![]() |
Sumber Photo; Nelayan Merpas peserta Pelatiha Photovoice, 2020 |
Bertempat di rumah Akar Foundation, tanggal 10 Januari 2020 kami
mengundang Dinas Kelautan dan Perikanan dan Badan Perencanaan dan Pembangunan
(BAPPEDA) Propinsi Bengkulu. Diskusi ini awalnya untuk mengkonsolidasi
inisiatif konsep Pengelolaan Pesisir dan laut oleh Masyarakat, salah satu
program yang sedang di kembangkan oleh Akar Foundation Bersama Blue Ventures.
Kami menyebutnya Community Based Marine Management (CBMM), masuk melalui
nelayan tradisional dan species hewan molusta, Gurita (octopus) yang habitanya
berada di pesisir selatan Bengkulu. Dan, komunitas nelayan tradisional adalah nelayan
di Desa Merpas, Kecamatan Nasal Kabupaten Kaur Propinsi Bengkulu. Komunitas nelayan
yang memiliki relasi yang kuat dengan ordo octopoda dan terumbu karang sebagai
habitat utamanya.
Salah satu tema yang kami perbincangkan adalah lemparan isu blue
carbon oleh Bapedda Propinsi Bengkulu. Tentu kami tertarik untuk menyahuti
diskusi ini. Karena, salah satu isu besar dalam kerja-kerja Akar Foundation
pada sector kehutanan selama puluhan tahun terakhir selain resolusi konflik,
deforestasi, pengelolaan hutan oleh rakyat adalah mendukung isu-isu perubahan
iklim. Tepatnya mitigasi perubahan iklim. Isu mitigasi perubahan iklim tentu
saja akan kami bawa menjadi ‘sesuatu’ dalam Community Based Marine Management
(CBMM) yang saat ini konsepnya menuju finalisasi. Meskipun ini barang baru bagi
kami, pengelola terumbu karang mungkin
dihadapkan pada diskusi yang sulit jika di kaitkan dengan perubahan iklim.
Memiliki alat dalam mengkomunikasikannya secara efektif adalah kunci untuk
memperluas kesadaran dan mendorong tindakan yang sangat dibutuhkan.
Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang
Kerangka Kerja Perubahan Iklim (United Nations Framework Convention on Climate
Change/UNFCCC) mendefinisikan Perubahan iklim sebagai perubahan iklim yang
disebabkan baik secara langsung atau tidak langsung oleh aktivitas manusia
sehingga mengubah kompoisi dari atmosfer global dan variabilitas iklim alami
pada perioda waktu yang dapat diperbandingkan. Perubahan iklim mengacu pada perubahan jangka panjang
dalam iklim yang terjadi selama beberapa dekade, berabad-abad atau lebih lama.
Hal ini disebabkan oleh meningkatnya gas rumah kaca di atmosfer bumi terutama
karena pembakaran bahan bakar fosil (misalnya, batubara, minyak, dan gas alam).
Meskipun, pada dasarnya Gas Rumah Kaca dibutuhkan untuk menjaga suhu bumi tetap
stabil. Akan tetapi, konsentrasi Gas Rumah kaca yang semakin meningkat membuat
lapisan atmosfer semakin tebal. Penebalan lapisan atmosfer tersebut menyebabkan
jumlah panas bumi yang terperangkap di atmosfer bumi semakin banyak, sehingga
mengakibatkan peningkatan suhu bumi, yang disebut dengan pemanasan global.
Gas-gas yang memerangkap panas ini memanaskan
Bumi dan Lautan yang mengakibatkan naiknya permukaan laut, perubahan pola
badai, perubahan arus laut, perubahan curah hujan, salju dan es yang mencair,
peristiwa panas yang lebih ekstrem, kebakaran, dan kekeringan. Dampak ini
diproyeksikan akan berlanjut dan dalam beberapa kasus, mengintensifkan,
memengaruhi kesehatan manusia, infrastruktur, hutan, pertanian, pasokan air
tawar, garis pantai, dan sistem kelautan. IPCC 2013: Summary
for Policymakers in Climate Change 2013 memproyeksi kenaikan permukaan laut lebih dari 1
m naik pada tahun 2100 karena ekspansi termal dan pencairan gletser. Kontribusi
dari lapisan es Greenland dan Antartika Barat akibat dari pemanasan global
dapat meningkatkan tingkat kenaikan permukaan laut.
Perbincangan singkat saya dengan Darwis (60
tahun) pemilik usaha penginapan di Pantai Laguna Kaur, perbincangan tentang variasi
alami dalam iklim yang terjadi dari bulan ke bulan, musim ke musim, tahun ke
tahun dan dekade ke dekade misalnya misalnya, siklus tahunan musim hujan dan
kemarau. Dia menceritakan adanya fenomena yang acak dan tidak bisa di prediksi pada
kenaikan air laut, musim dan angin laut. Peningkatan pemukaan air laut
menyebabkan bergesernya batas daratan di daerah pesisir yang kemudian
menenggelamkan sebagain wilayah pesisir dan pemukiman di daerah pesisir. Perubahan iklim berdampak sangat buruk bagi bagi
nelayan tradisional di Merpas, khususnya pada sektor keamanan pangan dan sektor
perikanan. Akibat cuaca yang tidak menentu, para nelayan seringkali
tidak bisa melaut. Cuaca juga menyebabkan jumlah ikan laut merosot ini
mempengaruhi pendapatan keseharian masyarakat.
Terumbu karang dapat ditemukan di sepanjang
pesisir selatan di Kabupaten Kaur dan menjadi tuan rumah bagi berbagai jenis
spesies ikan laut, penting sebagai menyediakan layanan sosial, ekologis, budaya
maupun ekonomis. Terumbu karang merupakan ekosistem keanekaragaman hayati yang
paling inheren di laut, sebanding dengan hutan hujan di darat.
Terlepas nilainya, sebagian besar terumbu karang
berada di bawah tekanan besar berbagai aktivitas manusia termasuk limpasan
pertanian, pabrik di bagian hulu sungai yang bermuara ke laut, pembangunan
perkotaan, pembangunan pembangkit listrik di sepanjang pantai berbahan fosil serta
penangkapan ikan secara berlebihan. Peningkatan suhu lautpun dan karbon dioksida atmosfer memicu kematian
karang beberapa tahun terakhir. Inilah ancaman terbesar terhadap terumbu
karang.
Thomas J. Goreau and Raymond L. Hayes dalam analisnya tentang Coral
Bleaching and Ocean "Hot Spots" menyebutkan ekosistem pesisir
yang rentan terhadap perubahan iklim yakni terumbu karang. Gangguan terhadap
kondisi dan kerusakan terumbu karang yang sering dijumpai adalah peristiwa
pemutihan karang (coral bleaching). Pemutihan merupakan akibat dari cekaman
(stress) sewaktu terjadi perubahan besar pada organisasi jaringan dan sitokimia
dalam polip karang. Hasil akhir dari proses ini menyebabkan koloni karang
menjadi putih, baik sebagian ataupun seluruh koloni. Jaringan Terumbu Karang
Indonesia (INCRES/Indonesia Coral Reef Society) membenarkanadanya fenomena
pemutihan karang pada tahun 2010, antara lain di Aceh, Makassar, Kepulauan
Seribu, Bali, dan Lombok.
Secara gampang, mari kita lihat kerusakan terumbu
karang yang berimplikasi pada hewan soliter, gurita yang sebaran habitatnya
meliputi daerah tropis dan subtropis, dari zona pasang surut (intertidal)
hingga ke perairan dengan kedalaman 1.000 meter. Gurita dapat ditemui pada
perairan yang memiliki substrat batuan maupun pasir. Oleh sebab itu, gurita
sering ditemui pula di terumbu karang maupun padang lamun dimana gurita yang membuat rumah di bebatuan dan karang.
Terumbu karang adalah struktur berupa deposit kalsium karbonat di
laut, kerusakannya akan berimplikasi pada populasi, pertumbuhan dan
perkembangan Gurita. Jika terjadi pelambatan penangganan, di Merpas misalnya.
Implikasinya akan menyebar penurunan kwalitas laut, hilangnya daratan seki pantai,
menurunya hasil tangkapan, pendapatan nelayan gurita menurun, bisa jadi di masa
mendatang hilangnya satu identitas nelayan gurita, gangguan pada keseimbangan
sosiologis, hilangnya icon masyarakat
Kaur dan berbagai dampak turunan lainnya.
Pemahaman ini menyadarkan kita pentingnya teknik resiliensi ekosistem
terumbu karang serta pengembangan pendekatan yang dibutuhkan untuk beradaptasi.
Adaptasi merupakan kemampuan sistem ekologi dan sosial yang terkait sangat
erat, untuk menghadapi situasi baru tanpa mengurangi kesempatan mendapatkan
pilihan masa depan. Kunci untuk meningkatkan kapasitas adaptif ialah resiliensi
yang merupakan strategi yang harus mulai dikembangkan.
Resiliensi merupakan pendekatan yang berbasis ekosistem.
Pendekatan yang berbasis ekosistem dalam pengelolaan ekosistem kompleks perlu menyertakan
masyarakat dalam konsep ekosistem. Oleh sebab itu, perlu dicari strategi
pengelolaan ekosistem terumbu karang di wilayah pesisir dengan harapan
masyarakat memperoleh manfaat dari strategi pengelolaan tersebut, dan rancangan
untuk membangun model pengelolaan yang berbasis kepada resiliensi
ekologi-sosial terumbu karang merupakan strategi yang relevan untuk menjawab
permasalahan degradasi ekosistem terumbu karang yang setiap saat rentan
terhadap perubahan iklim global. Bedasarkan alasan-alasan diatas maka
diskusi-diskusi dan implementasi pengelolaan terumbu karang dengan pendekatan
model adaptasi ekologi-sosial (resiliensi eko-sosio system) sebagai dasar
pengelolaan ekosistem terumbu karang, perlu segera dilakukan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar