Ku saksikan pepohonan meranggas mendadak berdaun, berbunga lalu memikul buah dan menggurkan daunnya, itu di sebuah halaman kosong depan rumah tua. Kusaksikan putaran terbitnya matahari, berputar lalu mengapai senja dan menghilang, itu ketika aku duduk pada bangku yang mulai reot. Aku berhenti, tercekam oleh keheningan yang tersembunyipun kembali terdengar, seolah-olah gemericik arus itu tersirat pada peringatan menyampaikan makna untuk hati.
“ah, wahai sang penabur benih pepohonan yang meranggas; Kenapa pula pada senja itu kau singkapkan keindahan dalam pendar-pendar cahaya sekaligus menyembunyikannya? kenapa pula kau lembutkan senandung nada-nada pendar cinta kemudian memelukku dengan penuh kerinduan?”
Kerinduan? Iya kerinduan bak ciuman setuba yang kau celupkan dihati rendahku? Sementara hanya jelantah di jarimu, keringat di senyummu atau sepeluk cemasmu, terniat di kebahagiaanku.
Masih saja aku duduk pada kursi reot yang aku siapkan itu, bersandar pada sebuah bantalan akupun mengeluh dan ingin memberi tanpa ragu dan cemburu pada putik yang berseri. Aku menangis. Iya, menangis ketika sungai-sungai mengalir dalam nyanyian menuju langit, menagis di saat bunga-bunga menabur wewangin dan matahari melabuhkan cahaya diri pada garis langit lalu menghilang.
Aku gagu dan aku takut..! kemudian aku berseru dalam keheningan ketika iring-iringan hantu kelam bayangan mengancam dan akankah sepi malam menampung pendar-pendar? dan tangiskupun tak meredam ?
Aku masih duduk. Duduk dan bersandar pada bangku reot berwarna ungu, pada dada kiriku sepi melanda bak embun yang berguguran di mata doa- doa yang menanti sang Maha memberikan hidayah. Di suatu titik perenungan. Maka, akulah sebagai pejalan sunyi, tetapi masih tetap duduk pada kursi reot di sudut ruang menghadap pintu sambil melihat cahaya di sudut jauh di penghujung senja, cahaya berwarna kuning yang hanya sekilas melintas pada jalusi jendela lalu hilang karena terpaan daun-daun yang berguguran.
Dan, tetap saja pekarangan yang berpepohonan meranggas mendadak berdaun, berbunga lalu memikul buah dan menggurkan daunnya, itu tak pernah aku abaikan, sama seperti rindu yang tetap mekar meski kehadirannya seolah tiada.
Tetapi kenapa kita menyamarkan luka masing-masing lalu saling menutupi kesedihan dengan beberapa puisi yang tak pernah dibukukan. Maka, takkan aku abadikan pekarangan itu pada sebuah aksara, sebab yang kutahu, puisi takkan pernah mati dan selalu menjadi spasi dalam iringan setiap kata-kata.
Seperti biasa rasa itu selalu saja tiba, kurasa, lengan semu menepuk pundakku entah oleh rindu atau sesuatu yang sudah berlalu. Ketika apa-apa tentang pekarangan itu mengerjap, aku selalu mengerti mengapa aku berada di sini. Menunggu, sampai suatu masa akan bertemu. Meski sampai setengah abad semesta mencari, setelah cahaya senja pergi. sebab, Tuhan selalu merangkum kenangan dengan teramat baik lewat air mata, lewat hujan serta lewat sepi yang tak berakhir.
“ah, sudahlah mari berlahan ikuti tapak-tapak musim semi yang tak berujung dan abaikan batas senja itu!”. Karena di sahara dadaku yang gersang, kau datang bak oase yang berlahan sibuk menyejukan.
Berlahan, ya berlahan dan mari kita menghitung pucuk-pucuk bukit, kemudian kita tulis pada dinding lembah hijau sambil kita kejar buih-buih musim semi lalu bersama cahaya yang menembus pada pecahan kaca jendela seakan membendung deras aksara melaju, padahal aksara yang bertuliskan kerinduan itu kini tumpah ruah membanjiri ruang lain di sini, di dada kiri.
Lalu, bukankah kita pernah juga puisikan tentang senja? Iya, tentang batas senja.? Puisi yang tanpa suara lalu kita tahu hanya keindahan pekarangan yang ada.
Ah, garis langit kenapa pula kau jadi batas senja! Lalu hilang setelah keindahan merona jingga, warnai mekar cinta pada rasa tapi tanpa kecupan mesra. Sebab kutemukan sembab yang usang karena air mata begitu kejam ataukah rindu yang tak pernah reda dan mengembun di luar jendela, rindu yang selalu memili kata yang akhirnya hanya bisu atau mungkin, sajakku tak seindah nada lira.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar