Sore ini awan hitam penuhi angkasa. Udara menjadi dingin.
Senja tak akan berwarna kemerahan hari ini. Kemudian sepi kembali merambat
secara perlahan menyelubungi tubuhnya yang telah terduduk di tepi jendela. Tak
ada senyum di bibirnya. Matanya sendu.
Dari matanya gedung-gedung, jalanan dan orang-orang lenyap.
Hanya ada awan, tanaman, bebatuan. Di matanya menjelma taman yang ditumbuhi
rerumputan juga pohon beringin yang menjulang. Di matanya, warna menghilang,
kecuali hitam dan putih, lalu kelabu, lalu abu-abu.
Angin kemudian datang menjemput. Membawa bisikan dari suara
yang sunyi. Angin datang menerpa wajahnya melukiskan mawar yang layu yang
berwarna kehitaman. Ia tak beranjak dari jendela dan membiarkan angin membelai
rambutnya yang kelabu. Rambut itu menari bersama angin diiringi nyanyian sunyi
yang dibawanya.
Hujan turun membasahi setiap jengkal taman di matanya.
Membawa bau tanah dan rumput naik dan bercampur dengan udara. Ia menghirup
udara itu dengan dalam, memenuhi rongga dadanya yang telah lama sesak. Sesak
karena bosan menghirup udara kotor yang penuh polusi, bau busuk sampah, kompetitor
pengik dan aroma jalanan yang selalu ramai oleh orang yang berlomba untuk
datang dan pergi.
Ia menghirup udara dari hujan, tanah dan rumput itu dengan
rakus. Orang-orang sudah lenyap dari matanya, siapa lagi yang butuh udara
beraroma hujan, tanah, dan rerumputan itu selain dirinya? Begitu pikirnya.
Ia mengeluarkan udara itu, menghirupnya lagi dan lagi. Kini
paru-parunya penuh oleh bau hujan, tanah, dan rerumputan. Bunga mawar layu di
wajahnya mekar lagi. Wajahnya tak sendu lagi. Rambutnya berhenti melambai. Dia
tersenyum lagi.
Mawar di wajahnya kembali layu. Senyumnya memudar. Rambutnya kembali melambai. Wajah itu sendu kembali.
Waktu berhenti, menjelma menjadi sebuah tangan. Tangan itu
menggenggam dia. Dia berdiri mengikuti tangan itu menuju ke detik yang berjalan
secara terbalik, tangan itu menyerahkan dia ke detik. Detik membawa dia pergi
ke malam hari. Malam yang tidak hitam putih. Malam di atas bukit yang di
bawahnya lampu kota sedang menyala-nyala. Malam yang langitnya begitu jelas,
karena awan sedang menemani hujan di sore hari yang hitam putih. Malam yang
dihiasi bulan tanpa bintang, dan oleh karena sinarnya malam menjadi bermandikan
cahaya keperakan yang romantis.
Gambar di wajahnya mewujud menjadi sapu tangan. Kemudian.
Air mata menetes satu demi satu dari wajahnya, lalu deras. Semakin deras
diiringi raungan yang pilu. Yang membuat semua pajangan malam merunduk. Satu
persatu cahaya lampu kota itu mati. bulan pun meminjam awan dari hujan dan
menutupi cahayanya. Malam pun menjadi pekat sempurna. Ia terus menagis
tersedu-sedu.
Waktu yang tak tahan mendengar isakan dia kembali menjadi
tangan. Mencoba menghapus air mata dia dengan sapu tangan, membelai rambut dia
dengan lembut, menundukannya di pangkuan malam yang gelap. Dia berhenti terisak.
“Aku mau pulang sekarang”
Waktu membawanya kembali ke balik jendela. Kenyataan
kembali, semua normal lagi di mata dia. Ia bangkit dan waktu meninggalkanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar