Latar Belakang
Resolusi konflik adalah suatu
proses analisis dan penyelesaian masalah yang harus mempertimbangkan
kebutuhan–kebutuhan individu dan kelompok seperti identitas dan pengakuan juga
perubahan–perubahan institusi, sosial budaya yang diperlukan untuk memenuhi
kebutuhan–kebutuhan. Dalam setiap konflik selalu dicari jalan penyelesaian.
Konflik terkadang dapat saja diselesaikan oleh kedua belah pihak yang bertikai
secara langsung. Namun tak jarang pula harus melibatkan pihak ketiga untuk
menengahi dan mencari jalan keluar.
Dalam terminologi ilmiah resolusi
konflik menekankan kebutuhan untuk melihat perdamaian
sebagai suatu proses terbuka dan membagi proses penyelesaian konflik dalam
beberapa tahap sesuai dengan dinamika siklus konflik. Sedangkan secara empirik,
biasanya resolusi konflik dilakukan
dalam empat tahap. Tahap pertama masih didominasi oleh strategi militer yang
berupaya untuk mengendalikan kekerasan bersenjata yang terjadi. Tahap kedua memiliki
orientasi politik yang bertujuan untuk memulai proses re-integrasi elit politik
dari kelompok-kelompok yang bertikai. Tahap ketiga lebih bernuansa sosial dan
berupaya untuk menerapkan problem-solving
approach. Tahap terakhir memiliki nuansa kultural yang kental karena tahap
ini bertujuan untuk melakukan perombakan-perombakan struktur sosial-budaya yang
dapat mengarah kepada pembentukan komunitas perdamaian yang langgeng.
Di
Bengkulu umumnya konflik yang terjadi adalah konflik pengelolaan sumber daya
alam, konflik dengan kawasan hutan negara adalah konflik yang sering mencuat
dan tersebar di wilayah Propinsi Bengkulu. Kondisi ini dapat dilihat dari luas daratan Provinsi Bengkulu seluas 2.007.223.9 Ha, dan seluas
924.631 Ha adalah kawasan hutan baik
fungsi lindung, produksi maupun konservasi yang ditetapkan berdasarkan Surat
Keputusan Menteri Kehutanan No. 784/Menhut-II/2012. Konflik sektor kehutanan
ini sebagian bermuasal dari kebijakan kehutanan kolonial, dan sebagian lain
muncul dan bereskalasi di masa kini. Hal ini berakibat pada pengurangan dan
penutupan akses terhadap tanah, wilayah, dan SDA yang diperebutkan muncul dan
meluas sebagai penghilangan hak ekonomi, sosial, budaya, dan hak sipil dan
politik masyarakat, yang secara langsung berupa hilangnya wilayah hidup, mata
pencaharian, harta benda hingga jatuhnya korban jiwa. Menyempitnya ruang hidup,
yang diiringi menurunnya kemandirian masyarakat di dan sekitar hutan dalam
memenuhi kebutuhan hidupnya. Pada gilirannya, mereka terlepas dari alat-alat
produksinya berupa tanah dan sumber daya alam lainnya dan akhirnya hanya mampu
berpangku pada tenaganya sendiri, masuk dalam pasar buruh murah dan proses
kemiskinans truktural
Belajar dari usaha-usaha penyelesaian “jalan
tengah” konflik kehutanan yang diinisiasi oleh Akar Foundation di Kawasan Hutan
Lindung Bukit Daun Register 5 Kabupaten Rejang Lebong yang dilakukan sejak
tahun 2010 haruslah mendapatkan mandat dan partisipatif masyarakat dan terlegitimasi
secara tegas dalam Kebijakan Daerah, sehingga usaha untuk mereduksi gangguan
dan konflik meluas diperlukan penanganan secara terpadu memiliki kekuatan
hukum sekaligus kekuatan politik yang kuat. Proses ini tentu saja harus mengaju
pada kebijakan Negara yang berhubungan dengan konflik yang dimaksud, antar
lain;
1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2013);
2. Undang- Undang
Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi
Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1990 Nomor
49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3419);
3. Undang-Undang Nomor 39
Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3886);
4. Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888) sebagaimana telah
diubah dengan Undang-undang nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas
Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Menjadi Undang-undang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 86, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4412);
5. Undang-Undang Nomor 18
Tahun 2004 tentang Perkebunan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4411);
6. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah terakhir dengan
Undang-undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah;
7. Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007
Tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725);
8. Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014
tentang Desa (Lembaran Negara republik indonesia tahun 2014 nomor 7, tambahan
lembaran negara republik indonesia nomor 5495);
9. Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri
Republik Indonesia, Menteri Kehutanan Republik Indoensia, Menteri Pekerjaan
Umum Republik Indonesia, dan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik
Indonesia Nomor 79 tahun 2014, Nomor PB.3/Menhut-11/2014, Nomor 17/PRT/N/2014,
Nomor 8/SKB/X/2014 tentang Tata Cara Penguasaan Tanah Yang Berada Dalam Kawasan
Hutan.
Karena Penanganan Konflik adalah
serangkaian kegiatan yang dilakukan secara sistematis dan terencana dalam
situasi dan peristiwa baik sebelum, pada saat, maupun sesudah terjadi Konflik
yang mencakup pencegahan konflik, penghentian konflik, dan pemulihan pasca
konflik. Dengan demikian ruang lingkup Penanganan Konflik setidaknya meliputi:
1. Pencegahan Konflik
2. Penanganan Konflik
3. Mediasi
4. Pemulihan Pasca Konflik
5. Sistem Informasi Penanganan konflik
dan
6. Pembinaan dan Pengawasan konflik.
Dan usaha pencegahan konflik
dilakukan untuk:
1. memelihara kondisi damai
dalam masyarakat di sekitar Hutan
2. mengembangkan sistem
penyelesaian perselisihan secara damai
3. melakukan sosialisasi merata ke
masyarakat
4. meredam potensi konflik antara
masyarakat, pelaku usaha bidang lain dan pelaku usaha perkebunan; dan membangun
sistem peringatan dini.
Urgensi penyelesain terhadap konflik
yang terjadi ini haruslah segera dilaksanakan dan Negara tentu harus hadir
dalam memfasilitasi dan mereduksi konflik kehutanan dan perkebunan yang ada di
Propinsi Bengkulu.
Pripil wilayah Resolusi Konflik
Marga Bermani Ulu adalah salah satu Marga dalam
Suku Rejang, merupakan pecahan dari Marga Bermani Lebong. Secara Administratif
Marga Bermani Ulu ini berada di Kabupaten Rejang Lebong Propinsi Bengkulu. Sebagai
kesatuan masyarakat hukum adat, masyarakat adat Bermani Ulu mempunyai kearifan,
kelembagaan, hukum dan kehidupan sosial yang tidak terlepas dari adat,
kebiasaan dan tradisi yang disebut dengan adat
rian ca’o dalam upaya pelestarian dan pengawetan sumber daya alam hayati
dan ekosistemnya.
Hutan
Lindung Register 5 Bukit Daun dan Rimbo Pengadang adalah kawasan hutan adat Marga
Bermani Ulu. Kawasan hutan ini bukan saja sebagai peyokong kawasan untuk
konservasi, tetapi merupakan identitas, pertahanan bahkan mempunyai nilai
religi bagi masyarakat adat Bermani Ulu. Pada tahun 1927 oleh Pemerintahan
Kolonial kawasan hutan ini dijadikan sebagai kawasan hutan Lindung atau bosch wezen atau di kenal dengan hutan
Retes. Pola pengelolaan kawasan lindung untuk konservasi ini sangat kuat
dipengaruhi oleh faham konservasi alam klasik (classic
nature conservation). Faham ini menekankan solusi terhadap
kawasan-kawasan yang dilindungi, dimana setiap orang dilarang masuk, guna
melindungi species-species yang terancam punah. Kemudian Faham ini sejalan
dengan faham ekofasis yang mengangap konservasi lingkungan juah lebih penting
dari kehidupan rakyat, yang mengangap bahwa tidak bisa dielakkan kalau rakyat
harus dipindahkan dari daerah-daerah yang terancam rusak, apakah hutan-hutan
tropis, kawasan lindung maupun zona-zona peresapan air.
Blok pengetahuan konservasi seperti inilah yang mewarnai
pengelolaan kawasan-kawasan konservasi. Hutan Lindung, misalnya dikelola dengan
prinsip-prinsip perlindungan alam yang ketat tapi dalam waktu yang bersamaan
tidak menaruh perhatian yang cukup terhadap masyarakat yang bermukim didalam
atau disekitar kawasan tersebut. Akibatnya perlindungan alam seolah-olah
merupakan tindakan yang berdiri sendiri dan harus dibenturkan dengan
kepentingan masyarakat di sekitarnya.
Di Indonesia, Kebijakan Negara tentang Koservasi dapat dilacak
sejak masa kolonial Belanda, tahun 1932 Pemerintahan Kolonial Belanda
mengeluarkan ’Ordonansi Cagar Alam dan Suaka Marga Satwa’ (Natuurmonumnten en Wildreservatenordonnantie 1932),
Stablad 1932, No 17, kemudian diganti dengan ’Ordonansi Perlindungan Alam’ 1941
(Wildreservatenordonnantie1941).
Sejak kemerdekaan ada banyak kebijakan yang dibuat secara langsung terkait
dengan konservasi dan perlindungan kawasan. Kawasan
Konservasi di Indonesia hampir sepenuhnya merupakan kisah mengenai konplik. Pertama, konflik
yang bersifit sektoral horizontal, yakni tarik-menarik antara kepentingan
perlindungan kawasan konservasi dengan kepentingan pembangunan tertentu. Kedua, konflik
yang bersifat vertikal, yakni ketegangan antara Pemerintah yang mewakili otoritas
pengelola kawasan konservasi dengan masyarakat yang tingal di sekitarnya.
Baik masyarakat yang memiliki sejarah panjang maupun yang punya
sejarah pendek tinggal di sekitar kawasan itu. Kalau diperhatikan secara
seksama, maka konflik-konflik itu bersumber dari klaim yang bertentangan di
atas subject yang sama (Bundle of
Right). Dengan dalil
hutan negara, sebuah istilah yang mengundang perdebatan, pemerintah menunjukan
sebuah kawasan hutan sebagai kawasan konservasi atau hutan lindung. Penunjukan
itu kemudian diikuti dengan berbagai larangan kepada siapapun untuk melakukan
kegiatan pertanian, perburuan atau mengumpulkan hasil hutan. Sebaliknya,
masyarakat yang tinggal disekitar atau ditengah-tengah kawasan mengangap
larangan pemerintah tidak dapat diterima dengan dalil apapun. Mereka berargumen
bahwa jauh sebelum munculnya larangan-larangan, mereka sudah lebih dulu tinggal
di sana dan melakukan berbagai aktivitas ekonomi serta mengakui kepemilikan
atas sebagian wilayah baik individu maupun kolektif (common property right) sebagian wilayah yang lain dianggap
sebagai wilayah tak bertuan (open
access), persoalan
seperti ini muncul ketika tidak adanya pengakuan terhadap hak-hak masyarakat
setempat, masyarakat adat atas tanah dan sumber daya alam lain yang diakui
secara tradisional, sehingga negara dapat menetapkan secara sepihak.
Terbukanya Ruang Akses Terhadap
Hutan
Pasca
Reformasi, ada beberapa kebijakan yang pada prinsifnya ingin menguraikan
tunggakan masalah terkait dengan tata kelola hutan ini. Tahun 2000 MPR
melakukan amandemen II terhadap UUD 1945 dan pengaturan tentang keberadaan
Masyarakat Hukum Adat, yang keberadaannya diatur di dalam Pasal 18 B ayat (2)
dalam bab tentang Pemerintahan Daerah dan Pasal 28 l ayat (3) dalam bab tentang
Hak Asasi Manusia. Adapun bunyi lengkap kedua pasal tersebut adalah sebagai
berikut: Pasal
18 B ayat (2) : “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat
hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Keratuan Republik Indonesia,
yang diatur dalam undang-undang”. Dan Pasal 28 l ayat (3):“Identitas budaya dan
hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan
peradaban”.
Secara
khusus yang berhubungan dengan tata kelola hutan, di dalam UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan,
mendefinisikan hutan adat sebagai hutan negara yang berada dalam wilayah
masyarakat hukum adat.[5] Selanjutnya
dalam Pasal 4 ayat (3) dikatakan, Penguasaan hutan oleh Negara tetap
memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan
diakui keberadaannya, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional.
Kemudian dalam Pasal 5-nya menyatakan, hutan berdasarkan statusnya terdiri dari
hutan negara dan hutan hak. Hutan negara dapat berupa hutan adat. Selain itu
Pemerintah punya kewajiban menetapkan status hutan dan hutan adat sepanjang
menurut kenyataannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan
diakui keberadaannya. Pengakuan bersyarat ini tentu belum menyentuh resolusi konflik pengelolaan
hutan secara utuh dan benar. Keputusan MK
35 PUU X 2012 yang mengeluarkan hutan adat dari hutan Negara belum
sampai pada titik pengakuan seutuhnya, sehingga masih butuh jalan panjang dan proses
rekonsiliasi dalam mencari titik tengah dimana kedua belah pihak dalam hal ini
Negara dan Masyarakat Adat atau Lokal, bisa menemukan sebuah arena dimana
kedua-duanya bisa eksis bersama dan merasa nyaman. Bisa saja kita sebut
masyarakat adat atau lokal ada di sebelah kiri dan Negara ada disebelah kanan
sehingga berjauhan, keduanya harus bergerak ke tengah.
Solusi Alternatif
Pengelolaan Hutan
Kebijakan Hutan Kemasyarakatan pertama
kali dikeluarkan pada tahun 1995 melalui penerbitan Kepmenhut No.622/Kpts-II/1995.
Tindaklanjutnya, Dirjen Pemanfaatan Hutan, didukung oleh para
LSM, universitas, dan lembaga internasional, merancang proyek-proyek uji-coba
di berbagai tempat dalam pengelolaan konsesi hutan yang melibatkan masyarakat
setempat. Hingga tahun 1997, bentuk pengakuan HKm masih sangat kecil. Lalu
Menhut mengeluarkan Keputusan No.
677/Kpts-II/1997, mengubah Keputusan No.622/Kpts-II/1995. Regulasi ini
memberi ruang pemberian hak pemanfaatan hutan bagi masyarakat yang dikenal
dengan Hak Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan (HPHKM) yang terbatas pada pemanfaatan hutan non
kayu. Promosi bentuk HKm ini merupakan suatu pendekatan yang dapat meminimalisir
degradasi hutan dan meningkatkan taraf ekonomi masyarakat.
Dengan Kepmenhut
No. 31/Kpts-II/2001, masyarakat diberi keleluasaan lebih besar sebagai pelaku utama dalam pengelolaan hutan. Namun
lagi-lagi tidak membuahkan hasil yang maksimal karena adanya kerancuan
kebijakan dan tidak terakomodasikannya hak-hak masyarakat setempat. Kebijakan itu kemudian disempurnakan lebih lanjut
melalui Peraturan Menteri Kehutanan No. P.37/Menhut-II/2007 tentang Hutan
Kemasyarakatan dan kemudian
diikuti dengan perubahan-perubahannyanya
(Permenhut No.P.18/Menhut-II/2009, Permenhut No. P.13/Menhut-II/2010, hingga
Permenhut No.P52/Menhut-II/2011). Dalam peraturan tersebut, pemerintah
menjelaskan petunjuk teknis
berkaitan dengan prosedur untuk memperoleh hak-hak kelola HKm, termasuk rincian
proses perijinan dan pemberian ijin usaha pemanfaatan pengelolaan hutan
kemasyarakatan (IUPHKm). Dalam peraturan itu dimaksud dengan Hutan
Kemasyarakatan (HKm) adalah hutan negara yang pemanfaatan utamanya ditujukan
untuk memberdayakan masyarakat setempat. HKm diharapkan dapat meningkatkan
kemampuan dan kemandirian masyarakat setempat sehingga mereka mendapatkan
manfaat sumberdaya hutan secara optimal dan adil melalui pengembangan kapasitas
dan pemberian akses dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat
setempat.
Lesson
learned oleh Masyarakat Bermani Ulu dalam pengelolaan Hutan
Terdapat 5 Desa yang menjadi
pembelajaran dalam tata kelola hutan di Rejang Lebong yaitu Desa Air Lanang,
Tebat Pulau, Tebat Tenong Dalam, Baru Manis dan Tanjung Dalam. Kelima desa ini
adalah desa-desa adminsitratif yang masuk kedalam wilayah adat Bermani Ulu. Dari
study potensi awal yang dilakukan Akar bersama masyarakat di 5 desa tersebut
yang dilaksanakan sejak tahun 2010, sehingga bentuk rekonsiliasi dalam mencari
titik tengah yang mengakomodir kebutuhan Negara atas kepentingan ekologi
kawasan dan Masyarakat Adat atas kepentingan ekonomi dan identitas, maka Skema Hutan Kemasyarakatan (HKm) merupakan pilihan terbaik saat
ini, tentu skema ini merupakan pijakan awal dalam menuju pengakuan seutuhnya
bagi masyarakat adat Bermani Ulu dalam mengelola, mengakses dan mengontrol
kawasan hutan adatnya.
Pelaksanaan skema Hutan Kemasyarakatan sebagaimana diatur dalam
Peraturan Menteri Kehutanan No.P.37/Menhut-II/2007 tentang Hutan Kemasyarakatan
dapat dipilah dalam 3 tingkatan: pertama,
penetapan yang dilakukan oleh pemerintah pusat (Kementerian Kehutanan); kedua, perizinan yang dilakukan oleh
pemerintah daerah (Bupati/Walikota/Gubernur); ketiga, pengelolaan di lapangan yang dilakukan oleh kelompok
masyarakat pemegang izin pemanfaatan hutan kemasyarakatan. Untuk melaksanakan
skema HKm ada empat perizinan yang dibutuhkan, yaitu a. Permohon IUPHKm; b.
Penetapan Area Kerja HKm; c. Pemberian Izin Usaha Pemanfaatan HKm (IUPHKm); dan
e. Pemberian Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dalam HKm (IUPHHK-HKm).
Sebanyak 856 Kepala Keluarga di 5 desa tersebut mengajukan permohonan
IUPHKm pada wilayah seluas 1.356 Ha. Pengajuan ini terkonsolidasi di dalam 27
Kelompok Tani Hkm dan 5 Gabungan Kelompok Tani HKm yang di bentuk secara
bersama antara Akar dan bersama masyarakat pengarap. Pengajuan permohonan
Kepada Menteri Kehutanan untuk mendapatkan Areal Kerja Hutan Kemasyarakatan ini
dilakukan memalui Dinas Kehutanan dan Bupati Kabupaten Rejang Lebong. Di dalam
surat tersebut dilampirkan proposal permohonan IUPHKM, surat keterangan
kelompok dari Kepala Desa, dan sketsa area kerja yang dimohon (memuat letak
areal beserta titik koordinatnya, batas-batas perkiraan luasan areal, dan
potensi kawasan hutan). Setelah dilakukan verifikasi oleh Direktorat Jenderal
Bina Pengelolaan DAS dan Perhutanan Sosial, pada tahun 2013
Menteri Kehutanan Republik Indonesia mengeluarkan Izin Areal kerja
hutan kemasyarakatan adalah satu kesatuan hamparan kawasan hutan yang dapat
dikelola oleh kelompok atau gabungan kelompok masyarakat setempat secara
lestari. Kawasan hutan yang dapat ditetapkan sebagai areal kerja hutan
kemasyarakatan adalah kawasan hutan lindung dan kawasan hutan produksi dengan
ketentuan: belum dibebani hak atau izin dalam pemanfaatan hasil hutan; dan
menjadi sumber mata pencaharian masyarakat setempat. Areal Kerja Hutan
Kemasyarakatan ditetapkan oleh Menteri yang diserahi tugas dan bertanggung
jawab dibidang Kehutanan. Izin Areal kerja hutan kemasyarakatan yang dimaksud
adalah SK PAK Nomor:
SK.545/Menhut-II/2013 pada lahan seluas Lahan + 1.165 Ha untuk Gapoktan
Tumbuh Lestari,Gapoktan Tri Setia, dan Gapoktan Rukun Makmur/ Desa Air Lanang
Desa Tebat Pulau dan Desa Baru Manis. Dan SK PAK Nomor: SK.19/Menhut-II/2014 pada lahan seluas Lahan + 310
Ha untuk Gapoktan Maju Jaya dan Gapoktan Enggas Lestari / Desa Tanjung Dalam
dan Desa Tebat Tenong.
Pada tanggal 13 Mei 2015 Bupati Kabupaten Rejang
Lebong memberikan Izin Usaha Pemanfaatan Hutan Kemasyarakatan (IUPHKm) melalui
Keputusan Bupati RL, No: 180.186.III Tahun 2015 tentang pemberian Usaha
Pemanfaatan Hutan Kemasyarakatan (IUPHKm) kepada Gabungan Kelompok Tani dalam
Kabupaten Rejang Lebong di 5 Desa (Air Lanang, Tebat Pulau, Tebat Tenong Dalam,
Baru Manis dan Tanjung Dalam). Izin Usaha Pemanfaatan Hutan Kemasyarakatan
(IUPHKm) adalah izin usaha yang diberikan untuk
memanfaatkan sumber daya hutan pada kawasan hutan lindung Register 5. IUPHKm
diberikan kepada kelompok masyarakat setempat yang telah mendapat fasilitasi
pada kawasan hutan yang telah ditetapkan sebagai areal kerja hutan
kemasyarakatan dengan surat Keputusan Menteri. IUPHKM bukan merupakan hak
kepemilikan atas kawasan hutan.
IUPHKm pada hutan lindung meliputi kegiatan pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, dan pemungutan hasil hutan bukan kayu. IUPHKm dilarang dipindahtangankan, diagunkan, atau digunakan untuk untuk kepentingan lain di luar rencana pengelolaan yang telah disahkan, serta dilarang merubah status dan fungsi kawasan hutan, Jika ketentuan ini dilanggar maka akan dikenai sanksi pencabutan izin.
IUPHKm
diberikan untuk jangka waktu 35 tahun dan dapat diperpanjang sesuai dengan
hasil evaluasi setiap 5 tahun. Permohonan perpanjangan IUPHKm diajukan kepada
Gubernur atau Bupati/Walikota paling lambat 3 (tiga) tahun sebelum izin
berakhir. IUPHKM dapat dihapus bila jangka waktu izin telah berakhir; izin
dicabut oleh pemberi izin sebagai sanksi yang dikenakan kepada pemegang izin;
izin diserahkan kembali oleh pemegang izin dengan pernyataan tertulis kepada
pemberi izin sebelum jangka waktu izin berakhir; dalam jangka waktu izin yang
diberikan, pemegang izin tidak memenuhi kewajiban sesuai ketentuan; dan secara
ekologis, kondisi hutan semakin rusak.
Dalam peraturan itu juga disebutkan bahwa penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan berazaskan kepada: (a) manfaat dan lestari secara ekologi, ekonomi, sosial dan budaya, (b) musyawarah mufakat, dan (c) keadilan. Oleh sebab itu, untuk melaksanakannya digunakan prinsip: (a) tidak mengubah status dan fungsi kawasan hutan, (b) pemanfaatan hasil hutan kayu hanya dilakukan dari kegiatan penanaman, (c) mempertimbangkan keanekaragaman hayati dan keanekaragaman budaya, d) menumbuhkembangkan keanekaragaman komoditas dan jasa, (e) meningkatkan kesejahtaraan masyarakat yang berkelanjutan, (f) memerankan masyarakat sebagai pelaku utama, (g) adanya kepastian hukum, (h) transparansi dan akuntabilitas publik (i) partisipatif dalam pengambilan keputusan.
Harapannya, melalui pola pengelolaan lahan di Area Kerja
Hutan Kemasyarakatan, kelestanan hutan tetap terjaga dan pembaikan fungsi hutan
dapat ditingkatkan, serta manfaat penerapan sistem tanam multi guna (Multi Purpose Trees Species) dapat meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Paling tidak solusi alternatif ini bisa mereduksi
konflik sekaligus pemenuhan kebutuhan Negara dan Masyarakat Adat pada posisi
lain. Tersedianya ruang hidup,
yang diiringi peningkatan kemandirian masyarakat di dan sekitar hutan dalam
memenuhi kebutuhan hidupnya. Pada gilirannya, memiliki dan menguasai alat-alat
produksinya berupa tanah dan sumber daya alam lainnya dan akhirnya mampu mereduksi
usaha-usaha pemiskinan truktural baik yang dilakukan melalui kekuatan ekonomi,
politik maupun hukum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar