Hujan masih meninggalkan jejak pelariannya di tanah ini. Kharisma
berbalut angin sepoi yang menerbangkan asa tiap individu. Jejak pelarian hujan,
bagaimanapun jua, akan tercium bahkan oleh mikroorganisme di luar cakupan
mikroskop elektron sekalipun.
Sejak zaman dulu, zaman sekarang, hingga zaman nanti hujan akan
terus berlari, berlari mengejar apa yang tidak kita kejar. Kaki kecilnya
menjilat hampa meninggalkan liur di atap-atap rumah, di tanah pekarangan, di
daun pohon bambu, di mana-mana. Suara erangannya membahana tiap kali kaki kecil
itu mulai melangkah di atap-atap rumah, di tanah pekarangan, di daun pohon
bambu, di mana-mana. Sebagian menganggap musik harmoni, sebagiannya mencaci.
Pelarian hujan di mulai dari suatu desa di ujung dunia. Lari ke
desa lain dan menghilang. Ia seabstrak realita dan senyata abstraksi benda. Ia
tidak terikat hukum, ia hanya hujan. Membingungkan. Selama perjalanan itu,
hujan tidak jua mengistirahatkan kaki kecilnya berlama-lama. Hanya saja, ia
kerap singgah di sebuah kampung di ujung pedalaman hutan yang paling dalam. Di
mana pohon ratusan tahun masih menjulang, ngarai ratusan meter masih tersedia,
angin bahorok masih menerjang, air masih masih menggenang, untuk sekadar
berduka cita. Menundukkan kepala. Dan berkelebat lagi. Apakah gerangan yang
terjadi? Semua tidak tahu. Jikapun kalian bertanya pada hujan, ia hanya akan
mengernyit sinis dan lalu. Seperti saat ini, hujan hanya sinis dan menundukkan
kepalanya di kampung itu. Rambutnya tergerai manja di antara getir kakinya yang
nelangsa. Lama.
Seluruh penduduk sedang meneteskan lelehan bening dari setiap
fluktuasi jiwa mereka. Kampung Kutai Mawua, kampung mereka sedang mengalami
kejadian heboh. Sangat heboh. Seorang laki-laki, yang entah dari mana rimbanya
telah mengejutkan semua warga kampung ini. Bukan hanya mengejutkan. Menghebohkan!
Apa hebatnya laki-laki yang bisa menembus hujan? Tapi semua tercengang.
Kedatangan laki-laki itu sudah lama. Dalam pertemuan, salah seorang warga
bahkan mengiranya seorang penjual minuman keliling.
“Laki-laki itu memiliki rambut panjang tergerai. Ia membawa
keranjang berisi botol minuman.” Jelas warga tersebut.
“Bukan. Ia adalah guru. Rambutnya di ikat rapi, berbaju dinas
dengan beberapa buku dan kaca mata bulat yang masih melekat.” Pendapat warga
lain yang sering melihat laki-laki itu.
“Ia pedagang pasar! Kulihat dia dari arah pasar dengan keranjang
penuh dagangan. Aku tidak mungkin salah.” Aku warga lain yang memang berteman
dengan pertigaan di satu-satunya pasar kampung ini.
“Kalian bercanda? Laki-laki itu pencopet! Ia menggunakan pakaian jaket
kulit tebal dan banyak kantong-kantong.” Serbu warga lain yang mengaku
pendapatnya paling benar.
Semakin lama pertemuan itu berlangsung, semakin banyak pula
spekulasi bertebaran. Aneh, dari ribuan penduduk yang melihat lalu-lalang laki-laki
itu tidak ada satupun yang memiliki spekulasi sama tentangnya. Bahkan, mirip
saja sudah dapat di hitung dengan jari. Padahal, laki-laki itu kerap melintas
di depan ibu-ibu yang sedang arisan, di samping pekerja borongan jembatan baru
di kampung itu, di sekolah, di mana-mana. Tapi, sekali lagi, pikiran penduduk
tidak bisa dinyatakan dengan perbandingan korelasi. Semua tersebar bagai ribuan
merpati yang di lepas bersamaan ke angkasa. Menyebar. Bebas. Dengan nalar
sehat, hal ini tidak mungkin. Ini memang tidak mungkin. Tapi ini terjadi. Mau
dikata apa?
Pertemuan itu akhirnya berujung ricuh. Tidak ada titik temu. Titik
terangpun buram. Orang yang saling berbeda pendapat mempertahankan pendapatnya.
Tiap penduduk memiliki pendapat sendiri, yang tentunya menyalahkan
pendapat penduduk lain. Ribuan pendapat lain. Kampung menjadi memanas. Keadaan
desa sudah tidak aman lagi. semua bersikukuh bahwa laki-laki itu adalah apa
yang mereka lihat, karena jelas itu yang mereka lihat dengan mata kepala mereka
sendiri. Orang lain menganggap orang lainnya gila, autis, skeptis, dan
sebagainya. Tapi orang lainnya lagi malah justru menganggap orang itu yang
gila, autis, skeptis, dan sebagainya. Entah yang mana yang skeptis, mana yang
autis, atau mana yang gila.
Setiap perkumpulan ibu-ibu, entah kenapa, semakin gencar melakukan
penarikan arisan. Sepanjang jalan, belasan jembatan borongan di bangun, sekolah
di tambah jam pelajarannya. Banyak lagi. Masih banyak perkumpulan yang
seolah-oleh di buat-buat. Semua berubah. Perubahan tersebut terjadi begitu
saja. Pihak terkait tidak membeberkan alasan masuk akal. “Kepentingan mendadak”
alasan mereka. Tapi, sebagian warga berspekulasi itu untuk bertatap wajah
dengan sosok laki-laki itu. Sebagian lagi, rumornya, berniat menangkap. Bahkan,
ada yang mau membunuhnya karena mengganggu kampung Kutai Mawua. Entah, siapa
yang peduli dengan alasan. Pikiran penduduk hanya dipenuhi ambisi berbalut ego
untuk menentukan pandangan siapa yang benar. Siapa yang buta siapa yang rabun,
siapa yang sehat. Harap cemas penduduk, siapa tahu ia lewat, siapa tahu ia
menebar senyum itu lagi, siapa tahu ia melintas di antara gang-gang kecil di
setiap penjuru desa, siapa tahu dan masih banyak siapa tahu lagi.
Lima hari sudah masyarakat merubah aktifitas mereka. Desa sangat
ramai. Ramai sekali. Tiap sudut desa berisi perkumpulan. Membicarakan apa saja,
membahasa apa saja. Mulai dari pemerintahan pusat yang kacau, korupsi, kampung
mereka yang terisolir, apa saja.
Tapi, jejak laki-laki itu tiada terendus oleh setiap hidung penduduk.
Ia lenyap bagai asap dupa yang menyatu dengan udara sehabis di bakar. Hilang.
“Biasanya laki-laki itu menyongsong pagi dan terlihat di ujung
desa.” Kata seorang ibu yang rumahnya di ujung desa.
“Ia sering mengibaskan bajunya di gang depan rumahku. Gagahnya.
Iapun hendak memberiku nomor handphone-nya“ timpal seorang anak dari salah satu
ibu di perkumpulan itu.
“Di kedai aku melihatnya tiap senja menyapa. Ia biasanya memandang
lekat-lekat sebotol bir yang ia pesan. Aku merasakan kebahagiaan di matanya.”
Aku ibu pemilik kedai terbesar di kampung itu.
“Ia juga tak jarang di sungai. Membiarkan tubuhnya dijilati arus
liar yang nanar. Dengan senyum yang kalian tahu.” Kata istri seorang petani
lain.
“Ia di mana-mana. Kapan saja.” Teriak perempuan dengan baju
glamor. Semua terdiam. Lama arisan itu terdiam hingga erangan hujan kembali
terdengar. Kaki-kakinya yang kecil kembali berputar putar di tanah pekarangan,
di daun pohon bambu, di mana-mana.
“Di mana kau pada kejadian itu?” celetuk salah seorang peserta
arisan seminggu kemudian.
“Apa?”
“Kejadian yang akan selalu mengingatkanmu kepada jejak kaki,
erangan hujan dan laki-laki itu.”
“Aku tidak ingin kita membahas itu. Anggap tidak pernah terjadi.”
Potong ibu berbaju glamor itu lagi. Sepertinya ibu itu memiliki peran dalam
arisan tersebut. Berada atau darah biru.
Entah. Buktinya peserta arisan hening. Tidak hanya arisan ibu
tadi, para pekerja, para siswa, siapa saja sibuk menunduk dan seakan melihat ke
masa lalu dalam keterpurukan bersama. Ketegangan menghilang seiring berjalannya
waktu.
“Buat rintikan Tuhan ini tidak mengingatkanku pada laki-laki
misterius itu. Dan momen beberapa hari lalu” Keluh seorang pekerja yang menaruh
sekop seketika, selepas erangan dan kaki kecil hujan menyambut.
“Sabarlah. Kita tidak akan mengalaminya lagi.” timpal pekerja
lain. Di sekolah susana berubah. Tidak ada kurikulum yang masuk topik
pembicaraan. Hujan di luar tidak menyamarkan sedikitpun perluasan pikiran
mereka. Hujan memang merambat deras tak tersadar jiwa.
“Pada saat perayaan itu ya. Beberapa hari lalu tepatnya” Kata
seorang guru yang telah mengabdi lama.
“Sekali lagi kau ungkit kejadian itu. Kau akan kumutasi. Diam dan
pikirkan tugasmu!” Sergah kepala sekolah yang tiba-tiba murka mendengar tentang
kejadian itu. Mungkin karena hujan dengan mudah menyerap suaranya, atau karena
benci dengan hujan yang tiada kunjung reda.
Kejadian sore itu memang masih menyisakan getir ketakukan bagi
sebagian warga. Sudah banyak penyair yang melukiskannya dalam bait puisi,
banyak cerpenis merangkainya dalam lantunan kata-kata sendu. Lagupun tak
sedikit tercipta. Kejadian sore beberapa hari lalu memang aneh.
Hujan seperti biasa hanya lewat sebatas sapa, belum berbela
sungkawa seperti saat ini di Kutai Mawua. Hari sedang baik, rakyat menjadi satu
di lapangan desa yang cukup luas. Mereka merayakan panen yang sukses. Ibu-ibu
sibuk memasak nasi, anak-anak kecil bermain gemulai di rinai hujan yang sembari
menyapa kampung Kutai Mawua. Hembusan angin masih malu, sangat sepoi melanda
jiwa. Pohon berteriak manja pertanda kebahagiaan rasa. Gelak canda hewan
terbiaskan erangan hujan, bersatu menjadi suara lembah yang selalu misteri di Kutai
Mawua, selalu dinikmati. Para pemuda berlinang keringat terlindung di bawah
beringin. Tandu, kubu, dan berbagai masalah teknis mereka kerjakan. Sore segera
menggenang dan laki-laki misterius itu, seperti biasa, berjalan lewat lapangan
untuk menuju ujung desa dan pulang, entah kemana.
Senyum ramahnya menyapa setiap orang. Dari kejauahan. Sosoknya
masih samar di penglihatan. Tapi, orang dewasa di Kutai Mawua tidak ada yang
mau menembus hujan sederasa itu, mitos. Dan, laki-laki itu, baru pertama kali
bertemu hujan di Kutai Mawua. Dialah laki-laki itu. Laki-laki yang berani
menembus hujan. Air hujan masih mengucur deras di setiap pori-pori kulit bocah
yang merindukan hujan di lapangan. Rambut mereka saksi betapa indahnya bermain
hujan dengan sejawat. Mata mereka saksi laki-laki itu melintas, masih dengan
senyumnya, di samping mereka. Ketertegunan bocah itu sama seperti warga lain.
Sejenak, mereka melupakan siapa laki-laki itu dan apa
pekerjaannya. Wajah warga pias. Melambangkan keterkejutan yang berubah jadi
ketegangan. Warga ini memang resesif tentang hal baru, apalagi yang tidak masuk
akal. Seperti laki-laki yang sedang menembus hujan itu. Tidak ada setetes
hujanpun yang mengenai tubuh berisinya. Kaki-kaki kecil hujan, entah bagaimana,
tidak membasahi. Tidak jelas apakah itu melewati, menjauhi atau menguap sebelum
terkena kulit si laki-laki. Laki-laiki itu masih tersenyum dan hujan masih
enggan menyentuhnya. Semua bocah berlari mencari dekapan ibu, dan laki-laki itu
sampai di tempat para ibu. Tubuh bocah terasa segar, berlumuran liur hujan yang
nestapa. Tubuh laki-laki kering, tak tersentuh kaki hujan sedikitpun, setelah
menembus hujan dari ujung desa.
Tak ayal lagi penduduk desa lari terbirit-birit. Pertemuan lenyap
dalam hitungan menit. Hanya ada kompor, nasi yang belum matang, dan bahan lain.
warga menghilang. Laki-laki itu tertegun. Berjalan, dan hilang di tengah hujan.
Esoknya tiada beda. Warga memberanikan diri lanjut. Lagi, laki-laki itu tampak
di sana. Warga kembali termangu menelangsa dalam kenestapaan di tengah Hujan.
Sekelompok warga, yang entah kenapa, tak bisa menahan diri. Kejadian bergitu
cepat dan laki-laki itu terbunuh di depan warga, masih di tengah hujan.
Kematian itu mengundang misteri. Ada warga melihat laki-laki itu di bunuh
dengan panah yang tepat di leher. Sebagian warga melihat sebilah pedang merobek
perut dan jantungnya. Asumsi lain, laki-laki itu mati bergitu saja tanpa sebab.
Entah, yang mana yang benar. Ratusan warga yang melihat dengan mata-kepala
mereka tiada bersua satu. Pendapat berbeda bagai watak manusia yang tercipta
dalam kebhinekaan.
Jasad itu masih tegak di tengah hujan. Aneh, hujan perlahan mulai
menitik di kulitnya. Rintik dan deras menghujam. Jasad itu menjadi basah,
sebasah bocah yang meringkuk di pelukan ibunya sehabis menantang hujan tadi.
Darah laki-laki itu menyatu dengan air hujan yang mulai menggenang kecil. Darah
itu memang merah, tapi setelah bercampur liur hujan, ada yang melihat hijau,
kuning, ungu, putih, hitam, bahkan tetap merah. Aneh.
Lebih aneh lagi, jasad laki-laki itu bagai menunggal dengan hujan.
Setiap jengkal tubuhnya bergabung dengan tetesan hujan dan lenyap dari
pendangan mata. Hilang tak berbekas. Dalam sekejap di ketertegunan yang
mencekam itu. Warga ketakutan. Tak bisa bergerak. Saling tatap, mencari
pembunuhnya. Tak ada yang mengaku. Tak ada yang beralasan. Semua sepi. Senyap.
Esoknya jasad seorang warga ditemukan di bawah hujan, mungkin itu pembunuhnya
atau ia memang pemuda yang mati termakan takdir hidup. Di tengah kerumunan
warga, laki-laki itu muncul. Tidak dengan senyumnya, tapi sebuah ekspresi yang
menyiratkan kesedihan dari matanya yang mendalam. Sebagian penduduk melihatnya
membawa pisau. Sebagian lain memperhatikan darah yang menurut mereka mengalir
dari tubuh laki-laki itu. Anak-anak banyak melihat laki-laki itu menangis.
Entah, mana yang menyiratkan kebenaran sejati. laki-laki itu, tanpa di sangka,
menatap penduduk lekat-lekat dan kembali menunggal dangan hujan di kejauhan.
Sejak saat itu hujan selalu berlama-lama di sini. Hujan akan
sempat berbela sungkawa setiap singgah. Awalnya singkat, dan perlahan semakin
lama. Hal ini mungkin pemicu lelehan bening dari setiap fluktuasi jiwa
penduduk. Hujan semakin sedih dan tega berlama-lama, mungkin berbela sungkawa.
Penduduk makin nelangsa. Hujan yang turun semakin tak terkendali. Ada yang
percaya laki-laki itu anak sang hujan sendiri, atau pendapat bahwa laki-laki itu
selingkuhan dari hujan, atau yang terbaru bahwa laki-laki itu adalah saudara
hujan sendiri. Atau bahkan manifestasi hujan. Entah. Siapapun laki-laki itu,
penduduk desa semakin bingung dan ketakutan karena mereka tinggal menunggu air
mata hujan yang akan merendam kampung mereka perlahan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar