Dia yang menjadi Penjaga Adat dan Menguasai Kearifan Intelektual - Erwin Basrin

Breaking

Recent Posts

 photo Untitled-1_1.jpg

Minggu, 18 Januari 2015

Dia yang menjadi Penjaga Adat dan Menguasai Kearifan Intelektual

Namanya Salim Senawar, rambutnya mulai banyak yang ubanan, wajar saja umurnya sekarang sekitar 65 tahun, tetapi tatapan matanya tetap tajam, berjenggot, wajahnya bersih dan bersinar, gerak tubuhnya lentur karena memang dia ahli dan guru silat. Daya tahan tubuhnya luar biasa, tahan dia berdiskusi sampai menjelang subuh.
Diskusi tentang apa saja. Apalagi kalau dilakukan dengan pola dialog, maka keluarlah dari mulutnya yang tidak bisa lepas dari rokok, tentang adat, sejarah adat, tentu sangat lengkap dan rinci dia jelaskan penomena-penomena adat di berbagai generasi. Begitu juga dengan diskusi tentang agama, bahkan tentang kajian “dalam”, kajian-kajian tasawuf dilahapnya habis, dia mampu mendekontruksi ayat-ayat dalam Al Quran dengan penomena-penomena bumi, mampulah dia berdikusi tentang perkembangan politik mutakhir, sangup dia keluar dari cara pandang politik mainstream, lalu dia baca persoalan politik dengan sangat jernih dan arif. Inilah gambaran Pak Salim Senawar yang berjengot yang memilih tinggal di kampung tua Topos, Kabupaten Lebong ketika beberapa kali penulis bertandang kerumah tua tempat dia menghabiskan sisa hidupnya.

“Kadang-kadang kita ini seperti daun salam saja, dibutuhkan dan dicari-cari ketika akan masak, lalu dibuang dan menjadi sampah ketika masakan tersebut matang.” Katanya memulai obrolan kami di teras rumahnya. Adat hanya dibutuhkan untuk kebutuhan seremonial, masyarakatnya hanya dibutuhkan ketika pemilu, pilpres dan pemilukada lanjut Pak Salim sambil meyuguhkan kopi dengan cangkir dari alumanium yang mulai karatan. “Hasilnya tentu saja kekacauan sosiologis, tidak ada yang mampu mereduksi kekacauan ini selain adat yang benar-benar adat.” Lanjut dia berteori. Pak Salim menjelaskan adat sejati adalah adat peninggalan nenek moyang atau leluhur yang sering dikatakan tidak lapuk kena hujan dan tidak lekang karena panas, intinya adalah adat yang memahat sepanjang garis, bertarah di dalam sifat, bertanam di dalam pagar, berjalan di hati jalan dan berkata dalam adat. Lalu, ada adat yang diadatkan adalah adat tambahan pada sejati adat baik yang merupakan suatu peraturan dari Tuai Kutai yang merupakan hasil kesepakatan dan musyawarah dalam Kutai maupun kebiasan tertentu yang sudah menjadi adat yang teradat, seperti berbagi sama banyak, bermuka sama terang dan bertanak di dalam periuk, bersumpah bersemanyo, berjanji bersetio dan yang terpenting adalah kalah adat karena janji. Pak Salim mampu menjelaskan secara runut.

Dengan arif dia bercerita tentang kondisi kekinian, bahwa di tengah gelombang kekerasan, keserakahan dan krisis identitas budaya lokal yang telah melumat habis ikatan kemanusiaan dan kebersamaan di banyak tempat, dia berpendapat kekuatan adat harus terus dipelihara untuk memperkuat teladan dan kearifan budaya, kearifan menyelesaikan konflik dan pertikaian melalui pendekatan kemanusiaan dan persaudaraan yang sangat luhur. Salah satu bentuk kearifan budaya itu berupa tradisi mempergunakan media tepung tawar dalam meresolusi konflik, katanya dengan menurunkan intonasi suaranta. Apabila ada konflik, kekerasan yang saling melukai satu sama lain, dengan menggunakan tradisi tepung tawar itu, diantara orang yang bertikai dapat saling berdamai dan akur kembali.

Sambil menghisap rokok dari daun nipahnya kemudian dia menceritakan pengalamanya melakukan damai “tepung tawar”; dulu ada konflik antara pemuda desa dengan pemuda tetangga desa sebelahnya saat acara pesta pernikahan. Kedua pemuda itu sudah saling melukai walaupun belum ada yang terbunuh. Konflik antar kedua pemuda itu sudah berkembang aromanya ke arah konflik antar komunitas adat dalam satu Marga. Namun tokoh adat setempat segera berinisiatif menemui sang keluarga yang bertikai untuk mencari kebenaran asal usul dan penyebab pertikaian. Setelah diketemukan dengan tokoh adat dari pihak yang bersalah itu kemudian mendatangi keluarga pihak yang bertikai lainnya sambil membawa “iben/sirih” yakni sebagai alat atau sarana yang harus dibawah kepada keluarga korban atau yang tidak bersalah dalam konflik itu, di dalamnya seperangkah sirih lengkap dan sebungkus rokok.

Sirih atau iben itu sebagai bentuk ungkapan penyesalan dan permohonan maaf kepada keluarga korban. Kalau sudah ada iben dibawa, biasanya keluarga korban merasa puas dan dihormati, lalu langsung menerima ungkapan maaf dengan lapang dada tanpa ada perasaan dendam. Usai pemberian iben, kemudian dilanjutkan dengan tradisi tepung tawar dan makan serawo atau punjung mentah, pemuda atau orang yang saling bertikai itu kemudian saling mengoleskan tepung tawar di badannya. Sesudah itu, maka kedua pemuda yang bertikai tadi sudah dianggap menjadi bagian dari saudaranya sendiri. Usai melakukan tradisi punjung mentah dan tepung tawar, konflik yang sudah makin memanas itu kemudian menjadi reda, ungkap Bapak Salim. Ia sendiri sebagai pemangku adat cukup sering menjadi ‘duta’ perdamaian dan melakukan tradisi lokal semacam itu.

“Kalau semua konflik harus diselesaikan secara hukum, nyatanya makin repot dan cenderung menimbulkan konfliknya turunan, selain karena aparat negara lambat, butuh ongkos yang lebih dan masyarakat juga kurang puas, hasilnya jauh lebih ampuh dengan pendekatan adat atau budaya lokal, media tepung tawar ini tidak hanya berlaku bagi komunitas yang seidentitas budaya saja, tapi juga dapat dilakukan oleh orang luar yang kebetulan sedang berselisih paham atau berkonflik dengan orang adat.” lanjut Pak Salim sambil menghisap rokok daun nipah kesukaanya.

“Adat itu dinamis, adat itu lahir dari kesepakatan pat sepakat lemo sempurno, empat pihak yang bersepakat dengan cara musyawarah dan menjadi sempurna ketika kesepakatan itu menjadi komitmen.” Seperti biasa dia mulai dengan statement provokatif memancing pertanyaan kritis. Makanya untuk beberapa kasus, adat bisa berkompromi dengan agama, dengan perkembangan umat manusia, itulah hakekatnya adat yang tidak lekang karena panas dan tidak lapuk karena hujan. Kalimat ini biasa disampaikannya kepada orang-orang yang bertandang kerumahnya. Dia percaya sejak dari Masa Makedum Rajo Diwo (asal titik nol adat atau zaman mula jadi) sampai zaman milenium, adat itu akan tetap dan selalu hidup, adat akan berkelit dinamis dan pada akhirnya akan survive.

Dengan komitmen yang kuat dalam menjaga adat, Pak Salim yang berjengot ini sering bersyair dan mengutip bait-bait Sambei Siyen Kutai Ape disurat oleh aur; tiran ulung layang putiak, ado disano, tiran ulung pandai membace, layang putiak pandai menyurat,laju bepesan burung tiran ulung, amun cikundu ngadap keteluk, besok kundu sare tangungan, kundu menengah jarang balik, patah kundu hilang di ratau (apa yang tersurat pada bambu; tiran/burung hitam dan tiran putih, ada disana, burung hitam pandai membaca, burung putih pandai menulis, berpesanlah burung/tiran hitam, kalaulah pemalu menghadaplah ke sudut, tinggilah semangat/harapan besarlah tangungan, semangat setengah-setengah jaranglah pulang, patah semangat hilang di rantau). Inilah pedoman dan gambaran atas berkomitmen ketika kita bertekat untuk menjaga, berkomitmen dan berjuang untuk adat. “Seperti mengenggam sembilu, gengaman kita harus sekuat mungkin, kalau ragu-ragu tangan kita yang akan luka dan berdarah karenanya.” nasehatnya kepada para pemuda yang belajar pengetahuan tentang adat dengan dia.

Badanya gemetaran, lalu berkeringat kemudian urat-urat ditubuhnya berkelipan seperti digerakan oleh seribu jampi, seperti digerakan oleh arwah leluhur ketika mendengar kecurangan. Apalagi ketika dia mendengar ada pihak yang mendegradasi nilai-nilai dalam adat. “Kita”, katanya dengan meninggikan intonasi suaranya, janganlah seperti “abung cerite lamun jauh, besaklah ikan lamun luput, ayam betabang senimar elang, ikan dipangang tingal tulang, igak berigak padi masak, igak beragam badan tue, igak bedindang biduk anyut”, inilah gambaran hidup yang sia-sia, menyia-yiakan waktu, menyia-yiakan usia, hidup tidak membawa manfaat, manfaat buat dirinya dan bermanfaat untuk orang lain jelasnya dengan intonasi suara yang kuat tetapi bijak.

Dia berpandangan secara konsisten dalam melihat penomena adat. Bahwa sistem sosial-budaya yang ada dalam adat menciptakan resource yang sifatnya sangat umum, yaitumakna, makna yang ditata oleh kedua subsistem fungsional sehingga bisa sampai pada level kinerja ekonomi dan politik yang diinginkan, lalu dia menyederhanakan, atas kondisi ini inputnya adalah reproduksi simbol kehidupan mengikuti logika non-fungsional. Dia sering mencontohkan norma dan hukum adat harus mengikuti standar internal tertentu, konsistensi logis dan kesatuan prosedural, pada hal adat ada di baliknya. Lalu, adat itu didistorsi, hanya simbol-simbol saja yang naik ke permukaan. Hak atas berhukum, hak berorganisasi lewat lembago adat, hak atas taneak tanai dan imbo piadan (wilayah dan hutan) di abaikan secara masif. Seringlah dia menganalogikan hukum dan lembaga adat seperti kapal yang kehilangan dermaga. “Adat dalam keadaan krisis” katanya. Hanya kekuatan objektif yang bisa menyebuhkan adat dari krisis, adat harus dibebaskan dari keterperangkapan krisis. Pembebasan ini menurut dia, tidak hanya bersifat memaksa dari luar, tetapi juga memaksa dari dalam adat yang menjadikannya terasing dari identitas dirinya.

Cara berpikirnya runut dalam melihat dan menjelaskan penomena, mungkin ini disebut dengan kearifan intelektual. Dia tidaklah tamat sekolah dasar di zamannya. “dari kecil saya biasa berada dibalik punggung tua-tua kampung, ketika mereka bercelomok atau berdiskusi tentang makna hidup, saya sering mencuri-curi dengar dan beberapa kali dilibatkan dalam obrolan mereka.” Jelas dia dan matanyapun berlinang. Saat ini “ritual”bercelomok atau berdiskusi digantikan dengan ritual neorotik, orang lebih suka menonton televisi dibanding diskusi atas penomena yang ada, curhat Pak Salim.

Inilah akibatnya, lanjut Pak Salim “tiliklah tang desa ninik mamak disini, desa serut laman sunyi, desa digepung oleh betung, desa disindang oleh lalang, rumah berarik tiang seriksatu idak tiang duduk, peratin kurang perite, sude digepung dengan ringgit, sude disindang dengan redai, bujang gadis kurang pengunyung.” Pemerintah kurang perintah, lalu prihatin tanpa kerja, pemerintah menikmati kepungan ringgit. Pemuda dan pemudi sibuk dengan urusannya sendiri, berharap diselamatkan dan percaya pada determinasi berbagai konstelasi bintang secara astrologis. Padahal katanya, Tuhan sudah berjanji tidak akan merubah nasib kita, sebelum kita berusaha merubahnya.

Dia tentu saja prihatin, tetapi bekerja, di tahun 1997 dia mengumpulkan para pemuda di desannya. Maka saat itu lahirnya organisasi modern, dikediamannya organisasi ini diberi nama Aliansi Masyarakat Adat Rejang Tapus (AMARTA). Dia lalu memperkenalkan nilai-nilai kearifan intelektual kepada para pemuda, seperti mengajari silat. Para pemuda itu diajari ilmu dan pengetahuan sebelum masuk arena tanding. Dari cerita beberapa orang pemuda yang terlibat aktif di AMARTA. Pak Salim yang berjengot itu memulai metode pelajarannya melalui konsolidasi persepsi, lalu dia kuatkan pemahaman kongnitif, kemudian di bawa dan benturkan dua hal ini pada penomena dan konsesus sosial pada posisi inilah akan muncul bibit-bibit kearifan intelektual.

“Bagi saya, semua orang itu hidup dizamannya, tidak boleh orang bermimpi atas kebesaran masa lalu, tidak boleh juga takut atas kesuraman masa depan.” Katanya bijak. Pilihannya cuma dua “Rambai sayap terbang layang, pendek sayap terbang sayup”. Lanjutnya, meski mempunyai kelebihan kapasitas, tetap saja dia tidak mau menonjolkan diri, dia selalu ada di Sap kedua kalau sholat berjamaah meskipun imam Masjid berguru sama dia tentang agama. Dia selalu bicara terakhir ketika ada musyawarah adat dikampungnya. Dia “ia” kan pendapat yang benar dan lurus, lalu di patahkan secara bijak pendapat yang dianggapnya salah, diplomasinya luar biasa dalam mematahkan pendapat orang lain. Harus seperti “tikus tidak boleh luka, dan kucing tidak boleh malu” atau seperti “menarik rambut dalam tepung, rambut tidak boleh putus dan tepung tidak boleh tumpah.” Sering dia jelaskan begitu. Ini ajaran yang sangat sulit sekali di lakukan ditengah krisis identitas dan konsolidasi subjektivisme.

Pak Salim yang berjenggot, dia tetap konsisten menjadi piawang (penjaga) kampung dengan kelebihan yang dimilikinya jarang ada yang berani “berhadap-hadapan” dengan dia. Pernah beberapa kali dia marah, dia pernah mengembalikan bantuan seperangkat alat kesenian adat  dari Pemerintahan Kabupaten, dia tersinggung karena sebelumnya syarat bantuan itu cukup rumit dan pelik. “saya suruh mereka bawa kembali alat-alat kesenian yang mereka dibawa, cukup banyak ada dua truk, pertama kami sudah punya alat yang sama pengadaannya secara swadaya oleh masyarakat kampung, kedua saya tidak mau diperalat mereka.” cerita Pak Salim sambil tertawa dan tampaklah gigi-giginya yang menghitam akibat nikotin rokok.

Tulisan ini didedikasikan buat konsistensi Bapak Salim Senawar dalam menjaga adat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar