Membaca kegelisahan sosial dan frustrasi kebudayaan sebagaimana yang terjadi belakanga ini, saya tergelitik kemudian untuk melihat lebih dalam mengapa sudah cukup jauh terjadi perubahan cara pandang masa kini. Meminjam Dr. Leo Kleden, sesungguhnya saat ini sudah terjadi pergeseran paradigma kebudayaan secara cepat.
Yang dimaksud dengan paradigma adalah pola dasar yang melandasi cara pikir dan sikap hidup manusia dalam suatu masyarakat. Pola dasar pikir ini berkembang selangkah atau bahkan beberapa langkah di depan mendahului sebuah perubahan khusus di tingkat kebudayaan berpikir dan bertindak. Pola perkembangan berpikir dan bersikap itu dapat saja kita lihat dan pelajari tahap demi tahap dalam sejarah filsafat misalnya.
Yang pertama, Paradigma Kebudayaan Pra Modern. Menurut paradigma ini, dunia adalah sebuah kosmos. Kosmos itu bersifat sakral dimana yang rohani-jasmani, yang ilahi-duniawi itu berpadu, saling meresapi atau saling memasuki satu sama lain. Dalam konteks ini masyarakat dipandang sebagai sebuah organisme yang hidup. Dan kesadaran waktu yang ada bersifat siklis, bukan linear. Maka perwujudan diri yang ideal berarti menemukan tempat masyarakat di dalam orde sakral tersebut.
Moralitas masyarakatnyapun bersifat tertutup dan itu merupakan sebuah hasil dari tekanan sosial demi kelangsungan hidup masyarakat tersebut. Secara religious, manusia pra-modern hidup dalam kedekatan dengan yang kudus, karena hidupnya sungguh theosentris dalam kebersamaan yang kuat. Maka nampaklah di sini sebuah sakralitas kosmis. Memandang alam sebagai perwujudan nyata dari yang kudus, yang ilahi dalam beragam sebutan. Maka rasa hormat pun secara mendalam diarahkan kepada yang kudus itu di alam semesta ini, dengan demikian sikap mencederai alam ciptaan adalah sebuah tindakan melawan sang ilahi.
Kedua, Paradigma Modern. Adagium ‘Cogito ergo sum’, aku berpikir maka aku ada kemudian mengafirmasi diri manusia sebagai subyek yang rasional dan otonom. Sedangkan dunia dijadikan obyek melalui penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Masyarakat lalu dipandang sebagai sebuah organisasi yang dibentuk berdasarkan ‘kontrakt sosial’ demi kepentingan individu (Thomas Hobbes, John Locke, JJ Rousseau). Kesadaran akan waktu lalu bergeser dari yang semula bersifat siklis kini menjadi linear. Maka tak heran kalo dikatakan waktu adalah uang, time is mony, tidak boleh ada yang harus disia-siakan.
Penggunaan waktu lalu menjadi diefektifkan demi perkembangan individu-individu. Perwujudan diri yang ideal dari paradigma ini berarti merealisasikan ‘aku’ yang unik dan otonom. Dan moralitas yang muncul bersifat terbuka untuk semua orang sekaligus bersifat personal berdasarkan budi dan hati nurani yang diarahkan kepada penyempurnaan diri manusia secara terus menerus, tanpa henti. Sedang di tingkat religiositas, sakralitas kosmis menjadi pecah. Ini disebabkan oleh munculnya pertanyaan secara kritis tentang Tuhan. Dan ini juga lahir oleh paham antroposentrik dimana Tuhan didekati dari sisi tilik manusia semata. Ini ditandai dengan munculnya pertanyaan, seperti Siapa sih Tuhan itu. Apa perannya dan kiprahnya dalam sejarah manusia? Hal inilah yang kemudian melahirkan atheisme dalam arti tegas sebagaimana dilontarkan baik oleh Feuerbach, Karl Marx, Freud maupun kemudian ditegaskan oleh Nietzsche dan Sartre.
Ketiga, Paradigma Post-Modern kemudian lahir sebagai reaksi dan kritik terhadap ekses modernisme, baik pada tatanan praksis maupun teoretis (Freud, para strukturalis dan Habermas). Paradigma ini menjadi semakin populer di tahun 80-an melalui filsuf Lyotard. Menurutnya, dunia bukanlah objek melainkan lingkup hidup, “home” dimana dunia adalah makhluk yang mengada bersama di dalamnya. Dunia bukan sekadar keterangan tempat, melainkan kompleksitas nilai dan arti dimana kita hidup. Maka hubungan ‘aku-sesama’ dan ‘aku-dunia’ dijembatani oleh bahasa. Pola dasar hubungan ini adalah dialog, dimana pada tatanan moral sosio-politik tanggungjawab dialogal menyata dalam gerakan Justice, Peace and Integrity of Creation. Sebuah tanggungjawab dialogis demi keadilan, perdamaian dan keutuhan seluruh ciptaan yang ada di dalam lingkup ‘home’ ini.
Postmodernisme lalu menemukan kembali dan menggarisbawahi pluralitas kebudayaan, menentang grand narrative dan membela keragaman kisah-kisah kecil yang syarat makna. Jika kesadaran waktu pada era pra-modern dan modern adalah siklis dan linear, maka pada era postmodern kesadaran waktu bersifat spiral. Sedangkan kesadaran moral bersifat dinamis namun terbatas. Artinya dapat terbuka terhadap semua orang, tapi dibatasi oleh kondisi kebudayaan setempat. Ia bersifat personal namun dibatasi pula oleh struktur social dan faktor-faktor lain kearah penyempurnaan diri sambil menyadari keterbatasan manusia secara radikal.
Religiositas post-modern berkelana di tengah gurun sekularisme dimana di dalamnya orang mencari oasis rohani, seperti dalam karya seni lukis, sastra dan music, serta dalam kelompok seperti Karismatik, aneka aliran kerohanian baru. Pada tataran ini, menonjol sikap de-sentrik, sikap seolah peziarah yang sedang mencari dan sikap anti kemapanan.
Pertanyaannya, apakah Dampak pergeseran paradigma ini Untuk Kita Hari Ini? Boleh disebut paradigma pasca post-modernisme. Sebuah istilah yang barangkali tidak tepat, namun harus diakui bahwa melewati ketiga paradigm pada zamannya masing-masing itu, kini telah terjadi pembauran dan kerancuan paradigma. Manusia pasca post-modernism seolah berada di persimpangan antar tiga jurusan paradigma di atas. Secara pribadi, mis. muncul krisis, ada kehilangan orientasi, ketiadaan visi-misi dan manusia terus menjadi petualang yang mencari dan mencari tanpa henti. Dampak pada religiositas adalah muncul semacam religiositas baru, dimana hadir perbenturan antar aliran dan nilai baik dari yang paling fundamentalistis sampai yang paling progresif. Ada yang teguh pada hukum fundamentalisme, sementara ada yang terjun langsung dalam gelombang progresif, dan yang lain mencoba memadukan keduanya di satu pihak. Sedangkan yang tak mampu menyikapi keduanya lalu membiarkan diri dikendalikan dalam kebingungan.
Di tengah benturan itu, kita seolah terjebak di dalamnya. Ingin memberontak atau menerima. Memberontak selalu menuai korban. Dan, tidak kalah pula kalau tetap menerima maka tak terhindarkan pula korban lebih banyak bertambah. Lalu, harus bagaimana kita yang terus dililit kegelisahan kultural ini? Back to basic selalu menjadi anjuran. Kembali kepada penguatan kesadaran nilai budaya pada tingkat dasar, artinya perlu pemberdayaan pada grassroad. Tapi, bagaimana dengan berbagai kontrak yang telah dibuat di tataran politik ekonomi-pragmatis di pasar global ini? Barangkali perlu lagi sebuah revolusi kesadaran baru, perlu sebuah pencerahan yang berani, enlightenment dari bawah.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar