Kapitalisme Belum (akan) Mati - Erwin Basrin

Breaking

Recent Posts

 photo Untitled-1_1.jpg

Minggu, 23 Agustus 2020

Kapitalisme Belum (akan) Mati

 


“Kamerad,” kata Snowball, “pita yang sangat kamu puja itu adalah tanda perbudakan. Tidak bisakah kamu paham bahwa kemerdekaan jauh lebih beharga daripada pitamu itu?” Animal Farm, George Orwell.

 

 

Spekulasi telah menjadikan ekonomi global menjadi lebih rapuh dalam menghadapi guncangan finansial. Kehancuran pasar modal yang dikatakan ekonom Barat hanya terjadi 1 kali dalam 10.000 tahun, faktanya terus terjadi berulang-kali dalam rentang waktu yang tidak terlalu lama. Hanya dengan Pandemi Covid-19 mengubah dunia secara dramatis, dari masalah kesehatan kemudian berkembang ke krisis ekonomi global. Persoalan tersebut ditengarai karena menurunnya aktivitas ekonomi, menurun tajamnya harga komoditas, aliran pembalikan modal dan pengetatan pasar finasial.

 

Seandainya sifat perdagangan valas yang cenderung anarkis itu di biarkan terus, ideologi kapitalisme akan menuju liang kuburnya. Vicious circle (lingkaran setan) nilai tukar atau bahaya laten devaluasi selalu mengintip di balik meja transaksi valas yang pertumbuhannya nyaris tak terkendalikan. Peredaran valas memang satu dari sekian dimensi yang tercakup dalam system ekonomi kapitalisme. Namun ia adalah “jantung” dari kapitalisme abad 21, seperti halnya mesin uap menjadi generator kapitalisme abad 19. Krisis besar-besaran kapitalisme modern yang tersimbolisasikan dengan Depresi Besar (Great Depression) keruntuhan Wall Street pada tahun 1929-1933 merupakan contoh betapa sebuah sistem yang sudah berjalan lancar dapat hancur berantakan.

 

Apakah kapitalisme sedang mendekati saat-saat kematiannya.? Di tengah kondisi kapitalisme global yang lesu sekarang ini, tentu banyak orang memimpikannya. Apalagi di tengah konteks Pandemi Covid-19yang telah menginfeksi sekitar 17 juta orang di seluruh dunia membuat banyak negara mengeluarkan kebijakan bagi penduduknya untuk melakukan berbagai kegiatan di rumah dan membuat pelaku usaha tak mampu menjalankan bisnisnya. Kemudian, Produk Domestik Global (PDB) dunia diperkirakan bakal terkoreksi menjadi - 5,2 persen tahun 2020. Menurut laporan CNN, negara dan kawasan kapitalis maju seperti Amerika Serikat (AS) maupun Eropa bakal melorot  sangat dalam sekitar 7 persen. Ekonomi AS sendiri diproyeksi bakal terkontraksi hingga 6,1 persen sebelum akhirnya bisa rebound di 2021.

 

Tapi sayangnya, kapitalisme adalah pelanggan yang setia terhadap krisis sehingga menjadi makhluk cerdik yang selalu belajar dari pengalaman. Dari krisis Malaise yang terjadi di tahun 1929, kapitalisme belajar cepat tentang progam sosial, kontrol atas perbankan dan menuntun ke arah penguatan institusi keuangan dalam melawan tantangan krisis di masa mendatang.

 

Meskipun Pandemi Covid-19 yang berkembang ke krisis ekonomi global yang terjadi saat di anggap lebih parah dari penyebab Great Depression, kaum kapitalisme tinggal memaksa pemerintah untuk memberikan talangan atau stimulus ekonomi. IMF mengatakan bahwa penutupan sebagian besar ekonomi nasional oleh pemerintah tiap-tiap negara mengakibatkan penyusutan aktivitas ekonomi secara global. Ini menjadikannya sebagai salah satu alasan terjadinya krisis, maka melalui stimulus ekonomi yang dianggap bisa mengurangi penularan krisis yang meluas sekaligus membuka jalan bagi IMF untuk menyediakan instrumen yang lebih baik sesuai kebutuhan masing-masing negara anggota.

 

Dari kasus Malaise begitu cepat di pelajari oleh pengambil kebijakan maupun para teoritis, sehingga format intervensi negara dalam resep perekonomian Keynesian menjadi unsur baru dalam aliran neoliberalisme yang tetap berorientasi pada Negara Kesejahteraan (Welfare State). Unsur baru ini bisa di lacak melalui narasi dan startegi untuk menerobos hambatan perekonomian melalui campur tangan Pemerintah dengan cara meningkatkan suplai uang atau melakukan pembelian barang dan jasa oleh pemerintah. Padahal neoliberalisme justru merupakan penanda pembaruan atas konsep fundamentalisme pasar yang tak ingin campur tangan negara. Pun, dengan dampak ekstrem perang tarif dan proteksi yang menyulut sumbu Perang Dunia II yang kemudian diantisipasi oleh WTO (World Trade Organization). WTO memprioritaskan penataan sistem tarif yang secara absolut saling menguntungkan, walau secara relative belum tentu diperoleh keuntungan oleh setiap negara.

 

Kapitalisme abad 19 bertumpu pada penghisapan nilai-lebih dari buruh secara gamblang dan langsung. Tetapi. kapitalisme abad 21 melakukan eksploitasi secara lebih canggih, karena proses rantai produksi yang lebih kompleks dan penggunaan mesin dan teknologi canggih dalam aktivitas produksi.

 

Buruh mulai di rangkul, bahkan di beri saham walaupun dalam skala minoritas, hanya sekedar untuk memacu produktivitas melalui  ‘rasa kepemilikian’ alias sense of belonging yang sebenarnya semu. Kapitalisme abad 21 betul-betul berwajah lain dibandingkan pada masa Karl Marx masih hidup. Akan tetapi sifat kapitalisme tidak berubah. Dia selalu butuh medium untuk tumbuh dan beranak-pinak.

 

Suatu saat, pertumbuhan kapital dalam pengertian moneter tidak terkait sama sekali dengan sektor riil. Pergerakan bursa saham dalam jangka pendek, sama sekali tidak memperhitungkan apa yang terjadi di pabrik-pabrik atau outlet penjualan. Tetapi, pada titik tertentu valas dan indeks saham tetap harus mempertimbangkan perkembangan fundamental di sektor ekonomi yang riil. Pada era Bretton Woods, ketika kurs nilai tukar suatu negara dikaitkan dengan cadangan emas yang dimiliki, akumulasi kapital selalu terkait dengan produk (barang dan jasa). Artinya, uang tercipta hanya melalui penciptaan produk. Setelah system moneter global Bretton Woods (1945-1971) dihapuskan pada 1971, pertumbuhan kapital selalu timpang terhadap pertumbuhan barang dan jasa. Ini dapat dilihat dari fakta bahwa JUB (Jumlah Uang Beredar) jauh lebih tinggi dari pertumbuhan Produk Nasional Bruto (Gross National Product, GNP) nominal, apalagi GNP riil (GNP minus inflasi).

 

Sebagai contoh, di Indonesia, saat perekonomian berjalan normal, JUB tumbuh 20 % hingga 25 % per tahun. Sedangkan GNP hanya tumbuh 6-7 % dengan inflasi yang mencapai 6,4 % (1996). Tahun 2020 Bank Indonesia (BI) melaporkan uang beredar dalam arti luas (M2) meningkat pada bulan Maret. Tercatat, posisi M2 pada Maret 2020 sebesar Rp 6.440,5 triliun pada atau tumbuh 12,1 persen secara tahunan (year on year). Posisi tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan bulan sebelumnya sebesar 7,9 persen.

Pertumbuhan JUB tanpa diimbangi barang dan jasa di pasar, akan mendorong akumulasi kapital dalam bentuk portfolio investment, yakni penempatan dana di bursa saham atau bank (untuk transaksi valas). Selain tidak memberi kesempatan sektor real untuk tumbuh, proporsi portfolio investment yang selalu besar terhadap pembentukan kapital, mencerminkan situasi yang rentan. Di saat “uang panas” itu hengkang, seketika itu juga kurs mata uang turun.

 

Portfolio investment (yang tidak serta merta mendorong pertumbuhan yang beruntun atau multiplier effect di sektor riil) juga berbahaya bagi sistem kapitalisme itu sendiri. Sebagai mana diketahui, energi kapitalisme adalah akumulasi modal. Akumulasi modal memang dapat terjadi di bidang investasi portofolio. Namun pada akhirnya, investasi di bursa saham dan perbankan, cepat atau lambat harus ditanamkan di sektor real untuk benar-benar jadi produktif. Sepanjang sektor moneter menjadi “awan gelap” yang membayangi sektor riil, maka pertumbuhan sektor moneter jauh lebih cepat dibandingkan sektor riil. Dampaknya, semakin banyak uang beredar di meja transaksi valas atau saham tanpa ada kaitan dengan sector riil. Akumulasi melalui penjarahan jika meminjam David Harvey, dilakukan pula lewat tahap yang jauh lebih canggih seperti finansialisasi, manajemen dan manipulasi krisis, serta redistribusi oleh negara. Praktek-praktek dalam bidang keuangan tersebut dimainkan oleh tiga aktor utama neoliberal yakni WTO, IMF, dan Bank Dunia yang mana praktek dan kebijakan mereka sangat spekulatif dan predatoris

 

Harapan memperbaiki sistem perputaran moneter global kini terletak di pundak para pemegang hegemoni perekonomian global. Resiko dari portfolio investment menunjukkan perlunyaregulasi transaksi valas. Dengan reguasi semacam itu, kurs diharapkan tidak lagi bergerak liar, tetapi dinamis menurut pola gradual. Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund, IMF) adalah Lembaga paling berkompeten untuk mengatur persoalan ini. Tapi AS memiliki hak veto sehubungan dengan share-nya. Prospek regulasi pasar valas melalui IMF justru terletak di Kongres dan Gedung Putih. Di sinilah ditentukan sikap AS dalam konstelasi ekonomi-politik global termasuk memberikan lampu hijau bagi regulasi valas global.

 

Celakanya Indonesia berada dalam cengkeraman hegemoni kapital global sejak Pemerintahan Orba, pada awal kekuasaannya berunding dengan IMF dan Bank Dunia. Tentu saja peralihan kekuasaan dari Soekarno kepada Soeharto padw waktu itu amat didambakan oleh Barat. Karena transisi itu, Indonesia menjalankan kebijakan ekonomi neoklasik, setidaknya sejak akhir deckde 60-an, yaitu pada saat UU Penanaman Modal Asing di berlakukan untuk membuka jalan bagi PT Freeport untuk mengeruk kekayaan alam Papua.

 

Bagaimana pengalaman Indonesia sejak jatuh ke cengkeraman neoliberalisme? Sejak awal Orba hingga 1996, Indonesia menggapai laju pertumbuhan ekonomi tinggi. Memakai ‘rezeki nomplok’ hasil ekplorasi minyak, pemerintah membangun infrastruktur guna mencapai dan mempertahankan pertumbuhan tersebut. Ada empat kritik penting terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia pada era Orba. Pertama, pertumbuhan tinggi dicapai terutama karena restriksi pergerakan nilai tukar uang. Kedua, karena hasil eksploitasi sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui. Ketiga, meningkatnya utang luar negeri setelah dukungan dari minyak menipis. Keempat, pertumbuhan dicapai dengan mengorbankan sisi pemerataan. Pada posisi ini kaum kaya dan kelas menengah yang bergantung kepada negara memperoleh manfaat terbesar dari pertumbuhan ekonomi. Singkatnya, pertumbuhan ekonomi selama tiga dekade sejak tahun 1966, telah dicapai dengan biaya sosio-ekologis yang sangat tinggi.

 

Krisis moneter tahun 1997 membuktikan bahwa bahwa proses integrasi ke dalam system finansial global membawa kita ke dalam fase transisi yang rawan dan penuh pergolakan. Interaksi di antara perekonomian yang mengandung perbedaan tingkat efisiensi yang tajam, berpotensi menimbulkan kerawanan kurs. Sumber kerawanan ini di sebabkan ketergantungan terhadap likuiditas dolar AS yang tinggi, kalau saja AS tidak mau melakukan pelonggran likuiditas maka akan menyebabkan deleveraging, mata uang berbagai Negara melemah karena di sedor oleh pemerintah AS.

 

Guncangan atas kurs devisa akhir-akhir ini perlu mendapatkan perhatian serius dari pemerintah untuk mencegah terjadinya krisis ekonomi yang lebih parah seperti terjadi tahun 1997-98 dan 2008-2009. Gejolak itu perlu mendapatkan perhatian karena sudah sejak Agustus 2013, Morgan Stanley sudah memasukkan Indonesia dalam kelompok The Fragile Five (lima perekonomian yang rentan) bersama Turki, Afrika Selatan, India dan Brasil. Karena buruknya kondisi neraca pembayaran luar negerinya, mata uang kelima negara itu sangat rentan dan peka terhadap guncangan ekonomi dunia.

 

Karena bagi perekonomian yang tergantung pada impor bahan baku serta aliran modal asing, penyusutan kurs bisa jadi malapetaka. Menurunnya nilai kurs domestik jelas mengurangi kapasitas produksi tercermin dalam pertumbuhan PDB yang negatif, yang pada gilirannya meningkatkan angka pengangguran.

 

Pada periode pemerintahan  Gus Dur, posisi Indonesia cenderung lemah dalam konstelasi ekonomi-politik global. Peluang untuk melepaskan dari cengkeraman neoliberalisme ekonomi sangatlah tipis. Mengapa? Karena kita berhadapan dengan sistem global yang mencekik dari segala arah. Pelepasan dari struktur yang ada saat ini, padahal kita masih punya utang luar negeri adalah tindakan yang amat riskan. Bisa saja kita ngemplang, menolak membayar utang luar negeri. Akan tetapi hegemoni kapital global selalu punya cara untuk merampas kembali assetnya. Pengalaman Peru pada priode 1980-an cukup penting untuk di ingat. Ketika Peru memutuskan mendiskon utangnya sekitar 80-90 % maka Peru langsung terjebak dalam labirin inflasi ribuan persen.

 

Sanggupkah kita menolak IMF, World Bank, ADB dan agen lain kapitalisme? Dengan pertimbangan objekif maka hal itu tidak gampang dan bisa jadi tidak mungkin. Penetrasi kapitalisme tidak hanya melalui utang luar negeri, melainkan juga melalui penetrasi nilai-nilai, gaya hidup, prilaku dan melalui kuasa-kuasa eksklusi lainya.

 

Perkembangan kapitalisme global membutuhkan adanya masyarakat konsumen (consumer society) yang akan melahap semua produk kapitalisme. Masyarakat yang eksistensinya dilihat hanya dengan pembedaan komoditi yang dikonsumsi. Ketika sebagian besar masyarakat Indonesia telah terlena dalam buaian dunia kapitalistik, sulit bagi kita untuk mengurangi konsumsi sebagai konsekuensi logis dari sikap kita menarik diri dari mainstream kapitalisme global. Dalam kontek ini, masyarakat kita ibarat orang-orang yang mabuk oleh zat aditif globalisme yang mewujud dalam kebiasaan berkonsumsi, tingkah laku yang serba praktis-pragmatis, orientasi pada kehidupan hegemonis, penjajahan kultural dan bagaimana caranya memanipulasi hasrat konsumen. Berbagai kajian telah membuktikan bahwa realitas sosial-ekonomi di era masyarakat post-modern makin berkembang, proses komodifikasi makin luas, serta perilaku konsumsi masyarakat juga telah mencapai tingkat akselerasi perkembangan yang tidak lagi bisa dikendalikan karena dukungan dan pertumbuhan teknologi informasi yang luar biasa (Campbell, 1987)

 

Perekonomian dengan pasar terbuka adalah fakta yang tak terpungkiri. Sulit bagi kita saat ini untuk mengubah arah sejarah dengan menjalankan perekonomian tertutup atau perekonomian tiga sector,  yang meliputi kegiatan dalam sektor rumah tangga, perusahaan dan pemerintah. Corak kegiatan dalam perekonomian dalam perekonomian tiga sektor sangat disokong oleh keterlibatan pemerintah dalam pelaksanaannya untuk dapat mencapai keseimbangan ekonomi. Perekonomian tiga sector ini menampilkan perbedaan yang mencolok antara keuntungan yang diperoleh masyarakat dengan yang diperoleh perusahaan, distribusi pendapatan tidak merata, dan tingkat penggunaan tenaga kerja yang tidak penuh sehingga terjadi pengangguran besar-besaran. Dengan mengecualikan peran aktor-aktor internasional. Bahkan, andaikata kebijakan resmi negara mencoba mengatur alur transaksi internasional, perkembangan transportasi dan telekomunikasi akan mempercepat tumbuhnya black market atau pasar gelap yang lebih destruktif. Semakin tinggi mobilitas teknologi dan manusia, maka semakin dalam juga penetrasi logika pasar bebas ke dalam ekonomi Indonesia

 

Krisis ekonomi bukan menghambat akselerasi menuju liberalisme melainkan justru mempercepat akselerasi tersebut. Salah satu kunci mengatasi krisis, yaitu restrukturisasi utang lewat konversi debt-equity (peralihan utang menjadi ekuitas atau peyertaan modal). Dan itu akan berdampak bagi terbukanya pintu bagi investor asing untuk menjamah lebih banyak lagi bidang-bidang produksi dan distribusi, termasuk untuk komoditas yang menguasai hajat orang banyak.

 

Mengundang investor asing sebagai jalan keluar menuju pemulihan ekonomi berarti melibatkan diri kita lebih jauh dengan kapitalisme global. Sekarang ada Omnibus Law, UU Minerba, dan berbagai kebijakan yang pro investasi, dengan jumlah Utang Indonesia Per Mei 2020 yang naik tembus Rp 5.868 Triliun adalah ladang atau medium persemaian yang subur bagi pertumbuhan kapitalisme. Dan kini, tantangan kita tidak hanya bertumpu pada pembayaran cost kesalahan masa lalu, pengelolaan utang yang tidak prudent dapat menimbulkan permasalahan yang berat bagi keuangan negara. Indonesia harus mengambil pelajaran penting dari Amerika Serikat (AS) misalnya dari krisis subprime mortgage dan Uni Eropa (UE). Krisis ekonomi yang terjadi di kedua kawasan tersebut berakar dari penggunaan dan pengelolaan utang yang tidak hati-hati. Dari apa yang dilakukan oleh pemerintah saat ini dengan membuka pintu untuk investasi kapitalisme merupakan bentuk  pengkokohan neo-liberalisme. Dominasi kuasa konglomerasi dalam sistem kapitalisme akan menggiring praktik ekonomi untuk menguntungkan golongan-golongan tertentu dengan kepentingan spesifik.

 

Dan, krisis ekonomi yang mungkin dan pasti saja akan terjadi akan menimbulkan biaya-biaya tinggi yang harus ditanggung di masa depan oleh generasi saat ini dan generasi mendatang. Untuk dapat beranjak dari kemelut kapitalisme, negara penganut sistem demokrasi selayaknya terus berupaya untuk mencipta kehidupan sistem demokrasi ekonomi secara ideal melalui pengambilan keputusan yang berada di tangan public shareholder, termasuk juga di dalamnya adalah pekerja, pemasok, dan rakyat luas. Lebih dalam lagi demokrasi ekonomi menekankan kontrol produksi serta memperbaiki masalah ekonomi yang subsisten sebagai bentuk strategi ketahanan social bagi masyarakat rentan.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar