapan dengan kenyataan bahwa sarana-prasarana penangkapan
yang mereka gunakan mengalami kerusakan dan membutuhkan biaya perbaikan yang
cukup besar.
Keterbatasan pemilikan dana kontan inilah yang
kemudian mendorong nelayan terperangkap dalam jaringan hutang piutang yang
kompleks, khususnya kepada para cingkau,
toke atau penyedia kredit informal. Sistem mata pencaharian yang
mengharuskan mereka berada di tengah laut untuk jangka waktu yang cukup lama, dan
ketergantungan dengan alur musim angin laut mamaksa mereka untuk meninggalkan
aktifitas lain selain ‘melaut’,membangun strategi produksi untuk kebutuhan livelihood, atau alternatif mata
pencaharian berbasis ‘darat’. Kehidupan sosial-ekonomi masyarakatnya sangat
tergantung dan mengantungkan pada kondisi fisik lingkungan pesisir.
Karenanya, tulisan singkat ini, saya akan
melayangkan pandang melalui cara pandang ekologi politik masyarakat nelayan.
Saya melihat ini menjadi sangat relevan untuk dilakukan sebagai titik pijak
untuk mengetahui bagaimana dinamika kehidupan sosial-ekonomi masyarakatnya. Kiranya
pandangan saya yang singkat ini mendapatkan titik relevansi dan
signifikansinya.
Secara teoritik, pandangan ringkas saya ini mengacu
pada ekologi politik, masyarakat pesisir dan kebijakan ekologis masyarakat
pesisir. Terma ekologi saya pakai untuk menggambarkan hubungan antara manusia
dan lingkungannya untuk memberikan ilustrasi hubungan antara manusia dan
spesies lainnya. Perubahan lingkungan juga dilihat sebagai hasil hubungan
antara manusia dan spesies lainnya. Dan, ekologi politik mengacu pada upaya
pengkombinasian perhatian pada ekologi dan ekonomi politik secara luas yang
mencakup dialektika antara masyarakat dan sumber daya, serta dialektika kelas
dan kelompok sosial di dalam masyarakat itu sendiri.
Dengan semangat cara pandang tersebut, ekologi
politik mengambil posisi sebagai perhatian untuk mengidentifikasi dan
menganalisa rantai yang menghubungkan dinamika lingkungan dengan
kekuatan-kekuatan sosial, politik, budaya dan ekonomi pada berbagai situs
konseptual dan fisik. Sekaligus secara singkat saya akan konsisten pada ‘kuasa’
dalam berbagai perwujudannya untuk memahami bagaimana gagasan tentang
kesinambungan diciptakan dan disebarkan.
Jika memakai cara pandangn relasi asimentrisnya
Raymond L Bryant, maka kita akan menemukan asumsi pokok dalam ekologi-politik
bermuara pada pendirian bahwa perubahan lingkungan tidaklah bersifat netral,
tetapi merupakan suatu bentuk politized
environment yang banyak melibatkan actor-aktor yang berkepentingan baik
pada tingkat lokal, regional, maupun global. Aktor yang dominan umumnya adalah
negara dan swasta menyebabkan apa yang disebut tragedy of enclosure, yakni tragedi akibat dominasi negara dan
swasta yang menyebabkan akses masyarakat nelayan pada pemanfaatan dan
pengelolaan makin dibatasi. Melemahnya akses ini membuat masyarakat makin
marjinal.
Istilah masyarakat pesisir secara
umum kita pahami sebagai masyarakat dengan mata pencaharian utama nelayan. Ini
bisa dimaklumi karena nelayan menjadi mata pencaharian utama kelompok
masyarakat yang hidup di sekitar pantai. Nelayan adalah suatu kelompok
masyarakat yang kehidupannya tergantung langsung pada hasil laut, baik dengan
cara melakukan penangkapan. Mereka pada umumnya tinggal di pinggir pantai,
sebuah lingkungan pemukiman yang dekat dengan lokasi kegiatannya. Masyarakat
nelayan memiliki sifat unik yang berkaitan dengan usaha perikanan tersebut. Keunikan
usaha perikanan sangat bergantung pada kondisi lingkungan, musim, harga dan
pasar, maka sebagian besar karakteristik nelayan tergantung pada faktor-faktor
kondisi lingkungan.
Salah satu sifat usahanya yang
sangat menonjol adalah bahwa keberlanjutan atau keberhasilan usaha tersebut
sangat tergantung pada kondisi lingkungan khususnya perairan dan sangat rentan
pada kerusakan khususnya pencemaran atau degradasi kualitas lingkungan. Dan itu
konsisten dengan cerita beberapa nelaya di Desa Merpas. Kerusakan muara-muara
sungai di Merpas akibat sedimentasi yang
dihasilkan pubrik minyak kelapa sawit mengakibatkan rusaknya habitat karang,
menurunya produski tangkap dan berkurang dan hilangnya beberapa species ikan.
Keunikan lainnya adalah ketergantungan pada musim, khususnya
nelayan kecil. Pada musim penangkapan nelayan sangat sibuk, sementara pada
musim paceklik nelayan mencari kegiatan ekonomi lain atau menganggur. Serta ketergantungan
pada harga dan pasar. Komoditas yang mereka hasilkan harus segera dijual untuk
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari atau membusuk sebelum laku dijual.
Karakteristik harga dan pasar ini mempunyai implikasi yang sangat penting, masyarakat
nelayan sangat peka terhadap fluktuasi harga. Perubahan harga sekecil apapun
sangat mempengaruhi kondisi sosial masyarakat nelayan.
Aspek lain yang dimiliki oleh nelayan di Merpas
adalah pengetahuan, kepercayaan (teologis), dan posisi sosial nelayan. Umumnya
mereka mendapat pengetahuan dari warisan nenek moyangnya untuk melihat kalender
dan penunjuk arah, mereka menggunakan rasi bintang. Namun, umumnya nelayan
tidak mampu membebaskan diri dari profesi nelayan karena mereka mampu bertahan hidup dalam
menghadapi keadaan yang sangat berat sekalipun, terutama pada masa-masa
paceklik.
Secara umum, sebagaimana lazimnya masyarakat
pesisir, saya menemukan persolalan pada masyarakat nelayan di Merpas. Dari
persoalan tidak terpenuhinya hak-hak dasar, kebutuhan akan pangan, kesehatan,
pendidikan, pekerjaan, infrastruktur. Kurangnya akses terhadap informasi,
teknologi dan permodalan, budaya dan gaya hidup yang cenderung boros,
menyebabkan posisi tawar mereka semakin lemah. Sebab lain yang berpengaruh
cukup signifikan atas hidup mereka adalah suasana alam yang keras yang selalu
diliputi ketidakpastian (uncertainty).
Saya cenderung menyebutnya ‘gambling’ dalam menjalankan hidup dan usahanya.
Musim paceklik yang selalu datang tiap tahunnya dan lamanya pun tidak dapat
dipastikan akan semakin membuat masyarakat nelayan terus berada dalam lingkaran
setan kemiskinan (vicious circle)
setiap tahunnya.
Dalam kegiatan ekonomi nelayan di Desa Merpas, saya menemukan dan ketemu dengan nelayan buruh atau anak buah kapal. Mereka merupakan salah satu komponen sosial yang terpenting. Disamping pemilik perahu atau juragan, kelompok buruh nelayan merupakan pihak yang paling bertanggungjawab dalam organisasi penangkapan. Hubungan antara juragan dan buruh nelayan diikat oleh norma-norma kerjasama. Sebenarnya, dalam konteks sosial ekonomi masyarakat Merpas, hubungan antara buruh nelayan dan juragan ini tidak ada masalah yang berarti karena mereka lah ujung tombak kegiatan nelayan meskipun hubungan antara mereka dibingkai dalam pola patron-klien. Hubungan patron-klien umumnya berkaitan dengan hubungan diantara pelaku yang menguasai sumber daya tidak sama, hubungan yang bersifat khusus yang merupakan hubungan pribadi yang mengandung keakraban dan hubungan yang didasarkan atas asas saling menguntungkan. Mekanisme hubungan tersebut seringkali bersifat eksploitatif, dan sengaja dipelihara oleh patron.
Tulisan ini pernah di muat di; https://www.akar.or.id/inventori-nelayantangkap-di-ujung-lancang/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar