Jelajah Jejak Reforma Agraria; Pengantar untuk Lingkar Study Reforma Agraria - Erwin Basrin

Breaking

Recent Posts

 photo Untitled-1_1.jpg

Sabtu, 13 Oktober 2018

Jelajah Jejak Reforma Agraria; Pengantar untuk Lingkar Study Reforma Agraria




Agraria adalah masalah mendasar karena berhubungan dengan penghudupan dan kehidupan umat manusia. Perjalanan agraria bersandingan dengan perjalanan kehidupan manusia. Manusia sebagai zoon politicon, manusia politik. Sekarang marilah kita lihat peta jalan perkembangan politik agrarian sejak kemunculannya. Agrarian reform dalam Bahasa Inggris berarti pengaturan kembali atau perombakan penguasaan tanah dan dalam Bahasa Indonesia disebut dengan Reforma Agraria.

Secara etimologis, kata agraria berasal dari kata bahasa Latin ager yang artinya sebidang tanah. Kata bahasa Latin aggrarius meliputi arti yang ada hubungannya dengan tanah (lapangan, wilayah dan tanah Negara), pembagian atas tanah terutama tanah umum, bersifat perdesaan. Kata reform merujuk pada perombakan, mengubah dan menyusun/membentuk kembali sesuatu menuju perbaikan. Dengan demikian reforma agraria dapat diartikan secara sederhana sebagai penataan kembali struktur pemilikan, penguasaan, dan penggunaan tanah/wilayah, demi kepentingan petani kecil, dan buruh tani. Dan, tentu saja dalam prosesnya mengalami perkembangan dan perubahan baik dalam isi, sifat, tujuan, fungsi, landasan maupun konseptualnya. Sehingga, reforma agraria dianggap sebagai masalah yang belum selesai.
Reforma agraria muncul pertama kalinya di Yunani Kuno, muncul ketika Pemerintahan Solon (594 SM). Solon adalah Negarawan Penyair dari Athena Yunani, ia mengakhiri control kekuasaan para aristocrat eksklusif pemerintahan dengan menciptkan system control baru dengan memperkenalkan kode hukum baru yang lebih manusiawi. Salah satu system baru itu, dia berupaya membentuk pemerintahan demokrasi dan berhasil melahirkan undang-undang yang dikenal dengan Siessachtheia yang bertujuan untuk membebaskan para hektamor dari hutang sekaligus membebaskan mereka dari status sebagai budak di bidang pertanian. Karena ketika itu masyarakat harus tunduk pada para aristocrat yang memiliki tanah-tanah terbaik dan memonopoli pemerintah. Sayangnya, Undang-undang Siessachtheia tidak sampai pada proses distribusi, karena arogansi dan keserakahan masih bercokok ketika itu di Athena. Solonpun mengambil jalan tengah dan meyeruhkan bahwa keadilan tidak boleh melahirkan perselisihan. Bagi warga miskin keadilan adala pemeratan kekayaan yang sama termasuk dalam penguasan tanah, sedangkan bagi orang kaya, keadilan adalah menjaga apa yang mereka miliki.
Tiberus Gracchus (134 SM), salah seorang Anggota legislator di Romawi Kuno berhasil mengolkan Undang-Undang Agraria (lex agrarian), inti dari UU ini adalah penetapan batas maksimum penguasaan tanah, tanah di berikan kepada Negara dan di bagikan kepada Petani kecil. Tiberius merancang rencana pembagian tanah kepada rakyat yang tidak memilikinya. Usul pembaharuan agraria tersebut diteruskannya sesudah terpilih menjadi tribunus atau adalah wakil yang dipilih untuk melindungi hak-hak rakyat di Roma pada tahun 133 sebelum Masehi.
Berbeda dengan yang terjadi di Inggris, ketika kapitalisme lahir atas unsur-unsur lemahnya monarki-merkantilisme Eropa abang ke 18. Ketika itu kapitalisme dan revolusi industry terjadi pertama kalinya di Inggris. Pada pertengahan abad ke 18 terjadi peristiwa perampasan tanah atau gerakan “enclosure movement” adalah proses pengaplingan tanah-tanah pertanian dan Padang pengembalaan yang dulunya adalah tanah yang disewakan oleh umum, menjadi tanah-tanah individual. Gerakan enclosure movement (gerakan pencaplokan/pemagaran tanah) melahirkan jurang social, di satu sisi ada orang kaya yang meguasai tanah luas dan buruh tak bertanah.
Revolusi Prancis tahun 1789, adalah proses perubahan fundamental dalam penataan tanah. System penguasaan tanah feodal di hancurkan. Tujuannya adalah membebaskan petani dari ikatan “tuan dan budak” dalam system feodal dan melembagakan usaha tani keluarga kecil-kecil sebagai satuan pertanian yang dianggap ideal. Model reforma agraria ini kemudian meluas dan mengilhami beberapa negara di Eropa. Reforma agrariapun menjadi suatu pembaharuan yang komprehensif, bukan saja redistributive landreform tetapi sampai pada proses keberlangsungan produksi. Pada tahun 1906-1911 di Rusia lahir pembaharuan Gaya baru yang dikenal dengan Stolypin Reform. Reformasi ini dimulai dengan diperkenalkannya hak kepemilikan lahan secara individual yang tidak terbatas dan menghapuskan sistem obshchina dan menggantikannya dengan sistem yang berorientasi kapitalis yang menekankan pentingnya kepemilikan secara pribadi. Ciri dari gerakan ini adalah menghapus tanah kepemilikan pribadi, melarang (sewa, bagi hasil, gadai), hak dan luas garapan di sesuaikan dengan kemampuan petani dan melarang mengunakan buruh upahan. Lenin kemudian mencetuskan istilah landreform dan banyak di adopsi dan digunakan di negara komunis atau Blok timur pada saat itu dengan adagium “land to the tiller” gunanya untuk memikat hati rakyat dan petani yang menderita karena tekanan tuan tanah, untuk kepentingan politis.

Jejak Agraria di China (Tiongkok)
Program pembaruan agraria di China telah berlangsung sejak tahun 1927, masa dimana kekuatan komunis telah menguasai beberapa wilayah di Cina ketika masih dibawah kekuasaan Kuomintang. Pada masa itu kebijakan land reform yang dijalankan beragam karena perbedaan wilayah. Dalam kebijakan land reform tersebut hanya sedikit jumlah tanah yang diambil alih, redistribusi tanah berdasarkan jumlah yang setara per-orang, dan pendaftaran pendukung dari petani kaya, pedagang kecil, dan kelas intermediasi lainnya.
Revolusi Tiongkok Pertama 1925-1927 adalah sebuah revolusi proletarian yang otentik, Revolusi ini merupakan peristiwa terbesar kedua dalam sejarah umat manusia, yang kebesarannya hanya dapat diungguli oleh Revolusi Bolshevik 1917. Revolusi 1949 berhasil karena kebuntuan feodalisme dan kapitalisme di Tiongkok. Nasionalis-borjuis Chiang Kai-shek, yang merebut kekuasaan pada tahun 1927 di atas mayat-mayat para pekerja Shanghai yang tercabik-cabik, mempunyai dua dekade untuk menunjukkan apa yang dapat diperbuatnya. Tetapi, pada akhirnya Tiongkok semakin bergantung pada imperialisme, persoalan agraria tetap tidak terselesaikan, dan Tiongkok masih merupakan sebuah negeri yang terbelakang, semi-feodal, dan semi-kolonial. Borjuasi Tiongkok, bersama dengan semua klas ber-properti lainnya, bertali-temali dengan imperialisme dan membentuk sebuah blok reaksioner untuk menentang perubahan.
Menurut Mao Tse-Tung, sebagai penancap issue Agraria Tiongkok. Semua konflik merupakan konflik kelas antar kelompok sosial. Pada masa sosialis konflik tersebut adalah konflik antara kaum petani dengan tuan tanah, selanjutnya konflik antara kaum proletar dengan borjuis. Dan, ketika Stalin mengubah garis Komintern dari kebijakan-kebijakan ultra-kiri “Periode Ketiga” (1928-34) menjadi kebijakan-kebijakan oportunis frontisme-popular, Mao merevisi program agrarianya. Ia meninggalkan kebijakan sebelumnya yang radikal, yakni “tanah bagi penggarap”, dan menggantikannya dengan kebijakan yang lebih moderat, yakni penurunan harga sewa tanah. Ia mempunyai gagasan untuk memenangkan dukungan dari politik “para tuan-tanah yang progresif”. Tapi, setelah 1946 ia mengubah lagi kebijakannya.
Kebijakan agraria yang selanjutnya lebih radikal daripada kebijakan agraria dalam periode 1937-45, yang melibatkan penurunan bunga pinjaman dan harga sewa daripada reformasi agraria yang menyeluruh; tetapi taktik-taktik baru ini dimaksudkan bersifat gradual dan disesuaikan dengan kondisi-kondisi setempat. Mao masih bermaksud mengikutsertakan kaum menengah-kaya yang patriotik dalam ‘front-persatuan yang sangat luas’ yang ingin dia pertahankan.
Baru setelah beberapa tahun kaum Komunis mengontrol daerah tersebut, semua tanah didistribusikan ulang; untuk sementara reforma tidak boleh mempengaruhi lebih dari sepersepuluh penduduk. Mao juga menyebabkan pemberlakuan kembali ‘tiga aturan disiplin’ dan ‘delapan pokok perhatian’; dalam satu atau lain bentuk, ini telah mengekspresikan selama hampir dua puluh tahun penghormatan terhadap penduduk sipil dan pencegahan terhadap penjarahan, yang membedakan Tentara Merah dari semua tentara yang pernah dilihat kaum tani Tiongkok pada masa silam.
Panduan dasar land reform Mao adalah “menyandarkan diri pada petani miskin, bersatu dengan petani menengah, tidak mengganggu kepentingan petani kaya baru, dan menghapus tuan tanah feodal sebagai kelas”. Kebijakan ini berhubungan dengan perjuangan komunis yang pada dasarnya didasarkan atas tahap I, memenangkan perjuangan politik revolusioner, tahap II, memenangkan perjuangan ekonomi (produksi). Melalui jalan land reform, menjalankan penyelidikan pertanahan, mengembangkan koperasi dan gotong royong, dan mencapai pengembangan pertanian dan industri dari kekuatan produktif; dan tahap III: memenangkan perjuangan ideologi dan kebudayaan.

Jejak-Jejak Agraria di Indonesia
Pada zaman kerajaan yang berada di Nusantara, kerajaan Mataram misalnya, penguasaan tanah dilakukan oleh pejabat di dasari atas system appanage, yaitu suatu bentuk penguasaan dimana pengunaan atas tanah itu dihadiakan kepada para pejabat dengan syarat kewajiban membayar upeti kepada penguasa pusat dalam bentuk sebagian hasil bumi yang dikumpukan dari para petani. Kedatangan VOC tahun 1677 membuat peranan pejabat-pejabat protektorat di Mataram mengalami perubahan. Kebangkurutan VOC pada abad ke 19 yang digantikan oleh Pemerintah Kerajaan Belanda, dan di bawah Gubernur Jenderal Daendels terjadi perubahan-perubahan adminsitrasi untuk menciptakan kekuasaan politik yang lebih sistematis.
Pemerintahan Inggris (1811-1816) yang mengantikan Pemerintahan Belanda, di bawah Kepemimpinan Thomas Stamford Raffles persoalan agraria memperoleh perhatian yang serius. Raffles memperkenalkan teori Domein. Menurut Raffles tanah-tanah di daerah kekuasaannya semula adalah
Milik para Raja di Jawa. Karena kekuasaan telah berpindah kepada Pemerintah Inggris, maka sebagai akibat hukumnya hak pemilikan atas tanah dengan sendirinya beralih kepada Raja Inggris. Sehingga tanah-tanah yang dikuasai dan digunakan rakyat bukan miliknya melainkan milik Raja Inggris. Di atas landasan teori tersebut maka lahirlah kebijakan “land rent”, yakni rakyat yang menguasai dan menggarap tanah wajib memberikan sesuatu dalam bentuk pajak kepada Raja Inggris. System inilah yang menjadi tonggak sejarah Agraria di Indonesia. System ini sederhana saja, yaitu menerapkan system penarikan pajak bumi seperti yang dilakukan oleh Inggris di India.
Ketika kekuasaan kembali ke pada Pemerintahan Belanda pada tahun 1830 Gubernur Jenderal Van den Bosch melaksanakan system Cultuurstelsel atau dikenal dengan system tanam paksa, system ini merupakan adopsi sekaligus lanjutan dari system yang diterapkan oleh Raffles. Pada tahun 1854 keluarlah Undang-Undang atau Regerings Regelment (RR) 1854 yang merupakan kebijakan hasil kemenangan politik kaum liberal, inti dari Undang-Undang ini menyebutkan; Gubernur Jenderal boleh menyewakan tanah dengan ketentuan-ketentuan yang akan ditetapkan oleh ordonasi. Tujuannya adalah agar pemerintah memberikan pengakuan terhadap penguasaan tanah oleh Pribumi sebagai hak milik mutlak (eigendom) dan memungkinkan menjual, penyewaan serta pemerintah memberikan kesempatan kepada pengusaha swasta agar dapat menyewakan tanah untuk jangka panjang dan murah.
Pada tahun 1870 lahirlah kebijakan akibat dari pemberian hak eigendom kepada pribumi. Pemberian hak eigendom kepada pribumi berakibat pada berkurangnya peran swasta dalam penguasaan tanah. Keputusan atau kebijakan yang dibuat tahun 1870 ini disebut dengan Agrarisch Besluit yang diundangkan dalam Staatsblad No.118 tahun 1870. Peryataan penting dalam keputusan ini di kenal dengan Domein Verklaring yang menyatakan bahwa “Semua tanah yang tidak terbukti bahwa atas tanah itu ada hak milik mutlah (eigendom) adalah domain negara” Domain negara artinya milik mutlahnya Negara. Tujuan dari keputusan ini adalah memberikan kesempatan luas bagi modal swasta asing.       
Setelah 15 tahun Indonesia merdeka tanggal 24 September lahirlah Undang-Undang No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang kemudian di kenal dengan UUPA. UUPA ini lahir dari 3 Komite atau Panitia; Panitia Jogya pada tahun 1948, Panitia Jakarta tahun 1951 dan Panitia Soewahjo tahun 1956 ketiga komite ini mengusulkan perlunya penetapan batas luas maksimum dan batas luas minimum, distribusi tanah untuk petani kecil dan pengakuan atas hak rakyat atas kuasa undang-undang. Tujuan diberlakukannya UUPA sebagai hukum agraria adalah; meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional sebagai alat untuk membawa kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi negara dan rakyat tani, dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur; Meletakkan dasar-dasar kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum agraria; Meletakkan dasar-dasar memberikan kepastian hukum agraria mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya.
Di dalam UUPA pengaruh land to the tiller” tentu saja untuk kepentingan politik guna menghapus tanah partikelir atau particuliere landerijen merupakan tanah yang dimiliki oleh swasta Belanda dan pribumi yang mendapat hadiah tanah karena dianggap berjasa pada Belanda. Tetapi, landreform pengertiannya di UUPA diperluas meliputi program tindakan yang saling berhubungan yang bertujuan untuk menghilangkan penghalang di bidang ekonomi, sosial dan kekurangan-kekurangan yang terdapat dalam struktur pertanahan. Dengan demikian pelaksanaan landreform bertujuan memperbaiki keadaan sosial ekonomi rakyat melalui pembagian yang lebih adil atas sumber penghidupan petani berupa tanah.
Namun, karena konstalasi politik di tahun 1960-an kuasa atas Undang-undang sebagai jabaran dan penjelasan dari UUPA sebagai besar belum sempat di garap. Orde Baru sebagai penganti rezim Orde Lama Menyusun suatu strategi Pembangunan yang hakikatnya tidak menepatkan masalah “Reforma Agraria” sebagai dasar pembangunan. Alasan-alasanya adalah; perlu adanya stabilitas politik, peningkatan produksi pertanian melalui Revolusi Hijau menjadi titik sentral pembangunan selama Lima pelita dan UUPA di curigai sebagai produk PKI. Orde Reformasi yang mengantikan rezim sentralistik Orde Baru menganggungkan demokrasi modern yang bertumpu pada asas mayoritas, HAM dan asas kesukarelaan rakyat. Persoalan agrariapun mengalami persoalan dilematis menuju keadilan agraria, jalan inipun kemudian menawarkan jalur reformism yang memerlukan perjalan waktu yang panjang dan bisa jadi inti masalahnya menjadi kabur ataukah mengambil jalan tambal sulam dan yang keduanya mengandung bayangan revolusioner memicu terjadinya gejolak.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar