Tahun baru kali ini agak berbeda jika dibandingkan tahun-tahun yang lalu-lalu, aku mulai tertarik dalam
pencarian penemuan ketegangan antara “yang langit” dan “yang bumi” dan
berdialegtika memisahkan “yang tetap” dan “yang berubah”. Syariat Shaum dan
sholat fardhu sekaligus Sunnah hampir tidak terlewatkan, ini seperti penemuan
kembali, aku menyebutnya bukanlah hidayah seperti yang sering di sampaikan
Ustad ketika tausiah di Masjid RT dimana aku tinggal,
ini bak
puisi sufistik Ibnu ‘Arabi; My heard has
become able to take on all forms…… and for whoever cicumambulates it, the
Kaaba, it is the tablets of the Torah and also the leaves of the Koran! Yang,
hakikatnya setiap orang selalu terbuka pada kebaikan diri, entah dari manapun
datangnya, setiap orang harus senantiasa mengerakkan hati nuraninya untuk
menjemput kebaikan dan kebenaran serta menjauhi berbagai macam fanatisme yang
memberangus kejujuran dan ketulusan.
Sepulang berjamaah sholat Magrib, aku tidak membaca ayat-ayat Al-Quran, seperti biasanya. Rebus air lalu minum kopi Arabika yang diberikan oleh masyarakat petani kopi Sengkuang
yang mereka di usir dari ruang kelola untuk hidup mereka. Aku hampir tidak bisa
tidur sampai makan malam, pertanyaan-pertanyaan kenapa kemudian
Kalam Allah atau wahyu kurang menpunyai arti dalam kehidupan kotemporer? Kenapa
belakangan ini kalam Allah justru digunakan untuk mengabsahkan kekerasan dan
penindasan? Di sela-sela akhir tegukan kopi yang keluar dari organ intim luwak,
pikiran nakalkupun mulai berputar bak melawan gaya sentrifugal, bukan seperti efek semu yang ditimbulkan ketika sebuah benda melakukan gerak
melingkar, aku mengalami proses sentripental, mendekati pusat putaran. Mungkinkah
otoritarianisme politik memang lahir dari rahimnya otoritarianisme agama atau
politik dan agama merupakan saudara kembar? Bapaknya adalah hegemoni dan ibunya
adalah kekuasaan, sehingga titik temu antara agama dan politik tidak
terhindarkan karena keduanya sama-sama menghakimi dan memutuskan sesuatu. Kalua
demikian, mungkinkah menghadirkan wajah Al-Quran yang toleran, humanis,
inklusif, pluralis dan multikulturalis dalam kontek kekinian?
Sampai malam menjelang, aku
tidak menemukan jawaban yang sedang aku cari, menjelang
tengah malam aku tertidur di kursi ruang tamu rumahku, itu setelah mata mulai
letih membaca Rekontruksi falsafah Iqbal. Tiba-tiba ada yang sakit dan membesar
di alat intimku, itu pertanda ginjal masih berjalan norman menyaring kepala
muda yang masuk sore tadi. Aku bangun menuju rungan sentral pembuangan kotoran
satu-satunya dirumahku. Ketika aku keluar dari ruang 3 m², aku dikejutkan dengan
seseorang yang sedang duduk bersila diruangan sholat.
Orang tua berumur 75 tahun
berpakaian haji warnah putih dan bersarung motif kotak-kotak, baju dalam berwarna
putih berlengan panjang dilapisi jaket jas rombi hitam bercorak samar-samar tulisan
Arab, sorban melingkar di kepalanya, sorat matanya tajam tetapi teduh, badannya
kekar, masih tersisa otot-otot yang ditutupi oleh kulitnya yang mulai keruput,
dari gerak geriknya nampak pergerakannya masih lincah tetapi tidak ada tasbih
ditangannya. Aku tahu dia adalah kakekku, bapak dari ibuku namanya kecilnya Tihi,
kami mengenalnya dengan Haji Syamsudin, nama yang disematkan ketika dia
menunaikan haji di tahun 1959. Dia tidak hanya guru silat tetapi giat mengajari
ilmu-ilmu “kajian dalam” tentang agama, menyebarkan ilmu tasawuf ketika dia
masih hidup dan dialah yang pertama kali membangun Masjid permanen di kampungku.
Bangunan masjid yang dibangun dengan tangannya itu, aslinya sangat kuat dengan
symbol perpaduan dan ikatan adat dengan agama, terdapat satu tiang utama
sebagai penyanggah empat tiang lainnya. Ini symbol dan tanda adat tiang pat lima dengan raja, dan dia
tidak marah ketika orang menafsirkan tiang utama itu adalah sholat lima waktu
sebagai tiangnya agama. Semasa muda dia berkelana dan belajar dengan banyak
guru, dia sangat fasih menjelaskan ajaran Thariqah Qadiriyah Naqsabanduyah, Thariqah ini merupakan perpaduan perpaduan dari dua buah tarekat besar, yaitu Thariqah Qadariyah dan Thariqah Naqsabandiyah yang didirikan oleh seorang Sufi Syaikh besar Masjid
Al-Haram di Makkah al-Mukarramah bernama Syaikh Ahmad Khatib Ibn Abd.Ghaffar
al-Sambasi al-Jawi. Inti pokok
ajarannya adalah sama-sama menekankan pentingnya syari'at dan menentang
faham Wihdatuk Wujud, menuntun jalan kesempurnaan suluk.
Dia tersenyum padaku tetapi masih dalam posisi duduk bersila
mengarah ke kiblat, aku mendatangi lalu mencium tangannya, kemudian memeluk dia
dalam-dalam dan dialah satu-satunya yang paling ingin aku temui dan aku
rindukan sepanjang hidupku. Dari setiap doa habis sholatku, doaku konsisten
“Tuhan jika Kakekku H. Syamsudin di alam kubur mendapat siksa mohon Engkau lapangkan,
kalau mendapat berkah mohon Engkau tambahkan” sederhana saja. Malam ini dia
datang kerumahku, kami duduk berhadap-hadapan seperti “murid putus guru”,
ritual makan bersama satu piring ketika muridnya selesai belajar silat.
Karismanya yang luar biasa menaburi seluruh tubuhku, aku bemancarkan cahaya
yang dipantulkan tubuhnya. Dia tersenyum seperti kakek yang ingin menyampaikan sesuatu
kepada cucu kesayangannya.
“Wahyu sesungguhnya
merupakan petunjuk
dari Allah yang diturunkan hanya kepada para nabi dan rasul dan konteks sistem serta persepsi yang terkandung didalamnya sangat komprehensif, baik dari segi
teologis, sosiologis maupun filosofis” dia mulai membuka pembicaraan,
sepertinya dia tahu apa yang sedang aku pikirkan akhir-akhir ini. Aku tidak
bisa jawab, aku masih menikmati rasa rinduku yang sangat dalam, seumur hidupku
aku hanya mendengar cerita-cerita tentang perjalan hidupnya. H. Syamsudin muda
pernah di penjara oleh Pemerintahan Belanda karena melakukan pemberontakan dan
menolak membayar pajak, sampai mati di betisnya bersarang peluru yang keluar
dari moncong senapan gerombolan milisi PRRI, dia marah ketika milisi PRRI
membakar kampungnya. Ah, Ingin rasanya aku tidur di atas silangan kakinya, atau
mau aku pijit betisnya yang lincah, kuda-kuda betisnya sangat kukuh sekaligus
lincah. Dia pernah sekali waktu beradu ilmu dengan pesilat nomor wahid bersuku
Minang, gempuran serangan silek sahabatnya Sutan Basa mampulah dia kendalikan,
mereka berdua penganut aliran ilmu silek Harimau.
“Wahyu” katanya, kali ini intonasinya seperti kakek yang sedang
mendogeng sesuatu dengan cucunya.
“Wahyu mempunyai keistimewaan bila dibandingan dengan sesuatu yang
bukan wahyu, wahyu melampui batas kapasitas umatnya baik dari segi Bahasa
maupun tema yang diangkat, seperti kiamat, hal-hal gaib dan yang berkaitan
dengan dimensi ketuhanan” katanya.
Aku terdiam, membayangkan seperti ini dulu dia mengajari
murid-muridnya tentang”kajian dalam”, “berdirinya zat pada sifat” atau ketika
membedah ‘sifat 20”. Pengenalan atas Tuhan, yang dasar tentang eksistensi Tuhan
berlandaskan atas argumen kosmologis, teleologis dan ontologis. Titik berangkat
kosmologinya yang memandang dunia sebagai sebuah akibat-terbatas, melintas
deretan rangkaian yang tergantung, terhubung sebagai sebab-akibat dan berhenti
pada sebab pertama yang tak bersebab, lantaran kemustahilan tasasul tanpa ujung.
“Secara sosiologis” dia melanjutkan, “Al-Quran merupakan ayat-ayat
yang tidak terpisah dari kontek masyarakat. Bila kamu membaca Al-Quran dengan
baik maka akan ditemukan bahwa metode yang digunakan Al-Quran adalah metode
komunikatif, saling dapat
berhubungan sehingga pesan yang
disampaikannya dapat diterima dng baik.”
Aku masih belum bisa berpikir, suaranya pelan berkarisma. “Dan, secara filosofis,
Al-Quran itu selalu menentang manusia untuk berpikir dan merenungi di balik
penciptaan alam. Lebih dari 300 ayat yang menceritakan pentingnya berpikir”
katanya yang aku tahu dia adalah penghapal Al-quran.
“Berarti umat islam perlu memikirkan upaya rekontruksi
keistimewaan Al-Quran dalam dimensi yang lebih lagi?” Tanyaku berani, karena
dari gestur dan pilihan kalimatnya dia tidak ingin menguruiku, dia mau
komunikasi kami setara. Karena begitulah adat dan pola komunikasi Masyarakat
Suku Rejang, komunikasi yang demokratis, komunikasi yang dua arah,
non-patronase apalagi mendominasi kebenaran.
“Iya.”
“Al-Quran sejak awal telah mengugah manusia untuk senantiasa
membaca dan menelaan ketauhidan Tuhan. “bacalah
dengan nama Tuhanmu yang telah menciptakanmu. Yang telah menciptakanmu dari
segumpal darah. Bacalah dengan nama Tuhanmu yang maha mulia. Yang mengajari
dengan Qalam. Yang mengajari manusia tentang hal-hal yang tidak diketahui.
Itu yang dia firmankan dalam surat Al-Alaq (96), 1-5.” Kata-katanya terkesan
teleologik-dialegtik. Dia mencoba mengajak aku meninjau jeka-jejak pandangan,
tujuan, adaptasi alam, argument ini menyimpulkan adanya wujud yang sadar diri
dengan kecerdaasan dan kekuasaan tak terhingga.
Aku mulai memancing tetapi dengan gaya komunikasi melingkar. “Jika
kita membaca itu adalah teks,” aku berhenti. Dan berpikir bukankah dalam ayat ketiga Al-Alaq ini mengandung
arti tentang mengenali, mengidentifikasi, mengklasifikasi, membandingkan,
menganalisa, menyimpulkan, membina, dan membuktikan.
“Bukankah, karakter teks ini mengandung dua unsur penting yaitu
pesan (parole) dan Bahasa (lengue)” dia tersenyum senang sampai
tampak giginya yang putih mungkin karena aku mulai merespon. Dan aku malu sendiri
karena mulai menonjolkan arogansi intelektual, tabiat bawaan cucu kesayangannyan
muncul.
“Sebuah teks bisa melahirkan berbagai makna, yang tidak hanya
mengacu pada unsur kebahasaan tetapi juga mengacu pada kontek pembaca dan
disiplin ilmu tertentu.” Karena itu, lanjutku. Al-Quran sebagai teks mempunyai
karateristik yang sangat menonjol, yaitu kemungkinan munculnya aneka ragam
makna, baik dilihat dari sudut pandang linguistic maupun dari sudut pandang
sosilogis dan fenomenologis.
“Para ulama terdahulu dalam memahami Al-Quran senantiasa
menggunakan dua sudut pandang dalam memahami teks yaitu secara etimologi dan
terminologis. Dan, secara umum teks Al-Quran mempunyai dua wajah makna yaitu
makna etimologis dan terminologis. Nah, maka kedua makna tersebut senantiasa
diangkat ke permukaan, baik dalam rangka menyambungkan keduanya atau mencari
makna yang bersifat distingtif atau bersifat membedakan antara satuan Bahasa.”
Aku tercengang, dia paham juga rupanya dengan Karakter Teksnya Ferdinand de
Saussure. Dia tahu, aku masih binggung dengan penjelasannya meski dengan Bahasa
sederhana.
“Begini penjelasan,” sambungnya.
“Secara Bahasa, al-shalat
berarti al-dzikr, yaitu mengingat
Tuhan. Makna etimologis seperti ini sesungguhnya mempunyai kontek tersendiri,
karena agama-agama samawi sebelum Islam juga mempunyai praktik shalat menurut
ajarannya masing-masing. Yahudi dan Kristen juga mempunyai ritual shalat
tetapi, ketika shalat dikhususkan dalam kontek Islam, maka shalat berarti
perbuatan yang dimulai dengan takbir
dan diakhiri dengan salam wajib
dilaksanakan lima kali dalam sehari.” Jelasnya memberikan contoh yang mudah aku
pahami.
“Maka, itulah kemudian di sebut dengan pengetahuan sehingga
manusia yang hidup yang mampu menyergabnya dan merebutnya dari kekayaan
kehidupan yang tidak terlibat didalamnya,” aku suka dengan pilihan kata
menyergap dan merebut, kata yang biasa digunakan dan dipraktekkan oleh para
pesilat tangguh, berubahlah posisi dudukku, seperti elang yang akan menangkap
ikan, darah pesilat yang mengalir ditubuh kakekku ini memicu sistem peredaran darahku membentuk sistem
kardiovaskular. Ini akibat pengaruh titis guru,
keturunan geneolgis.
“Karenanya fenomena pembacaan teks merupakan aktivitas
transformasi dan bimbingan batiniah dan lahiriah manusia dan tujuan hakiki
manusia?” potongku seperti membaca mantera langkah satu ketika turun silat,
tersenyum lagi dia, dia tahu maksud pertanyaanku itu basisnya adalah Bacalah
dalam Surat Al-Alaq.
Aku melanjutkan, “Sungguh, dilihat dari fungsinya, agama sangat
membutuhkan landasan rasional dalam prinsip-prinsip pokoknya ketimbang
digma-dogma sains. Sains bisa saja mengabaikan metafisika rasional; dan memang
sejauh ini ia telah mengabaikannya.”
“Di dalam Al-Quran paradigma seperti itu dikenal dengan kekhususan-
kekhususan yang menglingkup sebuah teks” jelas dia bijak.
Dia mulai menjelaskan dan mengikuti cara berpikirku. “Seperti
teori sebab-sebab turunnya Al-Quran atau asbab
al-nuzul dan nasikh wa al-mansukh. Para
ulama berpendapat bahwa sebuah pembacaan teks yang kemudian melahirkan tafsir
tidak hanya merujuk pada isi sebuah teks, termasuk di dalamnya ada kalimat,
melainkan merujuk kepada aspek-aspek sosiologis yang telah turut serta dalam
melahirkan sebuah teks,” dia pandang dalam-dalam wajahku.
“Konsekwensinya adalah bahwa teks tidak berdiri sendiri, ia
bergulat dan berkomunikasi secara intensif dalam konteks. Dalam teks terdapat
unsur konteks, begitu juga sebaliknya.”
“Kalaulah tidak, paling tidak merujuk pada asbab al-nuzul dan nasikh wa
al-mansukh, akibatnya yang muncul bukanlah pandangan-pandangan yang
otoritatif, melainkan pandangan otoriter. Mereka sebenarnya bukan berbicara
tentang Tuhan, akan tetapi berbicara atas nama Tuhan” katanya.
Aku berkedip, dia seketika
hilang dari pandanganku. Aku menangis tersedu, seperti bayi lapar yang di
tinggali ibunya. Tersentak bangun, ternyata aku masih tidur di kursi ruang tamu
rumahku. Aku masih sangat rindu dengan H. Syamsudin, rindu dengan persepsi dia
tentang manusia, rindu dengan kalimat indahnya “Jika hatimu tak terperdaya fatamorgana, jangan engkau bangga dengan
tajamnya pengetahuanmu; karena kebebasanmu dari ilusi penglihatan ini
disebabkan dahagamu yang tak sempurna”. Tetapi, kenapa dia mendatangaiku
dalam mimpi seakan nyata dimalam ini, apakah ini karena
kefasifan, situasi mistik dikondisikan oleh beberapa tindakan pendahuluan yang
dilakukan secara sengaja akibat dosa sederhanaku? sehingga membuat hasratku
sementara menghilang dan merasa direngkuh dan dikuasai oleh suatu kekuatan yang
lebih tinggi.
Aku yakin disana matanya
tetap tertuju padaku, seraya berdoa semoga cucunya ini ketika mendapatkan
wawasan tentang kedalaman kebenaran itu haruslah digali melalui diskursif empat
tangga menuju makrifatulah. Bukankah pengetahuan yang meyakinkan, yang hakiki, haruslah
dibangun di atas dasar keyakinan yang sempurna (haqq al-yaqin). Ia tidak didapat lewat pengalaman inderawi, juga
tidak lewat penalaran rasional, tetapi semata lewat kemurnian qalbu yang
mendapat ilham atau limpahan nur dari Tuhan sebagai pengalaman kasyfiy atau
‘irfanity. Teori pengetahuan sufi ini dipandang telah ikut aktif dalam kehidupan
nyata secara seimbang antara tuntutan pribadi dan sosial, antara jasmani dan
ruhani.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar