Agraria
adalah masalah mendasar karena berhubungan dengan penghudupan dan kehidupan
umat manusia. Perjalanan agraria bersandingan dengan perjalanan kehidupan
manusia. Manusia sebagai zoon politicon,
manusia politik. Sekarang marilah kita lihat peta jalan perkembangan politik
agrarian sejak kemunculannya. Agrarian
reform dalam Bahasa Inggris berarti pengaturan kembali atau perombakan
penguasaan tanah dan dalam Bahasa Indonesia disebut dengan Reforma Agraria.
Secara etimologis, kata
agraria berasal dari kata bahasa Latin ager yang artinya sebidang
tanah. Kata bahasa Latin aggrarius meliputi arti yang ada
hubungannya dengan tanah (lapangan, wilayah dan tanah Negara), pembagian atas
tanah terutama tanah umum, bersifat perdesaan. Kata reform merujuk pada
perombakan, mengubah dan menyusun/membentuk kembali sesuatu menuju perbaikan.
Dengan demikian reforma agraria dapat diartikan secara sederhana sebagai
penataan kembali struktur pemilikan, penguasaan, dan penggunaan tanah/wilayah,
demi kepentingan petani kecil, dan buruh tani.
Dan, tentu saja dalam prosesnya mengalami perkembangan dan
perubahan baik dalam isi, sifat, tujuan, fungsi, landasan maupun konseptualnya.
Sehingga, reforma agraria dianggap sebagai masalah yang belum selesai.
Reforma
agraria muncul pertama kalinya di Yunani Kuno, muncul ketika Pemerintahan Solon
(594 SM). Solon adalah Negarawan Penyair dari Athena Yunani, ia mengakhiri
control kekuasaan para aristocrat eksklusif pemerintahan dengan menciptkan
system control baru dengan memperkenalkan kode hukum baru yang lebih manusiawi.
Salah satu system baru itu, dia berupaya membentuk pemerintahan demokrasi dan
berhasil melahirkan undang-undang yang dikenal dengan Siessachtheia yang bertujuan untuk membebaskan para hektamor dari hutang sekaligus
membebaskan mereka dari status sebagai budak di bidang pertanian. Karena ketika
itu masyarakat harus tunduk pada para aristocrat yang memiliki tanah-tanah
terbaik dan memonopoli pemerintah. Sayangnya, Undang-undang Siessachtheia tidak sampai pada proses
distribusi, karena arogansi dan keserakahan masih bercokok ketika itu di
Athena. Solonpun mengambil jalan tengah dan meyeruhkan bahwa keadilan tidak
boleh melahirkan perselisihan. Bagi warga miskin keadilan adala pemeratan kekayaan
yang sama termasuk dalam penguasan tanah, sedangkan bagi orang kaya, keadilan
adalah menjaga apa yang mereka miliki.
Tiberus
Gracchus (134 SM), salah seorang Anggota legislator di Romawi Kuno berhasil
mengolkan Undang-Undang Agraria (lex
agrarian), inti dari UU ini adalah penetapan batas maksimum penguasaan
tanah, tanah di berikan kepada Negara dan di bagikan kepada Petani kecil. Tiberius merancang rencana pembagian tanah kepada rakyat yang tidak
memilikinya. Usul pembaharuan agraria tersebut diteruskannya sesudah terpilih
menjadi tribunus atau adalah wakil yang dipilih untuk melindungi
hak-hak rakyat di Roma pada tahun 133 sebelum Masehi.
Berbeda
dengan yang terjadi di Inggris, ketika kapitalisme lahir atas unsur-unsur
lemahnya monarki-merkantilisme Eropa abang ke 18. Ketika itu kapitalisme dan
revolusi industry terjadi pertama kalinya di Inggris. Pada pertengahan abad ke
18 terjadi peristiwa perampasan tanah atau gerakan “enclosure movement” adalah proses pengaplingan tanah-tanah
pertanian dan Padang pengembalaan yang dulunya adalah tanah yang disewakan oleh
umum, menjadi tanah-tanah individual. Gerakan enclosure movement (gerakan pencaplokan/pemagaran tanah) melahirkan
jurang social, di satu sisi ada orang kaya yang meguasai tanah luas dan buruh
tak bertanah.
Revolusi
Prancis tahun 1789, adalah proses perubahan fundamental dalam penataan tanah.
System penguasaan tanah feodal di hancurkan. Tujuannya adalah membebaskan
petani dari ikatan “tuan dan budak” dalam system feodal dan melembagakan usaha
tani keluarga kecil-kecil sebagai satuan pertanian yang dianggap ideal. Model
reforma agraria ini kemudian meluas dan mengilhami beberapa negara di Eropa.
Reforma agrariapun menjadi suatu pembaharuan yang komprehensif, bukan saja redistributive landreform tetapi sampai
pada proses keberlangsungan produksi. Pada tahun 1906-1911 di Rusia lahir
pembaharuan Gaya baru yang dikenal dengan Stolypin
Reform. Reformasi ini dimulai dengan diperkenalkannya
hak kepemilikan lahan secara individual yang tidak terbatas dan menghapuskan
sistem obshchina dan menggantikannya dengan sistem yang
berorientasi kapitalis yang menekankan pentingnya kepemilikan secara pribadi.
Ciri dari gerakan ini adalah menghapus tanah kepemilikan pribadi, melarang
(sewa, bagi hasil, gadai), hak dan luas garapan di sesuaikan dengan kemampuan
petani dan melarang mengunakan buruh upahan. Lenin kemudian mencetuskan istilah
landreform dan banyak di adopsi dan
digunakan di negara komunis atau Blok timur pada saat itu dengan adagium “land
to the tiller” gunanya untuk memikat hati rakyat dan petani yang menderita
karena tekanan tuan tanah, untuk kepentingan politis.
Jejak Agraria di China (Tiongkok)
Program pembaruan agraria
di China telah berlangsung sejak tahun 1927, masa dimana kekuatan komunis telah
menguasai beberapa wilayah di Cina ketika masih dibawah kekuasaan Kuomintang.
Pada masa itu kebijakan land reform yang dijalankan beragam karena perbedaan
wilayah. Dalam kebijakan land reform tersebut hanya sedikit jumlah tanah yang
diambil alih, redistribusi tanah berdasarkan jumlah yang setara per-orang, dan
pendaftaran pendukung dari petani kaya, pedagang kecil, dan kelas intermediasi
lainnya.
Revolusi
Tiongkok Pertama 1925-1927 adalah sebuah revolusi proletarian yang otentik,
Revolusi ini merupakan peristiwa terbesar kedua dalam sejarah umat manusia,
yang kebesarannya hanya dapat diungguli oleh Revolusi Bolshevik 1917. Revolusi
1949 berhasil karena kebuntuan feodalisme dan kapitalisme di Tiongkok.
Nasionalis-borjuis Chiang Kai-shek, yang merebut kekuasaan pada tahun 1927 di
atas mayat-mayat para pekerja Shanghai yang tercabik-cabik, mempunyai dua
dekade untuk menunjukkan apa yang dapat diperbuatnya. Tetapi, pada akhirnya
Tiongkok semakin bergantung pada imperialisme, persoalan agraria tetap tidak
terselesaikan, dan Tiongkok masih merupakan sebuah negeri yang terbelakang,
semi-feodal, dan semi-kolonial. Borjuasi Tiongkok, bersama dengan semua klas ber-properti
lainnya, bertali-temali dengan imperialisme dan membentuk sebuah blok
reaksioner untuk menentang perubahan.
Menurut Mao Tse-Tung, sebagai penancap issue Agraria
Tiongkok. Semua konflik merupakan konflik kelas antar kelompok
sosial. Pada masa sosialis konflik tersebut adalah konflik antara kaum petani
dengan tuan tanah, selanjutnya konflik antara kaum proletar dengan borjuis. Dan,
ketika Stalin mengubah garis Komintern dari
kebijakan-kebijakan ultra-kiri “Periode Ketiga” (1928-34) menjadi kebijakan-kebijakan
oportunis frontisme-popular, Mao merevisi program agrarianya. Ia meninggalkan
kebijakan sebelumnya yang radikal, yakni “tanah bagi penggarap”, dan
menggantikannya dengan kebijakan yang lebih moderat, yakni penurunan harga sewa
tanah. Ia mempunyai gagasan untuk memenangkan dukungan dari politik “para
tuan-tanah yang progresif”. Tapi, setelah 1946 ia mengubah lagi kebijakannya.
Kebijakan agraria yang selanjutnya lebih radikal daripada
kebijakan agraria dalam periode 1937-45, yang melibatkan penurunan bunga
pinjaman dan harga sewa daripada reformasi agraria yang menyeluruh; tetapi
taktik-taktik baru ini dimaksudkan bersifat gradual dan disesuaikan dengan
kondisi-kondisi setempat. Mao masih bermaksud mengikutsertakan kaum
menengah-kaya yang patriotik dalam ‘front-persatuan yang sangat luas’ yang
ingin dia pertahankan.
Baru setelah beberapa tahun kaum Komunis mengontrol daerah
tersebut, semua tanah didistribusikan ulang; untuk sementara reforma tidak
boleh mempengaruhi lebih dari sepersepuluh penduduk. Mao juga menyebabkan
pemberlakuan kembali ‘tiga aturan disiplin’ dan ‘delapan pokok perhatian’;
dalam satu atau lain bentuk, ini telah mengekspresikan selama hampir dua puluh
tahun penghormatan terhadap penduduk sipil dan pencegahan terhadap penjarahan,
yang membedakan Tentara Merah dari semua tentara yang pernah dilihat kaum tani
Tiongkok pada masa silam.
Panduan dasar land reform Mao
adalah “menyandarkan diri pada petani miskin, bersatu dengan petani menengah,
tidak mengganggu kepentingan petani kaya baru, dan menghapus tuan tanah feodal
sebagai kelas”. Kebijakan ini berhubungan dengan perjuangan komunis yang pada dasarnya
didasarkan atas tahap I, memenangkan perjuangan politik revolusioner, tahap II,
memenangkan perjuangan ekonomi (produksi). Melalui jalan land reform,
menjalankan penyelidikan pertanahan, mengembangkan koperasi dan gotong royong,
dan mencapai pengembangan pertanian dan industri dari kekuatan produktif; dan
tahap III: memenangkan perjuangan ideologi dan kebudayaan.
Jejak-Jejak Agraria di Indonesia
Pada
zaman kerajaan yang berada di Nusantara, kerajaan Mataram misalnya, penguasaan
tanah dilakukan oleh pejabat di dasari atas system appanage, yaitu suatu bentuk penguasaan dimana pengunaan atas tanah
itu dihadiakan kepada para pejabat dengan syarat kewajiban membayar upeti
kepada penguasa pusat dalam bentuk sebagian hasil bumi yang dikumpukan dari
para petani. Kedatangan VOC tahun 1677 membuat peranan pejabat-pejabat
protektorat di Mataram mengalami perubahan. Kebangkurutan VOC pada abad ke 19
yang digantikan oleh Pemerintah Kerajaan Belanda, dan di bawah Gubernur
Jenderal Daendels terjadi perubahan-perubahan adminsitrasi untuk menciptakan
kekuasaan politik yang lebih sistematis.
Pemerintahan
Inggris (1811-1816) yang mengantikan Pemerintahan Belanda, di bawah
Kepemimpinan Thomas Stamford Raffles persoalan agraria memperoleh perhatian
yang serius. Raffles memperkenalkan teori Domein. Menurut Raffles
tanah-tanah
di
daerah
kekuasaannya
semula
adalah
Milik para Raja di Jawa. Karena
kekuasaan telah berpindah kepada Pemerintah Inggris, maka sebagai akibat hukumnya
hak pemilikan atas tanah dengan sendirinya beralih kepada Raja Inggris. Sehingga
tanah-tanah yang dikuasai dan digunakan rakyat bukan miliknya melainkan milik Raja
Inggris. Di atas landasan teori tersebut maka lahirlah kebijakan “land rent”, yakni
rakyat yang menguasai dan menggarap tanah wajib memberikan sesuatu dalam bentuk
pajak kepada Raja Inggris. System inilah yang menjadi tonggak sejarah Agraria di
Indonesia. System ini sederhana saja, yaitu menerapkan system penarikan pajak
bumi seperti yang dilakukan oleh Inggris di India.
Ketika
kekuasaan kembali ke pada Pemerintahan Belanda pada tahun 1830 Gubernur
Jenderal Van den Bosch melaksanakan system Cultuurstelsel
atau dikenal dengan system tanam paksa, system ini merupakan adopsi sekaligus
lanjutan dari system yang diterapkan oleh Raffles. Pada tahun 1854 keluarlah
Undang-Undang atau Regerings Regelment (RR) 1854 yang merupakan kebijakan hasil
kemenangan politik kaum liberal, inti dari Undang-Undang ini menyebutkan;
Gubernur Jenderal boleh menyewakan tanah dengan ketentuan-ketentuan yang akan
ditetapkan oleh ordonasi. Tujuannya adalah agar pemerintah memberikan pengakuan
terhadap penguasaan tanah oleh Pribumi sebagai hak milik mutlak (eigendom) dan
memungkinkan menjual, penyewaan serta pemerintah memberikan kesempatan kepada
pengusaha swasta agar dapat menyewakan tanah untuk jangka panjang dan murah.
Pada
tahun 1870 lahirlah kebijakan akibat dari pemberian hak eigendom kepada pribumi. Pemberian hak eigendom kepada pribumi berakibat pada berkurangnya peran swasta
dalam penguasaan tanah. Keputusan atau kebijakan yang dibuat tahun 1870 ini
disebut dengan Agrarisch Besluit yang
diundangkan dalam Staatsblad No.118 tahun 1870. Peryataan penting dalam
keputusan ini di kenal dengan Domein
Verklaring yang menyatakan bahwa “Semua tanah yang tidak terbukti bahwa
atas tanah itu ada hak milik mutlah (eigendom) adalah domain negara” Domain
negara artinya milik mutlahnya Negara. Tujuan dari keputusan ini adalah
memberikan kesempatan luas bagi modal swasta asing.
Setelah
15 tahun Indonesia merdeka tanggal 24 September lahirlah Undang-Undang No 5
Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang kemudian di kenal
dengan UUPA. UUPA ini lahir dari 3 Komite atau Panitia; Panitia Jogya pada
tahun 1948, Panitia Jakarta tahun 1951 dan Panitia Soewahjo tahun 1956 ketiga
komite ini mengusulkan perlunya penetapan batas luas maksimum dan batas luas
minimum, distribusi tanah untuk petani kecil dan pengakuan atas hak rakyat atas
kuasa undang-undang. Tujuan
diberlakukannya UUPA sebagai hukum agraria adalah; meletakkan
dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional sebagai alat untuk membawa
kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi negara dan rakyat tani, dalam rangka
masyarakat yang adil dan makmur; Meletakkan dasar-dasar
kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum agraria; Meletakkan dasar-dasar
memberikan kepastian hukum agraria
mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya.
Di
dalam UUPA pengaruh “land to the tiller” tentu saja untuk kepentingan
politik guna menghapus tanah partikelir atau particuliere landerijen merupakan tanah
yang dimiliki oleh swasta Belanda dan pribumi yang mendapat hadiah tanah karena
dianggap berjasa pada Belanda. Tetapi, landreform pengertiannya
di UUPA diperluas meliputi program tindakan yang saling berhubungan yang
bertujuan untuk menghilangkan penghalang di bidang ekonomi, sosial
dan kekurangan-kekurangan yang terdapat dalam struktur pertanahan. Dengan
demikian pelaksanaan landreform bertujuan memperbaiki keadaan
sosial ekonomi rakyat melalui pembagian yang lebih adil atas sumber penghidupan
petani berupa tanah.
Namun,
karena konstalasi politik di tahun 1960-an kuasa atas Undang-undang sebagai
jabaran dan penjelasan dari UUPA sebagai besar belum sempat di garap. Orde Baru
sebagai penganti rezim Orde Lama Menyusun suatu strategi Pembangunan yang
hakikatnya tidak menepatkan masalah “Reforma Agraria” sebagai dasar
pembangunan. Alasan-alasanya adalah; perlu adanya stabilitas politik,
peningkatan produksi pertanian melalui Revolusi Hijau menjadi titik sentral
pembangunan selama Lima pelita dan UUPA di curigai sebagai produk PKI. Orde
Reformasi yang mengantikan rezim sentralistik Orde Baru menganggungkan
demokrasi modern yang bertumpu pada asas mayoritas, HAM dan asas kesukarelaan
rakyat. Persoalan agrariapun mengalami persoalan dilematis menuju keadilan
agraria, jalan inipun kemudian menawarkan jalur reformism yang memerlukan perjalan waktu yang panjang dan bisa jadi
inti masalahnya menjadi kabur ataukah mengambil jalan tambal sulam dan yang
keduanya mengandung bayangan revolusioner memicu terjadinya gejolak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar