Dibutuhkan perjalanan tiga jam dengan
berjalan kaki untuk sampai di kebun Ketua Kelompok Tani Hutan Kemasyarakatan “Pilar
Jaya” dari Dusun Simpang Tugu Desa Tebat Pulau. Kebun kopi milik Bapak Dahlan,
demikian ia biasanya dipanggil. Bapak yang memiliki perawatan tinggi ini berumur
56 tahun. Leluhurnya berasal dari dan bersuku Rejang Pesisir Bengkulu Utara, sejak
tahun 1980-an resmi menjadi warga dan pemegang identitas kependudukan di Desa
Tebat Pulau Kabupaten Rejang Lebong. Bapak Dahlan merupakan salah seorang petani
dari sekian banyak pengarap kawasan hutan Lindung Bukit Daun Register 5. Hutan Negara
dengan fungsi Lindung di canangkan sejak tahun 1986 dan merupakan hutan lindung terluas di
Provinsi Bengkulu.
Kami sampai
kebun miliknya menjelang jam 14.00. kami disambut dengan senyumnya yang aduhai.
Setelah ia memberi makan anjing-anjing penjaga kebunnya. Kami naik ke atas
pondok kebun miliknya. Hamparan kebun dan hutan yang menghijau terpampang
seperti lukisan lanskap tidak hanya menyenangkan mata tetapi menyejukan hati. Tidak
lama kami duduk, istri Pak Dahlan menyuguhkan kopi dengan gula aren yang
diseduh didalam gelas kaleng bermotif bunga dan berwarna putih. Di bagian atas dan
bagian pegangan cangkir telah mengelupas catnya. Tampaklah warna dasar keleng
yang mulai menghitam karena berkarat.
“Kopi ini hasil
kebun yang kami tumbuk dengan lesung, makanya agak kasar,” Katanya
mempersilakan kami menikmati kopi. Dia tersenyum, sisa ampas kopi menempel di giginya
yang putih. Begitu juga dengan gula aren. “Gula aren ini bermerek Pilar Jaya”
sambungnya sambil menceritakan di sering gagal mengelola nira menjadi gula. “Seringkali
nira jadi cuka,” akunya jujur.
Sambil menikmati
kopi, Pak Dahlan bercerita, bahwa kawasan kebun miliknya sebelum ditetapkan
sebagai Hutan Negara, dikenal oleh masyarakat sebagai hutan Marga yang
merupakan bagian wilayah yang berhutan bagi Masyarakat Hukum Adat Bermani Ulu.
Dan, sebagian dari wilayah yang berhutan merupakan hutan batas BW, kawasan
hutan yang ditetapkan oleh Pemerintahan Kolonial Belanda pada tahun 1927
diperuntukan sebagai hutan cadangan dan fungsi ekologi dan hidrologi. Hutan yang
ada berfungsi sebagai daerah tangkapan air hujan atau catchment area untuk Daerah Aliran Sungai (DAS) Hulu Musi. DAS Musi berperan penting dalam
menjaga lingkungan termasuk menjaga kualitas air, mencegah banjir dan
kekeringan saat musim hujan dan kemarau, mengurangi aliran massa (tanah) dari
hulu ke hilir.
“Batas-batas
hutan yang di tetapkan oleh Belanda sejak tahun 1927 ditandai dengan
semen-semen beton besar, penandabatas dilakukan secara partisipatif dan atas
dasar kesepakatan warga masyarakat local ketika itu” cerita Pak Dahlan sambil
menunjukan lokasi Pilar yang dia maksud, salah satunya tidak jauh dari kebun
miliknya. Bagi masyarakat Desa Tebat Pulau, mereka mengenal tanda batas dengan
sebutan patok atau batas, dan sebagai besar sering menyebut tanda batas hutan
ini sebagai Pilar. Pilar artinya tiang atau tonggak sebagai tanda batas. Sambungnya.
Ia menghentikan cerita, karena meminta istrinya memasak nasi.
“Mereka pasti
kelaparan” katanya bernada perintah. Tidak ada makanan kaleng dan mie instan,
semua makanan diambil dari hutan. Katanya bercanda. Pada tahun 1980-an. Lanjutnya.
Kawasan kelola masyarakat Tebat Pulau dan sekitarnya di canangkan untuk
dijadikan sebagai hutan Negara, hutan Negara dengan fungsi lindung. Kawasan ini
telah selesai ditatabatas pada sekitar tahun 1986. “Menurut kabarnya berita
acaranya ditandangani pada tahun 1992.” Konsekwensi dari penetapan kawasan
hutan negara ini, masyarakat local yang menompang hidupnya pada hutan
ditertibkan, baik secara persuasif maupun dengan refresif.
“Kami disuruh
turun kebun, kemudian di photo seperti kriminal” Cerita Pak Dahlan. Pondok-pondok
kebun di bongkar, tanaman ditebang, padahal tanah hutan yang kami kelola adalah
warisan leluhur dan kami kelola secara arif. Cerita Pak Dahlan yang pernah saya
saksikan beberapa tahun lalu marah-marah dengan salah satu personil kehutanan
yang mau menembak/membunuh se-ekor kera ketika berada di kebunnya. “Kera itu
juga mau hidup seperti kita,” tegur Pak Dahlan dengan melototkan matanya.
Padahal kera tersebut merusak beberapa tanaman produktif miliknya.
Saya ketemu dan berkenalan dengan Pak
Dahlan pada tahun 2011. Ketika itu kantor saya, Akar Foundation mulai
memfasilitasi perizinan dan penguatan pengurus kelompok Tani Hutan
Kemasyarakatan. Kami sering berkumpul dan berdiskusi sampai pagi menjelang di
salah satu rumah penduduk yang ‘iklas’ untuk kami jadikan sebagai Basecamp. Pak
Dahlanlah yang memberikan nama kelompok tani yang dia pimpin dengan nama Pilar
Jaya. 70 orang anggotanya setuju dengan nama yang dia berikan. Ada nilai
historis dari nama yang diberikan oleh Pak Dahlan untuk kelompoknya dan
disetujui oleh anggotanya.
Kami hanya menginap satu malam di pondok
kebun milik Pak Dahlan, Pagi-pagi kami sama-sama turun ke Kampung karena harus
menghadiri pertemuan dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. “Kami
akan bernegosiasi dengan orang dari Kementerian” Katanya bangga, tidak ada lagi
nampak dan nada ketakutan ketika menyebut Kementerian Kehutanan yang puluhan
tahun menjadi momok yang menakutkan bagi masyarakat pengangarap hutan.
Berjalan di belakang Pak Dahlan yang
memiliki tungkai kaki yang panjang dan lincah kami harus berlari-lari kecil
padahal dia hanya santai saja berjalan. Tidak ada sepatu atau sandal yang
menempel di kakinya. “Saya lebih nyaman dengan kaki ayam” Katanya. Beberapa
kali saya lihat kakinya menukik ke tanah menahan laju jalannya untuk menyesuaikan
kecepatan kami yang lambat dan melambat. “Ibu jari kaki ini fungsinya seperti
Rem” ia menukikkan ibu jari kakinya yang besar ke dalam tanah yang gembur,
sepertinya dari tadi ia tahu saya memperhatikan caranya berjalan.
“Pilar itu batas, yang menandai masa silam
dengan masa depan. Masa silam yang penuh ketakutan dan masa depan yang penuh
pengharapan” kata bapak empat orang anak ini sambil menunggu giliran untuk
bernegosiasi tawaran pendanaan sector kehutanan oleh BLU P2H Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia yang dilaksanakan di desa
Tebat Pulau pada tanggal 18 Oktober 2018. Kami duduk di lantai bangunan Pasar
Desa Air Lanang, ia seperti tidak nyaman ketika saya paksakan merokok. Pak
Dahlan bukanlah perokok tepatnya jarang sekali merokok. Sambil memperhatikan
ratusan petani hutan yang siap ikut bernegosiasi, kami senyum-senyum melihat Ketua
Gapoktan Tri Setia, Bapak Johanes sibuk mengatur angota dan pengurus kelompok
tani anggota Gapoktan yang dipimpinnya termasuk Kelompok Tani Pilar Jaya. Kelompok
Tani pimpinan Pak Dahlan. “Itulah resiko menjadi pempimpin,” Kata Pak Dahlan. Pemimpin
harus ada di depan ketika ada masalah dan mendapat jatah terakhir ketika memperoleh
sesuatu. Obrolan kami terputus ketika Bapak Nurkhosmi bergabung duduk bersama
kami di lantai Bangunan Pasar Desa. Bapak Nurkhosmi memperhatikan secara serius
petani yang hadir pada pertemuan siang ini. Sambil menulis di buku yang dia keluarkan
dari tasnya. “Saya melihat ada hal yang menarik dari setiap kali kita
mengadakan pertemuan,” Katanya. Jelas sekali pertanyaannya ditujukan kepada
saya.
“Apa itu,” tanya saja yang gagal focus. Ada
ikatan persaudaraan yang kuat sekali diantara mereka, padahal mereka berbeda
kampung dan tidak ada hubungan darah. “Mereka seperti tidak berjarak dalam
komunikasi” Terang Bapak yang sejak tahun 1990 terlibat dalam menginisiasi
Hutan Kemasyarakatan di Rejang Lebong. Sebagai orang yang paling lama dan mengerti
tentang Hutan Kemasyarakatan, dia jarang sekali tampil di depan. Pada beberapa
pertemuan dia bahkan menjadi panitia konsumsi, yang sibuk menyediakan makanan
dan minuman buat peserta yang hadir. Saya terkejut dengan penjelasan dari Bapak
yang tidak mem-patronkan dirinya. Dia kemudian berdiri untuk membagikan kopi
kepada peserta. Kami terdiam, dan Pak Dahlan sambil menganggukkan kepala sambil
mengelus dagunya yang tidak berjenggot.
Pak Dahlan memperhatikan nama-nama anggota
kelompoknya yang di panggil satu-satu memalui pengeras suara. Ia seperti ingin
memastikan anggotanya mendapatkan hak yang sama dalam pertemuan ini. Pak Dahlan,
kelompok yang dipimpinnya mengelola lahan hutan seluas 140 Ha oleh 70 Kepala
Keluarga Petani. Hak kelolanya selama 35 tahun dengan skema Izin Usaha
Pemanfaatan Hutan Kemasyarakatan (IUPHKm) yang di legalkan melalui Keputusan Bupati Rejang Lebong. SK
ini diberikan langsung oleh Bupati Rejang Lebong ke Desa Tebat Pulau pada tahun
2015. Kampung dimana Pak Dahlan berdomisili. Setelah menerima SK langsung dari tangan Bupati Rejang Lebong, Pak
Dahlan yang sangat
bertanggungjawab dengan anggota kelompoknya yang semuanya secara turun menurun menggantungkan kehidupannya di
hutan.
“Mereka sama-sama merasakan ketakutan
sebelum teman-teman dari Akar Foundation membantu kami,” bahkan cerita Pak
Dahlan, masyarakat tetangga kebunnya sering dia antar turun kedusun ketika
mendengar kabar Polisi Kehutanan akan mengadakan operasi penertiban. Matanya tertuju
kesalah seorang berbadan gemuk berbaju hijau, salah seorang dari Dinas Kehutanan.
Tetapi tidak ada tatapan dendam dimatanya.
“Pernah satu kali kami lari membawa
anak-anak kecil di tengah malam ke dalam hutan setelah mendengar bunyi tembakan
senapan, padahal itu orang yang sedang berburu rusa”
“Kami pikir itu orang Kehutanan” katanya sambil
tertawa dan membenarkan letak sandal jepitnya yang sudah bolong di bagian
tumit. Sandal yang keluarkan dari ranselnya begitu masuk kampung. Pak Dahlan merupakan
generasi ketiga dari garis keturunan ayahnya yang sampai saat ini masih
berladang kopi di kawasan hutan Bukit Daun. Orang-orang Desa di Tebat Pulau
banyak mengatakan bahwa ia lebih sering tinggal di kebun dari pada di desa.
Sehingga insting survival tercermin dari postur tubuhnya yang besar, tinggi dan
kulit berwarna coklat kehitaman. Postur tubuhnya yang atletis dengan otot-otot
yang masih tampak menonjol kuat dan, ia biasa berjalan tanpa menggunakan alas
kaki, sehingga telapak kakinya tampak mekar dan jari-jari kakinya keluar dari
barisan penutup sandal.
Pak Dahlan selalu datang setiap ada
pertemuan, baik yang dilaksanakan di kampungnya maupun yang dilaksanakan di
Kota Curup, Ibu Kota Kabupaten Rejang Lebong. Dia sering datang agak terlambat,
meskupun dia punya satu unit sepeda motor tetapi dia lebih suka untuk berjalan
kaki turun dari kebunnya.
“Lebih aman dan nyaman,” Katanya.
Meski berjalan kaki dan jarang mengunakan sepeda motor “rombengannya”, sepanjang jalan Pak Dahlan sering memperbaiki jalan atau rute yang sering di gunakan oleh patani sebagai jalan Ojek. Di setiap pertemuan Pak Dahlan jarang mengunakan hak bicaranya. Ia hanya berbicara hal-hal yang penting dan tidak berbelit-belit, kalua ia berbicara jarang orang yang berani mendebatnya. Dia presentasi dari Ulubalang, pasukan perang dalam sejarah Rejang. Ketika kita datang ke kebun miliknya, kita pasti akan disambut oleh puluhan ekor anjing peliharaanya dan lengkap dengan penampilannya seperti pasukan gerilya Vietnam. Dengan sorot mata yang garang dan senapan angin yang selalu di selempangkannya, maka tidak ada yang berani merusak wilayah hutan seluas 140 Ha yang sudah di pegang Izinnya.
Dia sering kali mengusir dengan kasar pendatang atau perambah yang berniat untuk membuka hutan. “Hutan akan hancur jika orang bebas merambah” bahkan katanya. Hutan di wilayah kelompok Pilar Jaya, selain catchment area untuk Daerah Aliran Sungai (DAS) Hulu Musi juga penyuplai utama bagi DAS Palik yang digunakan untuk pengairan ribuah hektar sawah bagi warga Bengkulu Utara. “Saya harus menjaga hutan ini dari kelaparan bagi ribuan keluarga saya di Bengkulu Utara yang bermata pencarian sebagai petani sawah yang mengadalkan Air Palik” Katanya.
Meski berjalan kaki dan jarang mengunakan sepeda motor “rombengannya”, sepanjang jalan Pak Dahlan sering memperbaiki jalan atau rute yang sering di gunakan oleh patani sebagai jalan Ojek. Di setiap pertemuan Pak Dahlan jarang mengunakan hak bicaranya. Ia hanya berbicara hal-hal yang penting dan tidak berbelit-belit, kalua ia berbicara jarang orang yang berani mendebatnya. Dia presentasi dari Ulubalang, pasukan perang dalam sejarah Rejang. Ketika kita datang ke kebun miliknya, kita pasti akan disambut oleh puluhan ekor anjing peliharaanya dan lengkap dengan penampilannya seperti pasukan gerilya Vietnam. Dengan sorot mata yang garang dan senapan angin yang selalu di selempangkannya, maka tidak ada yang berani merusak wilayah hutan seluas 140 Ha yang sudah di pegang Izinnya.
Dia sering kali mengusir dengan kasar pendatang atau perambah yang berniat untuk membuka hutan. “Hutan akan hancur jika orang bebas merambah” bahkan katanya. Hutan di wilayah kelompok Pilar Jaya, selain catchment area untuk Daerah Aliran Sungai (DAS) Hulu Musi juga penyuplai utama bagi DAS Palik yang digunakan untuk pengairan ribuah hektar sawah bagi warga Bengkulu Utara. “Saya harus menjaga hutan ini dari kelaparan bagi ribuan keluarga saya di Bengkulu Utara yang bermata pencarian sebagai petani sawah yang mengadalkan Air Palik” Katanya.
Pak Dahlan bersama 18 Kelompok lainnya yang tergabung ke dalam lima
Gabungan Kelompok Tani Hutan Kemasyarakatan yang tersebar di lima desa,
bersama-sama membentuk unit ekonomi kolektif mereka dalam bentuk Koperasi. Mereka
menamakan koperasinya dengan nama Cahaya Panca Sejahtera. “Lima yang
memancarkan kesejahteraan” tafsir bebas Pak Dahlan. Petani Hutan kemasyarakatan
punya perlengkapan dan peralatan lengkap untuk mengelola kopi, ceritanya. Produksi
kopi kebun mereka dikelola dalam bentuk bubuk kopi oleh koperasi dengan merek
dagang Kopi Akar. “Aroma Kopi Alami Rejang” Katanya sambil menjelaskan Akar
menuju identitas georafis sekaligus mengabadikan Akar Foundation sebagai bentuk
apresiasi masyarakat.
“Selama ini produksi kami diperlakukan seperti sapi. Kerbau yang punya
susu sapi yang nama, ayam yang punya telur, lagi-lagi sapi yang punya nama” katanya
bernada berpantun. Kami yang punya modal dengan rasa kekeluargaan yang kuat
karena sama-sama berjuang selama hampir 8 tahun dan didampingi terus menerus
oleh Akar. Kami Yakin. Kata Pak Dahlan, cita-cita kami untuk menikmati hasil
hutan dan hasil kebun kami tidak hanya menjadi cita-cita seperti yang kami
tulis sebagai tujuan kami berkelompok. Cita-cita itu semakin lama semakin mulai
nyata. “Semakin kesini semakin banyak pihak yang mau membantu, bahkan
orang-orang Kementerian dari Jakarta beberapa kali sampai di pondok saya”
Cerita Pak Dahlan.
Mata hari mulai memudar, kabut mulai turun di Desa Air Lanang, Pak
Dahlan adalah orang terakhir yang menandatangan hasil negosiasi dan penawaran
pendanaan dari Kementerian Kehutanan. Dia bergegas harus naik kembali ke
kebunnya. “Saya harus ke Kebun” Katanya Pamit. Anjing-anjingnya perlu dikasih
makan, “Kalau lambat anjing-anjingnya akan membasmi binatang yang ada di hutan
dan itu tidak bagus buat kelestarian hutan” Katanya bercanda sambil memasukan
dokumen yang telah dibungkusnya ke dalam plastic ke dalam tas ranselnya yang
sudah lusuh penuh jahitan tangan. Dia meninggalkan kami di Bangunan Pasar Desa
Air Lanang, Saya perhatikan dari jauh Pak Dahlan kesulitan berjalan di jalan
beraspal. Beberapa kali ia menukik ibu jari kakikinya ke aspal, tetapi Remnya tidak
bisa difungsikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar