Blue Carbon dan Resiliensi Ekosistem Terumbu Karang - Erwin Basrin

Breaking

Recent Posts

 photo Untitled-1_1.jpg

Selasa, 12 Januari 2021

Blue Carbon dan Resiliensi Ekosistem Terumbu Karang

 

 

Sumber Photo; Nelayan Merpas peserta Pelatiha Photovoice, 2020

Bertempat di rumah Akar Foundation, tanggal 10 Januari 2020 kami mengundang Dinas Kelautan dan Perikanan dan Badan Perencanaan dan Pembangunan (BAPPEDA) Propinsi Bengkulu. Diskusi ini awalnya untuk mengkonsolidasi inisiatif konsep Pengelolaan Pesisir dan laut oleh Masyarakat, salah satu program yang sedang di kembangkan oleh Akar Foundation Bersama Blue Ventures. Kami menyebutnya Community Based Marine Management (CBMM), masuk melalui nelayan tradisional dan species hewan molusta, Gurita (octopus) yang habitanya berada di pesisir selatan Bengkulu. Dan, komunitas nelayan tradisional adalah nelayan di Desa Merpas, Kecamatan Nasal Kabupaten Kaur Propinsi Bengkulu. Komunitas nelayan yang memiliki relasi yang kuat dengan ordo octopoda dan terumbu karang sebagai habitat utamanya.

 

Salah satu tema yang kami perbincangkan adalah lemparan isu blue carbon oleh Bapedda Propinsi Bengkulu. Tentu kami tertarik untuk menyahuti diskusi ini. Karena, salah satu isu besar dalam kerja-kerja Akar Foundation pada sector kehutanan selama puluhan tahun terakhir selain resolusi konflik, deforestasi, pengelolaan hutan oleh rakyat adalah mendukung isu-isu perubahan iklim. Tepatnya mitigasi perubahan iklim. Isu mitigasi perubahan iklim tentu saja akan kami bawa menjadi ‘sesuatu’ dalam Community Based Marine Management (CBMM) yang saat ini konsepnya menuju finalisasi. Meskipun ini barang baru bagi kami, pengelola terumbu karang mungkin dihadapkan pada diskusi yang sulit jika di kaitkan dengan perubahan iklim. Memiliki alat dalam mengkomunikasikannya secara efektif adalah kunci untuk memperluas kesadaran dan mendorong tindakan yang sangat dibutuhkan.

 

Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Kerangka Kerja Perubahan Iklim (United Nations Framework Convention on Climate Change/UNFCCC) mendefinisikan Perubahan iklim sebagai perubahan iklim yang disebabkan baik secara langsung atau tidak langsung oleh aktivitas manusia sehingga mengubah kompoisi dari atmosfer global dan variabilitas iklim alami pada perioda waktu yang dapat diperbandingkan. Perubahan iklim mengacu pada perubahan jangka panjang dalam iklim yang terjadi selama beberapa dekade, berabad-abad atau lebih lama. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya gas rumah kaca di atmosfer bumi terutama karena pembakaran bahan bakar fosil (misalnya, batubara, minyak, dan gas alam). Meskipun, pada dasarnya Gas Rumah Kaca dibutuhkan untuk menjaga suhu bumi tetap stabil. Akan tetapi, konsentrasi Gas Rumah kaca yang semakin meningkat membuat lapisan atmosfer semakin tebal. Penebalan lapisan atmosfer tersebut menyebabkan jumlah panas bumi yang terperangkap di atmosfer bumi semakin banyak, sehingga mengakibatkan peningkatan suhu bumi, yang disebut dengan pemanasan global.

 

Gas-gas yang memerangkap panas ini memanaskan Bumi dan Lautan yang mengakibatkan naiknya permukaan laut, perubahan pola badai, perubahan arus laut, perubahan curah hujan, salju dan es yang mencair, peristiwa panas yang lebih ekstrem, kebakaran, dan kekeringan. Dampak ini diproyeksikan akan berlanjut dan dalam beberapa kasus, mengintensifkan, memengaruhi kesehatan manusia, infrastruktur, hutan, pertanian, pasokan air tawar, garis pantai, dan sistem kelautan. IPCC 2013: Summary for Policymakers in Climate Change 2013 memproyeksi kenaikan permukaan laut lebih dari 1 m naik pada tahun 2100 karena ekspansi termal dan pencairan gletser. Kontribusi dari lapisan es Greenland dan Antartika Barat akibat dari pemanasan global dapat meningkatkan tingkat kenaikan permukaan laut.

 

Perbincangan singkat saya dengan Darwis (60 tahun) pemilik usaha penginapan di Pantai Laguna Kaur, perbincangan tentang variasi alami dalam iklim yang terjadi dari bulan ke bulan, musim ke musim, tahun ke tahun dan dekade ke dekade misalnya misalnya, siklus tahunan musim hujan dan kemarau. Dia menceritakan adanya fenomena yang acak dan tidak bisa di prediksi pada kenaikan air laut, musim dan angin laut. Peningkatan pemukaan air laut menyebabkan bergesernya batas daratan di daerah pesisir yang kemudian menenggelamkan sebagain wilayah pesisir dan pemukiman di daerah pesisir. Perubahan iklim berdampak sangat buruk bagi bagi nelayan tradisional di Merpas, khususnya pada sektor keamanan pangan dan sektor perikanan. Akibat cuaca yang tidak menentu, para nelayan seringkali tidak bisa melaut. Cuaca juga menyebabkan jumlah ikan laut merosot ini mempengaruhi pendapatan keseharian masyarakat.

 

Terumbu karang dapat ditemukan di sepanjang pesisir selatan di Kabupaten Kaur dan menjadi tuan rumah bagi berbagai jenis spesies ikan laut, penting sebagai menyediakan layanan sosial, ekologis, budaya maupun ekonomis. Terumbu karang merupakan ekosistem keanekaragaman hayati yang paling inheren di laut, sebanding dengan hutan hujan di darat.

 

Terlepas nilainya, sebagian besar terumbu karang berada di bawah tekanan besar berbagai aktivitas manusia termasuk limpasan pertanian, pabrik di bagian hulu sungai yang bermuara ke laut, pembangunan perkotaan, pembangunan pembangkit listrik di sepanjang pantai berbahan fosil serta penangkapan ikan secara berlebihan. Peningkatan suhu lautpun dan  karbon dioksida atmosfer memicu kematian karang beberapa tahun terakhir. Inilah ancaman terbesar terhadap terumbu karang.

 

Thomas J. Goreau and Raymond L. Hayes dalam analisnya tentang Coral Bleaching and Ocean "Hot Spots" menyebutkan ekosistem pesisir yang rentan terhadap perubahan iklim yakni terumbu karang. Gangguan terhadap kondisi dan kerusakan terumbu karang yang sering dijumpai adalah peristiwa pemutihan karang (coral bleaching). Pemutihan merupakan akibat dari cekaman (stress) sewaktu terjadi perubahan besar pada organisasi jaringan dan sitokimia dalam polip karang. Hasil akhir dari proses ini menyebabkan koloni karang menjadi putih, baik sebagian ataupun seluruh koloni. Jaringan Terumbu Karang Indonesia (INCRES/Indonesia Coral Reef Society) membenarkanadanya fenomena pemutihan karang pada tahun 2010, antara lain di Aceh, Makassar, Kepulauan Seribu, Bali, dan Lombok.

 

Secara gampang, mari kita lihat kerusakan terumbu karang yang berimplikasi pada hewan soliter, gurita yang sebaran habitatnya meliputi daerah tropis dan subtropis, dari zona pasang surut (intertidal) hingga ke perairan dengan kedalaman 1.000 meter. Gurita dapat ditemui pada perairan yang memiliki substrat batuan maupun pasir. Oleh sebab itu, gurita sering ditemui pula di terumbu karang maupun padang lamun dimana gurita yang membuat rumah di bebatuan dan karang.

 

Terumbu karang adalah struktur berupa deposit kalsium karbonat di laut, kerusakannya akan berimplikasi pada populasi, pertumbuhan dan perkembangan Gurita. Jika terjadi pelambatan penangganan, di Merpas misalnya. Implikasinya akan menyebar penurunan kwalitas laut, hilangnya daratan seki pantai, menurunya hasil tangkapan, pendapatan nelayan gurita menurun, bisa jadi di masa mendatang hilangnya satu identitas nelayan gurita, gangguan pada keseimbangan sosiologis,  hilangnya icon masyarakat Kaur dan berbagai dampak turunan lainnya.

 

Pemahaman ini menyadarkan kita pentingnya teknik resiliensi ekosistem terumbu karang serta pengembangan pendekatan yang dibutuhkan untuk beradaptasi. Adaptasi merupakan kemampuan sistem ekologi dan sosial yang terkait sangat erat, untuk menghadapi situasi baru tanpa mengurangi kesempatan mendapatkan pilihan masa depan. Kunci untuk meningkatkan kapasitas adaptif ialah resiliensi yang merupakan strategi yang harus mulai dikembangkan.

 

Resiliensi merupakan pendekatan yang berbasis ekosistem. Pendekatan yang berbasis ekosistem dalam pengelolaan ekosistem kompleks perlu menyertakan masyarakat dalam konsep ekosistem. Oleh sebab itu, perlu dicari strategi pengelolaan ekosistem terumbu karang di wilayah pesisir dengan harapan masyarakat memperoleh manfaat dari strategi pengelolaan tersebut, dan rancangan untuk membangun model pengelolaan yang berbasis kepada resiliensi ekologi-sosial terumbu karang merupakan strategi yang relevan untuk menjawab permasalahan degradasi ekosistem terumbu karang yang setiap saat rentan terhadap perubahan iklim global. Bedasarkan alasan-alasan diatas maka diskusi-diskusi dan implementasi pengelolaan terumbu karang dengan pendekatan model adaptasi ekologi-sosial (resiliensi eko-sosio system) sebagai dasar pengelolaan ekosistem terumbu karang, perlu segera dilakukan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar