Anotasi Masyarakat Sipil dalam Diskusi “Omnibus Perspektif” Antar Elemen - Erwin Basrin

Breaking

Recent Posts

 photo Untitled-1_1.jpg

Selasa, 14 April 2020

Anotasi Masyarakat Sipil dalam Diskusi “Omnibus Perspektif” Antar Elemen




Diskusi Antar Elemen adalah forum diskusi masyarakat sipil di Bengkulu yang di bentuk sejak tahun 2010. Forum diskusi ini menyepakati visi besarnya untuk menguatkan diskursus di tingkat masyarakat sipil, diskursus tentang fenomena dan nomena yang terjadi. Malam ini, tanggal 10 Maret 2020 Diskusi Antar Elemen atau DAE, mengangkat issue Omnibus Perspektif dalam mendedah iklim demokrasi Indonesia di era reformasi. Demokrasi yang menampilkan wajah anomalinya di mana panggung demokrasi benar-benar diisi oleh  penyakit ketidakwarasan atau kepribadian ganda (split of personality) yang ujung-ujungnya mengarah pada perilaku inkonsistensi yang mengerikan,. Konfigurasi gerakan civil society-pun akhir-akhir ini kurang solid ditambah kentalnya watak pragmatisme, bahwa tantangan besarnya adalah gerakan yang tidak padu dan, kontradiksi di dalam dirinya.

Diskusi Antar Elemen yang dilaksanakan di Rumah Akar Foundation dan di ikuti oleh 42 orang ini mencoba memahami dan mencari jawaban atas kondisi anomali demokrasi tersebut. Ada dua pertanyaan kunci yang memandu proses diskusi kali ini. Pertama, Seperti apa relasi kultur sosiologis yang terjadi dalam Masyarakat? Kedua, Peran masyarakat sipil dalam Proses Konsolidasi?

Sebagai yang diminta menjadi tuan rumah dalam diskusi ini, Saya bertanggung jawab mencatat poin-poin penting selama diskusi berlangsung. Poin-poin ini saya rangkum dari semua jawaban yang di sampaikan oleh peserta diskusi. Jawaban muncul dari perdebatan tajam, jawaban-jawaban yang muncul mempertentangkan kembali. Saya memulai diskusi dengan mengekplorasi asimetris relasi antara sumberdaya, elit dan massa. Relasi elit dan massa yang asosiasi formalnya tidak mampu secara kolektif menyuarakan kekecewaan Rakyat dan sisi lainnya gerakan Rakyat kontemporer tidak lagi melawan keditaktoran, melainkan dalam lingkup praktek demokrasi. Begitu juga relasi sumberdaya yang asimetris dimana kebijakan ekonomi yang berorientasi pasar, pemusatan kekuasaan dan kekayaan di tangan segelintir kaum elit dan berkembangnya teknologi komunikasi dan informasi.

Sementara bagaimana para pemimpin bersikap? Saya memulai dengan menjelaskan ketidakadaan komitmen dan idealisme yang bisa di-share bersama mengenai proses transisi menuju demokrasi, selain tidak pernah muncul dari para pemimpin tentang desain tentang “rekonstruksi politik”, “partisipasi sosial” dan “reformasi hukum” sementara upaya pemulihan ekonomi gagal total. Dan, tidak ada model untuk penyelesaian kasus pelanggaran HAM di masa lalu. Pun, kebijakan reparatif dan protektif HAM dalam rangka demokratisasi tak cukup tergambarkan. Pemerintah sibuk dengan perseteruan elit dan menjadi pendukung utama bagi munculnya kembali kelompok status quo. Akibatnya; Krisis ekonomi dan krisis multidimensional tidak pernah terselesaikan, pecahnya elit politik dan remuknya berbagai lembaga manajemen konflik baik yang dimiliki masyarakat maupun yang dikendalikan negara.

Kondisi ini di perparah dengan kondisi masyarakat sipil sebagai pendukungan utama pengakuan prinsip-prinsip dasar Demokrasi, partisipasi politik dan pelindungan HAM. Saat ini, tidak ada gerakan yang kuat dan terorganisir, kalaupun ada hanya terjebak kasus dan lokalistik. Tidak ada program politik, dan terjadinya tarik ulur antara gerakan ideologi dan struktur. Masyarakat sipil cenderung menggunakan pendekatan budaya untuk memobilisasi Rakyat dan menjaga komunikasi.

Potret umumnya terjadinya pergeseran peran aktor demokrasi. Perkembangan politik memunculkan banyak aktor baru dengan berbagai kecenderungannya yang memunculkan berbagai varian baru dalam gerakan demokratisasi. Umumnya merupakan respon terhadap situasi/perkembangan yang terjadi di tingkat lokal. Reposisi para aktor lama juga berlangsung. Gejala ini terjadi untuk memungkinkan mereka terus eksis dalam situasi yang berubah. Sebagian dari aktor demokrasi ini menjadi black lawyer, mendampingi para koruptor. Yang lainnya bikin partai baru, cari posisi dan kedudukan. Sebagian masuk ke pemerintahan dan menjadi pendukung fanatik Presiden Gus Dur, Megawati, SBY, Jokowi. Ada yang menuntut pemisahan “diri” dari NKRI. Menjadi anggota legislatif yang “baik” dan “pendiam”. Sisanya menjadi oposisi dan pengritik yang “super kritis” terhadap pemerintahan baru. Dan paling buruk menjadi agen pemobilisasi massa.

Menjawab tentang relasi kultur sosiologis, salah seorang pemantik diskusi menjelaskan secara social, secara massif menjadi pendukung utama simulacra. Rakyat terjebak pada gambar dan citra sehingga kehebohan akibat “hoax” kembali menyeruak ruang public. Dan, Masyarakat sipil sebagai pendukung utama transformasi social tidak punya kemampuan literer, kondisi ini bersimetris dengan melemahnya daya kritis dan tidak berfungsinya instrument-instrumen advokasi, mudah berapologi dan secara social meluas system demokrasi yang elitis dan instan.

Peserta diskusi yang lain menguatkan tesis dari pemantik diskusi. Betapa rezim yang sedang berkuasa melakukan tindakan pragmentasi berdasarkan issue dan cenderung memecah kosentrasi gerakan di tingkat masyarakat sipil. Test the water tentang berbagai kebijakan oleh rezim, misalnya kebijakan Omnibus Law, UU KPK dan berbagai kebijakan lainnya nampaklah di elemen masyarakat sipil terkesan gagap, gagal memamahi isue dan tidak mampu menyusun counter narasi. Dan siasat palsu ini membuat posisi negara semakin menguat, oligarki semakin mendapatkan tempat, narasi global menemukan jalan aman untuk masuk sampai pada dapur-dapur masyarakat di kampung-kampung.

Lalu, bagaimana masyarakat sipil bersikap? Pemantik yang lain menjawab, ada dua hal yang bisa dilakukan, pertama dengan jalan ideologi dan jalan struktur, kedua melalui jalan konfrontasi dan counter narasi. Kedua jalan yang akan di tempuh ini mesti di pandu oleh platform, manifesto gerakan atau maklumat masyarakat sipil. Asumsinya dasarnya bahwa setiap elemen masyarakat sipil masih memiliki komitmen dan visi dengan alur gerak dalam mendukung prinsip-prinsip demokrasi. Secara teknis strategi jalan pintas atau strategi memotong untuk mempercepat unifikasi gerakan bisa saja dimulai dengan perekat issue, penguatan perspektif dalam memahami siasat palsu dan siasat yang tercerahkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar