Pagi, pancaran sinar matahari yang menembus celah-celah daun kopi
seakan membawa sejuta semangat Bersama semilir angin, seakan menghujam sanubari
untuk menebar kelembutan. Kicauan sang cericit menambah semaraknya pagi. Tuhan,
sepertinya merangkul kenangan dengan teramat baik lewat embun yang mulai
menguap. Di jalan desa, anak-anak bergegas menuju sekolah Inpres satu-satunya
yang ada di Desa ini. Mereka seperti pasukan petarung pagi, menebarkan
wewangian, wangi tanah yang tertimpa embun pagi memberi aroma khas yang
menenangkan.
Pagi ini saya sedang di Desa Tebat Pulau, nama desa administrative
dari Karang Jaya, duduk di depan pintu rumah milik Bapak Anggi (30 th) sambil menikmati
sejuk dan riang yang di ramaikan denting indah sang cericit saling silih
bersahutan. Anggi Alexsander, bapak dua orang anak ini merupakan sepupuh
jauhku. Dia berasal dari Desa Lemeu Pit Kabupaten Lebong, dia tinggal di Tebat
Pulau sejak 16 tahun lalu setelah mempersunting gadis Tebat Pulau. Setelah menikah
dia di berikan lahan kebun atau jamai
oleh mertuanya. Jamai adalah
penyebutan untuk menyebut lahan yang telah di tinggalkan, namun masih ada
sisa-sisa tanaman tua. Kebun ini ditinggalkan oleh mertuanya sejak tahun
1980-an ketika terjadi pengusiran besar-besaran oleh pihak kehutanan, lahan kelola
masyarakat ini dijadikan sebagai hutan Negara, Hutan Lindung dengan fungsi lindung.
Lahan kebun ini tidak jauh dari dusun, menurut Anggi kalau berjalan kami hanya butuh
30 menit.
Sebagai kepala keluarga yang harus bertanggungjawab atas keluarga
barunya, dia nekat untuk membuka kebun warisan orang tua dari istrinya. “ Saya
mulai membuka kebun ini sejak tahun 2003.” Kenang Anggi. Dia mulai
membersihakan kebun dan menanam kopi berjenis robusta serta tanaman-tanaman peneduh
seperti jengkol, pinang serta jenis kayu-kayuan. Kebunnya tidak terawat dengan
baik, dia tahu kebun miliknya, atau lahan warisan mertuanya masuk ke dalam Kawasan
hutan Negara atau Hutan Lindung.
Stigma perambah menempel di masyarakat pengarap hutan negara,
padahal menurut masyarakat di Tebat Pulau, sebelum di jadikan sebagai hutan
Negara, Kawasan ini merupakan wilayah kelola dan kebun masyarakat. Stigma juga
menempel di Anggi, ketakutan atas represif aparat membuat dia tidak bisa
maksimal merawat kebun yang satu-satunya sebagai penompang hidup dan masa depan
anak-anaknya.
“Tahun 2010, saya mendapatkan informasi, desa kami didatangi seorang
yang mengaku dari LSM Akar Foundation. Dia datang mau menyelesaikan kasus hutan
di desa kami,” Cerita Anggi. Kedatangannya membuat kami ketakutan, karena sebelum
kedatanganya hampir setiap minggu kami acap kali di datangai oleh aparat kehutanan
dengan seragam hijau bersenjata yang menyeramkan. “Kami pikir dia salah satu
dari mata-mata kehutanan.”
“Setelah kedatangan yang keempat kalinya, kami melihat
keseriusannya mengurus dan membantu menyelesaikan masalah kami,”
“Namanya Rahabilah Firdah,” melihat bentuk fisiknya, kami belum
begitu yakin sekuat apa dia bisa membantu kami, tubuhnya kecil dan kerempeng. Bahasa
Indonesianya sama sekali tidak lancar, Bahasa Indonesia yang terbata-bata berlogat
Lembak.
Pertama kami saya ngobrol, tidak ada satu katapun yang provokatif
yang dia ucakan. Dia suruh kami cerita Panjang tentang kondisi kami, kondisi
psikologis, kondisi social sampai kondisi ekonomi. “Dia tidak mencatat apa yang
kami ceritakan,” dia diam saja memperhatikan. Sesekali menjawab seadanya. Gaya komunikasinya
yang tidak mengurui dan sok pintar dan hebat membuat kami mulai nyaman bercerita
dengan Habil.
“Dia tinggal di rumah salah satu warga yang tidak jauh dari kediaman
saya, tetapi sering tidur dan makan dimana sajadi rumah penduduk lainnya”
sebenarnya kami tidak tahu persis apa yang dikerjakannya. “Dia ngobrol dengan
siapapun yang dia temui di kampung, ngobrol dengan bapak-bapak, ibu-ibu bahkan
ngobrol dengan anak-anak desa.”
“Setelah 3 bulan dia tinggal di desa, kami yang mengarap di Kawasan
hutan lindung dikumpulkannya”. Pada kesempatan ini barulah dia cerita
peluang-peluang yang mungkin bisa dilakukan oleh masyarakat.
“Kami mulai mengumpulkan bahan-bahan yang kami butuhkan untuk menggarap
kawasan hutan.
”Habil mengajarkan kami bagai mana membaca peluang hukum,
menginventarisir potensi ekonomi dalam Kawasan serta membaca peluang membangun
aliansi degan para pihak untuk mendukung kami.
“Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.37/Menhut-II/2007 tentang Hutan
Kemasyarakatan adalah salah satu peraturan yang kami baca, selain UU tetang
Kehutanan” dan melalui kebijakan ini kami melihat peluang yang bisa kami
lakukan, dan itu di bulan ke delapan masa tinggal Hasil Bersama kami. Kenang Sekretaris
Kelompok Tani Hutan “Subur Selalu” ini.
“Di Desa kami
terbentuk 9 Kelompok Tani Hutan Kemasyarakatan dengan jumlah anggota 328 Kepala
Keluarga”
“Bersama Habil
kami di ajarkan cara membuat peta, sehingga kami tahu seluas 606 Ha adalah kawasan
efektif yang di kelola oleh penduduk desa kami,” setelah kelompok kami anggap
kuat, barulah kami menyusun proposal di tahun 2011, kalau tidak salah itu di
akhir tahun, dua tahun Habil Bersama kami. Cerita Anggi.
“Proposal yang
kami ajukan beberapa kali di revisi karena sering kali salah, Kamilah yang di
suruh oleh Habil menyusun proposal, dia hanya sebagai tukang ketik”. Saya masih
ingat. Pada suatu hari kami, Cerita Anggi sebanyak 50 orang petani diajak menemui
Bupati dan Kepala Dinas Kahutanan Rejang Lebong oleh Habil dan Sugian Bahanan yang
baru datang dari Kota Bengkulu dan saya di minta menjadi juru bicaranya.
“Saya berkeringat
dingin, perut mual dan rasa mau muntah karena ketakutan” Cerita Anggi sambil tertawa
mengigat pertama kalinya bersama petani yang selama ini di stigma sebagai
perambah ketemu langsung dengan aparatur Negara. Saya ketakutan, ini seperti proses
menyerahkan diri untuk di tangkap. Kata Anggi. Untung ketika ketemu dengan Bupati
dan Kepala Dinas Kehutanan saya bisa menjelaskan maksud dan tujuan kami serta
menjelaskan peluang kami untuk mengelola lahan dengan tidak melanggar hukum.
“Sugian dan
Habil hanya duduk di belakang Bersama pasukan Satpol PP dan Polisi dan sesekali
mengambil gambar, Kamilah yang di depan bernegosiasi dengan Bupati dan Kepala
Dinas”
“Dua jam lebih
kami meyakinkan dan menjelaskan kepada Bupati, bahwa hak kami bisa dipenuhi dan
di jamin oleh Negara”
“Bupati dan
Kepala Dinasnya senyum-senyum dan mendukung inisiatif kami.” Permohonan kami di
tanggapi dengan baik, dan Bupati bersedia menandatangani proposal usulan kami Kepada
Menteri Kehutanan.
“Begitu keluar
ruangan, baju yang saya pakai basah oleh keringat,” saya lihat wajah pucat pasi
kawan-kawan petani mulai berangsur memerah dan senang, kemungkinan kerja kami
berhasil mulai tampak. Dan mulai saat itu kami mulai bersemangat. Proposal dari
9 Kelompok tani kami gabungkan menjadi satu usulan oleh Gabungan Kelompok Tani
Hutan Kemasyarakatan. “Saya menjadi Sekretaris Gapoktan.” Cerita Anggi Bangga.
Setelah itu,
interaksi kami dengan Dinas Kahutanan dan Kementerian tidak lagi menakutkan. Dan
anggota kami sebanyak 328 tidak lagi “kucing-kucingan” dengan apparat dalam
mengarap lahan kebun mereka.
Pada tahun 2013 kami mendapatkan Izin Peta Areal Kerja (PAK) untuk
pengelolaan hutan melalui skema Hutan Kemasyarakatan. PAK ini disyahkan melalui
Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: SK.545/Menhut-II/2013 pada
lahan seluas Lahan + 1.165 Ha tertanggal 30 juli 2013 yang diberikan kepada
Gapoktan Tumbuh Lestari, Gapoktan Tri Setia, dan Gapoktan Rukun Makmur yang
terdapat di Desa Air Lanang Desa Tebat Pulau dan Desa Baru Manis.
“Dua desa lainnya adalah desa tetangga kami yang juga di damping oleh
teman-tean Akar,” Kata Anggi.
Pada tahun 2015 Bupati Kabupaten Rejang Lebong memberikan Izin Usaha
Pemanfaatan Hutan Kemasyarakatan (IUPHKm) melalui Keputusan Bupati RL, No:
180.186.III Tahun 2015 tentang pemberian Usaha Pemanfaatan Hutan Kemasyarakatan
(IUPHKm).
“Surat tersebut di bawa dan di serahkan langsung oleh Bupati kepada kami
di Desa Tebat Pulau, dan sebagai rasa syukur kami, ketika menerima SK kami
lakukan pesta rakyat.” Izin usaha untuk memanfaatkan sumber
daya hutan pada kawasan hutan lindung ini berlaku selama 35 tahun, dan istu di
sampaikan oleh Bupati, Kepala BP DAS Ketahun dan Kepala Dinas secara bergantian
pada sambutannya.
“Setelah mendapatkan izin, kami mulai menata wilayah kelola. Menyusun
Rencana Umum dan Rencana Operasional dan Penataan Batas kami lakukan secara
swadaya dan partisipatif yang di pandu oleh Habil”
“Produksi kami mulai meningkat” Cerita Anggi dengan bangga. Bersama
petani 5 desa dampingan Akar dan telah berjuang Bersama-sama. Mereka membentuk Unit
Koperasi yang di beri nama Koperasi “Cahaya Panca Sejahtera”. Koperasi ini beranggotaan
921 Petani Hutan Kemasyarakatan yang punya misi untuk membangun unit ekonomi kolektif.
Oleh pengurus mereka menyebut Koperasi sebagai “Kelompok Orang-orang Pelaku Ekonomi
Rakyat Sosialis Indonesia.”
“Koperasi Cahaya Panca Sejahtera yang dibentuk terutama untuk
membantu pemasaran hasil-hasil Hutan Kemasyarakatan. Koperasi ini telah
meluncurkan produk kopi bubuk dengan merk AKAR, singkatan dari Aroma Kopi Alami
Rejang.” Jelas Anggi yang juga sebagai Kepala Unit Produksi.
“Identitas Rejang dan kata ‘alami’ dimaksudkan untuk menegaskan
bahwa kopi AKAR berasal dari hutan yang dikelola secara organik. Saat ini luas efektif lahan yang ditanami kopi
adalah 967 Ha yang digarap oleh 721 KK, dengan 1 hektar setidaknya bisa
menghasilkan 1 ton biji kopi.”
Selain kopi, petani Hutan Kemasyarakatan menerapkan pola agroforestry,
harapannya masyarakat tidak lagi bergantung pada kopi yang hanya panen semusim setahun.
Agroforestry adalah pola penggunaan lahan hutan yang mengkombinasikan pepohonan
dengan tanaman pertanian untuk meningkatkan pendapatan petani dan sekaligus
upaya pelestarian lingkungan. Dengan cara ini masyarakat bisa menanam
tanaman-tanaman lain di sela-sela kopi. “Selain tanaman kopi, kami juga menanam
pala, kemiri, jengkol, pinang, durian, dan aren. Dulu sebelum ada Hutan
Kemasyarakatan, masa paceklik kami panjang. Sekarang kami bisa menjual komoditi
lain sambil menunggu datangnya panen kopi,” kata Anggi.
Saya mendayuh haru mendengar cerita Bapak dari dua orang putra ini.
Dia megajarkan bahwa dalam hidup, tidak bisa berharap
segala yang dambakan bisa diraih dalam sekejap. Lakukan saja perjuangan dan
terus berdoa, maka kita akan menemukan jalan selangkah demi selangkah. Dia
seperti menamparkan saya yang congkah, bagaimana hidup mengirimkan kecewa untuk
manusia yang menggenggam terlalu banyak memupuk harapan kemudian membawa
pulang kecewa dan memupuk letih di tiap-tiap jatuhnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar